Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gizi adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi individu atau
masyarakat dan karenanya merupakan masalah isu fundamental dalam
kesehatan masyarakat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat
kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama
penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal istilah Human
Development Index.
Masalah gizi masih menjadi perhatian di negara berkembang termasuk
Indonesia. Kekurangan gizi berupa energi protein dapat bersifat akut (wasting),
bersifat kronis (stunting) dan bersifat akut dan kronis. Kurang gizi kronis
(stunting) dapat berisiko terhadap penyakit dan kematian, anak yang bertahan
hidup cenderung memiliki prestasi tidak baik di sekolah. Selain masalah
kognitif dan prestasi sekolah, stunting juga mempengaruhi produktivitas
ekonomi di masa dewasa dan hasil reproduksi ibu (Jihad, 2016).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Balita pendek dan sangat pendek adalah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study). Menurut
Kementrian Kesehatan (Kemenkes), stunting adalah anak balita dengan nilai
Z-Scorenya <-2 SD (stunted) dan <-3 SD.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan
gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari janin masih
dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan
gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, hal ini
menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak
maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang,

1
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia
(MCA Indonesia).
Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
Intervensi yang paling banyak menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi
stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1000 HPK. Beberapa faktor yang
menjadi penyebab stunting adalah praktek pengasuhan yang kurang baik,
masih terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses rumah tangga untuk
mekanan bergizi, kurangnya akses air bersih dan sanitasi.
Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat prevalensi stunting nasional
mencapai 30,8%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%), 2007 (36,8%) dan 2013
(37,2%). Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak
Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia
lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar
(35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%) (MCA Indonesia).
Prevalensi stunting bayi berusia dibawah lima tahun (balita) di Nusa
Tenggara Timur mencapai 40,3%, tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi
lain di Indonesia. Angka tersebut diatas prevalensi stunting nasional sebesar
29,6%. Prevalensi stunting di NTT terdiri dari bayi dengan kategori sangat
pendek 18% dan pendek 22,3%. Stunting erat kaitannya dengan masalah gizi
kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama,
umumnya karena asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi
(PSG 2017).
Di Kota Kupang, sebanyak 233 balita mengalami stunting hal ini
berdasarkan laporan bulanan rekapitulasi penimbangan bayi balita di 11
puskesmas pada bulan September 2018. Berdasarkan data laporan stunting
pada bulan Januari-September 2018 sebanyak 98 balita mengalami stunting di
Puskesmas Bakunase.
Berdasarkan latar belakang tingginya kasus stunting di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, terkhusus di wilayah Kota Kupang, maka peneliti ingin

2
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Determinan Kejadian Stunting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Tahun 2018”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana determinan kejadian stunting pada balita di
Puskesmas Bakunase Tahun 2018?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan kejadian
stunting pada balita di Puskesmas Bakunase Tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui hubungan ASI Eksklusif dengan kejadian stunting
pada balita di Puskesmas Bakunase tahun 2018;
b. Untuk mengetahui hubungan riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
stunting pada balita di Puskesmas Bakunase tahun 2018;
c. Untuk mengetahui hubungan riwayat BBLR dengan kejadian stunting
pada balita di Puskesmas Bakunase tahun 2018, dan
d. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan
kejadian stunting pada balita di Puskesmas Bakunase tahun 2018.
D. Manfaat
1. Bagi Puskesmas
Diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi
pemegang program gizi dalam mengetahui faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting di Puskesmas Bakunase tahun 2018. Sehingga
dalam pengambilan keputusan dapat menyusun rencana strategis yang
tepat.

