Anda di halaman 1dari 27

MATA KULIAH MITIGASI BENCANA PESISIR DAN LAUT

Dampak Erosi dan Kenaikan Muka Air Laut


di Desa Bedono, Kabupaten Demak

Disusun Oleh:
Ayuningtyas Hagni Pikatan
26020212190100
Kelompok 9

Dosen Pengampu:
Dr. Denny Nugroho Sugianto, ST, M.Si
197408102001121001

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Selain itu peningkatan muka laut akan banyak menimbulkan
perubahan pada sistem pesisir yang disebabkan oleh banjir pasang, cuaca
ekstrim dan pengikisan lahan pesisir.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap
tekanan lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu
kondisi yang mengancam wilayah pesisir di seluruh dunia adalah adanya kenaikan
muka air laut. Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari
pemanasan global (global warming) yang melanda seluruh belahan bumi.
Berdasarkan laporan IPCC (International Panel On Climate Change), rata-
rata suhu permukaan global meningkat 0,3-0,60C sejak akhir abad 19 dan
sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4-5,80C.
Diperkirakan pada tahun 2100 mendatang, kenaikan muka air laut sekitar
1,4-5,8m (Dahuri, 1996). Naiknya suhu permukaan global menyebabkan
mencairnya es di kutub utara dan selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan
muka laut dan berpengaruh terhadap banjir pasang surut (Diposaptono, 2008).
Kabupaten Demak memiliki wilayah pesisir di bagian utara dengan garis
pantai sepanjang 34,1 km. Wilayah pesisir Kabupaten Demak terkena dampak
banjir pasang surut atau yang lebih dikenal dengan banjir rob. Banjir rob
merupakan fenomena yang selalu terjadi di Kabupaten Demak bagian utara
sejak tahun 1997 sampai sekarang. Sejak saat itu, frekuensi kejadian banjir
rob semakin meningkat dan cenderung semakin meluas. Penyebab meluasnya
banjir rob ditinjau dari aspek alamiah adalah adanya kenaikan muka air laut
secara global dan terjadinya penurunan muka tanah di Kabupaten Demak.
Penurunan muka tanah di wilayah pantai utara Jawa Tengah mencapai
2-20 cm/tahun. Penurunan tanah tersebut terjadi akibat peristiwa konsolidasi
(pemampatan) dan pengambilan air bawah tanah yang berlebihan (Diposaptono,
2009). Selain penyebab secara alamiah, aktivitas manusia juga sangat
berperan dalam meluasnya banjir rob dan erosi di wilayah pesisir Kabupaten
Demak. Selain itu, sejak adanya reklamasi pantai di Kota Semarang banjir
rob dan erosi di Kabupaten Demak semakin meluas (Rindarjono, 2010).
Reklamasi merupakan bentuk campur tangan manusia terhadap stabilitas
pantai yang berpotensi memberikan dampak negatif. Pantai yang awalnya
dalam keadaan seimbang, kemudian terjadi perubahan seperti perubahan pola
arus, erosi dan sedimentasi pantai. Perubahan ini berpotensi meningkatkan
bahaya banjir dan berpotensi terjadi gangguan lingkungan seperti erosi dan
sedimentasi. Dampak nyata dari adanya reklamasi di pesisir Kota Semarang
adalah adanya perubahan arus di daerah sebelah timur Kota Semarang menuju
pesisir Kabupaten Demak yang berakibat meluasnya banjir rob dan daerah
yang terkena abrasi (Rindarjono, 2010).
Total jumlah desa di pesisir Kabupaten Demak yang terkena banjir rob
adalah 27 desa yang tersebar di 4 kecamatan, yakni Kecamatan Sayung,
Bonang, Karang Tengah, dan Wedung. Banjir rob telah mencapai 5 km dari
bibir pantai. Kedalaman air rob mencapai 30cm–1,5m. Dusun Tambaksari dan
Rejosari Senik Desa Bedono hilang tergenang banjir rob dan sekarang telah
menjadi laut. Banjir yang menggenangi permukiman dan pertokoan telah
mereduksi pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir. Selain permukiman, rob
telah menggerus tambak milik warga.
Tindakan yang bisa dilakukan adalah upaya mitigasi bencana sebagai
upaya untuk meminimalisir korban (Diposaptono, 2008). Mitigasi bencana
wilayah pesisir adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana secara struktur
melalui pembangunan fisik alami atau buatan melalui peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil (UU no.27 Tahun 2007).
Upaya pembuatan tanggul di sepanjang pantai atau meninggikan daerah
genangan dengan cara menimbun hanya membebaskan daerah genangan banjir
dan erosi untuk sementara, karena banjir rob dan penurunan muka tanah serta
erosi akan terus berlangsung (Diposaptono, 2009).
Dalam rangka penanggulangan bencana erosi dan kenaikan muka air laut,
maka perlu dilakukan survey untuk menganalisis Potensi Bahaya di Desa Bedono,
Sayung, Demak serta menganalisis Kerentanan Pantai di kawasan tersebut, dari
kedua analisis didapatkan Kelas Resiko Bencana di kawasan tersebut sehingga
kita dapat mengetahui tahapan mitigasi yang perlu dilakukan serta bentuk adaptasi
masyarakat terhadap bencana yang terjadi.

