Anda di halaman 1dari 58

REFERAT

Obstruksi Saluran Nafas Atas

Oleh :
Ayulita Hana Fadhila
161.0221.031

Pembimbing :
dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan


Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
Tahun 2017
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :

OBSTRUKSI SALURAN NAFAS ATAS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan

RSUP Persahabatan

Disusun Oleh

Ayulita Hana Fadhila 161.0221.031

Telah dilaporkan pada tanggal 24 Januari 2017

Jakarta, 24 Januari 2017

Pembimbing

dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 2


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah
dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian ilmu telinga, hidung, tenggorokan
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUP Persahabatan Jakarta periode 2017.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL selaku
pembimbing referat ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa penulis mengucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar referat ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta, Januari 2017

Penulis

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 3


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1


LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... 2
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 3
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 6


II.1 Anatomi Saluran Napas Atas ............................................................................... 6
II.2 Obstruksi Saluran Napas Atas ........................................................................... 23

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 58

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 59

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 4


BAB I
PENDAHULUAN

Saluran pernapasan adalah saluran yang mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus.
Saluran pernapasan dimulai dari hidung sampai dengan alveoli. Saluran pernafasan dibagi
menjadi 2 yaitu saluran nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah. Saluran nafas bagian
atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan saluran nafas bagian bawah terdiri dari
trakea dan bronkus. Permukaan hidung hingga bronchioles dilapisi oleh lapisan sel toraks
bersilia dan ber sel goblet, yang dimanasel goblet akan menghasilkan mucus dan bersama silia
akan berperan untuk mengeluarkan partikel-partikel halus dari saluran napas baik melalui
reflex batuk maupun secret yang keluar.
Perjalanan masuknya udara ataupun pertahanan pertama saluran napas dari partikel-
partikel asing terutama dipegang oleh saluran napas bagian atas. Saluran nafas bagian atas
memiliki fungsi-fungsi diantaranya untuk menyaring udara, melembabkan serta
menghangatkan udara yang masuk melalui inspirasi.
Karena pentingnya kerja dari saluran napas atas, maka adanya gangguan pada saluran
napas bagian atas akan sangat mengganggu fisiologi tubuh. Salah satu contohnya adalah jika
terdapat obstruksi pada jalan napas bagian atas dapat menyebabkan gangguan ventilasi atau
gangguan napas yang dapat berujung pada kematian.
Obstruksi jalan napas bagian atas dapat disebabkan oleh berbagai hal. Hal-hal tersebut
diantaranya adalah radang, benda asing, tumor, kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Dibutuhkan suatu penanganan yang tepat dan segera untuk kasus obstruksi jalan napas atas.
Hal-hal diatas menjadi latar belakang penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai obstruksi saluran napas atas. Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas mulai
dari anatomi hingga penatalaksanaan obstruksi saluran napas atas.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI SALURAN NAPAS ATAS


System pernafasan memiliki salah satu peran penting yaitu mengambil oksigen dari
atmosfer kedalam sel-sel tubuh serta membawa karbondioksida dari sel-sel tubuh kembali ke
atmosfer. Fungsi-fungsi ini dilaksanakan oleh organ-organ pernafasan yang membentuk suatu
system yaitu system pernafasan.
Anatomi system pernafasan itu sendiri dikelompokan menjadi 2, yaitu saluran pernafasan
atas dan saluran pernafasan bawah. Masing-masing saluran terdiri dari organ-organ berikut :
a. Saluran pernafasan atas :
Hidung, faring, laring.
b. Saluran pernafasan bawah :
Trakea, paru-paru.

Gambar 1 Anatomi Saluran Pernafasan Atas dan Bawah

Pada makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai anatomi saluran pernafasan
atas berkaitan dengan obstruksi yang dapat timbul pada saluran napas atas.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 6


Gambar 2 Anatomi Saluran Napas Atas

II.1.1 Hidung
Anatomi
Hidung terletak menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir atas. Secara anatomi,
hidung dibedakan menjadi 2 yaitu hidung bagian luar dan hidung bagian dalam.
Hidung bagian luar berbentuk pyramid dan dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian pertama
adalah bagian paling atas yang disebut pangkal hidung (bridge), pangkal hidung tidak dapat
digerakan. Dibawah pangkal hidung terdapat batang hidung (dorsum nasi), terdiri dari kartilago
yang sedikit dapat digerakan. Bagian paling bawah adalah puncak hidung (tip). Terdapat juga
bagian lain seperti ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).

