Anda di halaman 1dari 19

KEBIJAKAN EKONOMI DI MASA PEMERINTAHAN SAHABAT

RASULULLAH SAW.
(KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB)

Kelompok 10 :
1. Naimatul Husniah (20151021031111)
2. Usnul Mawati (201510210311113)

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang. ............................................................................................. 3
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
2.1. Sekilas tentang Umar bin Khattab ................................................................. 5
2.2. Membangun Lembaga Baitul Mâl ................................................................. 6
2.3. Membangun lembaga Hisbah. ..................................................................... 10
2.4. Reformasi atas hak tanah. ............................................................................ 11
2.5. Keutamaan dan Kelemahan Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab .......... 13
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 16
3.1. Penutup ........................................................................................................ 16
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah
laboratarium umat manusia. Ekonomi sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali
kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan
kecenderungan-kecenderungan jangka panjang dalam berbagai variabel ekonomiknya.
Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran
ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha
dan ilmu ekonomi (itu sendiri).
Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti ini akan
membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di
satu pihak, dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi
Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan
membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya. Di antara
beberapa kajian sejarah pemikiran ekonomi adalah kajian ekonomi di zaman Khulafâ
Râsyidûn dan sistem perekonomian yang dibangun pada masa pemerintahan mereka.
Di zaman itu, terdapat beberapa sistem perekonomian Islam, seperti penarikan zakat
yang tegas di zaman Abu Bakar, dan beberapa reformasi dan perombakan sistem yang
digalakkan pada masa khalifah Umar bin Khattab, bahkan ada sistem yang baru
dikenal dan dicetuskan dalam sejarah Islam di periode pemerintahannya. Kemudian
sumber daya alam dikembangkan di zaman Utsman bin Affan dan penghargaan
terhadap para pensiunan pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
Salah satu khalifah yang paling sukses dari Khulafâ Râsyidûn tersebut dalam
memimpin dan mensejahterakan rakyatnya adalah Umar bin Khattab. Sosok Umar
dikenal tegas dalam memimpin, sederhana dalam kehidupan sehari-harinya, dan taat
dalam beragama. Sosok kepemimpinan seperti ini sangat jarang, bahkan tidak
ditemukan di zaman sekarang ini. Karena itulah diperlukan suatu kajian tentang
kesuksesan Umar dalam memimpin, agar bisa dijadikan teladan oleh para pemimpin
mana pun.

