Anda di halaman 1dari 15

III.

3-Rinitis non alergi

BUKU ACUAN
ALERGI IMUNOLOGI

MODUL III.3
RINITIS NON ALERGI

EDISI II

0
III.3-Rinitis non alergi

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015

1
III.3-Rinitis non alergi

DAFTAR ISI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN .........................................................................2


B. KOMPETENSI.................................................................................................2
C. REFERENSI.....................................................................................................2
D. GAMBARAN UMUM.....................................................................................3

2
III.3-Rinitis non alergi

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pembelajaran materi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan


dan perilaku yang terkait dengan kompetensi yang diperlukan, yaitu:
1. Menjelaskan anatomi, topografi, dan fisiologi hidung
2. Mampu menyebutkan klasifikasi rinitis non alergi dan patofisiologinya.
3. Mampu menegakkan diagnosis rinitis non alergi dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
4. Dapat membuat perencanaan tatalaksana penderita rinitis non alergi,
mencakup usaha preventif, kuratif dan promotif
5. Mampu melakukan tindakan pembedahan pada rinitis non alergi.

B. KOMPETENSI

Mampu menegakkan diagnosis rinitis non alergi berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tambahan (misalnya nasoendoskopi
dan skin prick test). Mampu menatalaksana masalah tersebut secara mandiri
hingga tuntas.

Keterampilan

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan trampil dalam :


1. Menjelaskan anatomi, topografi, dan fisiologi hidung
2. Menyebutkan klasifikasi rinitis non alergi dan patofisiologinya.
3. Menegakkan diagnosis rinitis non alergi dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
4. Membuat perencanaan tatalaksana penderita rinitis non alergi, mencakup
usaha preventif, kuratif dan promotif
5. Melakukan tindakan pembedahan pada rinitis non alergi.

C. REFERENSI

1. Chan TV. Non allergic rhinitis. In: Johnson JT, Rosen CA editors. Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5th edition, Volume one.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2014, p. 469-488.
2. Bousquet J, Van Cauwenberge P, Khaltaev N. WHO. Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma. Journal of Allergy Clinical Immunology
2010;108(5 Suppl): S147-334.

3
III.3-Rinitis non alergi

D. GAMBARAN UMUM

Rinitis non alergi adalah kumpulan sindrom dan penyakit yang


berhubungan dengan gejala inflamasi hidung tanpa pemicu alergi yang dapat
teridentifikasi. Pasien rinitis non alergi memperlihatkan gejala kongesti hidung,
rinorea anterior atau posterior, tekanan sinus, hiposmia, gangguan kognitif,
gangguan tidur, dan kelelahan dengan derajat yang bervariasi. Bersin-bersin dan
gatal pada mata, hidung atau palatum dapat pula menyertai, namun lebih jarang
ditemukan dibandingkan pada rinitis alergi. Faktor pemicu adalah iritan
lingkungan, efek samping obat, disfungsi autonomi, penyakit autoimun, dan
pengaruh hormonal.

Secara umum rinitis dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu alergi, non
alergi, dan infeksi. Rinitis non alergi dapat berupa rinitis idiopatik, rinitis non
alergi dengan sindrom eosinofilia (NARES), rinitis autonomik (vasomotor), rinitis
akibat kerja, rinitis akibat obat, rinitis hormonal, rinitis atrofi, dan rinitis yang
disebabkan penyakit sistemik. Secara umum rinitis non alergi sering ditemukan
pada usia di atas 20 tahun dan pada wanita. Pasien cederung memiliki sensitifitas
yang tinggi terhadap iritan. Gejala lebih sering menetap sepanjang tahun dan 33%
pasien memperlihatkan eosinofilia mukosa hidung.