Gambar 3 Anatomi Hidung Luar

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosessus

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 7


frontalis os maksila, dan prosessus nasalis os frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri dari
sepasang kartilago lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), dan tepi anterior kartilago septum

Gambar 4 Tulang dan Tulang Rawan Hidung

Kavum nasi (rongga hidung) dipisahkan oleh septum nasi menjadi kavum nasi dextra dan
sinistra. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, sedangkan bagian
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Gambar 5 Anatomi Hidung Bagian Dalam


Kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu dinding medial, dinding lateral, dinding
inferior dan superior.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 8


Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Tulang-tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila, krista nasalis os palatina. Sedangkan tulang rawan terdiri dari kartilago septum,
kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada tulang rawan dan periosteum pada tulang
keras, diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Paling bawah dan paling besar adalah konka
inferior, yang pertama kali terlihat saat pemeriksaan rhinoskopi. Kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, dilanjutkan konka superior. Konka terkecil adalah konka suprema yang
bersifat rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila
dan labirin etmoid. Sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Terdapat 3 meatus. Pertama, meatus inferior (terletak antara konka inferior dan dasar
hidung) yang bermuara pada ostium ductus nasolakrimalis. Kedua, meatus medius (terletak
antara konka media dann dinding lateral rongga hidung), bermuara pada sinus frontal, maksila,
etmoid anterior. Ketiga, meatus superior terdapat antara konka superior dan konka media,
bermuara pada sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os. Maksila dan os
palatum.
Dinding superior dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os. Etmoid,
yang merupakan tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior
dibentuk oleh os. Sfenoid.

Gambar 6 Tulang Bagian Dalam Hidung


Komplek Osteomeatal

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 9


Pada bagian lateral hidung yang berbatas dengan konka media dan lamina papirasea
terdapat kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior (sinus maksila, etmoid anterior
dan frontal). Struktur yang membentuk KOM terdiri dari prosesus unsinatus, infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal.

Gambar 7 Sinus-Sinus

Vaskularisasi Hidung
Masing-masing bagian hidung memiliki vaskularisasinya sendiri. Bagian atas rongga
hidung mendapat vaskularisasi dari a. carotis interna yang bercabang menjadi a. oftalmika lalu
menjadi a. etmoid anterior dan posterior. Bagian depan hidung di perdarahi oleh cabang-cabang
arteri fasialis.
Bagian bawah rongga hidung mendapat vaskularisasi dari cabang a. maksilaris interna
yang menjadi a. palatina mayor dan a. sfenopalatina. Arteri ini keluar dari foramen
sfenopalatinna bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri yang ada.
Anastomosis ini disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach letaknya superfisial serta
muda cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 10


Gambar 8 Vaskularisasi Hidung

Vaskularisasi vena memiliki nama dan jalan yang sama dengan arteri. Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intracranial.

Persarafan Hidung
Persarafan sensoris rongga hidung bagian atas dan depan berasal dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang daru n. nasolateralis yang berasal dari n. oftalmikus (N. V-1).
Sedangkan rongga hidung lain mendapatkan persarafan sensoris dari n. maksila melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion spenopalatina juga memberikan persarafan otonom untuk
mukosa hidung. Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius.

Gambar 9 Inervasi Hidung

Mukosa Hidung
Mukosa pernafasan adalah epitel torak berlapis semu bersilia yang letaknya di rongga
hidung. Sedangkan epitel mukosa penghidu adalah epitel torak berlapis semu tidak bersilia
yang berada di atap rongga hidung, konka superior, dan 1/3 septum.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 11


II.1.2 Faring
Anatomi
Faring merupakan kantong fibromuskuler yang berbentuk corong, besar pada bagian atas
dan sempit pada bagian bawah. Panjang posterior dinding faring 14 cm.

