STEP 1
1. Karies :
- pemburukan pada gigi yang menyebabkan gigi berlubang (sgd 1)
- Karies dentis merupakan penyakit destruktif pada jringan keras gigi yang terjadi
akibat infeksi oleh Streptococcus mutans dan bakteri lainnya. (sgd 2, harrison, IPD)
STEP 6
CAVUM ORIS
Cavum oris (rongga mukit) merupakan gerbang masuk ke sistem gastrointestinal. Cavum
dibagi dalam cavum oris propium dan vestibulum oris.
1. Atap cavum oris propium dibentuk oleh palatum yang terdiri dari palatum durum dan
palatum molle.
2. Batas anterior dan lateral adalah permukaan lingual arcud dentalis rahang atas dan bawah.
3. Batas posterior cavum oris adalah palatum molle , arcus palatoglossus Dan dorsum linguae.
Cavum oris dipisahkan dan pharynx oleh isthmus faucium.
4. Dasar cavum oris propium dibentuk oleh m. digastrius venter anterior, m. mylohyoideus
dan m. geniohyoldeus.
Platinum durum
Palatum durum dibentuk oleh processus palatinus ossis maxilaris dan pars horisontalis lamina
horizontalis ossis palatini, yang dilapisi oleh tunica mucosa. Processus maxilaris membentuk
2/3 depan palatum durum, sementara pars horisontalis lamina horizontalis ossis palatini
membentuk 1/3 permukaan palatum durum. Di belakang gigi 1I1 rahang atas akan dijumpai
suatu tonjolan tepat di depan foramen incivum suatu tonjolan yang disebut papilla incisive.
Papilla ini merupakan tempat untuk menganestesi n. nasopalatinus. Ke arah laterocaudal dari
papilia inciciva akan dijumpai 6 atau lebih crista transversalis yang sejajar yang disebut rugae
palatina. Rugae ini membantu dalam mengunyah makanan . Dibelakang rugae akan dijumpai
raphe palati. Selain bangunan tersebut diatas di dalam palatum durum terdapat 3 foramen
yang membuka ke permukaan platinum durum yaitu:
1. Foramen incisivum yang membuka ke distal diantara gigi 1 1. Foramen ini merupakan
tempat keluarnya arteri adan n. nasopalatinus
2. Foramen palatinum majus yang membuka pada medial pada apek gigi 8 8. Foramen ini
merupakan tempat keluarnya arteri dan n. palatinus mayor.
Palatum molle
Palatum molle merupakan suatu bangunan dibelakang palatum durum penyusun 1/3
palatuma, yang dapat bergetar. Bangunan ini tidak memiliki rangka tulang, dan berakhir di
posteior sebagai tepi bebas dengan proyeksi tonjolan yang disebut uvula. . Palatum molle
Universitas Gadjah Mada 3
dibentuk oleh aponeurosis palatinus, m. palatoglcssus dan m. uvulae, yang dilapisi oleh ca
mucosa. Aponeurosis palatinus ialah sebetulnya tendo m. tensor veli palatini yang melebar,
melekat pada margo dorsalis palatum durum. Dilinea media ia menjadi dua lembar.
Palatum molle ditopang dibagian posterior oleh dua buah arcus yakni, arcus
palatoglossus dan arcus palatopharyngeus. Arcus palatoglossus meluas dari palatum
molle ke bawah permukaan lateral lingua. Arcus ini terletak lebih anterior dari arcus
palatopharyngeus.Arcus palaopnaryngeus merupakan tepi belakang palatum molle
yang berjalan ke lateral untuk bergabung dengan dinding lateral pharynx.
Vestibulurn oris
Vestibulum oris ialah ruangan yang dibatasi disebelah luar oleh bibir dan pipi, sementara
sebelah dalam oleh procesus alveoIaris dan arcus dentalis. Bila gigi - gigi lengkap, antara
vestibulum oris dan cavum oris propiun hanya ada hubungan distal (belakang) di dens molaris
ketiga. Pipi dan buccal dibentuk oleh m. buccinator.
