Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak usia prasekolah biasanya mengalami perkembangan psikis menjadi

balita yang lebih mandiri, autonom, dan dapat berinteraksi dengan lingkunganya,

serta dapat mengekspresikan emosinya. Di samping itu anak usia tersebut juga

cenderung senang bereksplorasi dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan khas

yang terbentuk ini turut mempengaruhi pola makan anak. Pada masa ini anak

mengalami proses perubahan pola makan dimana anak pada umumnya mengalami

kesulitan untuk makan. Pada masa ini anak sudah menunjukkan proses

kemandirian dimana perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan

perkembangan dan anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah dan

anak membutuhkan pengalaman belajar dari lingkungan dan anak orangtuanya

(Hidayat, 2012).

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 5 tahun. Pada usia

prasekolah, anak memiliki perkembangan psikis menjadi balita yang lebih

mandiri, autonomi, dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta dapat lebih

mengekspresikan emosinya. Luapan emosi yang biasa terjadi pada anak berusia 3-

5 tahun berupa temper tantrum, yaitu mudah marah, menangis, atau menjerit saat

anak tidak merasa nyaman. Anak usia tersebut juga cenderung senang

1
2

bereksplorasi dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan yang khas terbentuk ini

turut mempengaruhi pola makan anak. Hal tersebut menyebabkan anak terkadang

bersikap terlalu pemilih, misalnya balita cenderung menyukai makanan ringan

sehingga menjadi kenyang dan menolak makan saat jam makan utama. Anak juga

sering rewel dan memilih bermain saat orang tua menyuapi makanan. Gangguan

pola makan yang terjadi jika tidak segera diatasi dapat berkembang menjadi

masalah kesulitan makan (Rahman, 2016).

Perilaku sulit makan adalah perilaku anak yang menolak untuk makan,

hanya makan makanan tertentu saja, dan menghabiskan porsi makan dengan

lambat bahkan sering tidak menghabiskan porsi makan setiap jam makan.

Kesulitan makan merupakan ketidakmampuan untuk makan dan menolak

makanan tertentu. Pada kesulitan makan mempunyai gejala berupa memenuhkan

atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk didalam mulut, sama

sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut, makan berlama-lama dan

memainkan makanan, tidak mengunyah tetapi langsung menelan makanan dan

pilih-pilih makanan, makan sambil nonton televisi atau main, dan baru mau makan

kalau diajak jalan-jalan, tentu dapat terbawa hingga dewasa (Rohmasari, 2013).

Kesulitan makan pada anak balita merupakan masalah yang sering dialami

orang tua atau pengasuh anak. Apabila sulit makan pada anak tidak segera diatasi,

maka mengganggu tumbuh kembang anak. Orang tua seringkali mengambil jalan

pintas untuk mengatasi asupan gizi yang kurang karena anak sulit makan, dengan

memberikan suplemen vitamin penambah nafsu makan padahal tindakan tersebut


3

tidak selalu tepat. Keluhan yang sering muncul adalah anak tidak mau makan,

menolak makan, proses makan yang terlalu lama, hanya mau minum saja, kalau

diberi makan muntah, mengeluh sakit perut, bahkan ada yang disuruh makan

marah–marah bahkan mengamuk. Keluhan–keluhan yang sering muncul pada

balita menunjukkan tanda–tanda gangguan kesulitan makan (Nurjannah, 2013).

Di Provinsi DIY tahun 2015 diketahui terdapat 8,04% anak mengalami gizi

buruk dan kurang, diantaranya karena masalah sulit makan. Prevalensi gizi buruk

dan kurang ini menurun dibandingkan dengan tahun 2013 tetapi sedikit lebih tinggi

dari tahun 2014. Prevalensi selama tiga tahun terakhir masih berkisar pada angka

8 yang menunjukan bahwa upaya yang dilakukan dalam rangka penurunan

prevalensi gizi buruk dan kurang di DIY belum tercapai secara maksimal. Menurut

data Status Gizi Balita Kabupaten Sleman tahun 2015 (Dinkes) terdapat 7,532%

kekurangan gizi yang terdiri dari 0,403% balita dengan gizi buruk dan 7,129%

berstatus gizi kurang (Riyanto, 2017).