2. Bagi Masyarakat

3
Sebagai bahan masukan dan sebagai informasi tambahan mengenai
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting sehingga lebih
bisa memerhatikan dan merawat kondisi fisik dari kehamilannya sampai
dengan kondisi anaknya

BAB III

4
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Desain rancangan penelitian ini dengan menggunakan metode survei
analitik. Survei analitik didefinisikan sebagai survei atau penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa suatu fenomena kesehatan terjadi
yang kemudian dilakukan analisis dinamika kolerasi antara faktor risiko
dengan faktor efek. Pendekatan yang digunakan adalah case control study,
dimana suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko
dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective atau efek (penyakit
atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko
diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu. (Notoatmodjo, 2014).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bakunase.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November 2018.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang menderita stunting
dan balita yang tidak menderita di wilayah kerja Puskesmas Bakunase.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Notoatmodjo, 2014). Sampel dalam penelitian ini
diambil dengan menggunakan simple random sampling, sehingga sampel
dalam penelitian ini adalah 41 balita yang terdiri dari 31 balita yang
menderita stunting dan 10 balita tidak menderita stunting di wilayah kerja
Puskesmas Bakunase.
D. Jenis Data
Jenis Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang di peroleh langsung oleh peneliti
meliputi variable pola asuh ibu, riwayat penyakit infeksi, riwayat BBLR, serta

5
status ekonomi. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner.
Data sekunder adalah data yang didapat oleh peneliti dari pihak kedua.
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan dari
laporan pencatatan stunting pada balita di Puskesmas Bakunase
E. Defenisi Operasional
No. Variable Defenisi Kriteria Objektif Alat Skala
Operasional Ukur Data
1 Pemberian Bayi berumur 0- 1. ASI Eksklusif: Kuesioner Nominal
ASI 6 bulan yang bayi hanya
Eksklusif hanya diberikan diberikan ASI
ASI saja tanpa hingga bayi
makanan/minum berumur 6 bulan
an tambahan 2. Tidak ASI
lainnya. Eksklusif: bayi
diberikan
makanan/minu
man selain ASI
saat bayi
berumur <6
bulan
2 Riwayat Panyakit infeksi 1. Ya: balita Kuesioner Nominal
Penyakit akut dan kronis pernah/sedang
Infeksi yang pernah atau menderita
sedang diderita penyakit infeksi
balita dalam 1 seperti ISPA,
tahun terakhir. Malaria,
Pneumonia dan
lain-lain

6
2. Tidak, balita
tidak pernah
menderita
penyakit infeksi
seperti ISPA,
Malaria,
Pneumonia dan
lain-lain dalam 1
tahu terakhir.
3 BBLR Suatu keadaan 1. BLLR: balita Kuesioner Nominal
dimana bayi dengan berat
lahir dengan lahir <2.500
berat lahir gram
<2.500 gram. 2. Tidak BBLR,
balita dengan
berat lahir ≥2.500
gram.
4 Tingkat Total pendapatan 1. Rendah: total Kuesioner Nominal
Pendapatan tetap dan pendapatan
Keluarga sampingan keluarga
anggota keluarga <Rp.1.250.000
yang sudah 2. Tinggi: total
bekerja. pendapatan
keluarga
≥Rp.1.250.000
5 Stunting Kondisi dimana 1. Stunting: z-score Nominal
tinggi badan a. Pendek: apabila dan rekam
balita dibawah TB/U balita <-2 medik
normal yang SD
ditandai dengan

7
perbandingan b. Sangat Pendek:
TB/U <-2 SD apabila TB/U
dan <-3 SD. balita <-3 SD.
2. Tidak stunting:
apabila TB/U
balita ≥-2 SD

F. Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
laptop, meliputi kegiatan pemeriksaan data (editing), pengkodean data
(coding), memasukan data ke laptop (entry), dan pembersihan data (cleaning).
Data yang dikumpulkan adalah data-data mengenai identitas responden, ASI
Ekskuslif, riwayat penyakit infeksi, riwayat BBLR dan tingkat pendapatan
keluarga. Kemudian, data-data ini dialysis dengan menggunakan analisis
univariat dan bivariate.
Analisis univariat dilakukan pada setiap variable penelitian. Pada
umumnya dalam analisis univariat hanya menghasilkan distribusi dari tiap
variable yang selanjutnya data dimasukan dalam table data frekuensi
(Notoatmodjo, 2014). Analisis bivariate merupakan analisa hasil dari variable-
variabel bebas yang diduga mempunyai pengaruh dengan variable terikat.
Analisis data yang digunakan adalah table silang/uji chi square.