1.2. Tujuan
1. Mengetahui Kelas Potensi Bahaya erosi dan kenaikan muka air laut di Desa
Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
2. Mengetahui Kelas Kerentanan Pantai terhadap bencana erosi dan kenaikan
muka air laut di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
3. Mengetahui Kelas Resiko Bencana erosi dan kenaikan muka air laut yang
terjadi di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
4. Mengetahui Pola Adaptasi masyarakat terhadap bencana erosi dan kenaikan
muka air laut di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait Potensi
Bahaya, Kerentanan Pantai serta Kelas Resiko Bencana erosi dan kenaikan muka
air laut di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Dari informasi
tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai masukkan pembuatan kebijakan
pemerintah terkait dalam upaya mitigasi bencana serta tata ruang pesisir dan laut.

1.4. Lokasi dan Waktu Penelitian


Hari, Tanggal : Senin, 08 Juni 2015
Waktu Pelaksanaan : 10.00-13.00
Tempat Pelaksanaan : Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pasang Surut


Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air
laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2, kali
lebih besar dari pada gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi
bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap
jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan
dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang
surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya
tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua
tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang
surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital
bulan dan matahari (Triatmodjo, 1999).
Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi
dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi
dan bulan. Pasang surut dan arus yang dibangkitkan pasang surut sangat dominan
dalam proses sirkulasi massa air di perairan pesisir (Duxbury et al., 2002 dalam
Arifin et al., 2012).
Pengetahuan mengenai pasang surut dan pola sirkulasi arus pasang surut di
perairan pesisir dapat memberikan indikasi tentang pergerakan massa air serta
kaitannya sebagai faktor yang dapat mempengaruhi distribusi suatu material di
dalam kolom air (Mann dan Lazier, 2006 dalam Arifin et al., 2012).
Gaya – gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik
antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut dilakukan
hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan, sedang untuk sistem bumi-
matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap bahwa
permukaan bumi yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara
merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar) (Triatmodjo, 1999).
Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih tinggi
dari pada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya yang
seragam disepanjang garis lintang yang sama, sehingga tidak bisa diamati sebagai
suatu variasi pasang surut. Oleh karena itu, rotasi bumi tidak menimbulkan pasang
surut. Di dalam pasang surut ini bahwa bumi tidak berrotasi (Triatmodjo, 1999).

2.2. Perubahan Iklim Global


Perubahan iklim sedang terjadi sekarang, bukti yang menjelaskan bahwa
perubahan iklim sudah terjadi sangat banyak, yaitu : Suhu telah meningkat sekitar
0,8◦C selama abad terakhir. Tiga dekade terakhir ini secara berturut-turut
kondisinya lebih hangat dari pada dekade sebelumnya, dan telah tercatat bahwa 30
tahun terkahir ini cenderung periode terpanas dalam 1.400 tahun di wilayah
belahan bumi utara. Terjadinya peningkatan frekuensi gelombang panas dan
peningkatan intensitas curah hujan di berbagai daerah. Lautan menyerap banyak
karbon dioksida sehingga kondisinya menjadi lebih asam Tinggi permukaan air
laut global telah meningkat sebesar 20 cm dimulai sejak awal abad yang lalu dan
kenaikan ini mengalami percepatan. Wilayah gletser di seluruh dunia mengalami
penyusutan dan kondisi permafrost yang mencair (permafrost merupakan lapisan
tanah, sedimen atau batuan dan termasuk didalamnya es atau materi organik yang
secara permanen membeku dengan suhu dibawah 0◦C) (Supangat, 2013).
Tutupan salju musiman di wilayah belahan bumi utara mengalami
penurunan. Lapisan es Laut Arctic di musim panas telah berkurang rata-rata
sekitar 40% sejak tahun 1979 dan ini terjadi jauh lebih cepat daripada yang telah
diantisipasi sebelumnya (Supangat, 2013).
Menurut laporan IPCC terbaru, dengan tingkat keyakinan sebesar 95%
menegaskan bahwa aktivitas manusia merupakan penyebabnya. Sangat
dimungkinkan bahwa aktivitas manusia mempunyai pengaruh yang dominan
terhadap perubahan iklim selama 50 tahun terkahir ini dan menyebabkan
terjadinya kenaikan suhu global. Kondisi gas rumah kaca berada pada tingkat
yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu. Konsentrasi
gas karbon dioksida (CO2) sekarang lebih tinggi 40% jika dibandingkan dengan
era pra-industri dan peningkatan ini terutama disebabkan karena pembakaran
bahan bakar fosil serta penggundulan hutan. Bukti yang lebih lanjut tentang
pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim ini juga dapat dideteksi
pada kondisi atmosfer dan pemanasan samudera, perubahan curah hujan,
pencairan gletser dan tutupan es di Kutub Utara, serta terjadinya beberapa iklim
ekstrem di bumi (Supangat, 2013).
Emisi gas rumah kaca terus berlangsung dan pemanasan dunia akan terus
berlanjut. Tanpa adanya upaya yang serius untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca, suhu global akan cenderung meningkat lebih dari 2◦C pada abad berikutnya,
bahkan bisa meningkat sampai 5◦C. Risiko terjadinya beberapa kejadian ekstrem,
terutama gelombang panas dan hujan deras, diperkirakan akan meningkat lebih
lanjut dalam beberapa dekade mendatang Tinggi permukaan laut global
diperkirakan akan meningkat mencapai 0,26-0,81 m pada akhir abad ini dan akan
terus mengalami peningkatan pada abad-abad yang akan datang (Supangat, 2013).