Bibir atau labium dibentuk oleh m. orbicularis oris, m. triangularis, m. incicivus labli superioris,
m. quadratus labii inferioris, m. incisivus labli superioris, m. quadratus labii superioris,
m,caninus, m. zygomaticus dan m. risorius. Labium ada dua yaitu labium superior dan inferior,
keduanya membatasi rima oris. Pada labium superior dan interior di linea mediana terdapat
alur dari basal ke oral yang disebut phitirum. Masing - masing labium dihubungkan dengan
gingiva di linea mediana dengan lipatan tunica mucosa disebut frenulum labiorum otis. Bila
labium superior terdapat celah disebut Iabioschisis (sumbing). Bibir dan pipi disebelah dalam
dilapisi oleh tunica mucosa.
Linguae
M. transversus berjalan transversal diantara atas dan bawah mm. longitudinalis. Bila
berkerut, lidah menjadi sempit dan memanjang.
M. verticalis berjalan vertikal disebelah lateral dan diantara mm. Longitudinalis. Bila berkerut
lidah menjadi besar dan lebar.
Otot ekstrinsik adalah otot – otot yang menghubungkan lidah dengan tulang – tulang
disekitarnya dan dengan palatum molle, terdiri dari m. genioglossus, m. hyoglossus, m
styloglossus dan m. palatoglossus. M. genioglossus berorigo dispina mentalis dan insersinya
dilidah, dimana serabutnya menyebar ke arah occipital. Muskulus ini berfungsi menarik lidah
keluar M. hyoglossus berorigo di corpus ossis hyoidei dengan insersinya di lidah. Serabutnya
berjalan dari dorsokaudal ke ventrokranial. Muskulus ini berfungsi menarik lidah ke bawah
dan ke belakang. M. styloglossus origonya di processus styloideus sementara insersinya pada
tepi lidah serabut — serabutnya pergi ke arah frontal. Fungsi muskulus ini untuk menarik lidah
ke belakang dan ke atas. M. palatoglossus berfungsi untuk menarik lidah ke belakang.
Pada lidah dapat dibagi menjadi apex linguae, dorsum linguae, dan radix linguae. Dorsum
linguae dibagi menjadi sulcus terminalis yang berbentuk huruf V, terbuka ke frontal dalam
bagian anterior dan bagian posterior. Di puncak huruf V terdapat foramen cecum ialah sisa
ductus thyreoglossus. Arcus palatoglossus membagi lidah dalam pars pharyngea yang ada
pharynx, dan pars oralis yang ada di dalam cavum oris propium. Di linea mediana facies Iidah
terdapat frenulum linguae. Frenulum adalah lipatan selaput lendir yang menghubungkan
facies inferior linguae dengan dasar mulut. Disebelah lateral frenulum di bawah selaput lendir
kelihatan v. profunda linguae dan disebelah Iateralnya lagi terdapat plica fembriata. Plica
fembriata ialah lipatan selaput lendir yang tepinya berumbai — umbai tempat muara gl.
Lingualis inferior. Pada dorsum linguae terdapat tonjolan — tonjolan yang disebut papillae,
yang dapat dibedakan
- papilla simplex, yang dibedakan menjadi papilla conica berbentuk konus dan papilta
lenticularis yang berbentuk lensa
- papilla foliata berbentuk lembaran atau daun, terletak berderet — deret ditepi lidah dimuka
linea terminalis.
- papilla vallata yang berbentuk tonjolan dikehlingi oleh sulkus dan diluarnya oleh krista.
Papifla ini terletak berderet — deret dimuka linea terminalis.
GLANDULA SALI VALES
Glandula salivales terdiri dari gl. parotis , gl. submandibularis , gl. lingualis , gI. palatina
gl. buccalis, gI. molaris dan gl. lablalis.
Glandula parotidea
Pars secretonia yang menghasilkan getah bersifat serous tersusun sebagai berikut
mempunyai rongga yang sempit, sel-sel epithelium berbentuk piramidal, sitoplasma bersifat
granular, ada canaliculi intracellular dan canaliculi intercellular.
Pars secretonia dikelilingi oleh sel-sel yang mempunyai lanjutan seperti tangan dengan jari-
jarinya sedang memegang sebuah bola. Sel-sel ini dapat mengkerut sehingga pars secretonia
dapat terpijat. Ia disebut sel-sel myoepithelial atau sel keranjang.
Pars secretonia yang menghasilkan getah bersifat mucus mempunyai sel-sel epithehum
dengan sifat sebagai berikut sitoplasma bersifat basophil, sitoplasma mengandung granula
kasar, sitoplasma menarik zat pulas untuk mucus.