Gambar 10 Faring dan Lapisan Faring

Faring tersusun mulai dari dasar tengkorak terus menyambung hingga ke esophagus
setinggi vertebrae cervical 6. Pada bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, bagian depan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, bagian bawah
dengan laring melalui aditus laring dan esophagus. Faring dari dalam ke luar tersusun oleh
selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring :


1) Nasofaring
Batas-batas nasofaring pada bagian atas adalah dasar tengkorak, bagian bawah
adalah palatum mole, bagian depan adalah rongga hidung, sedangkan bagian belakang
adalah vertebra servikal.
Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur penting seperti adenoid,
fossa rosenmuller, kantong rathke (invaginasi struktur embryonal hipofisis serebri),
torus tubarius, koana, foramen jugulare (dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus, n.
asesorius spinal saraf kranial, dan v. jugularis).

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 12


Gambar 11 Batas-Batas Faring

2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring. Batas atas adalah palatum molle, batas bawah
adalah tepi atas epiglottis, batas depan adalah rongga mulut, dan batas belakang adalah
vertebrae servikal.
Struktur yang terdapat pada rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatina, fosa tonsil, serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Dinding posterior faring terlibat penting pada peradangan. Gangguan pada otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan nervus vagus.
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (terletak dalam fosa tonsil), dan tonsil lingual (terletak didasar
lidah) yang ketiganya membentuk cincin waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah
epitel skuamosa yang meliputi kriptus (didalam kriptus terdapat leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan). Tonsil mendapat perdarahan dari a.
palatina minor, a. palatina asenden, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring
ascenden, a. lingualis dorsal.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 13


Gambar 12 Tonsil

3) Laringofaring
Batas atas laringofaring adalah tepi atas epiglottis, batas depan adalah laring,
batas bawah adalah esophagus, serta batas belakang adalah vertebrae servikal.

Mukosa Faring
Mukosa faring cukup bervariasi. Pada nasofaring yang fungsinya sebagai saluran
respirasi, mukosanya adalah epitel torak berlapis bersilia yang mengandung sel goblet.
Sedangkan pada orofaring dan laringofaring yang fungsinya sebagai saluran cerna, mukosanya
adalah epitel gepeng berlapis tidak bersilia. Disepanjang faring ditemukan banyak sel jaringan
limfoid, sehingga farring disebut juga pertahanan tubuh terdepan.
Pada bagian atas nasofaring ditutupi oleh palut lendir (mukosa blanket) yang terletak
diatas silia dan bergerak sesuai arah silia. Mukosa blanket ini berfungsi menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udarra yang diisap. Mukosa blanket mengandung enzim lizozim
yang penting untuk proteksi.

Otot-Otot Faring
Terdapat 2 susunan otot faring, yaitu lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal).
Otot-otot sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-
otot ini terletak di sebelah luar. Disebalah depan, otot ini bertemu satu sama lain. Sedangkan
dibelakang, otot ini bertemu pada jaringan ikat yang disebut raphe faring. Kerja otot konstriktor
untuk mengecilkan lumen faring, dipersarafi oleh nervus vagus (N. X).
Otot-otot longitudinal terdiri dari m. stilofaring dan m. palatofaring. Letak otot ini
disebelah dalam. M. stilofaring berfungsi untuk melebarkan faring dan menarik faring,
dipersarafi oleh nervus glosofaringeus (N. IX). Sedangkan m. palatofaring berfungsi untuk

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 14


mempertemukan ismus orofaring dan menaikan bagian bawah faring dan laring, dipersarafi
oleh nervus vagus (N. X). Kedua otot ini penting saat menelan.

Gambar 13 Otot-Otot Faring

Pada palatum mole terdapat 5 otot yang bersatu, otot tersebut adalah :
 M. levator veli palatine :
Berada pada sebagian besar palatum mole. Otot ini bekerja menyempitkan ismus faring
dan memperlebar ostium tuba eustachius. Otot ini dipersarafi oleh nervus vagus (N. X).
 M. tensor veli palatine :
Otot ini membentuk tenda palatum mole, kerjanya adalah mengencangkan bagian
anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot ini juga dipersarafi nervus
vagus.
 M. palatoglosus :
Otot ini membentuk arkus anterior faring. Kerjanya adalah menyempitkan ismus faring.
Otot ini dipersarafi nervus vagus.
 M. palatofaring :
Otot palatofaring membentuk arkus posterior faring, dipersarafi oleh nervus vagus.
 M. azigos uvula :
Merupakan otot yang kecil, kerjanya adalah memperpendek dan menaikan uvula ke
belakang atas. Otot ini dipersarafi nervus vagus.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 15


Gambar 14 Otot-Otot Palatum Mole

Vaskularisasi Faring
Perdarahan faring yang utama terdiri dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring
asenden dan cabang fausial). Selain itu berasal dari cabang a. maksila interna yaitu cabang
palatina superior.