Menurut Susandi (2004) Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan


iklim tersebut diantaranya adalah :
• Semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam, dll.)
• Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir,
kekeringan, badai tropis, dll.)
• Mengancam ketersediaan air
• Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan
• Menurunkan produktivitas pertanian
• Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan
• Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati
• Kenaikan muka laut menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur
di daerah pantai

2.3. Kenaikan Muka Air Laut


Dalam laporan asesmen IPCC ke 4 (2007) menyebutkan bahwa perubahan
muka laut rata-rata selama abad 20 adalah 0,17 (0,12-1,22) meter dan
diproyeksikan akan meningkat hingga 0,59 (0,18-0,59) meter pada tahun 2100.
Ketinggian muka laut rata-rata 0,59 meter tersebut merupakan batas pasang
tertinggi saat ini dan ketinggian air saat terjadi badai. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata yang telah diprediksikan
tersebut akan menjadi ancaman bagi hampir semua lahan pesisir terutama
yang berelevasi rendah. Sedangkan SRES (Special Report on Emissions
Scenarios) (IPCC, 2001) memprediksikan kenaikan muka laut hingga mencapai
nilai ekstrim yakni 0,8 meter pada tahun 2095. Keadaan ini mengharuskan
pihak-pihak pemangku kepentingan untuk melakukan pendekatan yang memadai
untuk menghadapi berbagai kemungkinan di abad mendatang (Cartwright,
2008).
Kecepatan kenaikan muka laut sampai 100 tahun yang akan datang dapat
diproyeksikan dari kenaikan muka laut dalam periode 150 tahun yang lalu.
Di wilayah Australia, kenaikan muka laut selama periode 1820 sampai 1945
(125 tahun) mencapai 90 mm, dan antara tahun 1945 hingga tahun 2008
meningkat hingga 90 mm berikutnya. Muka laut memperlihatkan kecenderungan
terus meningkat dengan kecepatan yang meningkat pula, hal ini terlihat dari
hasil proyeksi kenaikan 90 mm hingga 2040 dan terus meningkat hingga 90
mm berikutnya pada tahun 2055 (Helman and Tomlinson, 2009). Dengan
mengidentifikasi wilayah-wilayah pesisir yang rentan terhadap erosi dan
bencana, pemerintah daerah dapat mengurangi resiko dampak perubahan secara
efekktif (Leaver in Helman and Tomlinson, 2009).
Wilayah pesisir merupakan laboratorium untuk menguji konsep yang baru
karena dibandingkan dengan berbagai dampak lainnya, kenaikan muka laut
merupakan dampak perubahan iklim yang dapat dipahami dan dirasakan secara
langsung (Klein, 2002). Dalam prespektif oseanografi, wilayah pesisir adalah
wilayah yang paling rawan terhadap perubahan iklim. Banjir pasang
(penggenangan), banjir, abrasi/erosi dan intrusi air laut adalah beberapa
aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian.