3
Aspek yang bisa dikaji dalam makalah ini adalah kajian terhadap reformasi
sistem ekonomi yang telah diberlakukannya. Karena bidang ekonomi merupakan salah
satu bidang yang paling utama dalam mengukur kesuksesan suatu pemerintahan.
Banyak kalangan sejarawan yang menilai bahwa Umar sukses mensejahterakan
perekonomian umat muslim dan non-muslim saat itu. Maka dalam tulisan makalah
yang sederhana ini, penulis akan mengulas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
Umar bin Khattab di bidang ekonomi saat menjabat sebagai khalifah. Kajian kebijakan
ekonomi Umar ini difokuskan pada tiga kebijakan, yaitu pendirian lembaga baitul mal,
pendirian lembaga al-hisbah, dan reformasi kepemilikan tanah, berdasarkan pada data-
data sejarah yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber. Semoga tulisan makalah
ini dapat menambah khazanah keilmuan kita di kemudian hari.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi sahabat yaitu Umar bin Khattab ?
2. Bagaimana pembangunan Lembaga Baitul Mâl ?
3. Bagaimana pembangunan lembaga Hisbah?
4. Bagaimana reformasi atas hak tanah ?
5. Bagaimana keutamaan dan kelemahan kebijakan ekonomi Umar bin
Khattab?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui biografi sahabat yaitu Umar bin Khattab.
2. Mengetahui pembangunan Lembaga Baitul Mâl.
3. Mengetahui pembangunan lembaga Hisbah.
4. Mengetahui reformasi atas hak tanah.
5. Mengetahui keutamaan dan kelemahan kebijakan ekonomi Umar bin
Khattab.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sekilas tentang Umar bin Khattab
Nama beliau adalah Umar bin Khattab, putera dari Nufail al-Quraisy, dari suku
Bani Aidi. Di masa jahiliyyah, Umar bekerja sebagai seorang saudagar. Dia menjadi
duta kaumnya di kala timbul peristiwa-peristiwa penting antara kaumnya dengan suku
Arab yang lain.Umar masuk Islam tatkaka berumur dua puluh enam tahun. Beliau
diberi gelar dengan nama “al-Fârûq“, karena dengan pribadi Umar itulah Allah
membedakan antara yang hak dan yang batil. Sesuai dengan do'a Nabi saw
terhadapnya: “Ya Allah! Muliakan Islam dengan kehadiran Umar“.
Umar menerima jabatan khalifah dengan wasiat dari Abu Bakar ra, kemudian
disepakati oleh kaum muslimin saat itu. Abu Bakar mengambil inisiatif seperti ini,
karena ia berpikir jika tidak dicalonkan siapa yang akan menggantikannya, ia khawatir
akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam seperti sebelum pengangkatannya
sebagai khalifah. Ketika itu hampir saja terjadi perebutan kekuasaan pemerintahan
antar kaum muslimin. Terlebih lagi saat itu umat Islam sedang berperang menghadapi
bangsa Persia dan Romawi.
Ketika Umar memegang tampuk kursi khilafah menggantikan Abu Bakar ra
pada tahun 13 H, ia menyebut dirinya dengan gelar “Khalîfatu khalîfati Rasûlillâh“,
yaitu pengganti penggantinya Rasulullah saw. Selain itu, gelar yang disandang oleh
Umar dalam memegang urusan khilafah adalah “amîrul mukminîn“. Hal ini
disebabkan karena gelar “khalîfatu khalîfati Rasûlillâh” terlalu panjang hingga
sebagian sahabat berkumpul dan mengeluarkan ide dengan gelar baru: “Kami adalah
orang-orang beriman sedangkan Umar adalah pemimpinnya (amir)”. Sejak itulah gelar
“amîrul mukminîn” untuk sang khalifah populer, dan Umar merupakan orang yang
pertama kali mendapat gelar tersebut sebagai khalifah.
Saat Umar memerintah, wilayah kekuasaan Islam sudah begitu meluas, yang
mana meliputi jazirah Arab, sebagain wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina,
dan Mesir), serta seluruh kekuasaan Persia, termasuk Irak. Karena luasnya wilayah
kekuasaan Islam, maka Umar memerlukan usaha yang keras dan kontinyu, baik
optimalisasi devisa negara, perencanaan sistem ekonomi, anggaran, operasional kerja
ataupun pengawasannya.

5
Selama Umar memimpin pemerintahan, ia sangat memperhatikan rakyat yang
dipimpinnya. Ia selalu mendengarkan keluhan dan protes rakyatnya, jalan ke pasar,
keliling mengontrol rakyatnya di jalan, bahkan sering dengan menyamar sebagai
rakyat biasa, sebab sulit membedakan antara penampilan dirinya dengan rakyat biasa
jika tidak pernah mengenalnya.
Umar wafat pada hari rabu bulan dzulhijjah 23 H. Ia ditikam oleh seseorang yang
bernama Abu Lu`lu`ah, ketika sedang memimpin solat subuh berjamaah. Periode
pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun 5 bulan 21 malam.
2.2. Membangun Lembaga Baitul Mâl
Al-Mawardi menyebutkan bahwa baitul mâl adalah semacam pos yang
dikhususkan untuk semua pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum
muslimin. Tiap hak yang wajib dikeluarkan untuk kepentingan kaum muslimin maka
hak tersebut berlaku untuk baitul mâl, maka harta tersebut telah menjadi bagian dari
pengeluaran baitul mâl, baik dikeluarkan dari kasnya maupun tidak.
Adapun kewajiban baitul mâl adalah untuk mengamankan harta benda yang
tersimpan di kas, dan untuk mengurus penerimaan kekayaan perbendaharaan yang
meliputi:
1. Mengurus nilai yang diterima, umpamanya dengan cara kompensasi untuk
membayar para serdadu atau harga senjata dan kuda.
2. Mengurus kepentingan umum.
Sebenarnya gagasan sistem baitul mâl (puclic treasury) ini sudah ada dan dikenal
di zaman Rasulullah saw dan khalifah yang pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ra, namun
tidak secara kelembagaan. Di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, fungsi baitul
mâl lebih dikembangkan dan diefektifkan lagi, dengan mendirikan lembaga khusus
untuk pengurusan dan pengelolaannya.
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi baitul mâl dilatarbelakangi oleh
kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bahrain dengan
membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharâj sebesar 500.000 dirham. Hal ini
terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena itulah, Umar mengambil inisiatif memanggil dan
mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan harta hasil
pengumpulan pajak tersebut. Maka seluruh anggota kabinet (syûrâ) bersidang dan
diminta pendapat mereka tentang penggunaan uang tersebut. Sahabat Ali lebih