Persarafan Faring
Persarafan motoric dan sensorik faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus
ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus (berisi serabut motoric), cabang dari n.
glosofaring, dan serabut simpatis.

Gambar 15 Vaskularisasi Faring

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 16


Ruang Faringeal
1) Ruang retrofaringeal
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jarring ikat
jarang dan fasia prevertebralis. Pada ruang retrofiring terdapat kelenjar-kenjar limfe,
oleh karena itu pada bayi dan anak sering terjadi abses retrofiring.
2) Ruang parafaring
Ruang ini berbentuk kerucut yang dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat
foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os. Hyoid. Ruang ini dibatasi
dibagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus
ascenden mandibular, sedangkan bagian posterior adalah kelenjar parotis.

Gambar 16 Ruang Faringeal

II.1.3 Laring
Anatomi
Laring adalah bagian terbawah saluran napas atas. Berbentuk seperti limas segitiga,
dengan bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas adalah aditus laring, sedangkan
batas bawah adalah kartilago krikoid. Kerangka laring disusun oleh 1 tulang (tulang hyoid) dan
beberapa tulang rawan (kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago
arytenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis, kartilago tritisea).

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 17


Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid.
Terdapat 2 pasang kartilago arytenoid yang membentuk artikulasi krikoaritenoid. Sepasang
kartilago kornikulat melekat pada kartilago arytenoid. Sepasang kartilago kunneiformis
terdapat dalam lipatan ariepiglotik, dan kartilago trisea terletak pada ligamentum hiotiroid
lateral.

Gambar 17 Struktur Laring

Ligamentum laring terdiri dari ligamentum intriksik dan ekstrinsik. Ligamentum


ekstrinsik terdiri dari membrane tirohioid, ligamentum tirohioid, ligamentum tiroepiglotis,
ligamentum hioepiglotis, ligamentum krikotrakeal.

Gambar 18 Ligamentum Ekstrinsik

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 18


Sedangkan ligamentum intrinsic terdiri dari membrane quadrangularis, ligaamentum
vestibular, konus elastikus, ligamentum krikotiroid media, ligamentum vokalis.

Gambar 19 Ligamentum Intrinsik

Pada laring terdapat 2 jenis persendian, yaitu persendian artikulasi krikotiroid dan
artikulasi krikoaritenoid.

Gambar 20 Persendian Laring

Otot-otot laring juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu otot intrinsic dan otot ekstrinsik. Otot-
otot ekstrinsik terbagi lagi menjadi otot yang ada diatas tulang hyoid – suprahyoid (m.
digastricus, m. geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid). Otot suprahyoid berfungsi menarik
laring ke bawah. Sedangkan otot infrahioid terdiri dari m. sternohioid, m. omohioid, dan m.
tirohioid. Otot intrinsic berfungsi menarik laring ke atas.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 19


Gambbar 21 Otot Laring Ekstrinsik

Otot instrinsik terdiri dari m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m.


arytenoid, m. ariepiglotika, dan m. krikotiroid. Sebagian besar otot intrinsic adalah otot aduktor
(kontraksinya mendektkan kedua pita suara ke tengah), kecuali m. krikoaritenoid posterior
yang merupakan otot abductor (kontraksinya menjauhkan pita suara ke lateral).

Gambar 22 Otot Laring Intrinsik

Rongga Laring
Rongga laring terbagi menjadi 3 bagian yaitu vestibulum laring, glotik, dan subglotik.
Pada pita suara terbentuk dari lipatan mukosa ligamentum vokale (plika vocalis – pita suara
asli) dan dari lipatan ligamentum ventricular (plika ventrikularis – pita suara palsu). Bidang

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 20


antara plika vocalis kanan dan kiri disebut rima glottis, sedangkan diantara plika ventrikularis
disebut rima vestibule.

Gambar 23 Plica Vocalis

Inervasi Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringis superior dan n.
laringis inferior. Nervus laringis superior mempersarafi m. krikotiroid sehingga memberikan
sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Sedangkan n. laringis inferior merupakan
kelanjutan dari n. rekuren (kanan akan menyilang a. subklavia kanan dibawahnya, sedangkan
kiri akan menyilang arkus aorta).