FISIOLOGI

Fungsi hidung dan sinus paranasal yaitu menyaring, mengatur suhu, dan
melembabkan udara inspirasi. Juga mengatur resistensi jalan napas dan sensasi
penghidu. Lapisan mukosa mengandung banyak pembuluh darah dan kelenjar
sekretoris yang menyediakan area permukaan luas bagi hidung untuk beradaptasi
cepat terhadap perubahan lingkungan. Respon cepat berupa vasodilatasi akibat
pajanan udara dingin akan menimbulkan kongesti hidung dan rinorea, yang
bertujuan untuk menghangatkan dan melembabkan udara inspirasi. Nor-epinerin
dan neuropeptida Y merupakan neurotransmiter yang bertanggung jawab terhadap
regulasi tonus simpatis, yang menghasilkan kondisi dekongesti. Nervus otonom
parasimpatik bertangung jawab terhadap rinore dan kongesti. Asetilkolin, peptida
vasoaktif intestinal, neuropeptida , nitrit oksida, enkephalin, dan somatisasin
merupakan neurotransmiter parasimpatis utama. Nervus sensoris cabang
trigeminal V1 dan V2 juga bertugas mengatur pembuluh darah sebagai respon
cedera kimia dan mekanik. Sekresi hidung dan dilatasi pembuluh darah terjadi
akibat trauma mukosa, inhalasi iritan, degranulasi sel mast, substansi P dan
neurokinin A. Input nonsiseptif juga menginisiasi refleks sistemik seperti bersin,
dan refleks autonomik lainnya. Hidung juga memiliki fungsi protektif yaitu
mengecap dan menjebak partikel yang masuk ke nares dengan menggunakan silia
4
III.3-Rinitis non alergi

dan mukus. Silia menyaring partikel benda asing antara 3-35 mm/menit ke ostium
sinus nature. Pada mukosa hidung terdapat IgA sekretori protein dan enzim yang
membantu memproteksi dari infeksi. Gangguan dari proses-proses ini dapat
mengancam perubahan homeostasis hidung.

KLASIFIKASI

Klasifikasi rinitis non alergi jauh lebih kompleks, faktanya banyak pasien
yang menderita rinitis non alergi disebabkan oleh beberapa etiologi secara
bersamaan. Menentukan klasifikasi rinitis non alergi dilakukan setelah penyebab
alergi disingkirkan, dan sangat tergantung pada anamnesis yang baik dan
penyingkiran diagnosis lainnya yang potensial.

1. Rinitis Idiopatik

Rinitis idiopatik merupakan diagnosis esklusi dan merupakan 60 % dari


rinitis non alergi. Rinitis idiopatik dahulu dikenal dengan istilah rinitis non alergi
non infeksi, rinitis instrinsik, atau rinitis vasomotor. Pasien didiagnosis sebagai
rinitis non alergi setelah penyebab rinitis seperti alergi, obstruksi mekanik, dan
infeksi disingkirkan. Rinitis idiopatik ditegakkan setelah menyingkirkan rinitis
akibat kerja, iritan lingkungan, konsribusi hormon, eosinofilia hidung, efek obat,
perubahan akibat usia, dan gangguan autonom.

Rinitis idiopatik tidak mempunyai etiologi khusus, teori yang masih diteliti
saat ini yaitu status inflamasi kronis, ketidakseimbangan input saraf simpatis dan
parasimpatis pada mukosa hidung, mekanisme non adrenergik non kolinergik
dalam stimulasi mukosa hidung melalui peptida seperti substansi P dan peptida
vasoaktif intestinal yang bekerja pada serabut sensoris, regulasi sensoris susunan
saraf pusat, dan induksi nitrit oxide synthase.

Pasien dengan rinitis idiopatik mengeluhkan sumbatan hidung refrakter


dan rinorea yang dominan. Bersin dan gatal jarang dikeluhkan. Pasien dengan
gejala rinitis perlu ditanyakan tidak hanya seberapa lama gejala muncul, namun
juga seberapa jam perhari gejala timbul. Penting juga untuk mengklarifikasi
regimen pengobatan hidung pada masa lalu dan saat ini, frekuensi penggunaan
obat, pekerjaan, dan alasan penggunaan obat. Selain itu perlu dicari tahu riwayat
merokok dan pajanan iritan pada 6 bulan terakhir. Pada wanita ditanyakan juga
status kehamilan.