6
cenderung membagikannya kepada umat, tapi khalifah Umar menolak. Pada saat-saat
yang menentukan itu, Walid bin Hisyam menyatakan bahwa dia pernah melihat raja
Syria menyimpan harta benda secara terpisah dari badan eksekutif. Umar menyetujui
pendapat ini dan lembaga perbendaraan umat Islam pun mulai terbentuk nyata. Harta
benda tersebut pertama kali disimpan di ibukota Madinah. Dan untuk menangani
lembaga tersebut, Umar menunjuk Abdullah bin Arqam sebagai bendahara negara
dengan Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.
Riwayat pendirian baitul mâl secara institusional di atas mengisyaratkan bahwa
ide pendirian tersebut tidak orisinil dari Islam, akan tetapi berasal dari pengaruh
pemerintahan-pemerintahan yang ada di masa itu, seperti pemerintahan kerajaan
Romawi dan Persia. Adopsi sistem keuangan tersebut tidak lantas menyebabkan Umar
akan mengaplikasikannya sama seratus persen dengan sistem pemerintahan kerajaan
yang lain. Akan tetapi sistem dari non-Islam itu tetap dipilah dan dipilih sehingga tidak
menyalahi aturan ketentuan syariat Islam.
Kebijakan yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya
adalah dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:
1. Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan
jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mâl pusat dan
dibagikan kepada delapan ashnâf, seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.
2. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada fakir
miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah
ia seorang muslim atau bukan.
3. Pendapatan kharâj, fai, jizyah, `ushr, dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan
untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya
operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
4. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja,
pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk diterapkan
dalam pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar suatu sumber pendapatan
tidak tercampur dengan sumber pendapatan yang lain. Seperti zakat dan pajak.
Redistribusi pendapatan hasil zakat, sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu
kepada 8 golongan (ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari

7
hasil pengumpulan zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk
disesuaikan dengan kebutuhan sosial. Sedangkan redistribusi pajak dapat ditentukan
oleh khalifah. Dan umumnya hasil pemungutan pajak ditujukan untuk pembangunan
negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak mempunyai wewenang dalam
membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mâl yang berupa zakat.
Selanjutanya dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar mendirikan
beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
1. Departemen pelayanan militer. Departemen ini berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam
peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan
keluarga setiap penerima dana.
2. Departemen kehakiman dan ekskutif. Departemen ini bertanggung jawab
terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini
ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi
kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang
diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-
batas kewajaran.
3. Departemen pendidikan dan pengembangan Islam. Departemen ini
mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam
beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
4. Departemen jaminan sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan
dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
Di samping mendirikan beberapa departemen dalam pendistribusian harta baitul
mâl, Umar juga menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia tidak
senang memberikan bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah berjuang
menentang Rasulullah saw dengan orang-orang yang telah berjuang membela beliau.
Menurut pendapatnya bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan
jika menetapkan bagian seseorang dari kelebihan harta bangsa itu. Prinsip keadilan
menghendaki bahwa usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam
memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.
Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân, yang menurut pendapat terkuat
mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia

8
menunjuk sebuah komite nassâb ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib,
Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus
penduduk.
Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan
yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta baitul mâl sebagai berikut:
No Penerima Jumlah
1 Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib @ 12.000 dirham
2 Para istri Nabi selain Aisyah @ 10.000 dirham
3 Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr @ 5.000 dirham
4 Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia @ 4.000 dirham
5 Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Mekah @ 3.000 dirham
6 Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang @ 2.000 dirham
memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah,
anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang
perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang
menghadiri perjanjian Hudaibiyyah.

Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan


800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria
dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang
baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping
itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu,
dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap
wilayah. Peran negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan
makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama
kali terjadi dalam sejarah dunia.
Sebagaimana yang diketahui tentang sosok Umar yang tegas dan
bertanggungjawab, maka Umar melarang pihak ekskutif turut campur dalam
mengelola harta baitul mâl. Kebijakan Umar ini bertujuan agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang dalam tugas, atau penyalahgunaan pendistribusian
pendapatan negara untuk kepentingan pribadi.

9
2.3. Membangun lembaga Hisbah.
Hisbah adalah kantor atau lembaga yang berfungsi untuk mengontrol pasar dan
moral (adab) secara umum. Dalam implementasinya, lembaga al-hisbah memiliki
empat rukun, yaitu:
1. Muhtasib (Pengelola al-hisbah) adalah orang yang menjalankan tugas-tugas al-
hisbah. Pengelola ini harus memenuhi persyaratan seperti: muslim, mukallaf,
merdeka, mendapat rekomendasi dari pemerintah setempat, mampu, dan
berilmu.
2. Muhtasab `alaih, yaitu orang atau pihak yang melakukan perbuatan-perbuatan
atau meninggalkan jenis-jenis perbuatan tertentu yang wajib atau boleh
dikenakan tindakan al-hisbah. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang muhtasib
tidak boleh pilih kasih dalam menindak dan mengenakan al-hisbah atas mereka.
3. Mushatab fîh, yaitu obyek al-hisbah yang meliputi berbagai macam perbuatan,
baik yang bersifat positif maupun negatif. Pelanggaran yang dilakukan oleh
muhtasab fîh ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Kemungkaran tersebut harus nyata, lahir dan diketahui.
 Kemungkaran tersebut sedang berlaku.
 Kemungkaran tersebut disepakati oleh konsensus ulama fiqih.
4. Nafs al-ihtisâb, yaitu cara atau tindakan al-hisbah. Tujuan dari tindakan al-
hisbah adalah penghapusan segala tindakan kemungkaran sekaligus
menggantinya dengan kebajikan dan kemaslahatan sehingga tercipta rasa aman
dan tentram serta keadilan dalam komunitas masyarakat.
Adapun segmen kegiatan al-hisbah terhadap kontrol ekonomi itu di antaranya
adalah:
a. Membuat ketentuan hukum yang jelas agar tidak terjadi penyelewengan dalam
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki.
b. Mengontrol kesempurnaan alat takaran dan timbangan para penjual.
c. Pedagang tidak dibenarkan untuk menyembunyikan kerusakan atau cacat yang
ada pada barang perniagaannya dan dilarang bersumpah palsu dalam transaksi
jual beli.
d. Mengawasi jalur perdagangan tetap terbuka. Tindakan ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penimbunan barang

