Hampir setiap hari kita menemukan seseorang datang untuk berobat dengan keluhan nyeri perut bagian atas, perih, mual yang kadang disertai muntah, rasa panas di dada dan perut, perasaan cepat kenyang, kembung, regurgitasi dan banyak mengeluarkan gas masam dari mulut (ruktus). Semua keluhan tersebut disebut digolongkan ke dalam sindroma dispepsia (Hadi, 2013). Dalam Konsensus Roma III pada tahun 2006, dispepsia fungsional memiliki tiga syarat yang harus terpenuhi yaitu terdapat satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri epigastrik, rasa terbakar di epigastrium, kemudian tidak terdapat bukti kelainan struktural (termasuk di dalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menjelaskan penyebab keluhan, dan keluhan yang dialami terjadi selama 3 bulan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan (Djojoningrat,2009).
Berdasarkan Kriteria Roma III, manifestasi klinis dispepsia
fungsional yang sering dikeluhkan pasien seperti nyeri ulu hati, nyeri terlokalisasi, nyeri timbul berulang, perasaan cepat kenyang, rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium, rasa penuh yang mengganggu setelah makan, dan nyeri tidak berkurang dengan buang air besar maupun flatus. Dispepsia fungsional adalah diagnosis eksklusi, sehingga dokter harus fokus pada penyakit, tanpa menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menyelidiki gejala. Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Gejala dari dispepsia fungsional diantaranya rasa penuh setelah makan, kembung, cepat kenyang, nyeri di daerah epigastrium seperti rasa terbakar tanpa ditemukan bukti adanya penyakit struktural yang menyebabkan timbulnya gejala. Gejala-gejala ini dapat muncul berdampingan dengan gejala gangguan pencernaan, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome, anxietas dan depresi (Wang, 2009). Kejadian dispepsia di masyarakat tergolong tinggi. Di berbagai survei yang telah dilakukan, semua subyek penelitian berusia 18 tahun ke atas. Namun kebanyakan survei menunjukkan tidak ada kaitan kelompok usia dengan kejadian dispepsia (Mahadeva, 2010). Pada penelitian di Rumah Sakit Martha Friska di Medan pada tahun 2007, kasus dispepsia fungsional sebanyak 160 dari 203 pasien dispepsia yang diperiksa (Harahap, 2009).
1.2. Rumusan Masalah
Belum diketahuinya gambaran diagnostik dan penatalaksanaan pasien dispepsia fungsional di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat pada tahun 2016.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran diagnostik dan penatalaksanaan dispepsia fungsional di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat tahun 2016.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita dispepsia fungsional berdasarkan karakteristik jenis kelamin, dan pekerjaan. 2. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita dispepsia fungsional berdasarkan anamnesis. 3. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita dispepsia fungsional berdasarkan pemeriksaan fisik. 4. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita dispepsia fungsional berdasarkan pemeriksaan penunjang. 5. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita dispepsia fungsional berdasarkan penatalaksanaan farmakologi. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk : 1. Menambah pengetahuan dan keterampilan penulis khususnya tentang gambaran diagnostik dan penatalaksanaan pasien dispepsia fungsional. 2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti gambaran diagnostik dan penatalaksanaan dispepsia fungsional. 3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi yang benar