Pada pars secretonia yang menghasilkan getah bersifat tercampur, pada ujung pars secretoria
yang menghasilkan getah yang bersifat mukus ada selapis sel-sel dengan sitoplasma bersifat
dophil. Pada potongan, lapisan ini kelihatan sebagai bulan sabit.
Glandula parotis terletak di fossa retromandibularis kaudal dan auricula. Ia meluas ke frontal
di lateral m. masseter. Ductus excretorius berjalan ke frontal di sebelah lateral m. masseter
saat di tepi frontal musculus tersebut membelok ke medial dan menembus m. buccinator. Ia
bermuara ke dalam vestibulum oris setinggi dens molaris kedua atas.
Gladula submandibularis
Terletak di dalam trigonum submandibulare, dibungkus oleh dua lembar fascia colli
superficialis. Ductus excretonius membuat suatu lipatan pada selaput lendir dasar mulut
disebut plica sublingualis.
Glandula sublingualis
Dikenal lebih dari satu gI. sublingualis yaitu glandulae sublinguales minores ( 50 buah) dan
glandula sublingualis major.
Glandula sublinguales minores, terletak lateral ductus submandibularis dan bermuara
masing-masing dengan ductus excretorius yang pender, pada plica sublingualis. Glandula
sublingualis major, terletak pada ujung tronta ductus submandibularis dan bermuara dengan
ductus sublingualis major pada caruncula sublingualis.
Glandula lingualis
Ada dua macam gl. lingualis yaitu glandula lingualis anterior dan glandulae linguales
posteriores.
Glandula lingualis anterior, terdapat cranial dan dataran kaudal apex linguae, bermuara pada
carunculae yang terletak medial plica fimbnata. Glandulae linguales posteriors, terletak
kaudal tunika mucosa sepanjang sulcus terminalis. Ada dua macam gl. linguales posteniorer
yaitu glandulae mucosae dan glandulae serosae. Mereka kebanyakan bermuara ke dalam
sulcus yang mengelilingi papillae vallatae.
Glandula palatina
Terletak didalam lamina propia dan tunica mucosa palatum.
Glandula buccalis
Terletak di dalam lamina propia dan tunica mucosa pipi, frontal muara ductus parotideus.
GlanduIa molaris
Terletak lateral m. buccinator, tepat oksipital muara ductus parotideus. Ductus excretorius
menembus m. buccinator dan bermuara di vestibulum onis.
Glandula labialis
Terletak dl dalam lamlna propla dan tunlca mucosa bibir.
FISIOLOGI MULUT
Dibagi menjadi mekanisme mengunyah dan menelan :
Mengunyah
adanya bolus didalam rongga mulut pd awalnyamenimbulkan penghambatan reflek gerakan
mengunyahpada otot, yang menyebabkan rahang bawah turun kebawah penurunan ini
menimbulkan reflek regang pada otot – otot rahang bawah yang menimbulkan kontraksi
rebound (respon berlawanan pada penghentian suaturangsangan) keadaan ini secara
otomatis mengangkatrahang bwh yang menimbulkan pengatupan gigi,tetapijuga menekan
bolus melawan dinding mulut,ygmenghambat otot rahang bwh sekali
lagi,menyebabkanrahang bwh turun dan kembali rebound pd saat yglain,dan ini berulang –
ulang terus
Liur yang diskresikan oleh kelenjar liur, terdiri atassekitar 99,5% air. Liur mengandung suatu
glikoprotein,musin, yang bekerja sebagai pelumas pada waktu mengunyah dan menelan
makanan. Menambah air pada makanan keringakan memberi media pada tempat melarutnya
molekul makanandan tempat hidrolase dapat memulai pencernaan. Gerakan mengunyah
(mastikasi) berfungsi memecah makanan sehinggaterjadi peningkatan kelarutan dan
peluasan daerahperluasan bagi kerja enzim. Liur juga merupakan saranauntuk
mengekskresikan obat-obat tertentu (misal: etanolserta morfin), ion-ion organik seperti k+,
ca2+, hco3-, tiosianat (scn), iodium, dan imunoglobin (iga). alfa-amylase liur mampu membuat
saripati dan glikogendihidrolisis menjadi maltosa dan oligosakarida laindengan menyerang
ikatan glikosidat- alfa.