CT scan tidak diperlukan dalam mendiagnosis rinitis idiopatik. CT scan


sinus membantu mengevaluasi adanya sinusitis kronik atau massa pada hidung
5
III.3-Rinitis non alergi

yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Tes alergi dengan skin prick test atau
tes alergen spesifik serum penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
rinitis alergi. Tes provokasi ”cold dry air (CDA)” digunakan untuk membedakan
pasien rinitis idiopatik dan pasien kontrol. Tes provokasi pulmonal CDA
merupakan metode yang cocok digunakan pada pasien dengan asma dengan
obstruksi bronkus untuk melihat hiperaktivitas bronkus. Histamin dan
methacholine digunakan untuk mengetes reaktifitas hidung pada pasien dengan
rinitis.

Terapi rinitis idiopatik dapat berupa terapi farmakologi dan bedah. Terapi
dengan intranasal antihistamin merupakan lini pertama dalam pengobaan rinitis
idiopatik. Azelastine telah diizinkan penggunaannya oleh FDA sebagai obat rinitis
non alergi. Betametasone aqueous dan fluticasone aqueous juga diizinkan
penggunaannya oleh FDA sebagai obat rinitis non alergi. Kombinasi steroid
hidung dan antihistamin topikal belum menunjukan adanya hasil yang baik dalam
pengobatan rinitis idiopatik meskipun kombinasi obat ini dapat digunakan pada
pasien dengan rinitis alergi seasonal. Ipratropium bromida aqueous merupakan
obat yang paling efektif untuk rinore yang berhubungan dengan rinitis non alergi
dan pada pasien yang memiliki keluhan utama rinore. Irigasi salin dapat
ditoleransi dan baik digunakan untuk kasus yang disertai rinosinusitis.
Antihistamin sistemik diberikan pada pasien dengan gejala utama bersin dan
hidung gatal. Capsaicin merupakan terapi pilihan lain untuk pengobatan rinitis
idiopatik.

Terapi bedah untuk gejala rinitis refrakter termasuk metode reduksi konka
inferior dan neurektomi vidianus. Terdapat banyak pendekatan reduksi konka
yaitu injeksi steroid, elekrokauter, cryotheraphy, coblation, laser reduction,
microdebrider-assisted partial turbinectomy, complete inferior turbinectomy dan
simple out fracture.

2. Rinitis Nonalergi dengan Sindrom Eosinofilia (NARES)

Rinitis nonalergi dengan sindrom eosinofilia merupakan sindrom klinis


dengan gejala berupa bersin, hidung gatal, rinorea, namun tanpa adanya atopi
sistemik, dan ditemukannya eosinofilia pada kerokan hidung. Patofisiologinya
saat ini belum dapat dimengerti, diduga eosinofil dan aktivasi sel mast memainkan
peranan yang penting. Reaksi inflamasi pada tingkat seluler yang terjadi di
NARES menyerupai reaksi alergi sistemik pada pasien atopi. Hal ini didukung
oleh hal berikut:
1. antigen spesifik IgE terdeteksi pada mukosa hidung penderita rinitis non
alergi dan rinitis alergi
6
III.3-Rinitis non alergi

2. terlihat pola yang sama berupa infiltrasi sel (sel mast, eosinofil, sel positif
IgE, dan subpopulasi sel T) yang didominasi oleh Th-2 dan dimediasi oleh
IgE.
3. hasil positif pada provokasi hidung, tanpa adanya atopi sistemik.