Gambar 24 Inervasi Laring

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 21


Vaskularisasi Laring
Vaskularisasi untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a. laringis superior dan a. laringis
inferior. A. laringis superior merupakan cabang dari a. tiroid superior, arteri ini bertugas
memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. A. laringis inferior merupakan cabang dari a. tiroid
inferior, arteri ini memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a. laringis
superior. Vena laringis superior dan v. laringis inferior letaknya sejajar dengan a. laringis
superior dan inferior.

Gambar 25 Vaskularisasi Laring

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 22


II.2 OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS
II.2.1 Definisi
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas (hidung sampai
laring) yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan
nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.

II.2.1 Etiologi
Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut,
kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis, pangkal
lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera, atau narkose
maupun karena benda asing.

Tabel 1 Etiologi Obstruksi Saluran Napas Atas


Kongenital atresia koane
stenosis supraglotis,glottis dan infraglotis
kista duktus tireoglosus
kista bronkiegen yang besar
laringokel yang besar
Inflamasi laringotrakeitis
epiglotitis
hipertrofi adenotonsiler
angina ludwig
abses parafaring atau retrofaring
Traumatik ingesti kaustik
patah tulang wajah atau mandibula
cedera laringotrakeal
intubasi lama: udem/stenosis
dislokasi krikoaritenoid
paralysis n. laringeus rekurens bilateral
Tumor hemangioma
higroma kistik
papiloma laring rekuren
limfoma

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 23


tumor ganas tiroid
karsinoma sel skuamosa laring, faring atau oesofagus
Lain-lain benda asing
udem angioneurotik

II.2.3 Gejala Klinis


Obstruksi saluran napas bagian atas ditandai dengan sesak napas, stridor inspiratore,
ortopne, pernapasan cuping hidung, dan cekung di daerah jugularis-supraklavikula-interkostal.
Selanjutnya penderita akan sianotik dan gelisah.

II.2.4 Jenis Kelainan


Kelainan Kongenital
A Atresia Koana
 Definisi
Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan
kegagalan perkembangan rongga hidung untuk berhubungan dengan nasofaring
dengan kata lain atresia koana adalah adanya kehilangan atau adanya
penghalang dari bagian posterior hidung.

Gambar 26 Atresia Koana

 Epidemiologi
Dari 5000 - 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran yang menderita
kelainan kongenital ini. Dengan angka kejadian bayi perempuan lebih tinggi
dua kali lipat dibandingkan pada bayi laki-laki. Kejadian atresia koana biasanya
dapat mengikuti kelainan kongenital lain seperti contohnya sindroma down,
sindroma DiGeorge, dan lain sebagainya

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 24


 Etiologi
ada masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan
membrane yang terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah
bentuk koana yang kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang
menjadi dugaan antara lain adanya keterlibatan kromosom 22q11.2
 Gejala Klinis
Pada setiap bayi baru lahir harus bernafas melalui hidung, namun pada
bayi yang menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena atresia
koana yang bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek.
Presentasi lain adalah bayi selalu sianosis saat menangis, adanya obstruksi
dari saluran napas saat bayi makan dan berkurang saat bayi menangis karena
adanya pengambilan udara dari mulut karena adanya sumbatan pada hidung.
Kebanyakan atresia koana bilateral didiagnosa saat bulan pernah kehidupan.
Pasien dengan atresia koana unilateral jarang menyebabkan obstruksi
saluran napas yang parah. Normalnya gejala baru akan tampak setelah 18 bulan
kehidupan
 Diagnosis
Dari anamnesis didapati riwayat kesulitan bernapas dan bernapas dari
hidung saat baru lahir dan makin memberat dalam beberapa bulan ini. Pasien
juga kesulitan dalam pemberian makan karena akan mengganggu pernapasan
dan semakin memberat apabila pasien menangis. Pada pasien juga didapati
riwayat biru saat menangis akibat kurangnya pengambilan oksigen.
Pada inspeksi didapati pasien cenderung mengambil nafas dari mulut.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cenderung dalam batas normal, namun
kadang dijumpai adanya secret yang keluar dan bertahan. Pada pasien dengan
atresia koana dengan menggunakan endoskopi dapat dilihat adanya discharge
yang bersifat mukoid dan terlihat adanya atresia koana lebih jelas tampak.
CT scan dapat menunjukkan luas dari bagian posterior septum dan
densitas tulang padat yang menyangga lateral.
 Penatalaksanaan
Pada bayi dengan atresia koana yang bilateral biasanya langsung
menunjukkan keadaan kesulitan bernapas, dan penatalaksanaan selanjutnya
diperlukan. Seperti latihan bernapas melalui mulut, McGovern nipple atau