Menelan
Dibagi menjadi 3tahap :
- tahap volunter
- tahap faringeal
- tahap esofageal
Tahap volunter : apabila makanan sudah siap utkditelan maka scra sadar makanan akan
ditekan /digulung kearah posterior ke dalam faring olehtekanan lidah ke atas dan ke belakang
terhadappalatum dan berlangsung scara otomatis.Tahap faringeal : sewaktu bolus memasuki
bagianposterior mlut dan faring, bolus merangsang daerah reseptor menelan dislrh pintu
faring.khususnya padatiang2 tonsil,dan impuls2 dari sini berjalankebatang otak untuk
mencetuskan serangkaian konstraksi otot faringeal scr otomatis sbb:a.
2. Apa hubungannya batuk pilek 2 minggu yang lalu dan terapi antibiotik dengan
sariawan yang sering kambuh?
3. Mengapa pada pasien terjadi perburukan gigi dan karies 51, 52, 61, 62, 71, 81 dan
halitosis ?
Jawab :
Karies dentis :
merupakan penyakit destruktif pada jringan keras gigi yang terjadi akibat infeksi oleh
Streptococcus mutans dan bakteri lainnya.
Buku IPD Harrison.
Halitosis :
Saliva (air liur) manusia terdiri atas air, elektrolit,mukus, antibakteri dan berbagai macam
enzim. Enzim yangterdapat dalam air liur membantu menghancurkan makanan menjadi
molekul sebagai bagian dari proses digesti. Tidakhanya berfungsi untuk membantu dalam
pengunyahan danpencernaan, saliva juga melindungi gigi dengan membantumencegah
karies, mengatur keasaman rongga mulut, danmencegah mikroorganisme berkembang tak
terkendali.
Produksi saliva diestimasi mendekati 1 liter setiap haridalam keadaan tidak distimulasi dan
kecepatan aliran salivaberfluktuasi sebanyak 50% sesuai dengan ritme harian.Saliva tersebut
disekresi oleh tiga kelenjar saliva mayoryang berada di sekitar mulut dan tenggorokan.
Kelenjar tersebut yaitu : (1) kelenjar parotid, (2) kelenjarsubmandibular, dan (3) kelanjar
sublingual. Di mulut kitajuga terdapat kelenjar saliva kecil (kelenjar saliva minor)yang tersebar
di bibir, bagian dalam pipi (mukosa bukal),langit-langit (palatum) yang jumlahnya mencapai
600 padakeadaan normal.
Jumlah sekresi dipengaruhi oleh saraf simpatis danparasimpatis dan hal-hal yang
merangsang kerja kedua saraftersebut. Bila dalam keadaan tidak distimulasi
secarakeseluruhan saliva yang dikeluarkan sebanyak 0,33sampai 0,65 mL/menit. Produksi
saliva ini dapat ditingkatkan mencapai 1,7 mL/menit dengan carastimulasi. Tiga jenis stimulasi
yang dapat diberikan untukmerangsang pengeluaran saliva adalah stimulasi ektraoral dengan
cara (1) stimulasi kimia dengan mencium(membau), (2) stimulasi psikis dengan melihat
danmemikirkan makanan atau produk makanan lain, (3) danstimulasi mekanik dengan
mengunyah benda yang tidak larutseperti parafin (permen karet) dan
stimulasigustatory seperti sukrosa, sodium chlorida dan citric acid. Produksi saliva yang
dirangsang dengan cara mengunyah akanberbeda tergantung dari banyaknya gerakan
mengunyah yangdilakukan.
Dari paparan sebelumnya dapat dideduksi bahwa air liur atau saliva memegang peranan
penting terhadap terjadinya baumulut. Kondisi yang disepakati sebagai penyebab
terjadinyabau mulut adalah berkurangnya air liur di dalam ronggamulut. Jika air liur dalam
rongga mulut berkurang, secaraotomatis proses pembersihan dalam mulut pun akan
berkurang.Dengan demikian, plak pada permukaan gigi pun akan terusberakumulasi dan
bakteri yang terdapat di dalamnya dapatmenyebabkan bau mulut yang tidak sedap.
