Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya masalah penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan yang
masih merupakan masalah kesehatan terbesar di Indonesia baik dikarenakan masih buruknya kondisi
sanitasi dasar, lingkungan fisik maupun rendahnya perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat,
dan masih banyak faktor penyebab munculnya penyakit diare tersebut.
Kebersihan lingkungan merupakan suatu yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan pada umumnya.
Banyaknya penyakit-penyakit lingkungan yang menyerang masyarakat karena kurang bersihnya
lingkungan disekitar ataupun kebiasaan yang buruk yang mencemari lingkungan tersebut. Hal ini dapat
menyebabkan penyakit yang dibawa oleh kotoran yang ada di lingkungan bebas tersebut baik secara
langsung ataupun tidak langsung yaitu melalui perantara. Penyakit diare merupakan suatu penyakit yang
telah dikenal sejak jaman Hippocrates. Sampai saat ini, diare masih merupakan salah satu masalah
kesehatan utama masyarakat Indonesia
Diare merupakan penyakit berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian dan dapat menimbulkan
letusan kejadian luar biasa (KLB). Penyebab utama kematian pada diare adalah dehidrasi yaitu sebagai
akibat hilangnya cairan dan garam elektrolit pada tinja diare (Depkes RI, 1998). Keadaan dehidrasi kalau
tidak segera ditolong 50-60% diantaranya dapat meninggal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian diare
Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar)
lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair)
dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut,
disentri, dan diare persisten. Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu
penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari .
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah
banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada
penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai
dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
B. Penyebab diare
Diare terjadi akibat adanya rangsangan terhadap saraf otonom di dinding usus sehingga menimbulkan
reflex mempercepat peristaltic usus, rangsangan ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Infeksi oleh bakteri pathogen, misalnya bakteri E.Colie
2. Infeksi oleh kuman thypus (kadang-kadang) dan kolera
3. Infeksi oleh virus, misalnya influenza perut dan ‘travellers diarre’
4. Akibat dari penyakit cacing (cacing gelang, cacing pita)
5. Keracunan makanan dan minuman
6. Gangguan gizi
7. Pengaruh enzyme tertentu
8. Pengaruh saraf (terkejut, takut, dan lain sebagainya)
C. Penularan Diare
Penularan penyakit diare adalah kontak dengan tinja yang terinfeksi secara langsung, seperti:
1. Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari oleh serangga atau
kontaminasi oleh tangan yang kotor.
2. Bermain dengan mainan yang terkontaminasi, apalagi pada bayi sering memasukan tangan, mainan,
ataupun yang lain kedalam mulut. Karena virus ini dapat bertahan dipermukaan udara sampai beberapa
hari.
3. Pengunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan benar.
4. Pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih.
5. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar atau membersihkan tinja anak
yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan dan alat-alat yang dipegang.
D. Gejala dan Akibat diare
Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat kelompok yaitu:
a. Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya kurang dari tujuh
hari),
b. Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
c. Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus,
d. Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga
disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
Diare akut dapat mengakibatkan:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik dan hipokalemia,
b. Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau tanpa
disertai muntah,
c. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah.
1. Gejala Diare
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu tubuhnya meninggi
b. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
d. Anusnya lecet
e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang
f. Muntah sebelum atau sesudah diare
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
h. Dehidrasi (kekurangan cairan)
2. Akibat Diare
a. Dehidrasi
Dehidrasi akan menyebabkan gangguan keseimbangan metabolisme tubuh. Gangguan ini dapat
mengakibatkan kematian pada bayi. Kematian ini lebih disebabkan bayi atau anak kehabisan cairan
tubuh. Hal ini disebabkan karena asupan cairan itu tidak seimbang dengan pengeluaran melalui muntah
dan berak, meskipun berlangsung sedikit demi sedikit. Banyak orang menganggap bahwa pengeluaran
cairan seperti ini adalah hal biasa dalam diare. Namun, akibatnya sungguh berbahaya. Presentase
kehilangan cairan tidak harus banyak baru menyebabkan kematian. Kehilangan cairan tubuh sebanyak
10% saja sudah membayakan jiwa.
Dehidrasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang dan dehidrasi berat.
Disebut dehidrasi rigan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang hilang sudah lebih 10% disebut
dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah
cepat tetapi melemah, tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita
sangat pucat.
b. Gangguan pertumbuhan
Gangguan ini terjadi karena asupan makanan terhenti sementara pengeluran zat gizi terus berjalan. Jika
tidak ditangani dengan benar, diare akan menjadi kronis. Pada kondisi ini obat-obatan yang diberikan
tidak serta merta dapat menyembuhkan diare. Ketidaktahuan orangtua, cara penanganan dokter yang
tidak tepat, kurang gizi pada anak, dan perubahan makanan mendadak dapat menjadi faktor pencetus
diare.
Pada orang dewasa, diare jarang menimbulkan kematian. Pada bayi atau anak-anak, dalam waktu
singkat, diare akan menyebabkan kematian. Jika diare dapat disembuhkan tetapi sering terjadi lagi, akan
menyebabkan berat badan anak terus merosot. Akibatnya, anak akan kekurangan gizi yang menghambat
pertumbuhan fisik dan jaringan otaknya.
E. Pencegahan Diare
Dalam pencegahan diare, beberapa upaya yang mudah dilakukan yaitu :
1. Penyiapan makanan yang higienis seperti menjaga kebersihan dari makanan atau minuman yang kita
makan, tutuplah makanan rapat rapat agar terhindar dari lalat dan kebersihan perabotan makan
ataupun alat bermain si kecil.