Kortikosteroid intranasal merupakan terapi andalan untuk NARES dan


adanya eosinofil yang signifikan (nasal smear) merupakan pertanda baik respon
pengobatan. Steroid oral lebih efektif dari pada steroid topikal dalam mengurangi
gejala anosmia. Antihistamin pada suatu studi dikatakan lebih bermanfaat jika
dikombinasikan bersama steroid topikal. Demikian imunoterapi merupakan
pilihan efektif untuk pasien yang memiliki hasil positif pada nasal provocation
challenge test. Anti IgE dan IL-5 antibodi monoklonal merupakan terapi
potensial, namun masih dalam penelitian.

3. Rinitis Akibat Kerja (Rinitis Okupasi)

Rinitis akibat kerja (RAK) atau rinitis okupasi menurut European


Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) adalah penyakit
inflamasi pada hidung dengan gejala intermiten maupun persisten berupa
kongesti hidung, bersin, rinorea, dan gatal, dan/atau hambatan aliran udara hidung
dan/atau hipersekresi akibat penyebab dan kondisi tertentu di lingkungan kerja,
serta bukan diakibatkan oleh stimulus di luar tempat kerja.

Penyebab rinitis akibat kerja yaitu alergi, iritan, atau kombinasi keduanya.
Agen penyebab rinitis akibat kerja dibagi menjadi senyawa dengan berat molekul
tinggi dan senyawa dengan berat molekul rendah. Senyawa dengan berat molekul
tinggi seperti bulu binatang, latex, tepung, tungau debu, dan enzim biologis.
Senyawa dengan berat molekul rendah seperti garam platinum, asam anhidrat, dan
pewarna reaktif.

Diagnosis RAK ditegakan dengan adanya riwayat rinitis dan adanya


paparan dari lingkungan kerja. Riwayat rinitis didapatkan dari anamnesis,
anamnesis lingkungan kerja dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan hidung
didapatkan dari pemeriksaan rinoskopi anterior dan endoskopi hidung, namun
ditemukan adanya temuan konsisten iritasi mukosal nonspesifik atau inflamasi.

Terdapat dua cara menentukan penyebab dari pajanan kerja. Pertama dengan tes
imunologi menggunakan skin prick test atau serum alergi spesifik IgE. Test
imunologi ini secara adekuat dapat digunakan untuk menduga reaksi alergi akibat
senyawa dengan berat molekul tinggi. Saat ini belum terdapat pemeriksaan
terstandarisasi dan komersial yang dapat mendeteksi reaksi alergi akibat senyawa
7
III.3-Rinitis non alergi

dengan berat molekul rendah. Pemeriksaan standar untuk mendiagnosis RAK


adalah tes provokasi hidung. Gejala hidung dapat digunakan sebagai bukti yang
bisa diterima dalam mendiagnosis RAK, pengukuran peningkatan fisiologis
seperti rinomanometri, rinometri akustik, peak nasal inspiratory flow digunakan
sebagai objek pengukuran patensi hidung sebelum dan sesudah tes provokasi. Ada
tiga prinsip tatalaksana pasien dengan RAK, yaitu membatasi dampak penyakit
pada individu, membatasi dampak penyakit terhadap produktifitas kerja, dan
mencegah dampak lebih lanjut pada kesehatan pasien.

4. Rinitis Akibat Obat (Drug Induced Rhinitis)


Patofisiologi rinitis akibat obat dibagi menjadi tiga kategori yaitu
neurogenik, inflamatori dan idiopatik. Obat-obatan pemicu rinitis yang digunakan
secara luas antara lain antihipertensi, pengobatan disfungsi ereksi, dan beberapa
farmakoterapi psikiatri. Rinitis medikamentosa dipicu oleh penggunaan
dekongestan topikal yang berlebihan.
Penggunaan obat antihipertensi sistemik merupakan contoh obat yang
menyebabkan rinitis melalui mekanisme neurogenik. Obat ini mengganggu
keseimbangan regulasi saraf simpatis dan parasimpatis pada mukosa hidung
melalui dominasi saraf parasimpatis untuk menghambat norepinefrin secara
langsung maupun tidak langsung.
Tatalaksana rinitis karena neurogenik terdiri dari identifikasi obat
penyebab dan memberikan obat subtitusi alternatif jika memungkinkan.