Berkurangnya saliva ini dalam rongga mulut dapat memilikidua makna, yaitu; produksi saliva
oleh kelenjar liur memangberkurang sehingga aliran saliva ke dalam rongga mulutmenjadi
berkurang atau dapat juga terjadi kondisi dimanaproduksi saliva oleh kelenjar saliva tetap
normal, tetapialiran saliva ke dalam rongga mulut berkurang. Kondisiberkurangnya produksi
saliva oleh kelenjar saliva sehinggamenyebabkan berkurangnya aliran saliva ke dalam
ronggamulut biasanya disebabkan oleh faktor penyakit (aplasia,sialolitiasis, dan lain-lain),
terapi radiasi pada leherdan kepala, dan usia lanjut. Sedangkan kondisi berkurangnyaaliran
saliva ke dalam rongga mulut dapat disebabkan olehpenggunaan obat-obatan tertentu
(atropin, belladona,efidrin), pemakaian gigi tiruan lepasan, merokok, danpuasa.
4. Apa hubungan dari ASI tidak eksklusif, tidak suka makan sayuran, dan kebersihan
dengan penyakit di skenario?
Jawab :
- ASI :
Patofisiologi
Pada awal lesi terdapat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh kerusakan epitel dan infiltrasi
neutrofil ke dalam jaringan. Sel mononuclear juga mengelilingi pembuluh darah
(perivaskular), tetapi vasculitis tidak terlihat. Namun, secara keseluruhan terlihat tidak
spesifik.
Perjalanan stomatitis aphtous dimulai dari masa prodromal selama 1-2 hari, berupa panas
atau nyeri setempat. Kemudian mukosa berubah menjadi makula berwarna merah, yang
dalam waktu singkat bagian tengahnya berubah menjadi jaringan nekrotik dengan epitelnya
hilang sehingga terjadi lekukan dangkal. Ulkus akan ditutupi oleh eksudat fibrin kekuningan
yang dapat bertahan selama 10-14 hari. Bila dasar ulkus berubah warna menjadi merah muda
tanpa eksudat fibrin, menandakan lesi sedang memasuki tahap penyembuhan
1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada waktu
prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat dimana lesi
akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi epitelium,
dan edema akan mulai berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada
tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus. Intensitas
rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini
papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan
fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke – 4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi
oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak meninggalkan jaringan
parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru
berkembang.
fkui
Patofisiologi
The pathophysiology of aphthous ulcers remains incompletely understood. The primary
disorder appears to be the result of activation of the cell-mediated immune system. Early
lesions show a cluster of macrophages and lymphocytes (predominantly cytotoxic and
natural-killer T cells) at the preulcerative base, followed by formation of an ulcer with a
neutrophilic base and an erythematous lymphocytic ring.
Patients with recurrent aphthous ulcers (canker sores) have increased numbers of
cytotoxic CD8+ cells and decreased numbers of helper CD4+ cells in peripheral blood.[1]
Lesions have elevated levels of interferon gamma, tumor necrosis factor-alpha,
interleukin (IL)-2, IL-4, and IL-5;[2] they have a functional deficit of IL-10. Some lesions have
also had mast-cell activation and degranulation. In vitro cytotoxicity to oral keratinocyte
targets is greater in patients with active recurrent aphthous ulcers (canker sores) than in
control subjects or in patients with traumatic ulcers. As expected with this abnormal
immunologic activity, corticosteroids are effective therapy.
Aphthous ulcers may have abnormalities in cell communication and epithelial integrity.
Lesions have increased expression of an adhesion molecule termed vascular cell adhesion
molecule-1 (VCAM-1), E selectin, and keratinocyte intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1).[3] Connexins (markers for the presence of gap junctions) are present in the oral
mucosa of patients with recurrent aphthous ulcers (canker sores) in amounts similar to
those present in normal mucosal tissue. Experimental treatment with irsogladine
maleate, which reinforces gap junctional intercellular communication, is effective.
Helicobacter pylori may or may not be involved in aphthous ulcer formation.[4, 5]
Factors predisposing patients to recurrent aphthous ulcers (canker sores) may include
trauma, emotional stress,[6, 7] poor nutritional status, thiamine deficiency,[8] vitamin B12
deficiency, malabsorption, celiac disease, regional enteropathy, menstruation, food
hypersensitivity (eg, cow's milk),[9] allergic reaction, and exposure to toxins (eg, nitrates in
drinking water). Aphthous ulcers (canker sores) are more prevalent in nonsmokers and in
smokers who quit but are diminished with nicotine replacement therapy.
Stomatitis may be caused by local infection, systemic disease, a physical or chemical irritant,
or an allergic reaction (see Table 2: Some Causes of Stomatitis ); many cases are idiopathic.