2. Penyediaan air minum yang bersih yaitu dengan cara merebus air minum hingga mendidih
3. Sanitas air yang bersih
4. Kebersihan perorangan
5. Cucilah dengan sabun sebelum dan makan, mengolah makanan juga setelah buang air besar. Karena
penularan kontak langsung dari tinja melalui tangan/ serangga, maka menjaga kebersihan dengan
menjadikan kebiasaan mencuci tangan untuk seluruh anggota keluarga. Cucilah tangan sebelum makan
dengan sabun atau menyediakan makanan untuk sikecil.
6. Biasakan buang air besar pada tempatnya (WC, toilet, jamban)
7. Tempat buang sampah yang memadai yaitu memisahkan sampah kering dengan yang basah
8. Berantas lalat agar tidak menghinggapi makanan
9. Lingkungan hidup yang sehat yaitu dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sekitar
Sikap keluarga dalam pencegahan diare, antara lain yaitu :
1. Menyediakan makanan yang higienis
2. Mencuci tangan dengan sabun
3. Menutup makanan
4. Memasak air sampai mendidih
5. Dll
F. Pengobatan diare
Obat-obat yang diberikan untuk mengobati diare ini dapat berupa:
1. Kemoterapi
2. Obstipansia
3. Spasmolitik
4. Probiotik
Sebelum diberikan obat yang tepat mak pertolongan pertama pengobatan diare ialah mengatasi
pengeluaran cairan atau elektrolit yang berlebihan (dehidrasi) terutama pada pasien bayi dan usia
lanjut, karena dehidrasi dapat mengakibatkan kematian. Gejala dehidrasi :
1. Haus
2. Mulut dan bibir kering
3. Kulit menjadi keriput (kehilangan turgor)
4. Berkurangnya air kemih
5. Berat badan menurun dan
6. Gelisah
Pertolongan yang pertama dilakukan adalah pemberian oralit yaitu campuran dari :
a. NaCl 3,5 gram
b. KCl 1,5 gram
c. NaHCO3 2,5 gram
d. Glukosa 20 gram
Atau dengan memberikan larutan infuse secara intra vena antara lain :
a. Larutan NaCl 0,9 % (normal saline)
b. Larutan Na. laktat majemuk (ringer laktat)
Setelah itu dapat diberikan obat-obatan lain yang dipilih berdasarkan jenis penyebab diare melalui
pemeriksaan yang teliti.
1. Kemoterapi
Untuk terapi kausal yang memusnahkan bakteri penyebab penyakit digunakan obat golongan
sulfonamide tau antibiotic
2. Obstipansia
Untuk terapi simptomatis dengan tujuan untuk menghentikan diare, yaitu dengan cara :
a. Menekan peristaltic usus (loperamid)
b. Menciutkan selaput usus atau adstringen (tannin)
c. Pemberian adsorben untuk menyerap racun ayng dihasilkan bakteri atau racun penyebab diare yang
lain (carbo adsorben, kaolin)
d. Pemberian mucilage untuk melindungi selaput lender usus yang luka
3. Spasmolitik
Zat yang dapat melemaskan kejang-kejang otot perut (nyeri perut) pada diare (atropin sulfat)
4. Probiotik untuk meningkatkan daya tahan tubuh
Lactobacillus dan bifidobacteria (disebut Lactid Acid Bacteria / LAB) merupakan probiotik yang dapat
menghasilkan antibiotic alami yang dapat mencegah / menghambat pertumbuhan bakteri pathogen.
LAB dpat menghasilkan asam laktat yang mneybabkan pH usus menjadi asam, suasana asam akan
menghambat pertumbuhan bakteri pathogen. LAB ini dapat membantu memperkuat dan memperbaiki
pencernaan bayi, mencegah diare.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga
kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara
klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten.
Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya
perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya
frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari .
B. Saran
Perlu adanya peningkatan pengetahuan tentang akibat dan cara penanganan penyakit diare serta lebih
meningkatkan kebersihan diri sendiri dan lingkungan.
LAPORAN PENDAHULUAN DIARE

A. DEFINISI
 Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani yaitu “diarroi”
yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang
terlalu frekuen (Yatsuyanagi, 2002).
 Diare adalah peningkatan dalam frekuensi buang air besar (kotoran), serta pada
kandungan air dan volume kotoran itu. Para Odha sering mengalami diare. Diare dapat
menjadi masalah berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa hari. Namun,
diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan) atau masalah gizi
yang berat (Yayasan Spiritia, 2011)
 Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair
dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara untuk bayi dan
anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan
rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010).
 Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan
biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare akan
kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat
tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya
pada anak dan orang tua (USAID, 2009)
 Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih
dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja, 2007). Diare disebabkan oleh
transportasi air dan elektrolit yang abnormal dalam usus. Di seluruh dunia terdapat
kurang lebih 500 juta anak yang menderita diare setiap tahunnya, dan 20% dari seluruh
kematian pada anak yang hidup di negara berkembang berhubungan dengan diare
serta dehidrasi. Gangguan diare dapat melibatkan lambung dan usus (gastroenteritis),
usus halus (enteritis), kolon (colitis) atau kolon dan usus (enterokolitis). Diare biasanya
diklasifikasikan sebagai diare akut dan kronis (Wong, 2009).
 Terdapat beberapa pendapat tentang definisi penyakit diare. Menurut Hippocrates definisi
diare yaitu sebagai suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja,
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja
mengandung air lebih banyak dari normal. Menurut Direktur Jenderal PPM dam PLP,
diare adalah penyakit dengan buang air besar lembek/ cair bahkan dapat berupa air
saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam
sehari) (Sinthamurniwaty, 2006).
 Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak
dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
 Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair
dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau
lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang
berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun
pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat
(Simatupang, 2004).
 Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak
normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya.
Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali,
sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, frekuensinya lebih dari 3
kali (Simatupang, 2004)
 Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari fases (>200 mg/hari) yang dapat
dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB, tidak enak pada perinal, dan
rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal.1-4 Diare terbagi
menjadi diare Akut dan Kronik.Diare akut berdurasi 2 minggu atau kurang, sedangkan
diare kronis lamanya lebih dari 2 minggu. Selanjutnya pembahasan dikhususkan
mengenai diare kronis (Hooward, 1995 cit Sutadi 2003)
 Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah
(Guerrant, 2001; Ciesla, 2003)
 Menurut Boyle (2000), diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang hebat. Pada
bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang
volume tinjanya sudah sama dengan orang dewasa, volume >200 g/kg/24 jam disebut
diare. Frekuensi dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume tinja.

B. KLASIFIKASI
1. Menurut Simadibrata (2006), diare dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Lama waktu diare
1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan menurut World
Gastroenterology Organization Global Guidelines (2005) diare akut didefinisikan
sebagai pasase tinja yang cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal,
berlangsung kurang dari 14 hari. Diare akut biasanya sembuh sendiri, lamanya sakit
kurang dari 14 hari, dan akan mereda tanpa terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak
terjadi (Wong, 2009).
2) Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
b. Mekanisme patofisiologik
1) Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik.
2) Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
3) Malabsorbsi asam empedu.
4) Defek sisitem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di enterosit.
5) Motilitas dan waktu transport usus abnormal.
6) Gangguan permeabilitas usus.
7) Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik.
8) Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.
c. Penyakit infektif atau non-infektif.
d. Penyakit organik atau fungsional
2. Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada:
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
d. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004).
3. Menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare dibagi menjadi
a. Akut apabila kurang dari 2 minggu, persisten jika berlangsung selama 2-4 minggu.
Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan disertai
dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan oleh
pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain.
b. Kronik jika berlangsung lebih dari 4 minggu. Berbeda dengan diare akut, penyebab
diare yang kronik lazim disebabkan oleh penyebab non infeksi seperti allergi dan lain-
lain.
4. Menurut Kliegman, Marcdante dan Jenson (2006), dinyatakan bahwa berdasarkan
banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh, diare dapat dibagi menjadi :
a. Diare tanpa dehidrasi
Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi diare masih
dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.
b. Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)
Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau lebih, kadang-kadang
muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan menurun, aktifitas
sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau takikardia yang minimum dan
pemeriksaan fisik dalam batas normal.
c. Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)
Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang atau
langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung,
turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air mata
berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ 2 detik) dengan kulit yang dingin
yang dingin dan pucat.
d. Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)
Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan biasanya
pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang melemah,
hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin, mata dan ubun-
ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata, tidak mampu minum
dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan juga masa pengisian kapiler
sangat memanjang (≥ 3 detik) dengan kulit yang dingin dan pucat.

C. ETIOLOGI
1. Penyebab diare Yaitu: (Tantivanich, 2002; Sirivichayakul, 2002; Pitisuttithum, 2002)
a. Virus :
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 – 80%). Beberapa jenis virus
penyebab diare akut :
 Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9: pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati pada hewan
dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7 didapati hanya pada hewan.
 Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food borne atau water borne
transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to person.
 Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa
 Adenovirus (type 40, 41)
 Small bowel structured virus
 Cytomegalovirus
b. Bakteri :
 Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi yang penting yaitu faktor
kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada usus halus dan
enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan
dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menyebabkan kerusakan
brush border atau menginvasi mukosa.
 Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas. Didapatinya
proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan dari membrane mikro
vili yang akan mengganggu permukaan absorbsi dan aktifitas disakaridase.
 Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat pada mukosa usus halus
dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme timbulnya
diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan.
 Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan Shigella. Seperti
Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon.
 Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi verocytotoxin (VT) 1 dan 2 yang
disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan edema dan perdarahan diffuse di
kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi hemolytic-uremic syndrome.
 Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon, menyebabkan
kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah.
Faktor virulensi termasuk : smooth lipopolysaccharide cell-wall antigen yang
mempunyai aktifitas endotoksin serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin
dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin
menimbulkan watery diarrhea
 Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia terinfeksi melalui kontak langsung
dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan
melalui makanan yang terkontaminasi seperti daging ayam dan air. Kadang-kadang
infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person. C.jejuni mungkin
menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin
yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi
yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
 Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan yang terkontaminasi oleh
bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person to person jarang terjadi.
 V.cholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile
toxin (LT) dari ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang
mempunyai karakteristik tersendiri, seperti accessory cholera enterotoxin (ACE) dan
zonular occludens toxin (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam
lumen usus.
 Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus. Enterotoksin
yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa yang menimbulkan
ulkus, akan terjadi bloody diarrhea
c. Protozoa :
 Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis masih belum
jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam empedu.
Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh umur, status
nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas yang tinggi,
giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa
malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 – 8
hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik
dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan faty stools,nyeri perut dan
gembung.
 Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun penyebarannya
di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnya umur,dan teranak pada
laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica
non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan
dan persisten sampai disentri yang fulminant.
 Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 – 15% dari kasus diare
pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak yang
lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watery diarrhea,
ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan gangguan sistim kekebalan
tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan reemerging disease
dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.
 Microsporidium spp
 Isospora belli
 Cyclospora cayatanensis
d. Helminths :
 Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat cacing dewasa dan larva,
menimbulkan diare.
 Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk
intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan perdarahan usus..
 Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunu,
menyebabkan inflamasi dan atrofi vili dengan gejala klinis watery diarrhea dan nyeri
abdomen.
 Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendix. Infeksi berat
dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri abdomen.
2. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar, tetapi yang
sering ditemukan di lapangan ataupun klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan
keracunan. Untuk mengenal penyebab diare yang dikelompokan sebagai berikut:
(Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI, 1999; Yatsuyanagi, 2002)
a. Infeksi :
1) Bakteri (Shigella, Salmonella, E.Coli, Golongan vibrio, Bacillus Cereus, Clostridium
perfringens, Staphilococ Usaurfus,Camfylobacter, Aeromonas)
2) Virus (Rotavirus, Norwalk + Norwalk like agent, Adenovirus)
3) Parasit
a) Protozoa (Entamuba Histolytica, Giardia Lambia, Balantidium Coli, Crypto Sparidium)
b) Cacing perut (Ascaris, Trichuris, Strongyloides, Blastissistis Huminis)
c) Bacilus Cereus, Clostridium Perfringens
b. Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak atau protein.
c. Alergi: alergi makanan
d. Keracunan :
1) Keracunan bahan-bahan kimia
2) Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi :
a) Jazad renik, Algae
b) Ikan, Buah-buahan, Sayur-sayuran
e. Imunodefisiensi / imunosupresi (kekebalan menurun) : Aids dll
f. Sebab-sebab lain: Faktor lingkungan dan perilaku, Psikologi: rasa takut dan cemas
Diare
D. EPIDEMIOLOGI
1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan/minuna yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan
risiko terjadinya diare perilaku tersebut antara lain :
a. Tidak memberikan ASI ( Air Susi Ibu ) secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan
pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menmderita diare lebih besar dari pada bayi
yang diberi AsI penuh dan kemungjinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar.
b. Menggunakan botol susu , penggunakan botol ini memudahkan pencernakan oleh
Kuman , karena botol susah dibersihkan
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Bila makanan disimpan beberapa jam
pada suhu kamar makanan akan tercemar dan kuman akan berkembang biak,
d. Menggunakan air minum yang tercemar . Air mungkin sudah tercemar dari sumbernya
atau pada saat disimpan di rumah, Perncemaran dirumah dapat terjadi kalau tempat
penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan tercemar menyentuh air pada saat
mengambil air dari tempat penyimpanan.
e. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak
atau sebelum makan dan menyuapi anak,
f. Tidak membuang tinja ( termasuk tinja bayi ) dengan benar Sering beranggapan bahwa
tinja bayi tidaklah berbahaya padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri
dalam jumlah besar sementara itu tinja binatang dapat menyebabkan infeksi pada
manusia.
2. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden beberapa penyakit dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Tidak memberikan ASI sampai 2 Tahun. ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti : Shigella dan v
cholerae
b. Kurang gizi beratnya Penyakit , lama dan risiko kematian karena diare meningkat pada
anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama pada penderita gizi buruk.
c. Campak diare dan desentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang
sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu terakhir hal ini sebagai akibat dari
penurunan kekebalan tubuh penderita.
d. Imunodefesiensi /Imunosupresi. Keadaan ini mungkin hanya berlangsung sementara,
misalnya sesudah infeksi virus ( seperti campak ) natau mungkin yang berlangsung
lama seperti pada penderita AIDS ( Automune Deficiensy Syndrome ) pada anak
imunosupresi berat, diare dapat terjadi karena kuman yang tidak parogen dan mungkin
juga berlangsung lama,
e. Segera Proposional , diare lebih banyak terjadi pada golongan Balita ( 55 % )
3. Faktor lingkungan dan perilaku :
Penyakit diare merupakan salah satu penyakiy yang berbasis lingkungan dua faktor
yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja kedua faktor ini akan
berinteraksi bersamadengan perilaku manusia Apabila factor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak
sehat pula. Yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian
penyakit diare.
(Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI, 1999; Yatsuyanagi, 2002)

E. PATOFISIOLOGI
Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk keperluan hidup
sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran sisa-sisa makanan yang
tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai proses fisiologi pencernaan yang
majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat berupa: (Sommers,1994; Noerasid, 1999 cit
Sinthamurniwaty 2006)
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara mengunyah dan
mencampur.dengan enzim-enzim di rongga mulut
3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke gaster
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik, percampuran dan
hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui selaput lendir
usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.
6. Peristaltik: gerakan dinding usus secara ritmik berupa gelombang kontraksi sehingga
makanan bergerak dari lambung ke distal.
7. Berak (defecation) : pembuangan sisa makanan yang berupa tinja.
Dalam keadaan normal dimana saluran pencernaan berfungsi efektif akan
menghasilkan ampas tinja sebanyak 50-100 gr sehari dan mengandung air sebanyak
60-80%. Dalam saluran gastrointestinal cairan mengikuti secara pasif gerakan
bidireksional transmukosal atau longitudinal intraluminal bersama elektrolit dan zat zat
padat lainnya yang memiliki sifat aktif osmotik. Cairan yang berada dalam saluran
gastrointestinal terdiri dari cairan yang masuk secara per oral, saliva, sekresi lambung,
empedu, sekresi pankreas serta sekresi usus halus. Cairan tersebut diserap usus
halus, dan selanjutnya usus besar menyerap kembali cairan intestinal, sehingga tersisa
kurang lebih 50-100 gr sebagai tinja.
Motilitas usus halus mempunyai fungsi untuk:
1. Menggerakan secara teratur bolus makanan dari lambung ke sekum
2. Mencampur khim dengan enzim pankreas dan empedu
3. Mencegah bakteri untuk berkembang biak.
Faktor-faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu dengan
lainnya. Misalnya bertambahnya cairan pada intraluminal akan menyebabkan
terangsangnya usus secara mekanis, sehingga meningkatkan gerakan peristaltik usus
dan akan mempercepat waktu lintas khim dalam usus. Keadaan ini akan
memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir usus, sehingga
penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami gangguan.
