Buku Acuan Modul Alergi - NAR
Buku Acuan Modul Alergi - NAR
BUKU ACUAN
ALERGI IMUNOLOGI
MODUL III.3
RINITIS NON ALERGI
EDISI II
0
III.3-Rinitis non alergi
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
1
III.3-Rinitis non alergi
DAFTAR ISI
2
III.3-Rinitis non alergi
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
B. KOMPETENSI
Keterampilan
C. REFERENSI
1. Chan TV. Non allergic rhinitis. In: Johnson JT, Rosen CA editors. Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5th edition, Volume one.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2014, p. 469-488.
2. Bousquet J, Van Cauwenberge P, Khaltaev N. WHO. Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma. Journal of Allergy Clinical Immunology
2010;108(5 Suppl): S147-334.
3
III.3-Rinitis non alergi
D. GAMBARAN UMUM
Secara umum rinitis dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu alergi, non
alergi, dan infeksi. Rinitis non alergi dapat berupa rinitis idiopatik, rinitis non
alergi dengan sindrom eosinofilia (NARES), rinitis autonomik (vasomotor), rinitis
akibat kerja, rinitis akibat obat, rinitis hormonal, rinitis atrofi, dan rinitis yang
disebabkan penyakit sistemik. Secara umum rinitis non alergi sering ditemukan
pada usia di atas 20 tahun dan pada wanita. Pasien cederung memiliki sensitifitas
yang tinggi terhadap iritan. Gejala lebih sering menetap sepanjang tahun dan 33%
pasien memperlihatkan eosinofilia mukosa hidung.
FISIOLOGI
Fungsi hidung dan sinus paranasal yaitu menyaring, mengatur suhu, dan
melembabkan udara inspirasi. Juga mengatur resistensi jalan napas dan sensasi
penghidu. Lapisan mukosa mengandung banyak pembuluh darah dan kelenjar
sekretoris yang menyediakan area permukaan luas bagi hidung untuk beradaptasi
cepat terhadap perubahan lingkungan. Respon cepat berupa vasodilatasi akibat
pajanan udara dingin akan menimbulkan kongesti hidung dan rinorea, yang
bertujuan untuk menghangatkan dan melembabkan udara inspirasi. Nor-epinerin
dan neuropeptida Y merupakan neurotransmiter yang bertanggung jawab terhadap
regulasi tonus simpatis, yang menghasilkan kondisi dekongesti. Nervus otonom
parasimpatik bertangung jawab terhadap rinore dan kongesti. Asetilkolin, peptida
vasoaktif intestinal, neuropeptida , nitrit oksida, enkephalin, dan somatisasin
merupakan neurotransmiter parasimpatis utama. Nervus sensoris cabang
trigeminal V1 dan V2 juga bertugas mengatur pembuluh darah sebagai respon
cedera kimia dan mekanik. Sekresi hidung dan dilatasi pembuluh darah terjadi
akibat trauma mukosa, inhalasi iritan, degranulasi sel mast, substansi P dan
neurokinin A. Input nonsiseptif juga menginisiasi refleks sistemik seperti bersin,
dan refleks autonomik lainnya. Hidung juga memiliki fungsi protektif yaitu
mengecap dan menjebak partikel yang masuk ke nares dengan menggunakan silia
4
III.3-Rinitis non alergi
dan mukus. Silia menyaring partikel benda asing antara 3-35 mm/menit ke ostium
sinus nature. Pada mukosa hidung terdapat IgA sekretori protein dan enzim yang
membantu memproteksi dari infeksi. Gangguan dari proses-proses ini dapat
mengancam perubahan homeostasis hidung.
KLASIFIKASI
Klasifikasi rinitis non alergi jauh lebih kompleks, faktanya banyak pasien
yang menderita rinitis non alergi disebabkan oleh beberapa etiologi secara
bersamaan. Menentukan klasifikasi rinitis non alergi dilakukan setelah penyebab
alergi disingkirkan, dan sangat tergantung pada anamnesis yang baik dan
penyingkiran diagnosis lainnya yang potensial.