10
dari segelincir orang yang berakibat pada kelangkaan beberapa jenis barang,
yang pada gilirannya berimplikasi pada terjadinya inflasi.
e. Pedagang dilarang mengadakan monopoli terhadap suatu produk pasar tertentu.
f. Menentukan harga standar bagi produk-produk yang akan dipasarkan.
Dalam urusan kredit, seorang muhtasib hendaklah memastikan segala urusan
perniagaan terbebas dari unsur riba. Seorang muhtasib memiliki wewenang untuk
memaksa peminjam agar membayar pinjamannya jika dianggap mampu, sebaliknya ia
juga berkuasa untuk menangguhkan hutang sampai orang yang berhutang dianggap
mampu membayar hutangnya.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kemudahan pada
rakyatnya seperti makanan, pekerjaan, perumahan, dan lain sebagainya. Selain itu,
orang-orang miskin dan tidak mampu, diberi modal usaha yang dananya diperoleh dari
dana infaq dan sedekah sehingga kemiskinan dapat teratasi.
Menilik sejarah, tanggung jawab al-hisbah mulanya dipikul oleh Rasulullah saw
sehubungan dengan adanya perintah Allah kepada Nabi saw sebagai rasul untuk
selanjutnya disampaikan kepada umatnya agar senantiasa mengajak kepada kebaikan
dan menghindari kemungkaran. Kemudian beliau mengangkat beberapa orang sahabat
yang diberi tugas untuk mengawasi jalannya suatu transaksi bisnis. Di kota Madinah
itulah, beliau mengangkat Said bin Ash dan seorang wanita yang bernama Samra binti
Nuhak sebagai pengawas pasar.
Lembaga al-hisbah ini dihidupkan kembali oleh Umar dengan mengangkat
seorang sahabat wanita yang bernama asy-Syifa binti Abdullah, yang bertugas sebagai
pengawas pasar di kota Madinah. Di samping itu, Umar juga mengangkat Abdullah
bin Utbah sebagai inspektur pasar sekaligus bertindak sebagai hakim (qâdhi).
Perbedaannya, di masa Rasulullah, al-hisbah masih belum berbentuk lembaga.
Sedangkan di masa Khalifah Umar, al-hisbah ini sudah menjadi lembaga khusus dalam
mengawasi hal-hal yang terjadi dalam pasar.
2.4. Reformasi atas hak tanah.
Problem hak kepemilikan tanah memang merupakan masalah yang rumit untuk
dipecahkan dari zaman ke zaman. Tidak jarang terjadi persengketaan, bahkan
pertumpahan darah, akibat dari persoalan hak kepemilikan tanah ini. Seiring dengan
pertambahan penduduk, tanahpun menjadi semakin langka atau sempit, dan harganya

11
juga kian meningkat. Alasan utama meningkatnya harga tanah memang pertambahan
penduduk. Karena secara alamiah, semakin banyak penduduk di suatu daerah, lahan
untuk tempat dan garapan tempat tinggal akan kian dibutuhkan.
Ada tiga sifat tanah yang harus diingat, dan ini tidak dipunyai oleh unit-unti
produktif lainnya:
1. Tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen bagi manusia,
2. Tanah kuantitasnya terbatas,
3. Tanah bersifat tetap,
4. Tanah bukan produk tenaga kerja. Jadi segala sesuatu yang selain tanah adalah
produk tenaga kerja. Tetapi bumi pun akan memberikan hasil baik jika digarap
dengan baik. Sifat-sifat tanah ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum
mengambil kebijakan dalam persoalan hak kepemilikan tanah.
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui
perjanjian damai. Penaklukkan ini memunculkan banyak masalah baru. Di antaranya
mengenai hak kepemilikan tanah yang sudah ditaklukkan. Islam memandang tanah
dan semua yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk kepentingan umum
dan rakyat, dan setiap orang berhak mendapatkan makanan dari pengelolaan tanah.
Dari sudut Islam, tanah sesungguhnya milik Allah, dalam pengertian milik setiap
kelompok masyarakat (komunitas). Dan tak seorang pun boleh mendapatkan hak
istimewa atasnya, oleh karena itu siapa yang mengerjakan tanah yang terlantar, maka
dialah pemiliknya. Ini sesuai dengan sebuah hadits Rasulullah dari penuturan Aisyah:
“Pengolahan tanah terbengkalai yang bukan milik siapapun, maka dialah yang
memilikinya” (HR. Bukhari).
Umar menafsirkan hadits tersebut bahwa Rasulullah menginginkan agar tanah-
tanah luas yang telah dikuasai kaum muslimin haruslah dipikirkan pemanfaatannya di
masa depan. Maka ketika para pejuang mendesak dengan sangat agar tanah taklukan
dibagi-bagikan kepada mereka, bersama beberapa rampasan perang lainnya, Umar
menolak dengan tegas. Ia tidak mau menyerahkan tanah perkebunan dari tanah
taklukan lainnya kepada para prajurit.
Dari sini ia sampai kepada kesimpulan akan perlunya pengawasan yang ketat
dalam pendistribusian tanah untuk mencegah terjadinya pembagian yang tidak adil.
Hak kepemilikan tanah dicabut dari pemilik aslinya, dan kemudian si pemilik asli