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab dari diare,
maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam kelainan pokok yang berupa :
1. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)
Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat menyebabkan diare,
misalnya pada kejadian infeksi. Faktor lain yang juga cukup penting dalam diare adalah
empedu. Ada 4 macam garam empedu yang terdapat di dalam cairan empedu yang
keluar dari kandung empedu. Dehidroksilasi asam dioksikholik akan menyebabkan
sekresi cairan di jejunum dan kolon, serta akan menghambat absorpsi cairan di dalam
kolon. Ini terjadi karena adanya sentuhan asam dioksikholik secara langsung pada
permukaan mukosa usus. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang peranan
dalam pembentukan asam dioksi kholik tersebut. Hormon-hormon saluran cerna diduga
juga dapat mempengaruhi absorpsi air pada mukosa. usus manusia, antara lain adalah:
gastrin, sekretin, kholesistokinin dan glukogen. Suatu perubahan PH cairan usus juga.
dapat menyebabkan terjadinya diare, seperti terjadi pada Sindroma Zollinger Ellison
atau pada Jejunitis.
2. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive diarrhea)
Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus makanan
tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan. berada dalam keadaan yang
cukup tercerna. Juga. waktu sentuhan yang adekuat antara khim dan permukaan
mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi yang normal. Permukaan mukosa usus
halus kemampuannya berfungsi sangat kompensatif, ini terbukti pada penderita yang
masih dapat hidup setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas menjadi sangat singkat.
Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan penting dalam ketahanan local
mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan mikro organisme
berkembang biak secara berlebihan (tumbuh lampau atau overgrowth) yang kemudian
dapat merusak mukosa usus, menimbulkan gangguan digesti dan absorpsi, yang
kemudian menimbulkan diare. Hipermotilitas dapat terjadi karena rangsangan hormon
prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal ini dapat memberikan efek langsung
sebagai diare. Selain itu hipermotilitas juga dapat terjadi karena pengaruh enterotoksin
staphilococcus maupun kholera atau karena ulkus mikro yang invasif o1eh Shigella
atau Salmonella.Selain uraian di atas haruslah diingat bahwa hubungan antara aktivitas
otot polos usus,gerakan isi lumen usus dan absorpsi mukosa usus merupakan suatu
mekanisme yang sangat kompleks.
3. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi kapasitas
dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare. Adanya malabsorpsi dari
hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan menimbulkan kenaikan daya tekanan
osmotik intra luminal, sehingga akan dapat menimbulkan gangguan absorpsi air.
Malabsorpsi hidrat arang pada umumnya sebagai malabsorpsi laktosa yang terjadi
karena defesiensi enzim laktase. Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu tidak
sempurna mengalami hidrolisis dan kurang di absorpsi oleh usus halus. Kemudian
bakteri-bakteri dalam usus besar memecah laktosa menjadi monosakharida dan
fermentasi seterusnya menjadi gugusan asam organik dengan rantai atom karbon yang
lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom karbon. Molekul-molekul inilah yang secara aktif
dapat menahan air dalam lumen kolon hingga terjadi diare. Defisiensi laktase sekunder
atau dalam pengertian yang lebih luas sebagai defisiensi disakharidase (meliputi
sukrase, maltase, isomaltase dan trehalase) dapat terjadi pada setiap kelainan pada
mukosa usus halus. Hal tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada
brush border epitel mukosa usus. Asam-asam lemak berantai panjang tidak dapat
menyebabkan tingginya tekanan osmotik dalam lumen usus karena asam ini tidak larut
dalam air..
PATHWAY DIARE
Pathway Diare

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Menurut Suriadi (2001), Manifestasi klinis diare yaitu
a. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
b. Kram perut
c. Demam
d. Mual
e. Muntah
f. Kembung
g. Anoreksia
h. Lemah
i. Pucat
j. Urin output menurun (oliguria, anuria)
k. Turgor kulit menurun sampai jelek
l. Ubun-ubun / fontanela cekung
m. Kelopak mata cekung
n. Membran mukosa kering
2. Manifestasi klinis diare yaitu (Nelwan, 2001; Procop et al, 2003)
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis
metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan
berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang
isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi
ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali
normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat
standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang
sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis
tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut.
Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan
pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru.
Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang
menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
3. Gejala Diare menurut Kliegman (2006), yaitu:
Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah
dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan lendir
ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijau-hijauan
karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya
defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang
berasal darl laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah
dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang
turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit
(Kliegman, 2006).
Menurut Kliegman, Marcdante dan Jenson (2006), dinyatakan bahwa berdasarkan
banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh, diare dapat dibagi menjadi :
a. Diare tanpa dehidrasi
Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi diare masih
dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.
b. Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)
Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau lebih, kadang-kadang
muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan menurun, aktifitas
sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau takikardia yang minimum dan
pemeriksaan fisik dalam batas normal.
c. Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)
Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang atau
langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung,
turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air mata
berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ 2 detik) dengan kulit yang dingin
yang dingin dan pucat.
d. Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)
Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan biasanya
pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang melemah,
hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin, mata dan ubun-
ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata, tidak mampu minum
dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan juga masa pengisian kapiler
sangat memanjang (≥ 3 detik) dengan kulit yang dingin dan pucat.