Aspirin dan obat golongan NSAIDs dapat mengeksaserbasi rinitis


inflamatori dengan mekanisme mengubah metabolisme asam arakidonat. Pada
metabolisme asam arakidonat memicu produksi eicosanoid yang berlebih, yang
dinamai leukotrienes dan prostaglandins. Leukotrienes dan prostaglandins bekerja
pada reseptor sel target di bronkus dan otot polos vaskuler, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah dan menambah sekresi mukus pada jalan napas dan
usus, merekruit leukosit-leukosit seperti sel mast, eosinofil, dan netrofil untuk
datang ke lokasi inflamasi. Eosinofil melepaskan substrat toksik untuk reaksi
inflamasi dan siklus kerusakan jaringan lebih lanjut. Sel mast melepaskan
mediator seperti histamin dan tryptase, mensintesis prostaglandin dan leukotrines,
dan berperan dalam bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan kemotaksis lanjutan dari
eosinofil. Saat ini belum ada tes yang dapat digunakan secara in vivo untuk
mengetahui sensitifitas aspirin/NSAID. Tes uji aspirin merupakan gold standar
untuk mendeteksi penyakit respiratoti yang dieksaserbasi aspirin. Pada reaksi
pernapasan akut diobati dengan β-agonis , antihistamin sistemik, dan
kortikosteroid sistemik. Pasien diberikan epinefrin intamuskular jika terjadi
hipotensi, urtikaria yang merupakan pertanda antihistamin telah dilepaskan secara
sistemik. Pada reaksi yang terjadi pada okular atau hidung saja, pasien diberikan
8
III.3-Rinitis non alergi

antihistamin oral. Pasien kemudian diobservasi pada bebeberapa jam sebagaimana


aspirin dapat menginduksi reaksi pada beberapa jam. Pada terapi jangka panjang
digunakan modalitas mulidisiplin. Pengobatan dengan farmakologi yaitu
leukotriene inhibitors harian, steroid intranasal, dan salin dengan menghindari
penggunaan aspirin dan NSAID lainnya. Bedah endoskopi sinus diperlukan
sebagai terapi tambahan dan mengikuti prosedur bedah sinus. Desensitisasi aspirin
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit respirtori tereksaserbasi
aspirin.

Rinitis medikamentosa memiliki kategori spesial pada rinitis akibat obat.


Penggunaan vasokrontriktor topikal menginduksi toleransi yang cepat atau
tachyphylaxis dengan rebound rinitis yang berat. Tachypilaxys terjadi pada
beberapa mekanisme yaitu
1. Kelelahan noneprinefrin presinaps dari stimulasi yang terus menerus
2. Penurunan senseitifitas dan jumlah α1 reseptor pada posinaps
3.Perpanjangan β-2 adrenergik vasodilatasi yang lebih lama dari efek α adrenergik
4. Hipoksia jaringan karena vasokontriksi berkepanjangan dan peningkatan tonus
parasipatis.
5. Peningkatan tonus parasimpatis yang berakibat pada perubahan permeabilitas
vaskular dan menimbulkan edema.
Keluhan utamanya adalah kongesti hidung berat, biasanya terdapat
gangguan penghidu. Tidak terdapat gatal dan bersin. Pada pemeriksaan fisik,
terdapat mukosa hidung yang edema, berwarna merah tua (seperti livid), dan
kering. Secara histologi, terdapat perubahan yaitu hilangnya nasosiliari,
metaplasia sel skuamosa, penggundulan sel epitel, peningkatan ruang intraselular,
peningktan vaskularitas, fibrosis, edema sel epitel, hiperplasia sel goblet,
peningkatan ekspresi reseptor growth factor dan infiltrasi sel inflamatori.
Pengobatan rinitis medikamentosa adalah menghentikan agen obat yang
bersangkutan, penggantian dengan terapi obat pilihan lainnya, dan
mengidentifikasi kemungkinan kausa penyerta. Pasien diberikan penggantian obat
cuci hidung dan steroid topikal hidung. Pasien diminta menghentikan pengobatan
dekongestan topikal selama 1 hingga 2 bulan.