12
beralih menjadi petani biasa atau hamba atau budak pengelola tanah. Selanjutnya hak
kepemillikan diberikan menurut ketentuan-ketentuan baru. Jika salah seorang pemilik
baru menjual tanahnya, pengelolaannya itu dialihkan kepada pembeli berikut
tanahnya.
Umar menetapkan beberapa ketentuan, di antaranya jika suatu saat komunitas
muslim semakin bertambah banyak, maka negara berhak untuk mengambil kembali
tanah tersebut sebagai perbendaharaan guna memenuhi kebutuhan negara. Jadi jelas
meskipun berwenang mengambil alih hak kepemilikan, negara juga harus dan berhak
mengatur jangka waktu pemilikan tanah. Bisa saja tanah dijadikan milik pribadi
dengan mengenakan pajak tanah atasnya, tapi negara juga bisa menguasai tanah yang
luas dengan memberi ganti rugi dan kemudian menjadikannya milik umum.
Umar menyadari pentingnya sektor pertanian untuk memajukan ekonomi negeri.
Karena itu beliau mengambil langkah-langkah pengembangan dan mengembalikan
kondisi orang-orang yang bekerja di bidang itu. Dia menghadiahkan kepada orang
yang sejak awalnya mengolahnya. Tapi siapa saja yang selama tiga tahun gagal
mengolahnya, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak kepemilikannya atas
tanah tersebut.
Semasa Umar, tanah yang dinyatakan sebagai milik negara berjumlah sekitar
4.000.000 hektar. Pendapatan dari tanah ini mencapai 7.000.000 dinar setiap tahun,
yang semata-mata digunakan untuik kesejajahteraan umat. Jumlah kharâj dari Iraq
berkisar 86.000.000 dirham setiap tahun. Dengan penerapan sistem ini, tanah-tanah
yang sebelumnya tidak terurus, kemudian terolah baik, sehingga pada tahun kedua
terjadi lonjakan pendapatan yang tinggi sekali, dari 86.000.000 menjadi 100.020.000
dirham.
2.5. Keutamaan dan Kelemahan Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab
Abu Ubaid pernah menuturkan sebuah riwayat tentang kesuksesan Umar dalam
kitabnya al-Amwâl sebagai berikut :
 Pada masa Umar, Muadz bin Jabal pernah mengirimkan hasil zakat yang
dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak
menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun Umar
mengembalikannya. Ketika Muadz mengirimkan kembali sepertiga hasil zakat
tersebut, Umar juga kembali menolaknya dan berkata: “Aku tidak mengutusmu

13
sebagai kolektor upeti, tetapi aku mengutusmu untuk memungut zakat dari
orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari
kalangan mereka juga.” Muadz menjawab: “Seandainya aku menjumpai orang
miskin di sana, tentu aku tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”
 Pada tahun kedua setelah itu, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang
dipunugutnya di Yaman kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Dan
pada tahun ketiga, Muadz berkata: “Aku tidak menjumpai seorang pun yang
berhak menerima bagian zakat yang aku pungut.”
Riwayat di atas menunjukkan kesuksesan Umar dalam memerintah, khususnya
dalam bidang ekonomi. Namun bukan berarti semua kebijakan yang ia ambil itu
sempurna. Salah satunya adalah prinsip keutamaan yang ia terapkan dalam
mendistribusikan uang negara kepada rakyatnya. Prinsip ini menyebabkan
ketimpangan di bidang ekonomi dan sosial. Dan sikapnya ini mengundang reaksi dari
salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya, tindakan Umar
ini akan memicu lahirnya sifat malas di kalangan para pedagang yang berakibat fatal
bagi kelangsungan hidup mereka sendiri, jika suatu saat pemerintah menghentikan
kebijakan tersebut.
Umar menyadari kekeliruannya ini dan mengubah pendapatnya serta bersumpah
jika ia masih hidup di tahun yang akan datang, ia akan menyamakan semua bantuan
dan pembagian kepada seluruh rakyatnya. Dalam pernyataannya yang populer
berbunyi: “Aku bersumpah demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia.
Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai hak atas kekayaan (harta)
ini (yang diterima dari orang banyak) meskipun dalam prakteknya ia mungkin
memperoleh atau memiliki hak melebihi dari yang lainnya selain seorang budak.
Kedudukanku dalam hal ini sama dengan kalian dan derajat kita akan ditentukan
berdasarkan Kitab Allah dan Rasulullah saw. Demi Allah! Sesungguhnya jika aku
masih hidup, maka pengembala di bukit sanapun akan memperoleh bagian dari harta
ini di tempatnya sendiri”. Namun sayangnya, Umar wafat sebelum harapannya
tersebut belum dapat ia realisasikan dalam kepemimpinannya. Meskipun demikian,
Umar tetap merupakan salah satu pemimpin yang disegani oleh rakyatnya, baik
muslim maupun non-muslim, bahkan ia adalah salah satu sosok pemimpin yang
banyak dikagumi sampai saat ini.