8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Analisis Univariat
Hasil pengumpulan data pada balita stunting dan tidak stunting diwilayah
kerja Puskesmas Bakunase di Kecamatan Kota Raja, responden memiliki
beberapa karakteristik yang meliputi umur balita, jenis kelamin, pendidikan
ibu, umur ibu. Karakteristik balita pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Balita Bedasarkan Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Bakunase Tahun 2018
No. Umur Balita Total %
1. 0-36 Bulan 28 68,3
2. 37-60 Bulan 13 31,7
Total 41 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi balita


menurut kelompok umur yang tertinggi pada rentang umur 0-36 bulan yaitu
sebesar 28 balita (68,3%).

Tabel 4.2 Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah


Kerja Puskesmas Bakunase Tahun 2018

No. Jenis Kelamin Total %

1 Perempuan 18 43,9

2 Laki-Laki 23 56,1

Total 41 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi balita


menurut jenis kelamin yang tertinggi pada balita berjenis kelamin laki-laki
yaitu sebesar 23 balita (56,1%).

9
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Ibu Berdasarkan Umur di Wilayah
Kerja Puskesmas Bakunase Tahun 2018

No Umur Total %
Ibu

1 15-20 tahun 1 2.4


2 21-25 tahun 14 34,1
3 26-30 tahun 11 26,8
4 31-35 tahun 8 19,5
5 36-40 tahun 3 7,3
6 ≥40 tahun 4 9,8
Total 41 100

Tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa distribusi ibu berdasarkan umur
lebih banyak pada umur 21-25 tahun yaitu sebanyak 14 ibu (34,1%)
dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.

Tabel 4.4 Distribusi Karakteristik Ibu Berdasarkan Tingkat Pendidikan


di Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Tahun 2018
No Pendidikan Total %
Ibu

1 Tidak Sekolah 1 2,4


2 SD 8 19,5
3 SMP 5 12,2
4 SMA 20 48,8
5 D1/D2/D3 0 0
6 Sarjana 7 17,1
Total 41 100

Tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa distribusi ibu berdasarkan


tingkat pendidikan lebih banyak berada pada lulusan tingkat SMA yaitu
sebanyak 20 ibu (48,8%).

10
2. Analisis Bivariat
Tabel 4.5 Analisis Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif
dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Bakunase Tahun 2018
ASI Ekslusif Kejadian Stunting OR P-value
Ya Tidak (95%
CI)
Ya 6 4
Tidak 25 6 0,360 0,186
Total 31 10

Tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa balita yang tidak ASI Ekslusif
dan menderita stunting sebanyak 25 balita, sedangkan balita yang diberikan
ASI Ekslusif dan mengalami stunting sebanyak 6 balita. Hasil pengujian
statistik diperoleh p-value 0,186 (p-value 0,05) dengan nilai OR 0,360.
Hasil ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting.

Tabel 4.6 Analisis Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan


Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Bakunase Tahun 2018
Riwayat Kejadian Stunting OR P-value
Penyakit (95%
Infeksi CI)
Ya Tidak
Ya 25 6
Tidak 6 4 2,778 0,186
Total 31 10

Tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa balita yang memiliki riwayat
penyakit infeksi dan menderita stunting sebanyak 25 orang, sedangkan
balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi dan yang menderita

11
stunting sebanyak 6 orang. Hasil pengujian statistik diperoleh p-value 0,186
(p-value 0,05) dengan nilai OR 2,778. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi
dengan kejadian stunting.

