Halaman Dan Daftar Isi
Halaman Dan Daftar Isi
Oleh :
Ayulita Hana Fadhila
161.0221.031
Pembimbing :
dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL
RSUP Persahabatan
Disusun Oleh
Pembimbing
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah
dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian ilmu telinga, hidung, tenggorokan
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUP Persahabatan Jakarta periode 2017.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL selaku
pembimbing referat ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa penulis mengucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar referat ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
Saluran pernapasan adalah saluran yang mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus.
Saluran pernapasan dimulai dari hidung sampai dengan alveoli. Saluran pernafasan dibagi
menjadi 2 yaitu saluran nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah. Saluran nafas bagian
atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan saluran nafas bagian bawah terdiri dari
trakea dan bronkus. Permukaan hidung hingga bronchioles dilapisi oleh lapisan sel toraks
bersilia dan ber sel goblet, yang dimanasel goblet akan menghasilkan mucus dan bersama silia
akan berperan untuk mengeluarkan partikel-partikel halus dari saluran napas baik melalui
reflex batuk maupun secret yang keluar.
Perjalanan masuknya udara ataupun pertahanan pertama saluran napas dari partikel-
partikel asing terutama dipegang oleh saluran napas bagian atas. Saluran nafas bagian atas
memiliki fungsi-fungsi diantaranya untuk menyaring udara, melembabkan serta
menghangatkan udara yang masuk melalui inspirasi.
Karena pentingnya kerja dari saluran napas atas, maka adanya gangguan pada saluran
napas bagian atas akan sangat mengganggu fisiologi tubuh. Salah satu contohnya adalah jika
terdapat obstruksi pada jalan napas bagian atas dapat menyebabkan gangguan ventilasi atau
gangguan napas yang dapat berujung pada kematian.
Obstruksi jalan napas bagian atas dapat disebabkan oleh berbagai hal. Hal-hal tersebut
diantaranya adalah radang, benda asing, tumor, kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Dibutuhkan suatu penanganan yang tepat dan segera untuk kasus obstruksi jalan napas atas.
Hal-hal diatas menjadi latar belakang penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai obstruksi saluran napas atas. Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas mulai
dari anatomi hingga penatalaksanaan obstruksi saluran napas atas.
Pada makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai anatomi saluran pernafasan
atas berkaitan dengan obstruksi yang dapat timbul pada saluran napas atas.
II.1.1 Hidung
Anatomi
Hidung terletak menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir atas. Secara anatomi,
hidung dibedakan menjadi 2 yaitu hidung bagian luar dan hidung bagian dalam.
Hidung bagian luar berbentuk pyramid dan dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian pertama
adalah bagian paling atas yang disebut pangkal hidung (bridge), pangkal hidung tidak dapat
digerakan. Dibawah pangkal hidung terdapat batang hidung (dorsum nasi), terdiri dari kartilago
yang sedikit dapat digerakan. Bagian paling bawah adalah puncak hidung (tip). Terdapat juga
bagian lain seperti ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosessus
Kavum nasi (rongga hidung) dipisahkan oleh septum nasi menjadi kavum nasi dextra dan
sinistra. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, sedangkan bagian
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Gambar 7 Sinus-Sinus
Vaskularisasi Hidung
Masing-masing bagian hidung memiliki vaskularisasinya sendiri. Bagian atas rongga
hidung mendapat vaskularisasi dari a. carotis interna yang bercabang menjadi a. oftalmika lalu
menjadi a. etmoid anterior dan posterior. Bagian depan hidung di perdarahi oleh cabang-cabang
arteri fasialis.
Bagian bawah rongga hidung mendapat vaskularisasi dari cabang a. maksilaris interna
yang menjadi a. palatina mayor dan a. sfenopalatina. Arteri ini keluar dari foramen
sfenopalatinna bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri yang ada.
Anastomosis ini disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach letaknya superfisial serta
muda cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vaskularisasi vena memiliki nama dan jalan yang sama dengan arteri. Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intracranial.
Persarafan Hidung
Persarafan sensoris rongga hidung bagian atas dan depan berasal dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang daru n. nasolateralis yang berasal dari n. oftalmikus (N. V-1).