14
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Penutup
Berdasarkan uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Umar bin Khattab telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi
manajemen keuangan negara dalam sejarah Islam, yaitu dengan mendirikan
baitul mâl secara institusional. Karena jika lembaga baitul mâl tersebut tidak
segera dibentuk, seiring dengan semakin meluasnya wilayah pemerintahan Islam
saat itu, maka tentunya akan menyulitkan pemerintahan Islam sendiri dalam
mengelola keuangan negara.
2. Selain menjadikan baitul mâl sebagai sebuah lembaga otonom dalam
pemerintahannya, Umar juga menjadikan pengawasan pasar (al-hisbah) yang
telah digagas oleh Rasulullah Saw menjadi sebuah lembaga tersendiri. Lembaga
ini sangat membantu pemerintahan Umar untuk mengontrol harga barang di
pasar dan menindak para pelaku pasar jika melakukan penyelewengan dan
kecurangan dalam jual beli.
3. Umar mereformasi hak kepemilikan tanah. Sebelum masa Khalifah Umar, tanah
taklukan dibagi-bagikan kepada para prajurit muslim yang ikut berperan dalam
penaklukannya secara langsung. Namun ketika Umar menjabat sebagai
Khalifah, tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum muslimin sudah tidak dibagi-
bagikan lagi secara langsung, akan tetapi diserahkan kepada penduduk yang
ditaklukkan untuk dikelola dan diberdayakan secara produktif sehingga
memberikan output dan menambah income yang sangat besar bagi keuangan
negara.
4. Gagasan, kebijakan dan sistem yang diterapkan oleh Umar, baik dalam
pemerintahannya secara umum ataupun dalam menangani masalah
perekonomian ini patut untuk diteladani. Namun perlu diketahui bahwa sebaik
apa pun kebijakan dan sistem yang dijalankan, tidak akan berjalan sesuai dengan
yang diharapkan jika sikap dan kepribadian para pemimpin masih
mementingkan diri sendiri dan kurang memperhatikan nasib rakyatnya. Wallâhu
a’laim