4. Sebagai akibat diare baik yang akut maupun khronis, maka akan terjadi: (FKUI, 2001 cit
Sinthamurniwaty 2006)
a. Kehilangan air dan elektrolit sehingga timbul dehidrasi dan keseimbangan asam basa
Kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi) serta gangguan keseimbangan asam basa
disebabkan oleh:
1) Previous Water Losses : kehilangan cairan sebelum pengelolaan, sebagai defisiensi
cairan.
2) Nomial Water Losses : kehilangan cairan karena fungsi fisiologik.
3) Concomittant Water Losses : kehilangan cairan pada waktu pengelolaan.
4) Intake yang kurang selama sakit : kekurangan masukan cairan karena anoreksia atau
muntah.
Kekurangan cairan pada diare terjadi karena:
1) Pengeluaran usus yang berlebihan
a) Sekresi yang berlebihan dari selaput lendir usus (Secretoric diarrhea) karena, gangguan
fungsi selaput lendir usus, (Cholera E. coli).
b) Berkurangnya penyerapan selaput lendir usus, yang disebabkan oleh berkurangnya
kontak makanan dengan dinding usus, karena adanya hipermotilitas dinding usus
maupun kerusakan mukosa usus.
c) Difusi cairan tubuh kedalam lumen usus karena penyerapan oleh tekanan cairan dalam
lumen usus yang hiperosmotik; keadaan ini disebabkan karena adanya substansi
reduksi dari fermentasi laktosa yang tidak tercerna enzim laktase (diare karena virus
Rota)
2) Masukan cairan yang kurang karena :
a) Anoreksia
b) Muntah
c) Pembatasan makan (minuman)
d) Keluaran yang berlebihan (panas tinggi, sesak nafas)
b. Gangguan gizi sebagai "kelaparan" (masukan kurang dan keluaran berlebihan)
Gangguan gizi pada penderita diare dapat terjadi karena:
1) Masukan makanan berkurang karena adanya anoreksia (sebagai gejala penyakit) atau
dihentikannya beberapa macam makanan o1eh orang tua, karena ketidaktahuan.
Muntah juga merupakan salah satu penyebab dari berkurangnya masukan makanan.
2) Gangguan absorpsi. Pada diare akut sering terjadi malabsorpsi dari nutrien mikro
maupun makro. Malabsorpsi karbohidrat (laktosa, glukosa dan fruktosa) dan lemak
yang kemudian dapat berkembang menjadi malabsorpsi asarn amino dan protein. Juga
kadang-kadang akan terjadi malabsorpsi vitamin baik yang larut dalam air maupun yang
larut dalam lemak (vitamin B12, asam folat dan vitamin A) dan mineral trace (Mg dan
Zn).
Gangguan absorpsi ini terjadi karena:
a) Kerusakan permukaan epitel (brush border) sehingga timbul deplisit enzim laktase.
b) Bakteri tumbuh lampau, menimbulkan:
(1) Fermentasi karbohidrat
(2) Dekonjugasi empedu.
Kerusakan mukosa usus, dimana akan terjadi perubahan struktur mukosa usus dan
kemudian terjadi pemendekan villi dan pendangkalan kripta yang menyebabkan
berkurangnya permukaan mukosa usus.
Selama diare akut karena kolera dan E. coli terjadi penurunan absorpsi
karbohidrat, lemak dan nitrogen. Pemberian masukan makan makanan diperbanyak
akan dapat memperbaiki aborpsi absolut sampai meningkat dalam batas kecukupan
walaupun diarenya sendiri bertambah banyak. Metabolisme dan absorpsi nitrogen
hanya akan mencapai 76% dan absorpsi lemak hanya 50%.
3) Katabolisme
Pada umumnya infeksi sistemik akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi endokrin,
pada penderita infeksi sistemik terjadi kenaikan panas badan. Akan memberikan
dampak peningkatan glikogenesis, glikolisis, peningkatan sekresi glukagon, serta
aldosteron, hormon anti diuretic (ADH) dan hormon tiroid. Dalam darah akan terjadi
peningkatan jumlah kholesterol, trigliserida dan lipoprotein. Proses tersebut dapat
memberi peningkatan kebutuhan energy dari penderita dan akan selalu disertai
kehilangan nitrogen dan elektrolit intrasel melalui ekskresi urine, peluh dan tinja.
4) Kehilangan langsung
Kehilangan protein selama diare melalui saluran cerna sebagai Protein loosing
enteropathy dapat terjadi pada penderita campak dengan diare, penderita kolera dan
diare karena E. coli. Melihat berbagai argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa
diare mempunyai dampak negative terhadap status gizi penderita.
c. Perubahan ekologik dalam lumen usus dan mekanisme ketahananisi usus
Kejadian diare akut pada umumnya disertai dengan kerusakan mukosa usus keadaan
ini dapat diikuti dengan gangguan pencernaan karena deplesi enzim. Akibat lebih lanjut
adalah timbulnya hidrolisis nutrien yang kurang tercerna sehingga dapat menimbulkan
peningkatan hasil metabolit yang berupa substansi karbohidrat dan asam hidrolisatnya.
Keadaan ini akan merubah ekologi kimiawi isi lumen usus, yang dapat menimbulkan
keadaan bakteri tumbuh lampau, yang berarti merubah ekologi mikroba isi usus. Bakteri
tumbuh lampau akan memberi kemungkinan terjadinya dekonjugasi garam empedu
sehingga terjadi peningkatan asam empedu yang dapat menimbulkan kerusakan
mukosa usus lebih lanjut. Keadaan tersebut dapat pula disertai dengan gangguan
mekanisme ketahanan lokal pada usus, baik yang disebabkan oleh kerusakan mukosa
usus maupun perubaban ekologi isi usus.

G. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis
metabolik.(Hendarwanto, 1996; Ciesla et al, 2003)
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tecapai rehidrasi yang optimal. (Nelwan, 2001; Soewondo, 2002; Thielman & Guerrant,
2004)
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah infeksi
EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi
C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita infeksi C. jejuni
beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan motorik dan
memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme dimana
infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp
Menurut SPM Kesehatan Anak IDAI (2004) dan SPM Kesehatan Anak RSUD
Wates (2001), Komplikasi Diare yaitu:
 Kehilangan air dan elektrolit : dehidrasi, asidosis metabolic
 Syok
 Kejang
 Sepsis
 Gagal Ginjal Akut
 Ileus Paralitik
 Malnutrisi
 Gangguan tumbuh kembang

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG LAINNYA


Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare adalah sebagai
berikut :
1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap diare kronik.
Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal. Kultur Bacteri dan
pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan adanya infeksi. Jika pasien dalam
keadaan immunocompromisedd, penting sekali kultur organisma yang tidak biasa
seperti Kriptokokus,Isospora dan M.Avium Intracellulare. Pada pasien yang sudah
mendapat antibiotik, toksin C difficle harus diperiksa.
2. Volume Feses: Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi enteric atau
imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses 24 jam harus
dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus dicatat (>250 ml/day),
kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore atau diare tanpa malabsorbsi
lemak.
3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: Jika berat feses
>300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500 gr
mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan proses
malabsorbstif.
4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu steatore,
lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merak orange per ½ lapang
pandang dari sample noda sudan adalah positif. False negatif dapat terjadi jika pasien
diet rendah lemak. Test standard untuk mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya
dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan
malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
5. Osmolalitas Feses : Dipeerlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotic atau
diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus diperiksa. Osmolalitas feses
normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290 mosm dikurangi 2 kali
konsentrasi elektrolit faeces (Na&K) dimana nilai normalnya <50 mosm. Anion organic
yang tidak dapat diukur, metabolit karbohidrat primer (asetat,propionat dan butirat) yang
bernilai untuk anion gap, terjadi dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di kolon
kedalam asam lemak rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi yang
terkumpul dalam suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam sebelum osmolalitas
diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan normal atau osmotic gap yang
rendah biasanya menunjukkan diare sekretori. Sebalinya osmotic gap tinggi
menunjukkan suatu diare osmotic.
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya Giardia E
Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora yang dideteksi
dengan modifikasi noda asam.
7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang meningkat
dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan mengesankansuatu protein
losing enteropathy akibat inflamasi intestinal. Skrining awal CBC,protrombin time,
kalsium dan karotin akan menunjukkan abnormalitas absorbsi. Fe,VitB12, asam folat
dan vitamin yang larut dalam lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk
defak absorbsi lemak pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari
obstruksi limfatik postmukosa. Protombin time,karotin dan kolesterol mungkin turun
tetapi Fe,folat dan albumin mengkin sekali rendaah jika penyakit adalah mukosa primer
dan normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau obstruksi limfatik.
8. Tes Laboratorium lainnya: Pada pasien yang diduga sekretori maka dapat diperiksa
seperti serum VIP (VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison Syndrome), calcitonin (medullary
thyroid carcinoma), cortisol (Addison’s disease), anda urinary 5-HIAA (carcinoid
syndrome).
9. Diare Factitia : Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi feses dengan
NaOH yang kan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif feses terhadap
penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses lainnya. Diantaranya Mg,SO4
dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotic seperti MgSO4,mgcitrat Na2 SO4 dan Na2
PO4.

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Biopsi Usus Halus
Biopsi usus halus diindikasikan pada (a) pasien dengan diare yang tidak dapat
dijelaskan atau steatore,(b) anemia defisiensi Fe yang tidak dapat dijelaskan yang
mungkin menggambarkan absorbsi Fe yang buruk pada celiac spure dan (c)
Osteoporosis idiopatik yang menggambarkan defisiensi terisolasi terhadap absorbs
kalsium.
2. Enteroskopi Usus Halus
Memerlukan keterampilan khusus yang dapat membantu menidentifikasi lesi pada usus
halus.
3. Protosigmoidoskopi dengan Biopsi Mukosa
Pemeriksaan ini dapat membantu dalam mendeteksi IBD termasuk colitus mikroskopik,
melanosis coli dan indikasi penggunaan kronis anthraguinone laksatif.
4. Rangkaian Pemeriksaan Usus Halus
Pemeriksaan yang optimal diperlukan bagi klinisi untuk mengetahui segala sesuatu
ayng terjadi di abdomen. Radiologis dapat melakukan flouroskopi dalam memeriksa
keseluruhan bagian usus halus atau enteroclysis yang dapat menjelaskan dalam 6 jam
pemeriksaan dengan interval 30 menit. Tube dimasukkan ke usus halus melewati
ligamentum treitz, kemudian diijeksikan suspensi barium melalui tube dan sesudah itu
1-2 liter 0,5% metil selulosa diinjeksikan.
5. Imaging
Penyebab diare dapat secara tepat dan jelas melalui pemeriksaan imaging jika
diindikasikan. Klasifikasi pada radiografi plain abdominal dapat mengkonfirmasi
pankreatitis kronis. Studi Seri Gastrointestinal aatas atau enterokolosis dapat
membantu dalam mengevaluasi Chron’s disease, Limfoma atau sindroma carcinoid.
Kolososkopi dapat membantu mengevaluasi IBD. Endoskopi dengan biopsy usus halus
berguna dalam mendiagnosa dugaan malabsorbsi akibat penyakit pada mukosa.