5. Rinitis Hormonal

Kongesti hidung tejadi secara sekunder dari peningkatan kadar estrogen


dan progresteron pada fenomena kehamilan. Sekitar sepertiga wanita hamil
memiliki gejala kongesti hidung seperti yang didefenisikan oleh Ellegard dan
Karlsson sebagai kongesti hidung yang menetap pada usia kehamilan 6 bulan atau
lebih tanpa tanda infeksi pernapasan dan alergi, menghilang pada 2 minggu
setelah melahirkan. Meskipun terdapat hubungan antara kehamilan dan rinitis
9
III.3-Rinitis non alergi

namun mekanismenya masih menjadi perdebatan. Hal ini muncul pada perubahan
siklus hormon kehamilan. Penurunan kadar estrogen dan progesteron setelah
melahirkan diketahui memiliki korelasi yang baik degan resolusi cepat dari gejala
rinitis setelah melahirkan.
Pengobatan difokuskan pada keseimbangan antara pereda gejala pada ibu
dan pertimbangan terhadap pertumbuhan janin. Irigasi salin merupakan metode
yang sangat efektif dan digunakan sebagai terapi lini pertama. Nasal cromolyn
efektif meredakan gejala rinore, bersin, dan gatal (pengobatan kategori B).
Antihistamin generasi pertama dan kedua termasuk kategori B, kecuali
fenofexadine dan desloratadine. Ipratropium bromida digunakan dalam kategori
B, namun secara tipikal lebih efektif mengatasi rinorea dan lebih sedikit
digunakan untuk mengatasi kongesti hidung. Pengobatan menggunakan
antihistamin intranasal, dekongestan oral, dan intranasal dekongestan merupakan
pengobatan lini ke dua dan digunakan jika gejalanya berat dan tidak responsif
menggunakan agen terapi lainnya. Penggunaan budesonide, fluticasone
propionate, dan leukotronin inhibitor (kategori B) telah terbukti dapat ditoleransi
dalam kehamilan dan tanpa menimbulkan malformasi kongenital pada
perkembangan fetus.
Hipotiroidisme jarang menimbulkan gejala rinitis. Jika sebelumnya belum
didiagnosis, sistem review memperoleh respon positif seperti kelelahan,
intoleransi terhadap dingin, peningkatan berat nonvolitional, rambut rapuh, dan
perubahan kulit, dimana akan mempercepat tes labolatorium inisial dengan
pengukuran kadar TSH dan T4.

6. Rinitis Autonomik (Rinitis Vasomotor)

Sistem saraf otonom diduga memiliki peranan dalam inflamasi mukosa


hidung dan rinitis. Beberapa studi menyatakan bahwa sistem saraf simpatis
hipoaktif lebih berperan daripada sistem parasimpatis hiperaktif.
Gejala pada rinitis vasomotor merupakan respon terhadap stimulus fisik, emosi,
dan gustatori. Simulus provokatif seperti udara dingin, perubahan kelembaban,
olahraga, gairah seksual, alkohol, stres emosional, makanan pedas, dan manipulasi
langsung terhadap mukosa hidung. Terdapat pula gejala kongesti hidung. Jarang
ditemukan gatal namun bersin merupakan mekanisme pertahanan otonom.
Pengobatan menggunakan ipratropium bromida topikal memberikan respon yang
baik. Selain itu kortikosteroid topikal intranasal dan antihistamin intranasal
terbukti juga efektif dalam mengobati rinitis vasomotor.