16
DAFTAR ISTILAH
 Dinar adalah koin uang yang terbuat dari emas. Kandungan emas yang ada dalam koi
uang dinar adalah 22 karat dan beratnya 4,25 gram. Sejak zaman Rasulullah Saw hingga
masa Khalifah V Bani Umayyah yaitu Khalifah Malik bin Marwan, dinar yang
digunakan oleh umat Islam adalah dinar yang berasal dari kerajaan Romawi.
 Dirham adalah koin uang yang terbuat dari perak. Kandungan perak yang ada dalam
koin uang dirham adalah 15 karat dan beratnya 3,98 gram. Sejak zaman Rasulullah Saw
hingga masa Khalifah Umar bin Khattab, dirham yang digunakan oleh umat Islam
sebagai alat tukar dirham yang berasal dari kerajaan Persia. Pada tahun 18 H, Khalifah
Umar bin Khattab mencetak mata uang dirham pertama kali dalam Islam dengan
bertuliskan alhamdulillâh dan di baliknya bertuliskan Muhammad Rasûlullâh.
 Diwan adalah suatu daftar yang di dalamnya tercatat nama-nama prajurit untuk
pembayaran gaji dan pensiun.
 Fai’ adalah semua harta benda yang didapati dari musuh tanpa menjalani perang yang
nyata. Termasuk dalam kategori fay adalah kharâj, jizyah, dan `ushr. Harta fay ini juga
dibagi lima, diqiyaskan dengan ghanîmah, yaitu segala sesuatu yang diperoleh kaum
muslim setelah mengalahkan orang-orang kafir dalam peperangan. Empat per lima dari
harta rampasan perang dibagikan untuk para tentara atau panglima yang ikut berperang,
dan kuda yang ikut berperang. Sedangkan satu perlimanya diperuntukkan pada
Rasulullah, kerabat rasul, yang mana dikemudian hari diambil oleh negara, dan akan
dinafkahkan untuk golongan yang sudah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur`an (QS.
Al-Anfal: 41).
 Jizyah adalah pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-muslim, khususnya ahli
kitab, sebagai jaminan perlindunan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah,
serta pengeculian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk
setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah ini ada dua jenis:
Pertama, jizyah yang diwajibkan berdasarkan persetujuan dan perjanjian, dengan
jumlah yang ditentukan bersesuaian dengan syarat-syarat persetujuan dan perjanjian
tersebut. Jizyah bentuk ini tidak dapat diubah-ubah meskipun pada hari kemudian.
Kedua, jizyah yang diwajibkan, secara paksa kepada penduduk suatu daerah
penaklukan.
 Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum non-muslim.
 Khums adalah segala kekayaan yang datang tanpa usaha, menanam modal atau tidak,
melalui rampasan perang, perdagangan, pertanian atau industri. Rampasan perang yang

17
diperoleh kaum muslimin dalam menaklukkan suatu daerah, 1/5 nya harus diserahkan
untuk baitul mal.
 ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya
sekali dalam setahun serta hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih
dari 200 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non-muslim yang
dilindungi (ahl-adz-dzimmi) adalah sebesar 5%, sedangkan pedagang muslim sebesar
2,5%, dan untuk kafir harbi sebesar 10%. Di negara Islam, permulaan diterapkannya
`ushr ini pada masa khalifah Umar ibn Khattab.
 Zakat adalah sebagian harta tertentu yang dikeluarkan oleh seorang muslim
untuk diberikan kepada yang berhak menurut beberapa syarat tertentu. Zakat ini
hukumnya wajib. Dan kadarnya sudah ditentukan oleh syariat Islam. Zakat yang
boleh dimasukkan ke dalam kas baitul mal, hanya zakat dari jenis hasil bumi dan
binatang.

18
DAFTAR PUSTAKA
A. Wahab Afif, Mengenal Sistem Ekonomi Islam. MUI Provinsi Banten
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers,
September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua.
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, jilid I.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah, Shahîh
al-Bukhâri, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Thaha Putra, tt, juz 3.
Al-Jauzi, Ibnu, Manâqib Amîr al-Mukminîn Umar ibn Khattâb. Beirut: Dar wa
Maktabat al-Hilal.
Al-Mawardi, Abu al-Husain Ali ibn Muhammad, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Dar al-
Fikr, 1960, cet. Ke-1.
Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh ath-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-
`Ilmiyyah, cet. Ke-1, juz 2..
Essays on Iqtisâd. Editor: Dr. Baqir al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor. USA: NUR,
1989.
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam, Yogyakarta: Pustaka pelajar, September 1995, cet. Ke-1.
Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Paktek, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997, terj. Nastangin.
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar ibn Khattab. Pustaka Azzam,
Juni 2002, Terj. Ahmad Syarifuddin Shaleh, cet. Ke-1.
Ra`ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab. Pustaka
Firdaus, 1977, Terj. Mansuruddin Djoely, cet. Ke-2.
Sallam, Abu Ubaid Qasim ibn, Kitâb al-Amwâl, Kairo: Darus Salam, 2009, cet. Ke-1.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, Juli
2003, cet. Ke-6, jilid I.

19

Anda mungkin juga menyukai