Endoskopi dengan aspirasi duodenum dan biopsy usus halus berguna pada pasien
AIDS, Cryptosporidium, Mccrosporida, Infeksi M Avium Intraseluler. CT Abdpminal
dapat menolong dalam mendeteksi pankreatitis kronis atau endokrin pancreas.
6. Beberapa Tes Untuk Malabsorbsi (Daldiyono, 1990 cit Sutadi, 2003)
a. Tes Untuk Menilai Abnormalitas Mukosa
1) The d-xylose absorption test: Absorbsi xylose tidak lengkap dimetabolisme di usus
halus bagian proksimal, Abnormalitas ini ditandai jika eksresi pada ginjal rendah kurang
dari 4 gram urine setelah pemberian 25 gr dosis oral. False positif terjadi pada renal
insufisiensi, hipertensi portal dan penggunaan NSAID.
2) Breath Hidrogen Test : Hidrogen dihasilkan dari fermentasi bakteri dari karbohidrat,
dimana akan meningkat pada pertumbuhan bakteri dan intolerans laktosa. Hidrogen
Breath Test akan mencapai pucaknya 2 jam setelah pertumbuhan bakteri dan 3-6 jam
pada pasien dengan defisiensi lactase atau insufisiensi pancreas. Membedakan
defisiensi lactase dan insufisiensi pancreas, pemberian enzim pancreas akan
menurunkan Breath hydrogen.
b. Test Menilai Fungsi pancreas
1) Schiling test : Protease pancreas dari ikatan R-protein diperlukan untuk pembelahan
B12 sebelum bergabung dengan factor intrinsic dimana pada insufisiensi pancreas
berat kan menurunkan absorbsi B12. Label yang digunakan adalah Cobalamin (CO)
dengan isotop yang berbeda. CO ini mengikat R protein dan factor intrinsic. Pada
insufisiensi pancreas CO tidak diabsorbsi.
2) Test Stimulasi Pankreas : Pankreas dapat distimulasi dengan CCK intravena atau
sekretin atau makanan yang mengandung lemak,protein dan karbohidrat. Cairan
pancreas diaspirasi melalui kateter dari duodenum sebagai bikarbonat atau enzim
pancreas spesifik. Tidak adanya peningkatan bikarbonat atau enzim pancreas setelah
distimulasi menunjukkan insufisiensi pancreas.
c. Test Menilai Pertumbuhan Bakreri
Kultur bakteri kuantitatif : Dilakukan intubasi pada duodenum atau jejunum
proksimal kemudian diinjeksikan NaCl steril kedalam lumen dan kemudian ddiaspirasi.
Terdapatnya >105 bakteri/ml menunjukkan pertumbuhan bakteri.

I. PENCEGAHAN DIARE
Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yang dapat
dilakukan adalah: (Kementrian Kesehatan RI, 2011)
1. Perilaku Sehat
a. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam
bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi.
ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak ada
makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula atau cairan
lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi dalam botol
yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa
menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang
akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara penuh
(memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan dari
kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan
lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-
zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada
bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih
besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora
normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab botol untuk
susu formula, berisiko tinggi menyebabkan diare yang dapat mengakibatkan terjadinya
gizi buruk.
b. Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian makanan pendamping
ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan
pendamping ASI diberikan.
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian makanan pendamping ASI, yaitu:
1) Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dan dapat teruskan
pemberian ASI. Tambahkan macam makanan setelah anak berumur 9 bulan atau lebih.
Berikan makanan lebih sering (4x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan
semua makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 x sehari, serta teruskan pemberian
ASI bila mungkin.
2) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-bijian untuk energi.
Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan
sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.
3) Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak. Suapi anak dengan
sendok yang bersih.
4) Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan panaskan
dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
c. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui Face-Oral kuman
tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui makanan, minuman atau
benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-jari tangan, makanan yang wadah atau
tempat makan-minum yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai
risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Ambil air dari sumber air yang bersih
2) Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk
mengambil air.
3) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-anak
4) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih)
5) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih dan cukup.
d. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam
penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan angka kejadian diare sebesar
47%).
e. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban
mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus
buang air besar di jamban.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh
anggota keluarga.
2) Bersihkan jamban secara teratur.
3) Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.
f. Membuang Tinja Bayi Yang Benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar
karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya.
Tinja bayi harus dibuang secara benar.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga:
1) Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban
2) Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah di jangkau olehnya.
3) Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti di dalam lubang atau
di kebun kemudian ditimbun.
4) Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan dengan sabun.
g. Pemberian Imunisasi Campak
Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk mencegah agar bayi tidak
terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare, sehingga
pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu berilah
imunisasi campak segera setelah bayi berumur 9 bulan.
2. Penyehatan Lingkungan
a. Penyediaan Air Bersih
Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air antara lain
adalah diare, kolera, disentri, hepatitis, penyakit kulit, penyakit mata, dan berbagai
penyakit lainnya, maka penyediaan air bersih baik secara kuantitas dan kualitas mutlak
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga
kebersihan diri dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut,
penyediaan air bersih yang cukup disetiap rumah tangga harus tersedia. Disamping itu
perilaku hidup bersih harus tetap dilaksanakan.
b. Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor penyakit
seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dsb. Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan
menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan sampah sangat
penting, untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Tempat sampah harus
disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap hari dan dibuang ke tempat
penampungan sementara. Bila tidak terjangkau oleh pelayanan pembuangan sampah
ke tempat pembuangan akhir dapat dilakukan pemusnahan sampah dengan cara
ditimbun atau dibakar.
c. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus dikelola sedemikian rupa
agar tidak menjadi sumber penularan penyakit. Sarana pembuangan air limbah yang
tidak memenuhi syarat

Anda mungkin juga menyukai