1. Rinitis Idiopatik
Rinitis idiopatik tidak mempunyai etiologi khusus, teori yang masih diteliti
saat ini yaitu status inflamasi kronis, ketidakseimbangan input saraf simpatis dan
parasimpatis pada mukosa hidung, mekanisme non adrenergik non kolinergik
dalam stimulasi mukosa hidung melalui peptida seperti substansi P dan peptida
vasoaktif intestinal yang bekerja pada serabut sensoris, regulasi sensoris susunan
saraf pusat, dan induksi nitrit oxide synthase.
yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Tes alergi dengan skin prick test atau
tes alergen spesifik serum penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
rinitis alergi. Tes provokasi ”cold dry air (CDA)” digunakan untuk membedakan
pasien rinitis idiopatik dan pasien kontrol. Tes provokasi pulmonal CDA
merupakan metode yang cocok digunakan pada pasien dengan asma dengan
obstruksi bronkus untuk melihat hiperaktivitas bronkus. Histamin dan
methacholine digunakan untuk mengetes reaktifitas hidung pada pasien dengan
rinitis.
Terapi rinitis idiopatik dapat berupa terapi farmakologi dan bedah. Terapi
dengan intranasal antihistamin merupakan lini pertama dalam pengobaan rinitis
idiopatik. Azelastine telah diizinkan penggunaannya oleh FDA sebagai obat rinitis
non alergi. Betametasone aqueous dan fluticasone aqueous juga diizinkan
penggunaannya oleh FDA sebagai obat rinitis non alergi. Kombinasi steroid
hidung dan antihistamin topikal belum menunjukan adanya hasil yang baik dalam
pengobatan rinitis idiopatik meskipun kombinasi obat ini dapat digunakan pada
pasien dengan rinitis alergi seasonal. Ipratropium bromida aqueous merupakan
obat yang paling efektif untuk rinore yang berhubungan dengan rinitis non alergi
dan pada pasien yang memiliki keluhan utama rinore. Irigasi salin dapat
ditoleransi dan baik digunakan untuk kasus yang disertai rinosinusitis.
Antihistamin sistemik diberikan pada pasien dengan gejala utama bersin dan
hidung gatal. Capsaicin merupakan terapi pilihan lain untuk pengobatan rinitis
idiopatik.
Terapi bedah untuk gejala rinitis refrakter termasuk metode reduksi konka
inferior dan neurektomi vidianus. Terdapat banyak pendekatan reduksi konka
yaitu injeksi steroid, elekrokauter, cryotheraphy, coblation, laser reduction,
microdebrider-assisted partial turbinectomy, complete inferior turbinectomy dan
simple out fracture.
2. terlihat pola yang sama berupa infiltrasi sel (sel mast, eosinofil, sel positif
IgE, dan subpopulasi sel T) yang didominasi oleh Th-2 dan dimediasi oleh
IgE.
3. hasil positif pada provokasi hidung, tanpa adanya atopi sistemik.
Penyebab rinitis akibat kerja yaitu alergi, iritan, atau kombinasi keduanya.
Agen penyebab rinitis akibat kerja dibagi menjadi senyawa dengan berat molekul
tinggi dan senyawa dengan berat molekul rendah. Senyawa dengan berat molekul
tinggi seperti bulu binatang, latex, tepung, tungau debu, dan enzim biologis.
Senyawa dengan berat molekul rendah seperti garam platinum, asam anhidrat, dan
pewarna reaktif.
Terdapat dua cara menentukan penyebab dari pajanan kerja. Pertama dengan tes
imunologi menggunakan skin prick test atau serum alergi spesifik IgE. Test
imunologi ini secara adekuat dapat digunakan untuk menduga reaksi alergi akibat
senyawa dengan berat molekul tinggi. Saat ini belum terdapat pemeriksaan
terstandarisasi dan komersial yang dapat mendeteksi reaksi alergi akibat senyawa
7
III.3-Rinitis non alergi
5. Rinitis Hormonal
namun mekanismenya masih menjadi perdebatan. Hal ini muncul pada perubahan
siklus hormon kehamilan. Penurunan kadar estrogen dan progesteron setelah
melahirkan diketahui memiliki korelasi yang baik degan resolusi cepat dari gejala
rinitis setelah melahirkan.