Penelitian yang dilakukan di Kanada juga menemukan bahwa picky eater

memiki risiko 2 kali lebih besar untuk menjadi underweight pada usia 4,5 tahun

dibandingkan anak yang tidak pernah menjadi picky eater. Underweight akan

mengganggu perkembangan kecerdasan, proses belajar, lebih rentan terhadap

infeksi, meningkatkan keparahan penyakit, hingga meningkatkan mortalitas

(Cerdasari, Helmyati & Julia, 2017).

Gizi masih menjadi permasalahan dunia yang belum teratasi hingga saat

ini. Hampir seluruh kelompok umur mengalami masalah pemenuhan gizi. Usia
4

bayi dan balita menjadi fokus perhatian karena pada periode ini terjadi

pertumbuhan dan perkembangan yang menentukan kualitas kehidupan

selanjutnya. Pada usia ini, lebih dari separuh kematian disebabkan oleh masalah

gizi. Data WHO menggambarkan 35% anak meninggal akibat kekurangan gizi.

Salah satu faktor yang menyebabkan gizi kurang adalah sulit makan. Sulit makan

adalah masalah yang sering dijumpai pada balita. Sulit makan adalah suatu kondisi

yang ditandai dengan memainkan makanan, tidak tertarik pada makanan dan

bahkan penolakan terhadap makanan (Muharyani, 2015). Menurut WHO (2006)

dalam Sumarni (2015), didapatkan hasil prevalensi gizi kurang yang disebabkan

oleh berbagai faktor salah satunya akibat pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat

adalah 19,2 % dan gizi buruk 8,3 %.

Keluarga harus mampu memahami tugas perkembangannya. Salah satu

tugas perkembangan keluarga dengan anak usia dibawah lima tahun adalah

melakukan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Usaha keluarga dalam

optimalisasi pertumbuhan anak dapat dilihat dari pemberian makan pada anak. Jika

keluarga mampu melaksanakan tugas tersebut, maka kebutuhan nutrisi anak akan

terpenuhi dengan baik. Musher-Eizenman dan Holub mengungkapkan bahwa

pemberian makan dapat dilihat diantaranya dari kontrol makanan anak

(controlling), pemberian contoh dalam konsumsi makanan (modelling),

keterlibatan anak dalam persiapan dan memilih makanan yang akan dikonsumsi

(involvement). Namun beberapa penelitian menyampaikan bahwa pemberian


5

makan yang dilakukan keluarga dapat mengakibatkan kesulitan makan pada anak

(Muharyani, 2015).

Keinginan orang tua untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya seringkali

melatarbelakangi pemberian makan yang kurang tepat. Bentuk pemberian makan

yang kurang tepat yang sering dilakukan orang tua antara lain dengan menjanjikan

hadiah (reward) berupa makanan kesukaannya jika anak menunjukkan perilaku

yang baik. Tindakan lainnya yaitu memberikan makanan tertentu untuk meredakan

emosi anak. Kontrol yang kurang terhadap makanan yang dikonsumsi anak serta

tidak memberikan contoh pada anak dalam konsumsi makanan sehat dapat

mengakibatkan perilaku makan yang tidak baik bagi anak (Muharyani, 2015).

Perilaku sulit makan yang berat dan berlangsung lama berdampak negatif

pada keadaan kesehatan anak, keadaan tumbuh kembang dan aktifitas sehari-

harinya. Dampak jangka pendek untuk anak berperilaku sulit makan adalah anak

menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan perkembangan. Sedangkan

dampak jangka panjang adalah penurunan skor IQ, penurunan perkembangan

kognitif dan penurunan integrasi sensori. Oleh karena itu, bila perilaku sulit makan

dibiarkan begitu saja maka diprediksikan generasi penerus bangsa akan hilang

karena keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu unsur utama dalam

penentuan keberhasilan pembanguan Negara atau yang lebih dikenal sebagai

Human Development Indeks (HDI) (Depkes, 2005 dalam Riyanto, 2018).