Tabel 4.7 Analisis Hubungan Riwayat BBLR dengan Kejadian


Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Bakunase Tahun 2018
BBLR Kejadian Stunting OR P-value
Ya Tidak (95%
CI)
Ya 17 1
Tidak 14 9 10,929 0,013
Total 31 10

Tabel 4.7 di atas dapat dilihat bahwa balita yang memilki BB Lahir
<2500 gr (BBLR) yang menderita stunting sebanyak 17 orang, sedangkan
balita yang yang memilki BB Lahir >2500 gr (Normal) dan menderita
stunting sebanyak 14 orang. Hasil pengujian statistik diperoleh p-value
0,013 (p-value 0,05) dengan nilai OR 10,929. Hasil ini dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara BBLR dengan kejadian
stunting.

Tabel 4.8 Analisis Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan


Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Bakunase Tahun 2018

Tingkat Kejadian Stunting OR P-


Pendapatan Ya Tidak (95% value
Keluarga CI)
Rendah 22 3
Tinggi 9 7 5,704 0,021
Total 31 10

Tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa balita yang berasal dari
keluarga dengan tingkat pendapatan keluarga rendah dan yang menderita

12
stunting sebanyak 22 orang, sedangkan balita yang berasal dari keluarga
dengan total pendapatan keluarga tinggi dan menderita stunting sebanyak 9
orang. Hasil pengujian statistik diperoleh p-value 0,021 (p-value 0,05)
dengan nilai OR 5,704. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan keluarga dengan
kejadian stunting.

B. Pembahasan
1. Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting
Hasil penelitian tentang ASI Ekslusif terhadap kejadian stunting
didapatkan p-value >0,05 dan OR 0,360. Hal ini menunjukan bahwa
pemberian ASI Ekslusif tidak berhubungan secara signifikan terhadap
kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Putra tahun 2016
yang menemukan bahwa pemberian ASI Ekslusif tidak memiliki hubungan
dengan kejadian stunting. Akan tetapi jika tidak memberikan ASI Ekslusif
akan meningkatkan risiko sebesar 0,360 terhadap kejadian stunting.
Berat badan lahir rendah adalah gambaran masalah kesehatan
masyarakat, mencakup masalah kurang gizi pada ibu hamil dan perawatan
kehamilan yang tidak memadai, sehingga ibu kemudian melahirkan anak
dengan berat badan <2500 gr. Berat lahir umumnya sangat terkait dengan
pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang dari anak, sehingga jika
seorang ibu melahirkan bayi dengan BBLR maka bayi tersebut akan
mengalami masalah dalam pertumbuhan atau disebut juga dengan gagal
tumbuh (grouth falthering). Gagal tumbuh tersebut menyebabkan anak
menjadi stunting.
2. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Kejadian Stunting
Hasil penelitian tentang penyakit infeksi terhadap kejadian stunting
didapatkan p-value >0,05 dan OR 2,778. Hal ini menunjukan bahwa
penyakit infeksi tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap
kejadian stunting.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gerungan dkk
pada tahun 2014 yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara

13
riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting. Berbeda dengan
penelitian Anshori tahun 2013 dalam penelitiannya menayatakan bahwa
anak dengan riwayat penyakit infeksi seperti ISPA berisiko 4 kali lebih
untuk mengalami stunting.