Because the normal flow of saliva protects the mucosa against many insults, xerostomia
(see Xerostomia) predisposes the mouth to stomatitis of any cause.
Table 2
Gonorrhea
TB*
Fungal Blastomycosis*
infections
Candidal infections (most common)
Coccidioidomycosis*
Cryptococcosis*
Cyclic neutropenia
Erythema multiforme
Iron deficiency
Kawasaki disease
Leukemia
Platelet disorders
Stevens-Johnson syndrome
Thrombotic thrombocytopenic purpura
Anticonvulsants*
Barbiturates*
Chemotherapy drugs
Gold
Iodides*
NSAIDs*
Physical Dentures that fit poorly
irritation
Broken or jagged teeth
Lichen planus
Faktor Predisposisi
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen berbusa paling
banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari SLS yang dapat
menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi.
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang
bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit.
Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma. Pendapat
ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah adanya
trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara,
kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman
terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan
berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai
faktor pendukung
Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR.
Bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya.
Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat
dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.
Gangguan Immunologi
Faktor gangguan sistem imun telah banyak dihubungkan sebagai salah satu faktor yang sangat
berperan sebagai faktor predisposisi SAR. Imunopatogenesis SAR dapat melibatkan semua
komponen sistem imun baik seluler maupun humoral. Pada sistem imun seluler yaitu Sel T
dan sitokin, sedangkan pada sistem imun humoral yaitu IgA, IgM dan IgG
Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita defisiensi nutrisi
yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12,
21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi
ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan
terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60
pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin
tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya.
Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik,
yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.
Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi dengan 50 mg
Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan.Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak
pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya
kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada pasien
SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien SAR pada
umumnya normal.
Stress
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan
merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser stomatitis
rekuren ini.
Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal.
Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara
mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga
suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel
termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi
yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah
terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut
Infeksi Bakteri
Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya hubungan
antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian lebih lanjut
ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky dan Dablesteen
mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi
terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas) terhadap
alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan
alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak
dapat membentuk antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada
dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan
tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif,
mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul
gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah
membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.
Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan
nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih
besar untuk terjadinya SAR.
Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi pasien
yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya
penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter.
Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah
penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan
sindroma Sweet’s.
Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang
menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang
lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok.
Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok.
During the review of systems, infants and small children should be assessed for
decreased feeding, weight, and urine output. Associated symptoms, such as those
below, suggest other diagnoses and are not associated with recurrent aphthous ulcers
(canker sores).
o Fever
o Malaise
o Myalgias
o Arthralgias
o Headache
o Cough
o Nausea
o Vomiting
o Abdominal pain
o Diarrhea
o Sore throat
o Swollen or painful lymphadenopathy
o Rash
o Genital or conjunctival lesions
Inquire about previous ulcers. The natural history of individual lesions is important
because it is the benchmark against which treatment benefits are measured.
o Age at onset should be noted because major recurrent aphthous ulcers (canker
sores) begin after puberty, and herpetiform ulcers are uncommon in children.
o The duration, location, and size of previous lesions should be noted, as well as
the therapy received.
o Having patients keep an ulcer diary for 1-3 months may be useful.
Ask the patient about medication use, chemotherapy, radiation therapy, vitamin
supplementation, and recent dietary changes.
Assess for a family history of the following:
o Aphthous ulcers (canker sores)
o Inflammatory bowel disease
o Gluten-sensitive enteropathy
o Behçet disease
o Systemic lupus erythematosus
Review the patient's medical history. Consider Behçet disease; human
immunodeficiency virus (HIV) infection or acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS); cancer; Crohn disease; immunocompromised state; cyclic neutropenia; mouth
and genital ulcers with inflamed cartilage (MAGIC syndrome); and systemic lupus
erythematosus.
Physical
Aphthous ulcers (canker sores) occur on areas of the mouth in which the mucosa is
nonkeratinized and loosely attached, particularly the buccal mucosa, the labial mucosa, the
floor of the mouth, the ventral surface of the tongue, and the soft palate. Ulcers may appear
as single or multiple lesions, and they are easily distinguished from primary or secondary viral
infections, bacterial infections (eg, necrotizing ulcerative gingivitis), dermatologic conditions
(lichen planus, cicatricial pemphigoid, pemphigus), and traumatic injuries (contusions,
lacerations, burns) by the healthy appearance of adjacent tissues and the lack of
distinguishing systemic features.