6

Menurut Soetjningsih (2013), kelainan perilaku sulit makan disebabkan

beberapa faktor, antara lain kebiasaan makan, psikologis, dan organik. Kelainan

kebiasaan makan biasanya disebabkan oleh faktor lingkungan seperti mengikuti

kebiasaan makan teman sebaya atau orang-orang sekitar, menyukai dan menolak

jenis makanan yang sama pada waktu yang berbeda, atau suka memakan makanan

yang tidak sesuai dengan usianya. Faktor psikologis sebenarnya masih ada

hubungannya dengan pola asuh karena psikologis anak sangat ditentukan dari cara

pengasuhan, lingkungan dan juga hubungan didalam keluarga, semakin baik

hubungan dalam keluarga maka semakin kecil kemungkinan untuk anak

mengalami anoreksia psikogenik atau kesulitan makan karena gangguan

psikologis. Dan faktor organik biasanya terjadi sulit makan pada anak akibat suatu

penyakit infeksi atau kelainan pada organ-organ tertentu seperti gigi dan mulut,

gangguan menghisap dan mengunyah, penyakit bawaan/genetik, dan penyakit

infeksi saluran cerna. Beberapa hal lain yang dapat menyebabkan anak menjadi

picky eating antara lain variasi makan yang terbatas, perilaku makan anggota

keluarga yang lain, ASI Eksklusif, pengetahuan orang tua, dan cara ibu

menghadapi picky eater. Penerapan basic feeding rules dengan konsisten

diharapkan bisa mengurangi timbulnya perilaku picky eating pada anak.

Pengasuhan orangtua khususnya ibu sangat penting dalam tumbuh

kembang anak dalam psikologis anak, kemampuan bersosialisasi anak,

kemandirian anak, serta perilaku sulit makan pada anak. Sikap ibu dapat

membentuk karakter anak menjadi sulit makan adalah cara menyiapkan makanan,
7

cara memberikan anak makan, menenangkan anak dengan memberikan makanan

ringan, memaksa anak untuk makan, terlambat memberikan makanan padat, dan

ibu tidak membiasakan anak makan tepat waktu (Nafratilawati, Saparwati

,Rosalina 2014).

Kejadian picky eater dapat berawal dari pola makan ibu yang kurang baik

sehingga semakin bervariasi makanan ibu, maka anak akan semakin mudah

menerima berbagai macam makanan. Sebaliknya, ibu dengan kebiasaan makan

yang buruk juga akan mendapati anaknya lebih suka mengkonsumsi makanan

serupa. Cara ibu dalam memberikan makan juga memiliki pengaruh pada perilaku

makan anak. Tekanan yang diberikan ibu atau pengasuh dalam memberikan makan

dapat menyebabkan anak menjadi picky eater. Pola pemberian makan pada awal

kehidupan juga sangat berpengaruh pada perilaku makan anak selanjutnya.

Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sampai 6 bulan, dapat mengurangi

kemungkinan anak menjadi picky eater. Makanan pendamping ASI (MP-ASI)

hendaknya diberikan tidak terlalu dini ataupun terlambat. Pemberian MP-ASI

sebelum 6 bulan, akan meningkatkan risiko anak menjadi picky eater sebesar 2,5

kali. Idealnya variasi makanan padat hendaknya dikenalkan pada rentang usia 6-9

bulan karena anak akan menjadi lebih pemilih apabila makanan dikenalkan saat

usianya lebih dari 9 bulan (Cerdasari, Helmyati & Julia, 2017).

Pengetahuan gizi ibu yang dimiliki oleh seorang ibu juga dapat

mempengaruhi perilaku makan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Nurleni (2017) menyatakan bahwa pengetahuan gizi yang dimiliki orang tua dapat
8

berdambpak positif pada perilaku makan anak. Selain itu, pengetahuan dan sikap

orang tua mengenai gizi berhubungan positif dengan kualitas diet anak. Ibu yang

memiliki pengetahuan gizi paling baik menunjukkan kualitas diet paling baik pada

anaknya (Nurleni, 2017).

Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi picky eater cukup tinggi pada

kelompok anak usia pra sekolah. Carruth, el. Al (2004) dalam Saraswati (2012)

menemukan bahwa picky eater atau perilaku sulit makan lebih banyak pada anak

perempuan (23% - 54%) dibandingkan anak laki-laki (17% - 47%) pada rentan

usia 4-24 bulan. Di New Zealand, dilaporkan sebanyak 24% responden

menganggap anaknya memiliki problem kesulitan makan di usia 2 tahun dan 18%

diantaranya berlanjut hingga usia 4 tahun. Di London 17% anak digambarkan

orang tuanya memiliki nafsu makan rendah, sedangkan 12% lainnya mengalami

perilaku sulit makan (Wright, et. Al 2007 dalam Saraswati, 2012).