2.4. Rob
Rob adalah istilah lain untuk menyebutkan banjir pasang-surut. Kawasan
yang tergenang rob memiliki ketinggian permukaan tanah yang lebih rendah
daripada permukaan air laut pada saat air laut pasang. Keadaan itu bersifat
permanen. Artinya adalah banjir pasang surut rutin terjadi di kawasan itu dan
diperlukan campur tangan manusia untuk menghindarinya dimana banjir rob
dipengaruhi pleh kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah (land
subsidence)

2.5. Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence)


Penurunan tanah (Land Subsidence) pada dasarnya merupakan deformasi
dari suatu wilayah tertentu yang disebabkan oeh beberapa faktor fisis, seperti gaya
tektonik, penurunan muka tanah, dll. Deformasi tersebut dapat dianalisa melalui
titik-titik kontrol yang terdapat pada daerah penelitian. Dalam mendapatkan data
dalam analisa deformasi, harus digunakan teknologi terbaru dan harus dapat di-
integrasikan terhadap semua jenis pengukuran. Sehingga dibutuhkan pengetahuan
akan metode dan tujuan dari sehingga dibutuhkan pengetahuan akan metode dan
tujuan dari survey deformasi yang dilakukan. Permukaan bumi sebagai bagian
dari litosfer, secara dinamis mengalami deformasi. Deformasi dapat dikategorikan
sebagai deformasi vertikal dan deformasi horisontal. Land Subsidence merupakan
fenomena deformasi vertikal. Kecepatan deformasi vertikal ini ditentukan oleh
pergeseran vektor dari titik-titik kontrol dari minimal 2 atau lebih pengamatan.
Definisi penurunan muka tanah berdasarkan beberapa referensi dapat
didefinisikan sebagai berikut: terjadi pada skala regional yaitu meliputi daerah
yang luas atau terjadi secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan
tanah. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan
tanah, biasanya terjadi di daerah yang berkapur (Whittaker dan Reddish,
1989) atau turunnya kedudukan permukaan tanah yang disebabkan oleh
kompaksi tanah (Wei, 2006).
Besaran penurunan muka tanah ditentukan berdasarkan hasil hitungan
dan analisis besaran laju penurunan tanah yang bernilai signifikan. Posisi
turunnya permukaan tanah ditunjukkan melalui perubahan posisi vertikal
muka tanah terhitung dari bidang referensi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk itu, dibutuhkan suatu teknik pemetaan yang mampu mengamati
penurunan muka tanah secara kontinu spasial dan temporal. Oleh karena itu,
diperlukan suatu sistem yang dapat membantu mengukur besaran penurunan
muka tanah untuk liputan suatu wilayah yang relatif luas dalam waktu yang
cepat sehingga skala prioritas pengelolaan kawasan dapat ditentukan secara
efektif dan efisien (Luoto dkk., 2002).

2.6. Gambaran secara Umum Lokasi Penelitian


Kecamatan Sayung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Demak.
Sebelah Utara wilayah ini berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan
dengan kecamatan Karang Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Mranggen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kota Semarang. Jarak terjauh
dari barat ke timur adalah sepanjang 8 km dari utara ke selatan sepanjang 16 km
(BPS, 2007).
Secara administratif wilayah Kecamatan Sayung terdiri atas 20 Desa, 101
Dusun serta 104 RW dan 449 RT. Seluruh Desa di Kecamatan Sayung sudah
termasuk klasifikasi swasembada. Jumlah perangkat yang telah terisi adalah
Kepala Desa sejumlah 18 orang, sekretaris desa 19 orang, kepala dusun 96 orang,
kepala urusan 88 orang dan pembantu kaur 66 orang.