Sedangkan rongga hidung lain mendapatkan persarafan sensoris dari n. maksila melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion spenopalatina juga memberikan persarafan otonom untuk
mukosa hidung. Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius.
Mukosa Hidung
Mukosa pernafasan adalah epitel torak berlapis semu bersilia yang letaknya di rongga
hidung. Sedangkan epitel mukosa penghidu adalah epitel torak berlapis semu tidak bersilia
yang berada di atap rongga hidung, konka superior, dan 1/3 septum.
Faring tersusun mulai dari dasar tengkorak terus menyambung hingga ke esophagus
setinggi vertebrae cervical 6. Pada bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, bagian depan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, bagian bawah
dengan laring melalui aditus laring dan esophagus. Faring dari dalam ke luar tersusun oleh
selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian fasia bukofaringeal.
2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring. Batas atas adalah palatum molle, batas bawah
adalah tepi atas epiglottis, batas depan adalah rongga mulut, dan batas belakang adalah
vertebrae servikal.
Struktur yang terdapat pada rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatina, fosa tonsil, serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Dinding posterior faring terlibat penting pada peradangan. Gangguan pada otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan nervus vagus.
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (terletak dalam fosa tonsil), dan tonsil lingual (terletak didasar
lidah) yang ketiganya membentuk cincin waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah
epitel skuamosa yang meliputi kriptus (didalam kriptus terdapat leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan). Tonsil mendapat perdarahan dari a.
palatina minor, a. palatina asenden, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring
ascenden, a. lingualis dorsal.
3) Laringofaring
Batas atas laringofaring adalah tepi atas epiglottis, batas depan adalah laring,
batas bawah adalah esophagus, serta batas belakang adalah vertebrae servikal.
Mukosa Faring
Mukosa faring cukup bervariasi. Pada nasofaring yang fungsinya sebagai saluran
respirasi, mukosanya adalah epitel torak berlapis bersilia yang mengandung sel goblet.
Sedangkan pada orofaring dan laringofaring yang fungsinya sebagai saluran cerna, mukosanya
adalah epitel gepeng berlapis tidak bersilia. Disepanjang faring ditemukan banyak sel jaringan
limfoid, sehingga farring disebut juga pertahanan tubuh terdepan.
Pada bagian atas nasofaring ditutupi oleh palut lendir (mukosa blanket) yang terletak
diatas silia dan bergerak sesuai arah silia. Mukosa blanket ini berfungsi menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udarra yang diisap. Mukosa blanket mengandung enzim lizozim
yang penting untuk proteksi.
Otot-Otot Faring
Terdapat 2 susunan otot faring, yaitu lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal).
Otot-otot sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-
otot ini terletak di sebelah luar. Disebalah depan, otot ini bertemu satu sama lain. Sedangkan
dibelakang, otot ini bertemu pada jaringan ikat yang disebut raphe faring. Kerja otot konstriktor
untuk mengecilkan lumen faring, dipersarafi oleh nervus vagus (N. X).
Otot-otot longitudinal terdiri dari m. stilofaring dan m. palatofaring. Letak otot ini
disebelah dalam. M. stilofaring berfungsi untuk melebarkan faring dan menarik faring,
dipersarafi oleh nervus glosofaringeus (N. IX). Sedangkan m. palatofaring berfungsi untuk
Pada palatum mole terdapat 5 otot yang bersatu, otot tersebut adalah :
M. levator veli palatine :
Berada pada sebagian besar palatum mole. Otot ini bekerja menyempitkan ismus faring
dan memperlebar ostium tuba eustachius. Otot ini dipersarafi oleh nervus vagus (N. X).
M. tensor veli palatine :
Otot ini membentuk tenda palatum mole, kerjanya adalah mengencangkan bagian
anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot ini juga dipersarafi nervus
vagus.
M. palatoglosus :
Otot ini membentuk arkus anterior faring. Kerjanya adalah menyempitkan ismus faring.
Otot ini dipersarafi nervus vagus.
M. palatofaring :
Otot palatofaring membentuk arkus posterior faring, dipersarafi oleh nervus vagus.