Picky eating adalah salah satu masalah kesulitan makan yang umum

dialami oleh 8% sampai 50 % anak- anak.. Sebuah penelitian oleh The Gateshead

Millenium Baby Study pada tahun 2006 dalam Wulandari (2015) di Inggris

menyebutkan 20% orangtua melaporkan anaknya mengalami masalah makan,

dengan prevalensi tertinggi anak hanya mau makan makanan tertentu. Studi di

Italia mengungkapkan 6% bayi mengalami kesulitan makan, kemudian meningkat

25-40% pada saat fase akhir pertumbuha. Survei lain di Amerika Serikat

menyebutkan 19-50% orangtua mengeluhkan anaknya sangat pemilih dalam

makan sehingga terjadi defisiensi zat gizi tertentu (Wulandari, 2015).


9

Picky eater merupakan masalah yang serius. Tergantung dari metode yang

digunakan, prevalensi picky eater bervariasi antara 5,6 sampai dengan lebih dari

50%. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa prevalensi sulit makan pada anak

prasekolah terkait picky eater antara lain kurangnya variasi pangan (58,1%),

penolakan pada sayur, buah, daging, dan ikan (55,8%), dan kesukaan pada metode

pemasakan tertentu sebesar 51,2%. Berdasarkan usia, prevalensinya juga secara

konsisten meningkat sejalan dengan peningkatan usia dari 4-24 bulan, yaitu

berkisar antara 17-47% pada laki-laki dan 23-54% pada perempuan. Hasil

penelitian di Belanda menunjukkan bahwa prevalensi picky eater tertinggi pada

usia 3 tahun (27,6%) apabila dibandingkan dengan usia 1,5 maupun 6 tahun.

Prevalensi picky eating pada anak yang terjadi di Indonesia sekitar 20-30%

(Anggraini, Rohmah, dan Permatasari, 2016). Prevalensi picky eater di Indonesia

terjadi pada anak sekitar 20%, dari anak picky eater 44,5% mengalami malnutrisi

ringan sampai sedang, dan 79,2% dari subjek penelitian telah mengalami picky

eater lebih dari 3 bulan (Anggraini, Rohmah, dan Permatasari, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rahman (2016) anak pada

usia prasekolah di TK Al-Ikhwah memiliki perilaku sulit makan sebanyak 61 anak

(50,4%) dan perilaku tidak sulit makan sebanyak 60 anak (49,6%) dari populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua dan anak prasekolah di TK Al-

Ikhwah berjumlah 162 orang.


10

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Karaki (2016) menyimpulkan

bahwa anak yang mengalami perilaku sulit makan di TK Desa Palelon sebanyak

22 anak (62,9%) dan yang tidak mengalami perilaku sulit makan sebanyak 13 anak

(37,1%). Diketahui bahwa anak yang mendapat pola asuh yang kurang baik dari

ibunya memiliki perilaku sulit makan sebanyak 20 anak (57,1%) dan anak yang

mendapat pola asuh yang baik dari ibunya memiliki perilaku sulit makan sebanyak

2 anak (5,7%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square didapatkan

bahwa terdapat hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan di TK Desa

Palelon Kec. Modoning, Minahasa Selatan.

Menurut penelitian (Judarwanto, 2011) yang dilakukan di Indonesia yang

dilakukan di Jakarta terhadap anak prasekolah. Didapatkan hasil prevalensi

kesulitan makan sebesar 33,6%, 44,5% diantaranya menderita malnutrisi ringan

sampai sedang dan 79,2 % dari subjek penelitian telah mengalami kesulitan makan

lebih dari 3 bulan.

Hasil penelitian Sudibyo & Mulyani (2009), kelompok usia terbanyak

mengalami kesulitan makan adalah usia 1 sampai 5 tahun (58%), dengan jenis

kelamin terbanyak laki - laki (54%). (43%) subjek memiliki status gizi kurang.