10
III.3-Rinitis non alergi

7. Rinitis Atrofi

Rinitis atrofi merupakan penyakit hidung akibat gangguan klirens


mukosilier. Gejala utamanya berupa obstruksi hidung berat walaupun pada
pemeriksaan rongga hidung sering ditemukan terbuka lebar. Temuan
karakteristiknya termasuk krusta, rongga hidung yang luas, atrofi mukosa, dan
kongesti hidung paradoksal.

Pada bentuk primer rinitis atrofi ditemukan obstruksi hidung kronik


dengan krusta hidung yang signifikan disertai kakoksmia konsisten dengan trias
yang disebutkan oleh Fraenkel (bau busuk, krusta dan atrofi struktur hidung).
Tidak terdapat riwayat penyakit sinonasal.
Penyebab sebagian besar kasus adalah pembedahan sinus yang agresif dengan
reseksi konka secara berlebihan. Penyebab lainnya yaitu penyakit granulamatosa
kronik seperti wegener granulomatosis, trauma nasal berat, riwayat radiasi pada
kepala dan infeksi seperti lepra,TB,sifilis atau rinoskeroma.

Sumbatan hidung yang tidak lazim pada rinitis atrofi belum dapat
dimengerti patofisiologinya. Beberapa teori yang ada menyatakan bahwa:
1. Konka inferior mengarahkan udara inspirasi. Atrofi pada bagian ini
menimbulkan gangguan aliran udara yang menyebabkan obstruksi
2. Konka yang atrofi memiliki sedikit area permukaan mukosa untuk
melembabkan dan mengatur suhu udara inspirasi
3. Terdapat kehilangan kemampuan sensoris penciuman termasuk persepsi udara
inspirasi.

Beberapa kofaktor lainnya yang diduga berperan dalam patofisiologi penyerta


rinitis atrofi adalah infeksi, kekurangan nutrisi, ketidakseimbangan hormon,
higienitas buruk, vaskulitis, proses autoimun, dan faktor herediter. Kuman yang
paling sering menyebabkan infeksi adalah Klebsiena ozaenae.

Pada pemeriksaan fisik, mukosa hidung terlihat pucat, mengkilat dan kering,
tipis dan hipertrofi. CT scan digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan
struktur tulang dimana menggambarkan kecekungan rongga hidung dengan
kehilangan struktur normal hidung.

Pada tes labolatorium awal dalam mendiagnosis rinitis atrofi meliputi hitung jenis
darah lengkap, HIV, kadar angiotensin converting enzyme, kadar kalsium,
antineuthrophil cytoplasmic antibodies (c-ANCA, p-ANCA,myeloperoxidase, dan
proteinase). Kultur hidung dapat membantu mendiagnosis dan pemberian

11
III.3-Rinitis non alergi

antibiotik sensitif namun tidak dibutuhkan dalam mendiagnosis rinitis atrofi.


Biopsi hidung digunakan pada pasien dengan suspek rinitis atrofi granulomatosa.

Terapi andalan pada rinitis atrofi adalah dengan NaCl dan debridemen.
Pelembab menggunakan bahan non petrolium digunakan 2 kali sehari di antara
irigasi hidung. Solusio antibiotik topikal ditambahkan pada larutan NaCl selama
2-4 minggu untuk mengeradiksi infeksi kronik dan krusta yang berbau busuk.
Antibiotik topikal yang digunakan adalah gentamisin (80-160 mg/1000ml) atau
mupirocin 2x/hari. Antibiotilk golongan kuinolon atau tetrasiklin oral sebagai
terapi tambahan.
Terapi bedah ditujukan untuk memperbaiki kelembaban hidung dan/ atau
resistensi hidung.