M. azigos uvula :
Merupakan otot yang kecil, kerjanya adalah memperpendek dan menaikan uvula ke
belakang atas. Otot ini dipersarafi nervus vagus.
Vaskularisasi Faring
Perdarahan faring yang utama terdiri dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring
asenden dan cabang fausial). Selain itu berasal dari cabang a. maksila interna yaitu cabang
palatina superior.
Persarafan Faring
Persarafan motoric dan sensorik faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus
ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus (berisi serabut motoric), cabang dari n.
glosofaring, dan serabut simpatis.
II.1.3 Laring
Anatomi
Laring adalah bagian terbawah saluran napas atas. Berbentuk seperti limas segitiga,
dengan bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas adalah aditus laring, sedangkan
batas bawah adalah kartilago krikoid. Kerangka laring disusun oleh 1 tulang (tulang hyoid) dan
beberapa tulang rawan (kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago
arytenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis, kartilago tritisea).
Pada laring terdapat 2 jenis persendian, yaitu persendian artikulasi krikotiroid dan
artikulasi krikoaritenoid.
Otot-otot laring juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu otot intrinsic dan otot ekstrinsik. Otot-
otot ekstrinsik terbagi lagi menjadi otot yang ada diatas tulang hyoid – suprahyoid (m.
digastricus, m. geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid). Otot suprahyoid berfungsi menarik
laring ke bawah. Sedangkan otot infrahioid terdiri dari m. sternohioid, m. omohioid, dan m.
tirohioid. Otot intrinsic berfungsi menarik laring ke atas.
Rongga Laring
Rongga laring terbagi menjadi 3 bagian yaitu vestibulum laring, glotik, dan subglotik.
Pada pita suara terbentuk dari lipatan mukosa ligamentum vokale (plika vocalis – pita suara
asli) dan dari lipatan ligamentum ventricular (plika ventrikularis – pita suara palsu). Bidang
Inervasi Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringis superior dan n.
laringis inferior. Nervus laringis superior mempersarafi m. krikotiroid sehingga memberikan
sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Sedangkan n. laringis inferior merupakan
kelanjutan dari n. rekuren (kanan akan menyilang a. subklavia kanan dibawahnya, sedangkan
kiri akan menyilang arkus aorta).
II.2.1 Etiologi
Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut,
kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis, pangkal
lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera, atau narkose
maupun karena benda asing.
Epidemiologi
Dari 5000 - 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran yang menderita
kelainan kongenital ini. Dengan angka kejadian bayi perempuan lebih tinggi
dua kali lipat dibandingkan pada bayi laki-laki. Kejadian atresia koana biasanya
dapat mengikuti kelainan kongenital lain seperti contohnya sindroma down,
sindroma DiGeorge, dan lain sebagainya
Diagnosis
Kelainan kongenital stenosis subglotik biasanya didiagnosis dengan
diameter lumen kurang dari 4 mm atau kurang dari 3 mm pada bayi premature.
Evaluasi radiologi dapat membantu untuk menilai jalan napas sebelum
melakukan bronkoskkopi atau ketika sulit untuk mendiagnosis dengan
gambaran radiologi lateral/AP.
Penatalaksanaan
Kasus ringan stenosis subglotik hanya memerlukan pengamatan, namun
sebagian besar membutuhkan trakeostomi jika terdapat masalah jalan napas.
Kebanyakan pasien membutuhkan trakeostomi pada usia 3-4 th saat stenosis
melebar. Intervensi bedah biasa dilakukan hanya pada kasus stenosis yang berat.
C Laringomalasia
Definisi
Laringomalasia adalah keadaan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi
kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis.
Epidemiologi
Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoris berkisar
antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.
Etiologi
Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan
akibat dari kelainan genetik atau kelainan embriologik Dua teori besar
mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan
struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori
inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan
menggunakan serat fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan.
Penemuan endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika ariepiglotik
dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung merupakan
cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis.
Penatalaksanaan
Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan
adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah
dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring
bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya
umur.Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara
konservatif. Jarang terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang
signifikan sehingga memerlukan operasi. Trakeotomi merupakan prosedur
pilihan untuk laringomalasia berat.
Inflamasi
A Laringitis
Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri
mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis.