2.7. Faktor-faktor Penyebab Abrasi di Lokasi Penelitian


Abrasi merupakan pengikisan atau pengurangan daratan (pantai) akibat
aktivitas gelombang, arus dan pasang surut. Dalam kaitan ini pemadatan daratan
mengakibatkan permukaan tanah turun dan tergenang air laut sehingga garis
pantai berubah. Pantai dikatakan mengalami abrasi bila angkutan sedimen yang
terjadi ke suatu titik lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah sedimen yang
terangkut ke luar dari titik tersebut.
Secara detail penyebab abrasi berdasarkan Detail Engineering Penanganan
Abrasi dan Rob kab. Demak (Kimpraswil, 2006) dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penurunan Permukaan Tanah. (Land Subsidence)
Pemompaan Air tanah yang berlebihan untuk keperluan industri dan air
minum di wilayah pesisir akan menyebabkan penurunan tanah terutama jika
komposisi tanah pantai sebagian besar terdiri dari lempung/lumpur karena sifat-
sifat fisik lumpur /lempung yang mudah berubah akibat perubahan kadar air.
Akibat penurunan air tanah adalah berkurangnya tekanan air pori. Hal ini
mengakibatkan penggenangan dan pada gilirannya meningkatkan erosidan abrasi
pantai. Berdasarkan peta hidrogeologi yang dikeluarkan Direktorat GeologiTata
Lingkungan (tahun 1992) tampak pemanfaatan air tanah (bebas maupun
bertekanan) dengan sumur bor di daerah Semarang, Demak dan Kudus jumlahnya
cukup signifikan serta mampu menyebabkan penurunan elevasi air tanah yang
disertai dengan intrusi air laut hingga jauh ke daerah perkotaan. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi penurunan tanah cukup besar dan memberikan
kontribusi terhadap genangan (rob) pada saat air laut pasang. Berdasarkan
wawancara dengan penduduk Kecamatan Sayung, Demak diperoleh informasi
bahwa penurunan tanah telah mencapai rata-rata 40cm.
2. Kerusakan Hutan Mangrove
Hutan Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat pulih (sustaianable
resources) dan pembentuk ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di
wilayah pesisir. Mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung alami pantai
karena memiliki perakaran yang kokoh sehingga dapat meredam gelombang dan
menahan sedimen. Ini artinya dapat bertindak sebagai pembentuk lahan (land
cruiser)
3. Kerusakan akibatgaya-gaya hidrodinamika gelombang
Orientasi pantai demak mengarah sedemikian rupa sehigga relatif tegak lurus
atau sejajar dengan puncak gelombang dominan. Hal ini memberikan informasi
bahwa panta dalam kondisi seimbang dinamik. Kondisi gelombang yang semula
lurus akan membelok akibat proses refrksi/difraksi dan shoaling. Pantai akan
menanggai dengan mengorientasikan dirinya sedemikian rupa sehingga tegak
lurus arah gelombang atau dengan kata lain terjadi erosi dan deposisi sedimen
sampai terjadi keseimbangan dan proses selanjutnya yang terjadi hanya angkutan
tegak lurus pantai (cros shore transport).
4. Kerusakan akibat sebab alam lain
Perubahan iklim global da kejadian ekstrim misal terjadi siklon tropis. Faktor
lain adalah kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global (efek rumah
kaca) yang mengakibatkan kenaikan tinggi gelombang.
5. Kerusakan akibat kegiatan manusia yang lain
- Penambangan Pasir di perairan pantai
- Pembuatan Bangunan yang menjorok ke arah laut
- Pembukaan tambak yang tidak memperhitungkan keadaan kondisi dan lokasi
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi Penelitian


Jenis data digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi data utama yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu berupa data potensi bahaya, data kerentanan pantai dan data kelas resiko.
Data sekunder merupakan data penunjang dalam penelitian ini yaitu berupa data
sosial budaya masyarakat Desa Bedono yaitu berupa kebiasaan atau pola hidup
masyarakat setempat dalam rangka melakukan adaptasi terhadap erosi dan
kenaikan muka air laut di wilayah tersebut.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Tabel 1. Alat dan Bahan

No. Nama Alat Satuan Fungsi


1. Android dengan GPS Mpi, Alat dokumentasi dan penanda
Dms letak koordinat.

2. Tabel Analisa Potensi - Mengklasifikasikan variabel-


Bahaya variabel yang digunakan dalam
Analisa Potensi Bahaya

3. Tabel Analisa Kerentanan - Mengklasifikasikan variabel-


Pantai variabel yang digunakan dalam
Analisa Kerentanan Pantai

4. Tabel Analisa Resiko - Mengklasifikasikan kelas tingkat


resiko bencana

5. Alat tulis - Mencatat hasil pengamatan

3.2. Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan
wawancara. Metode survey merupakan metode pengamatan ke lokasi yang di kaji
dengan mengamati serta mendokumentasikan kondisi daerah kajian. Metode
wawancara merupakan metode tanya jawab dengan narasumber terkait dengan
wilayah kajian.
Tahap penelitian meliputi tahap pengumpulan data dan pengolahan data.
Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer
dilakukan melalui pengamatan dan pengambilan data variabel-variabel Potensi
Bahaya dan Kerentanan Pantai berdasarkan Tabel Analisa serta
mendokumentasikan wilayah kajian dengan mencatat titik koordinat pengambilan
data di lokasi tersebut. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui wawancara
dengan warga sekitar meliputi data cara adaptasi warga menghadapi bencana,
besarnya kerugian harta benda, serta pola hidup masyarakat setelah menghadapi
bencana. Pengolahan data primer dilakukan dengan mengklasifikasikan dan
menghitung variabel-variabel yang digunakan dalam analisa dengan
menggunakan Ms.Excel sehingga didapatkan kelas Potensi Bahaya, Kerentanan
Pantai dan Resiko Bencana yang didukung dengan data cara adaptasi serta sosial
budaya masyarakat dalam menghadapi bencana erosi dan kenaikan muka air laut
di Desa Bedono, Demak.