Kesulitan makan sebanyak 50 orang dari 109 orang subjek (45,9%).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada hari

Minggu tanggal 28 Oktober 2018 di Wilayah Posyandu Sakura, Kelurahan

Keraton, Kabupaten Banjar, terhadap 15 anak. Diwawancarai 9 dari 15 orang tua

anaknya mengalami kesulitan makan, orang tuanya mengatakan bahwa anaknya


11

sulit diajak makan dan hanya ingin makan makanan ringan atau makan makanan

dengan lauk tertentu yang disukai dan jika anaknya tidak mau makan orang tuan

akan menyuapi dengan bujukan dan anak mau makan apabila sambil bermain atau

menonton TV. Sedangkan 6 dari 15 orang tua yang diwawancarai anaknya tidak

mengalami kesulitan makan, orang tuannya mengatakan anaknya tidak memilih

dalam makanan dan tidak perlu dibujuk dalam makan. Dari 9 anak yang

mengalami sulit makan didaptkan sebanyak 33,3 % (3 orang anak) anak yang

sangat kurus, 33,3% (3 orang anak) anak yang kurus dan 33,3% (3 orang anak)

anak yang normal.

Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang lebih lanjut mengenai “Gambaran Pengetahuan Ibu, Pola Asuh,

dan Status Gizi pada Anak Sulit Makan Usia 3-5 Tahun” (Studi di Wilayah

Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, Tahun 2019).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu pada anak sulit makan usia 3-5 tahun

di Wilayah Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun

2019?

2. Bagaimanakah gambaran pola asuh pada anak sulit makan usia 3-5 tahun di

Wilayah Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun 2019?

3. Bagaimanakah gambaran status gizi pada anak sulit makan usia 3-5 tahun di

Wilayah Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun 2019?


12

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

pengetahuan ibu, pola asuh dan status gizi pada anak sulit makan usia 3-5 tahun

di Wilayah Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun

2019.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan pengetahuan ibu pada anak sulit makan usia 3-5 tahun di

Wilayah Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun

2019?

b. Mendiskripsikan pola asuh pada anak sulit makan usia 3-5 tahun di Wilayah

Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun 2019?

c. Mendiskripsikan status gizi pada anak sulit makan usia 3-5 tahun di Wilayah

Posyandu Sakura, Kelurahan Keraton, Kabupaten Banjar, tahun 2019?

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Orang Tua

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi kepada

orangtua mengenai pola asuh dan status gizi pada anak sulit makan, serta

diharapkan orangtua dapat memahami dan menerapkan pola asuh yang benar
13

sesuai dengan karakter anak masing-masing dalam memperbaiki pola makan

dan kebiasaan makan pada anak yang sulit makan agar berat badan tetap stabil.

2. Bagi Puskesmas

Meningkatkan kesadaran dan motivasi kader, perawat kesehatan atau

tenaga kesehatan setempat untuk memberikan informasi tentang pendidikan

kesehatan dan meningkatkan kesehatan masyarakat terutama pada anak usia

prasekolah mengenai sulit makan untuk.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian dan

dokumentasi bahan perbandingan dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No Penelitian Judul Persamaan Perbedaan

1 Hadi Riyanto Hubungan Pola - Sama sama - Jenis

(2017) Asuh Orangtua tentang pola penelitian

Dengan Perilaku asuh pada anak Deskriptif

Sulit Makan Pada sulit makan. Kolerasi.

Anak Prasekolah Di
14

Tk Karta Rini - Instrumen yang - Variabel

Godean Sleman digunakan penelitian.

Yogyakarta kuesioner - Tempat

penelitian.

- Desain

penelitian

Cross

Sectional.

2 Sasi Rahayu Gambaran Perilaku - Sama – sama - Desain

(2016) Picky Eater, Pola menggunakan penelitian

Makan dan Status variable sulit menggunakan

Gizi Anak Autis di makan (Picky Cross

SLB Negeri Eater) Sectional

Semarang - Sama sama Study

menggambarkan - Objek

status gizi penelitain

- Jenis penelitian anak autis.

yang digunakan - Waktu

Observasional penelitian

Deskriptif
15

- Instument yang

digunakan

kuesioner

3 Yulianur Gambaran -Variabel terikat -Jenis

Hafizah Pengetahuan Ibu sama-sama penelitian

(2019) dan Pola Asuh pada membahas yang

Anak Sulit Makan tentang sulit digunakan

Usia 3-5 Tahun makan pada anak Observasional

(Studi di Wilayah pra sekolah Deskriptif

Posyandu Sakura, -Variabel bebas -Desain

Kelurahan Keraton, sama-sama penelitian

Kabupaten Banjar, tentang pola yang

Tahun 2019) asuh digunakan

- Sama – sama Survey

menggambarkan Eksporatif

status gizi -Tempat

- Instrumen yang penelitian

digunakan

kuesioner

Anda mungkin juga menyukai