Minor ulcers are seldom larger than 5 mm but can be as large as 1 cm. They may be
single or multiple. The ulcers are round-to-oval, they are covered by a gray or
yellowish and fibrinous surface, and they are surrounded by an erythematous border.
Major recurrent aphthous ulcers (canker sores) can be 1-3 cm in diameter. They are
deeper than minor ulcers and often have a raised, irregular, erythematous border.
Patients with a history of major recurrent aphthous ulcers (canker sores) often have
residual scarring in the oral mucosa from previous lesions.
Herpetiform aphthous ulcers appear as small (seldom >3 mm in diameter), tightly
clustered lesions. They typically number 2-10 but may number as many as 100. They
are not related to herpes simplex infections and do not present as or develop into
vesicular lesions. The ulcers appear identical to minor aphthous ulcers with the
exception of their small size, proximity to other lesions, and increased numbers.
Confusion may arise if the lesions coalesce into a large lesion resembling major
aphthous stomatitis.
The rest of the mouth should appear normal. However, halitosis and necrotic,
exudative, or bleeding gums may be present with the following: (1) necrotizing
ulcerative gingivostomatitis; (2) erythematous tonsils with periodic fever, aphthous
pharyngitis, and adenopathy (PFAPA) syndrome;[10, 11] and (3) vesicular-ulcerative
palatal lesions with coxsackieviral infection.
Vital signs should be normal. Secondary bacterial infection, PFAPA syndrome, primary
viral infection, or rheumatologic disorder may cause fever.
Clinical evidence of dehydration may include decreased weight, tachycardia,
hypotension, cool extremities, delayed capillary refill, depressed fontanelle, dry
mucus membranes, decreased skin turgor, or decreased axillary moisture. Plotting the
weight and height may reveal a trend toward the low percentiles for age; this finding
suggests nutritional deficiency or malabsorption syndrome.
Skin findings should be normal, but rash may be present with Behçet syndrome,
erythema multiforme, hand-foot-and-mouth disease, herpes simplex infection, lichen
planus, MAGIC syndrome, pemphigus, pemphigoid, Sweet syndrome, syphilis,
systemic lupus erythematosus, varicella (chickenpox), or varicella zoster.
The joints should be normal, but joints may be tender with effusion, erythema, or
decreased range of motion in Reiter syndrome, systemic lupus erythematosus, or
MAGIC syndrome.
The eyes should be normal, but examination may reveal conjunctival lesions in
patients with Behçet syndrome or cicatricial pemphigoid. Uveitis or iritis may be
present with Reiter syndrome or Behçet syndrome.
Cervical adenopathy should be minimal. Tender or markedly enlarged lymph nodes
suggest PFAPA syndrome.
Laboratory
The diagnosis of aphthous ulcers (canker sores) is usually based on the history and clinical
presentation. No laboratory procedures are available for definitive diagnosis.
In patients with severe recurrent aphthous ulcers (RAUs), or canker sores, the
clinical picture should guide laboratory testing. CBC count, a chemistry panel, and
nutritional workup may be necessary.
CBC counts are usually in the reference range in patients with recurrent aphthous ulcers
(canker sores). Findings of neutropenia suggest Sweet syndrome or cyclic neutropenia;
findings of leukocytosis suggest periodic fever, aphthous pharyngitis, and adenopathy
(PFAPA) syndrome.
Serum iron levels may be low with recurrent aphthous ulcers (canker sores).
If a patient is dehydrated and catabolic, urinalysis may reveal an elevated specific gravity
and ketone levels. In small children, serum chemistry testing may be performed to exclude
hypoglycemia and metabolic acidosis (low serum bicarbonate levels and elevated anion
gap [see the Anion Gap calculator]).
Histopathologic examination of biopsy specimens does not reveal unique findings and
is rarely indicated, except to exclude other diagnoses, such as pemphigus, cicatricial
pemphigoid, carcinoma, and Behçet disease.
Persistent ulceration in a patient with human immunodeficiency virus (HIV) should be
biopsied to exclude carcinoma.[20]
Minor aphthous ulcers (80-85% of recurrent aphthous ulcers [canker sores]) are 1-10
mm in diameter and heal spontaneously in 7-10 days.