3.3. Metode Analisis Data


3.3.1. Metode Analisis Potensi Bahaya
Analisa potensi bahaya diklasifikasikan berdasakan pengamatan di wilayah
kajian berdasarkan Tabel 2.
Tabel 2. Variabel-variabel yang diperlukan dalam analisis Potensi Bahaya

( USGS, 2007, dimodifikasi 2008)


Setelah melakukan klasifikasi variabel Potensi Bahaya, dilakukan
perhitungan sejumlah variabel yang digunakan sehingga didapatkan kelas Potensi
Bahaya.
Tabel 3. Klasifikasiyang digunakan dalam perhitungan Potensi Bahaya

(USGS, 2007, dimodifikasi 2008)


3.3.2. Metode Analisis Kerentanan Pantai
Analisis Kerentanan Pantai dihitung berdasarkan sejumlah variabel yang
berisi tentang perpindahan penduduk dan sejumlah kerugian serta kerusakan yang
ditimbulkan akibat bencana di kawasan pantai tersebut seperti yang tertera pada
Tabel 4.
Tabel 4. Variabel – variabel yang digunakan dalam perhitungan Kerentanan Pantai

(Ministry For Environment – New Zeland Goverment, 2008, 2007, dimodifikasi 2008)

Kelas Kerentanan Pantai (Tabel 5) diklasifikasikan berdasarkan rata-rata


konsekuensi (dampak) dari masing-masing variabel.
Tabel 5. Klasifikasi yang digunakan dalam perhitungan Kerentanan Pantai

(Ministry For Environment – New Zeland Goverment, 2008, 2007, dimodifikasi 2008)
3.3.3. Metode Analisis Resiko
Analisis resiko dilakukan setelah didapatkan nilai Potensi Bahaya dan
Kerentanan Pantai dengan metode perhitungan sebagai berikut:

Setelah dilakukan perhitungan maka didapatkan Kelas Resiko berdasarkan


Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi yang digunakan dalam perhitungan Resiko Bencana

(USGS, 2007, dimodifikasi 2008)


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Hasil Analisis Potensi Bahaya
Tabel 7. Hasil Analisis Potensi Bahaya
Rendah Sedang Tinggi
Variabel
1 2 3
Geomorfologi - - √
Erosi/Akresi pada garis pantai (m/tahun) - - √
Kemiringan Pantai (%) - - -
Perubahan elevasi muka air relatif (mm/tahun) - - √
Rata-rata tinggi gelombang - - -
Rata-rata kisaran pasang surut (m) - - -
Tabel 8. Hasil Klasifikasi Potensi Bahaya

Kelas Potensi Bahaya


Kelas Deskripsi
0.1-1.0 Rendah
1.1-2.0 Sedang
2.1-3.0 Tinggi
Perhitungan Kelas Potensi Bahaya:
∑Klasifikasi
Potensi Bahaya =
∑Variabel
(3 + 3 + 3)
=
3
=3
4.1.2. Hasil Analisis Kerentanan Pantai
Tabel 9. Hasil Analisis Kerentanan Pantai
No Penerima Dampak Konsekuensi (Dampak)
Kecil Sedang Besar
1 2 3
1 Perpindahan Penduduk (jumlah pemukiman) - - √
2 Penduduk - - √
3 Penduduk - - √
4 Dampak Ekonomi - - √
5 Jasa Pelayanan Penting - - √
6 Infrastruktur - - √
7 Jasa Pelayanan Komersial - - √
8 Ekosistem - √ -
Tabel 10. Hasil Klasifikasi Kerentanan Pantai
Kelas Kerentanan
Kelas Deskripsi
0.1-1.0 Kecil
1.1-2.0 Sedang
2.1-3.0 Besar
Perhitungan Kelas Kerentanan Pantai:
∑Klasifikasi
Kerentanan Pantai =
∑Variabel
(3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 2)
=
8
= 2.857
4.1.3. Hasil Analisis Resiko
Metode Perhitungan

Potensi Bahaya × Kerentanan Pantai


Resiko = √
2

3 × 2.857
=√
2

= 2.0701
Tabel 11. Hasil Klasifikasi Kelas Resiko Bencana
Kelas Resiko
Kelas Deskripsi
0.1-07 Rendah
0.8-1.4 Sedang
1.5-2.1 Tinggi