3. Hubungan BBLR dengan Kejadian Stunting


Hasil penelitian tentang BBLR terhadap kejadian stunting
didapatkan p-value <0,05 dan OR 10,929. Hal ini menunjukan bahwa
BBLR memiliki hubungan secara signifikan dengan kejadian stunting,
dimana balita yang lahir dengan BBLR memiliki risiko 10,92 kali
mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat
badan dan panjang badan normal.
Hal ini sejalan dengan penelitian Oktarina dan Sudiarti tahun 2013
yang menemukan bahwa ada hubungan antara berat lahir dengan kjadian
stunting pada balita. Balita yang memiliki berat lahir kurang mempunyai
risiko 1,31 kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita berat lahir
normal. Penelitian lainnya yang mendapatkan hasil yang sama dengan ini
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Putra tahun 2016 yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara kejadian stunting dengan riwayat BBLR.
Balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah memiliki risiko 3 kali
mengalami stunting.
Faktor yang dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir
rendah adalah status gizi ibu pada saat hamil. Ibu yang kurang gizi pada saat
hamil besar kemungkinan akan melahirkan bayi dengan BBLR. Ukuran
bayi saat lahir berhubungan dengan ukuran pertumbuhan anak karena
ukuran bayi berhubungan dengan pertumbuhan linier anak, tetapi selama
anak tersebut mendapatkan asupan yang memadai dan terjaga kesehatannya,
maka kondisi panjang badan dapat dikejar dengan pertumban seiring dengan
bertambahnya usia anak (Fitri, 2017).
4. Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Stunting

14
Hasil penelitian tentang tingkat pendapatan keluarga terhadap
kejadian stunting didapatkan p-value <0,05 dan OR 5,704. Hal ini
menunjukan bahwa tingkat pendapatan keluarga berhubungan secara
signifikan terhadap kejadian stunting, dan balita dengan orangtua yang
memiliki tingkat pendapatan rendah memiliki risiko 5,70 kali mengalami
stunting dibandingkan dengan balita dengan orangtua memiliki tingkat
pendapatan tinggi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Oktarina dan Sudiarti tahun 2013
yang menemukan bahwa balita yang berasal dari keluarga dengan
pendapatan keluarga rendah lebih banyak menagalami stunting
dibandingkan balita dari keluarga dengan pendapatan keluarga tinggi.
Secara statistik hasil penelitian ini menunjukan bahwa balita yang berasal
dari keluarga dengan tingkat pendapatan rendah 1,29 kali berisiko
mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan
tingkat pendapatan keluarga tinggi.
Keluarga dengan tingkat pendapatan rendah akan mempunyai
kesempatan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizi rendah, sehingga
anak lebih rentan terjadi stunting. Keluarga dengan tingkat pendapatan
tingggi memiliki kesempatan untuk memilih bahan makanan yang
bervariatif serta kebutuhan zat gizi tercukupi, sehingga risiko kejadian
masalah gizi dapat ditekan (Anshori, 2013).

15
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tidak ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bakunase.
2. Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bakunase.
3. Ada hubungan antara riwayat BBLR dengan kejadian stunting pada balita
di wilayah kerja Puskesmas Bakunase, dengan OR 10,929 atau balita
dengan riwayat BBLR memiliki risiko 10,929 kali mengalami stunting
dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat lahir normal.
4. Ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian stunting
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bakunase, dengan OR 5,704 atau
balita dari keluarga dengan tingkat pendapatan rendah memiliki risiko 5,704
kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan
tingkat pendapatan tinggi.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas
Puskesmas Bakunase dapat selalu melakukan penimbangan berat
badan dan pengukuran panjang badan dan tinggi badan balita setiap
bulannya, sehingga perkembangan pertumbuhan anak dapat selalu dipantau,
dan juga agar puskesmas meningkatkan cakupan layanan ANC, baik K1, K2
dan K4 sehingga seluruh ibu hamil dapat memeriksakan kehamilannya dan
kesehatan janinnya dijaga sehingga tidak lagi lahir bayi BBLR.
2. Bagi Masyarakat
Masyarakat terutama yang memiliki keluarga atau anak yang masih
balita agar selalu membawa balita ke posyandu setiap bulannya sehingga
pertumbuhan balita dapat dipantau, menjaga asupan gizi pada ibu hamil, ibu
menyusui dan pada bayi dan balita sehingga tidak terjadi masalah gizi yang
membawa dampak negative bagi ibu dan bayi.

16

Anda mungkin juga menyukai