Major aphthous ulcers (also called Sutton disease) constitute 10-15% of recurrent
aphthous ulcers (canker sores). These lesions are greater than 10 mm in diameter,
take 10-30 days or more to heal, and may leave scars.
Herpetiform ulcers (5-10% of recurrent aphthous ulcers [canker sores]) are multiple,
clustered, 1-mm to 3-mm lesions that may coalesce into plaques. These usually heal
in 7-10 days.
DD :
Therapy for recurrent aphthous ulcers must be directed by the extent of the condition, as
determined by the patient and the clinician. Patients often report great pain when clinical
examination reveals only a minor ulcer of 1-2 mm in diameter. In addition, the frequency and
the extent of involvement should direct therapy.
Symptomatic therapy includes anesthetic and occlusive agents. These agents are commonly
used when the ulcers are small and few, to minimize pain and improve oral intake, although
some have been found to hasten ulcer healing.
Benzocaine is the most commonly used anesthetic agent, applied for temporary
relief with cotton-tipped applicator on an as needed basis (usually before meals).
Numerous preparations of between 6.4% and 20% benzocaine are available for use
over-the-counter, including Anbesol, Hurricaine Liquid and Gel, Kank-A, Orabase B,
Oralief, Senso-gard, Tanac, and Zilactin B. Benzocaine has not been studied in clinical
trials or shown to improve healing. Excess use can lead to neurotoxicity.
Lidocaine 2% gel (by prescription only) can also be used, but can also cause toxicity
in children.
The antihistamine diphenhydramine used as a swish-and-spit mouth rinse, or applied
locally, may provide some pain relief. Diphenhydramine syrup is commonly mixed in
a 50:50 dilution with magnesium containing antacid.
Local injectable anesthetics (lidocaine, bupivacaine) are discouraged because
duration of pain relief is brief.
Sucralfate suspension (off-label use) may diminish pain without change in ulcer
healing.[33]
Paste preparations, such as Orabase alone or in combination with 20% benzocaine
(Orabase-B) can be temporarily effective for pain relief.
Bioadhesive "super-glues", such as 2-octyl cyanoacrylate or isobutyl cyanoacrylate
(Iso-Dent) have been studied in children,[34] and significantly improves ulcer pain,
without measurable difference in ulcer healing.[35, 36] Orabase Sooth-N-Seal is a
cyanoacrylate product available over-the-counter.
A mucoadhesive patch which releases citrus oil and magnesium salt (Canker Cover)
has been effective in reducing pain and decreasing healing time without adverse
effects.[37, 38] Additional studies are needed to confirm the initial results and to
directly correlate the indications and uses.
Debacterol Canker Sore Pain Relief (available by prescription only in the United
States) or HybenX (over-the-counter in Europe) as a single application to the ulcer,
significantly diminishes pain.[39] This agent works by disruption (desiccation,
denaturation, and coagulation) of the microbial biofilm matrix.[40]
Over-the-counter glycyrrhiza (licorice) bioadhesive hydrogel patch (CankerMelts GX
patches) enhances ulcer healing in addition to reducing pain.[41, 42, 43]
An oral bioadherent containing polyvinylpyrrolidone and sodium hyaluronate gel
(Gelclair) is used primarily for relief of oral mucositis associated with cancer
chemotherapy or irradiation and is also indicated for pain control in severe,
refractory, recurrent aphthous ulcers (canker sores).[44] Available by prescription
only, Gelclair is mixed with 15 mL of water, stirred, rinsed around the mouth,
gargled, and expectorated. At least 30-60 minutes must elapse after use before
eating.
Immunomodulators, including colchicine,[45, 24] dapsone,[46] clofazimine,[47] cyclosporine,
interferon, tumor necrosis factor antagonists (infliximab, etanercept, adalimumab,
penoxifylline),[46] T-cell modulator modifiers (efalizumab, alefacept), antimetabolites
(methotrexate), alkylating agents (cyclophosphamide) and thalidomide[48] are used in
severe, refractory cases, such as in patients with human immunodeficiency virus (HIV) or
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)[49, 50] or Behçet syndrome.[51, 52] However, the
indications and uses of such therapy are beyond the scope of this article, and adverse
effects can be both problematic and clinically significant. The patient must be closely
observed; therefore, use of this therapy stretches beyond the scope of practice of most
primary care providers.