Pemeriksaan Penunjang :
- Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis
(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus
- Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai
infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat
Penatalaksanaan
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun
ada indikasi masuk rumah sakit apabila :
- Usia penderita dibawah 3 tahun
- Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted
- Diagnosis penderita masih belum jelas
Penatalaksanaan berupa :
1. Perawatan dirumah kurang memadai
2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 L/menit
3. Menghirup udara lembab
Diagnosis
Foto leher lateral dapat terlihat obstruksi supraglotis akibat
pembengkakan epiglotis (thumb sign). Pada pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya leukositosis dan pada hitung jenis tampak pergeseran ke
kiri. Jika fasilitas tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan hapusan tenggorokan
dan biakan darah yang tampak adanya Haemophilus Influenzae tipe B.
Penatalaksanaan
Pemilihan antibiotik :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari secara intravena, terbagi 4 dosis
- Kloramfenikol 50 mg/kgBB/hari secara intravena, terbagi dalam 4 dosis
- Sefalosporin generasi ke 3 (Cefotaxime atau Ceftriaxone)
Jika demam dapat diberikan antipiretik. Tindakan trakeostomi seringkali
diperlukan.
C Angina Ludwig
Definisi
Angina ludwig atau angina ludovici merupakan infeksi ruang
submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan
submandibular
Etiologi
Penyebab angina ludwig adalah trauma bagian dalam mulut, infeksi lokal
pada mulut (oleh Streptococcus sp. atau Staphylococcus sp.), karies gigi
(terutama gigi molar dan premolar), tonsillitis dan peritonsilitis, trauma pada
ekstraksi gigi, otitis media dan eksterna, serta ulkus pada bibir dan hidung
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau
mencabut gigi, disertai gejala dan tanda klinik. Diagnosis menurut kriteria
Grodinsky, yaitu:5
a. Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam
b. Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous
c. Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
d. Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem
limfatik
Penatalaksanaan
Pengobatan angina Ludwig pada anak untuk perlindungan jalan napas
digunakan antibiotik intravena, selain itu dapat juga digunakan
terapi pembedahan. Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi,
kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat anti staphylococcus atau
metronidazole. Jika pasien alergi pinicillin, maka clindamycin hydrochloride
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar
menelan (disfagia) di samping juga gejala-gejala lain berupa
demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas
timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas,
2. Spasmodic Croup
Ditandai dengan gejala: batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala
prodromal, anak tiba-tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan,
biasanya pada malam hari sebelum menjelang tidur, serangan terjadi
sebentar kemudian kembali normal.
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi
sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung
area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan, tetapi bila diduga terdapat
epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia, drooling),
maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.12
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya
adalah Skor Westley yang menilai jumlah poin yang dipaparkan untuk lima
faktor: tingkat kesadaran, sianosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-
hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel dan skor akhir
berkisar dari 0 sampai 17.
Skor total ≤ 2 menunjukkan batuk ringan. Batuk menggonggong
karakteristik dan suara serak yang mungkin ada, tetapi tidak ada stridor
saat istirahat
Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat. Hal ini menyajikan
dengan mendengar stridor mudah, tetapi dengan beberapa tanda-tanda lain
Hal ini juga menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga ditandai dinding
dada indrawing
Sebuah nilai total ≥ 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan
pernapasan, batuk menggonggong, dan stridor mungkin tidak lagi
menonjol pada tahap ini.
Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yang Aspirasi benda asing
mengancam jiwa Abnormalitas kongenital
Sianosis Fakultas
Epiglotitis
Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 44
Penurunan kesadaran
O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
Trauma
A Menelan Bahan Kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorit, atau basa kuat
seperti soda kaustik, potasium kaustik dan ammonium bila tertelan dapa mengakibatkan
terbakarnya mukosa saluran cerna. Pada penderita yang tak sengaja minum bahan
tersebut, kemungkinan besar luka baker hanya pada mulut dan faring karena bahan
tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja masuk ke dalam lambung. Tetapi pada
mereka yang coba bunuh diri akan terjadi luka bakar yang luas pada esofagus bagian
tengah dan distal karena larutan tersebut berdiam di sini agak lama sebelum memasuki
kardia lambung.