Pengobatan difokuskan pada keseimbangan antara pereda gejala pada ibu
dan pertimbangan terhadap pertumbuhan janin. Irigasi salin merupakan metode
yang sangat efektif dan digunakan sebagai terapi lini pertama. Nasal cromolyn
efektif meredakan gejala rinore, bersin, dan gatal (pengobatan kategori B).
Antihistamin generasi pertama dan kedua termasuk kategori B, kecuali
fenofexadine dan desloratadine. Ipratropium bromida digunakan dalam kategori
B, namun secara tipikal lebih efektif mengatasi rinorea dan lebih sedikit
digunakan untuk mengatasi kongesti hidung. Pengobatan menggunakan
antihistamin intranasal, dekongestan oral, dan intranasal dekongestan merupakan
pengobatan lini ke dua dan digunakan jika gejalanya berat dan tidak responsif
menggunakan agen terapi lainnya. Penggunaan budesonide, fluticasone
propionate, dan leukotronin inhibitor (kategori B) telah terbukti dapat ditoleransi
dalam kehamilan dan tanpa menimbulkan malformasi kongenital pada
perkembangan fetus.
Hipotiroidisme jarang menimbulkan gejala rinitis. Jika sebelumnya belum
didiagnosis, sistem review memperoleh respon positif seperti kelelahan,
intoleransi terhadap dingin, peningkatan berat nonvolitional, rambut rapuh, dan
perubahan kulit, dimana akan mempercepat tes labolatorium inisial dengan
pengukuran kadar TSH dan T4.
10
III.3-Rinitis non alergi
7. Rinitis Atrofi
Sumbatan hidung yang tidak lazim pada rinitis atrofi belum dapat
dimengerti patofisiologinya. Beberapa teori yang ada menyatakan bahwa:
1. Konka inferior mengarahkan udara inspirasi. Atrofi pada bagian ini
menimbulkan gangguan aliran udara yang menyebabkan obstruksi
2. Konka yang atrofi memiliki sedikit area permukaan mukosa untuk
melembabkan dan mengatur suhu udara inspirasi
3. Terdapat kehilangan kemampuan sensoris penciuman termasuk persepsi udara
inspirasi.
Pada pemeriksaan fisik, mukosa hidung terlihat pucat, mengkilat dan kering,
tipis dan hipertrofi. CT scan digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan
struktur tulang dimana menggambarkan kecekungan rongga hidung dengan
kehilangan struktur normal hidung.
Pada tes labolatorium awal dalam mendiagnosis rinitis atrofi meliputi hitung jenis
darah lengkap, HIV, kadar angiotensin converting enzyme, kadar kalsium,
antineuthrophil cytoplasmic antibodies (c-ANCA, p-ANCA,myeloperoxidase, dan
proteinase). Kultur hidung dapat membantu mendiagnosis dan pemberian
11
III.3-Rinitis non alergi
Terapi andalan pada rinitis atrofi adalah dengan NaCl dan debridemen.
Pelembab menggunakan bahan non petrolium digunakan 2 kali sehari di antara
irigasi hidung. Solusio antibiotik topikal ditambahkan pada larutan NaCl selama
2-4 minggu untuk mengeradiksi infeksi kronik dan krusta yang berbau busuk.
Antibiotik topikal yang digunakan adalah gentamisin (80-160 mg/1000ml) atau
mupirocin 2x/hari. Antibiotilk golongan kuinolon atau tetrasiklin oral sebagai
terapi tambahan.
Terapi bedah ditujukan untuk memperbaiki kelembaban hidung dan/ atau
resistensi hidung.
Tumor hidung
Diskinesia silier
CSF leak
Lainnya
Extraesophageal reflux (EER)
Penyakit Parkinson
13
III.3-Rinitis non alergi
kekeringan pada hidung dan iritasi, dan juga dapat memperburuk penyakit
penyerta sepeerti hipertensi dan penyakit jantung.
14