8. Penyakit sistemik penyebab Rinitis nonalergi

Penyakit autoimun dan granulomatosa seperti wegener granulomatosis dan


sarcoidosis adalah penyakit sistemik tersering penyebab rinitis. Pemeriksaan fisik
tidak menunjukan hasil yang spesifik, namun mungkin ditemukan gejala pada
paru, muskuloskeletal, dimana dapat penyakit dasarnya. Pada anak, penyebab
rinitis refraktori terseringnya adalah Extraesophageal reflux (EER).

Klasifikasi dan Penyakit sistemik penyebab rinitis


Inflamasi atau kondisi imunologi
 Wegener granulomatosis
 Sarcoidosis
 SLE/Systemic Lupus Eritematous
 Churg-Strauss
 Relapsing polychondritis
 Amyloidosis
 Imunodefisiensi (contoh defisiensi IgA selektif)
 NK/T-cel lymphoma
 Chronic lymphocytic leukimia

Struktural / kondisi mekanis


 Choanal atresia
 Deviasi septum
 Pembesaran adenoid
 Benda asing
 Polip hidung
12
III.3-Rinitis non alergi

 Tumor hidung
 Diskinesia silier
 CSF leak
Lainnya
 Extraesophageal reflux (EER)
 Penyakit Parkinson

9. Penuaan dan Rinitis (elderly rhinitis)

Setelah memasuki kehidupan dekade ke enam atau tujuh, terjadi


perubahan mukosa hidung, melemahnya struktur kartilago hidung, dan
polifarmasi dapat memicu rinitis senilis ke dalam suatu kondisi yang dikenal
sebagai rinitis geriatri.
Pada proses penuaan, mukosa hidung menjadi lebih atrofi dengan
kehilangan kelenjar submukus serosa dan sel goblet dan penurunan aliran
mikrovaskuler. Kelemahan kartilago penyokong hidung dengan kehilangan
kolagen akibat penuaan dapat meningkatkan gejala aliran sumbatan napas pada
hidung. Pada usia tua, penggunaan obat jangka panjang seperti diuretik, beta
bloker, anxyolytic, dan obat antivertigo yang diketahui memiliki efek samping
kekeringan pada hidung dan kongesti.
Pasien mengalami pengentalan sekret hidung, krusta, posnasal drip, dahak,
berdehem yang berlebihan, kongesti hidung dan penurunan indra penciuman serta
pengecapan. Selain itu pasien juga merasakan adanya rinore cair yang dipicu oleh
makanan, perubahan temperatur, dan kegiatan olahraga yang lebih mengarah ke
rinitis vasomotor.
Pengobatan rinitis geriatri memfokuskan dua hal yaitu meningkatkan
kelembaban hidung dan pembersihan mukosilier. Terapi andalannya adalah
semprot hidung dan irigasi. Penambahan mukolitik seperti guaifenesin dapat
melancarkan sekresi cairan hidung. Terdapat perdebatan mengenai penggunaan
steroid hidung, pada sebagian mengatakan penggunaannya dapat menimbulkan
kekeringan pada hidung namun pada sebagian pasien kombinasi salin dan steroid
hidung topikal menunjukan hasil yang efektif. Ipratropium semprot hidung
memicu kekeringan pada mukosa hidung tetapi beberapa pasien efektif dengan
kombinasi irigasi cairan NaCl dan steroid topikal. Penggunaan steroid topikal
dihindari pada pasien dengan glaukoma. Obat yang perlu dihindari pada populasi
ini adalah antihistamin dan dekongestan. Antihistamin, khususnya generasi
pertama dapat menimbulkan kekeringan mukosa dan menimbulkan kantuk
dibandingkan pengobatan lainnya. Dekongestan topikal dan sistemik tidak
dipergunakan jangka panjang pada pasien geriatri karena dapat menimbulkan

13
III.3-Rinitis non alergi

kekeringan pada hidung dan iritasi, dan juga dapat memperburuk penyakit
penyerta sepeerti hipertensi dan penyakit jantung.

14

Anda mungkin juga menyukai