Diagnosis didasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di
sekitar dan di dalam mulut. Kasus kecelakaan biasanya terjadi pada anak usia dibawah
enam tahun, sedangkan kasus bunuh diri pada dewasa.
B Trauma Trakea
Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma tumpul
tidak menimbulkan gejala atau tanda tetapi dapat juga mengakibatkan kelainan hebat
berupa sesak napas, karena penekanan jalan napas atau aspirasi darah atau emfisema
kutis bila trakea robek.
Dari pemeriksaan photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma penyerta
seperti fraktur vertebra servikal atau emfisema di jaringan lunak di mediastinum, leher
dan subkutis.
Trauma tumpul trakea jarang memerlukan tindakan bedah. Penderita
diobservasi bila terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan trakeotomi. Pada trauma tajam
yang menyebabkan robekan trakea segera dilakukan trakeotomi di distal robekan.
Kemudian robekan trakea dijahit kembali.
C Trauma Intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan
trakea. Keadaan ini baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar
parau dan ada kesulitan menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat
obstruksi pernapasan. Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bila
obstruksi napas terlalu hebat maka dilakukan trakeotomi.
Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalon dalam
waktu lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai
penyembuhan dengan jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.
Tumor
A Papiloma Laring
Definisi dan Epidemiologi
Papiloma laring merupakan tumor jinak pada laring yang jarang terjadi.
Insidensi tumor ini pada anak sebesar 4,3/100.000 dan pada dewasa sebesar
1,8/100.000. Papiloma laring pada anak sering didiagnosis pada usia 2-4 tahun
dan distribusinya sama antara laki-laki dan perempuan
Etiologi
Tumor ini disebabkan oleh Human Papiloma Virus tipe 6 dan 11
Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, papiloma laring dibagi menjadi:
a. Papiloma laring tipe juvenilis
Biasanya berupa lesi multipel dan mudah kambuh sehingga
membutuhkan eksisi yang berulang. Namun, papiloma tipe ini dapat
regresi secara spontan pada usia pubertas. Pada anak yang menderita
papiloma laring di bawah usia 3 tahun, memiliki risiko 3,6 kali untuk
dioperasi lebih dari 4 kali tiap tahun.6
b. Papiloma laring tipe senilis
Biasanya berupa lesi tunggal dengan tingkat rekurensi rendah dan kurang
agresif, tetapi memiliki risiko pre kanker yang tinggi
Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada papiloma laring adalah untuk mempertahankan jalan
napas dan kualitas suara. Terapi papiloma laring meliputi terapi operasi dan
medikamentosa sebagai terapi adjuvan
C Karsinoma Nasofaring
Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring
Epidemiologi
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang
terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga ,
Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan KNF
Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.
Gambar 35 Intubasi
2) Trakeostomi
3) Crikotirotomi
Gambar 37 Cricotyrotomi
BAB III
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas yang disebabkan
oleh radang, benda asing, tumor, trauma, kongenital dll.
Jackson membagi sumbatan laring kedalam 4 stadium yaitu; stadium 1 – adanya retraksi
di suprasternal dan stridor, pasien tampak tenang, stadium 2 – retraksi pada waktu inspirasi di
daerah suprasternal makin dalam, ditambah dengan timbulnya retraksi di daerah epigastrium,
pasien sudah mulai gelisah, stadium 3 – retraksi selain didaerah suprasternal, epigastrium juga
terdapat di klavikula dan sela-sela iga pasien, paien sangat gelisah dan dispneu, stadium 4 –
retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan, sianosis, jika keadaan
ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan tenaga lama kelamaan asfiksia.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas adalah mengusahakan agar jalan
napas kembali lancar. Tindakan konservatif berupa pemberian antiinflamasi, antialergi,
antibiotic, serta pemberian oksigen intermitten yang dilakukan pada sumbatan laring stadium
1 oleh peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi dengan memasuka pipa endotrakeal
melalui mulut (intubasi), membuat trakeostomi yang dilakukan pada sumbatan laring stadium
2 dan 3, atau melakukan krikotirotomi pada sumbatan laring stadium 4.
DAFTAR PUSTAKA