Tabel 12. Perhitungan Resiko


No Wilayah Administrasi Potensi Bahaya Kerentanan Pantai Resiko Kelas Deskripsi
1 Desa Bedono, Kecamatan 3 2.857 2.0701 1.5-2.1 Tinggi
Sayung, Demak
4.2. Pembahasan
Hasil Analisis Potensi Bahaya diketahui bahwa Kelas Potensi Bahaya di
kawasan Desa Bedono adalah 3. Hal ini dikarenakan variabel yang digunakan
dalam perhitungan tidak seluruhnya disertakan, namun hanya beberapa variabel
saja yang dapat diperoleh ketika melakukan survey lokasi. Pada variabel
geomorfologi pantai, kawasan Desa Bedono merupakan kawasan berlumpur
sedikit berpasir dan terdapat rawa-rawa di daerah mangrove dimana klasifikasi
tersebut memiliki nilai 3 yaitu masuk klasifikasi tinggi. Menurut keterangan
warga setempat, laju erosi sangat tinggi. Menurut Diposaptono (2008) perubahan
elevasi muka air laut adalah sebesar 8mm/tahun sehingga termasuk dalam kelas
ke 3. Dari analisis tersebut didapatkan bahwa Potensi Bahaya di kawasan tersebut
adalah Tinggi.
Analisis Kerentanan Pantai juga perlu dilakukan, dalam hal ini data
didapatkan dari hasil wawancara dengan narasumber yaitu warga yang bermukim
di Desa Bedono tersebut. Pada tahun 1997 pemukiman warga terhitung sebanyak
70 KK. Pasca pembangunan atau reklamasi pesisir Kota Semarang, terjadi
perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi di kawasan tersebut sehingga kenaikan
muka air laut merendam sebagian besar kawasan tersebut serta terjadinya erosi
yang menyebabkan mundurnya garis pantai. Kerusakan terjadi pada rumah,
jaringan jalan, infrastruktur, areal pemakaman, sekolah, tempat ibadah dan tambak
milik warga. Perekonomian warga juga terganggu, karena tambak mengalami
kerusakan. Sebagian besar warga memilih untuk berpindah tempat. Perpindahan
warga sejumlah 65KK, sehingga tinggal 5KK. Laju perpindahan penduduk
tergolong sangat tinggi. Di Desa Bedono terdapat ekosistem mangrove, ekosistem
mangrove tersebut cukup membantu dalam perlindungan dari erosi, namun
bencana erosi dan kenaikan muka air laut tidak dapat terhindarkan karena
kerusakan infrastruktur dan fasilitas tergolong parah.
Analisa Resiko Bencana didapatkan dari perhitungan Potensi Bahaya dan
Kerentanan Pantai sehingga didapatkan nilai Resiko adalah 2.0701 termasuk
dalam kategori Resiko Tinggi terhadap bencana. Hal ini juga dapat dilihat di
lokasi survey, dimana di lokasi tersebut keadaannya sangat memprihatinkan.
Setiap terjadinya pasang, warga sangat terganggu karena banjir rob menggenangi
rumah warga dan jaringan jalan tertutup air. Areal pemakaman pun menjadi tidak.
Bencana erosi dan kenaikan muka air laut ini juga mengganggu dan kesehatan
warga, karena banyak sampah yang terendam di pemukiman warga sehingga
sangat terlihat kumuh.
Upaya adaptasi yang dilakukan warga adalah meninggikan bangunan di area
yang terendam air laut. Fondasi rumah warga terus ditinggikan setiap tahunnya
untuk menghindari kenaikan muka air laut. Warga juga mengeluh bila hanya
fondasi yang ditinggikan, maka rumah mereka semakin pendek dan tidak nyaman
untuk dihuni. Tidak hanya rumah warga yang ditinggikan bangunannya, area
makam sesepuh Desa Bedono juga di bangun kembali dengan menambahkan
sejumlah material agar pemakaman tersebut tidak terendam air laut. Salah satu
Sekolah Dasar di Desa Bedono di bangun tanggul penahan untuk menghindari
intrupsi air laut. Namun sebagian besar warga memilih berpindah ke lokasi yang
lebih aman dari kenaikan muka air laut dan erosi. Upaya untuk menanggulangi
bencana ini salah satunya adalah pembangunan Break Water di area tersebut
untuk meredam gelombang sehingga mengurangi tingkat erosi. Ekosistem
mangrove juga mampu mengurangi resiko bencana tersebut namun bencana terus
terjadi dan tidak dapat dihindari. Jalan menuju area ziarah adalah jaringan jalan
yang baru setelah terjadinya bencana sehingga jaringan jalan dibangun sedemikian
rupa agar jalan tersebut terhindar dari intrupsi air laut, namun jalan tetap saja
terkena banjir rob saat terjadi pasang. Sedikit warga yang bersedia tetap tinggal di
area tersebut karena beberapa alasan, namun banyak warga yang memilih
berpindah tempat ke wilayah yang lebih aman.
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Potensi Bahaya dikawasan Desa Bedono tergolong tinggi yaitu termasuk
dalam kelas 2.1-3 dengan Skor 3
2. Kerentanan Pantai Desa Bedono tergolong tinggi yaitu termasuk dalam kelas
2.1-3 dengan skor 2.875
3. Tingkat Resiko Bencana Desa Bedono tergolong tinggi yaitu termasuk dalam
kelas 1.5-2.1 dengan skor 2.0701

5.2. Saran
1. Hendaknya survey dilakukan dengan persiapan yang matang, sehingga
mahasiswa dapat mengetahi permasalahan secara detail dan didapatkan hasil
pengamatan yang valid.
2. Saat survey lokasi hendaknya mahasiswa mengerti dan paham dengan
permasalahan apa saja yang perlu dilakukan kajian sehingga didapatkan
variabel yang tepat.
3. Dari hasil analisa ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami perlunya
dilakukan mitigasi dan adaptasi terhadap bencana yang terjadi di sekitar kita
khususnya bencana erosi dan kenaikan muka air laut.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Taslim. 2012. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan Pesisir Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. ISSN 2089-7790.I(3): 183-188
Badan Pusat Statistik. 2007. Kecamatan Dalam Angka. Demak.
Cartwright, A. 2008. Global climate change and adaptation a sea-level rise
risk assessment. Phase 4: Sea-level rise adaptation and risk mitigation
measures for the City of Cape Town: 12 pp.
Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kab. Demak. 2006. Detail Engineering
Penanganan Abrasi dan Rob.
Helman, P. and R. Tomlinson 2009. Coastal Vulnerability Principles for
Climate Change. Griffith Centre for Coastal Management. Griffith
University, Qld: 8 pp.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of
Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change [Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M.
Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson
(Editors)],. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA, 881 pp.
Klein, R.J.T. 2002. Coastal Vulnerability, Resilience and Adaptation to Climate
Change an interdisciplinary perspective. Thesis of Dr. rer. nat.the
Mathematisch-Naturwissenschaftliche Fakultät of the Christian-
Albrechts-Universität zu Kiel. 30 pp
Luoto, M., Kuusaari, M., dan Toivonen, T. (2002). Modelling Butterfly
Distribution Based on Remote Sensing Data. Finnish Environment
Institute, Turki, p.443-458.
Pallewatta, N. 2010. Coastal Zones and Climate Change. (D. Michel and
A.Pandya, eds.). The Henry L. Stimson Center: 16 pp.
Supangat,A. 2013. Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan Laporan Kajian ke-5 Ar5
(Assessment Report 5) IPCC Pokja Basis Ilmiah
Susandi, A., I.Herlianti dan M. Tamamadin. 2004.Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Program Studi
Meteorologi. Institut Teknologi Bandung.
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai, Yogyakarta, Beta offset.
Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In Shanghai.
Master Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.
Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence, Prediction, and
Control. Elsevier Science Publishing Company INC, Netherland.
Dahuri, R.,J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Diposaptono, S., Budiman., 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan
Tsunami, PT. Sarana Komunikasi Utama, Bogor.
Diposaptono, S. 2009. Menyelamatkan diri dari Tsunami, PT. Sarana
Komunikasika Utama, Bogor.
Rindarjono, M. G. 2010. Perkembangan Permukiman Kumuh di kota Semarang
Tahun 1980-2006. http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/14RD1005003.pdf.
diakses pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 09.10 WIB
UU no.27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
LAMPIRAN

No. Koordinat Gambar Keterangan


1. 110◦29’28,890” Saat Surut
-6◦56’48.090”

Saat Pasang

2. 110◦28’31,539” Saat Surut


-6◦56’50,799”

Saat Pasang
3. 110◦28’31,539” Rumah warga
yang terkena
-6◦56’48,139”
dampak kena-
muka air laut

4. 110◦28’47,700” Gambar tiang


-6◦56’56,639” listrik mem-
buktikan bah-
wa sebelum-
nya kawasan
tersebut meru-
pakan daratan

5. 110◦56’52,669” Sisa-sisa pilar


-6◦28’31,650 dan bangunan
dari rumah
warga

6. 110◦22’42,080” Upaya relokasi


-6◦59’7,9300” yang dilakukan
warga untuk
menghindari
kenaikan muka
air laut

7. 110◦22’42,080” Relokasi
-6◦59’7,9300” tempat ibadah
8. 110◦28’34,780” Break Water
-6◦56’57,080” untuk mengu-
rangi tingkat
erosi

9. 110◦28’34,780” Area ziarah


-6◦56’57,080” sesepuh Desa
Bedono yang
terkena dam-
pak erosi dan
kenaikan muka
air laut
10. 110◦31’20,669” Jalan yang
-6◦56’13,000” tergenang air
saat pasang

11. 110◦28’31.539” Daerah perlin-


-6◦56’50,799” dungan mang-
rove

12. 110◦28’31,799” Jalan menuju


-6◦56’59,91” area observasi

Anda mungkin juga menyukai