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 25


dengan oropharyngeal airway. McGovern nipple adalah suatu seperti ujung
botol dengan sebuah lubang yang cukup besar dan dapat digunakan untuk
pemberian makan.
Jika didapati distress pernapasan yang parah dan jalan napas tidak dapat
dilakukan dengan intubasi endotrakea, perlu dilakukan trakeotomi pada
keadaan emergensi. Pembedahan merupakan satu-satunya cara yang paling
tepat dalam keadaan atresia koana bilateral.
B Stenosis Subglotik
 Definisi
Stenosis subglotik didefinisikan sebagai suatu diameter subglotik yang
kurang dari 4 mm. laring neonates normal dapat dilalui bronkoskop 3,5 mm.
Sebagian neonates mengalami stridor tidak lama setelah lahir, sebagian lagi
mengalami episode laringotrakeitis berulang.
 Epidemiologi
Kelainan ini merupakan kelainan ketiga yang paling sering terjadi pada
laring, sekitar 15% dari semua kasus. Kondisi kelainan ini paling sering
membutuhkan trakeostomi pada bayi. Laki-laki 2x lebih sering terkena.
 Etiologi
Kelainan yang sering menyebabkan stenosis subglotis yaitu; (1) penebalan
jaringan submucosa dengan hyperplasia kelenjar mucus dan fibrosis, (2)
kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen lebih kecil, (3) bentuk
tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil, (4) pergeseran cincin
trakea pertama kearaah atas belakang kedalam lumen krikoid.
 Gejala Klinis
Manifestasi klinis pada stenosis subglotis biasanya muncul dalam
beberapa bulan pertama kelahiran. Gejala yang paling umum adalah stridor
dengan atau tanpa gejala pernafasan, dapat mengalami batuk berdahak.
Dikatakan stenosis subglotik apabila gejala tersebut berulang atau
berkepanjangan melampau waktu infeksi croup (1-3 hari). Gejala lain dapat
berupa dyspnea, retraksi, pada stadium lebih berat dapat ditemukan sianosis dan
apneu.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 26


Gambar 27 Stenosis Subglotik

 Diagnosis
Kelainan kongenital stenosis subglotik biasanya didiagnosis dengan
diameter lumen kurang dari 4 mm atau kurang dari 3 mm pada bayi premature.
Evaluasi radiologi dapat membantu untuk menilai jalan napas sebelum
melakukan bronkoskkopi atau ketika sulit untuk mendiagnosis dengan
gambaran radiologi lateral/AP.
 Penatalaksanaan
Kasus ringan stenosis subglotik hanya memerlukan pengamatan, namun
sebagian besar membutuhkan trakeostomi jika terdapat masalah jalan napas.
Kebanyakan pasien membutuhkan trakeostomi pada usia 3-4 th saat stenosis
melebar. Intervensi bedah biasa dilakukan hanya pada kasus stenosis yang berat.
C Laringomalasia
 Definisi
Laringomalasia adalah keadaan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi
kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis.
 Epidemiologi
Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoris berkisar
antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.
 Etiologi
Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan
akibat dari kelainan genetik atau kelainan embriologik Dua teori besar
mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan
struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori
inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 27


pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin
merupakan salah satu faktor etiologinya
 Patofisiologi
Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun
pada keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian
dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini
dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai
kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago
tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas
laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor
inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi
Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat
dari jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian
mukopolisakarida. Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring
menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi proteoglikan dengan
pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat dengan
sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang
dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat.
Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah,
akan menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis
yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang
hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus.
 Gambaran Klinis
Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak
dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal
yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris
serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali laring yang dapat
menekan esofagus.Stridor inspiratoris biasanya baru tampak beberapa hari atau
minggu dan awalnya ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan
mencapai puncaknya pada usia 6 – 9 bulan.Umumnya, gejala menjadi lebih
berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi dapat terjadi; stridor lebih keras
pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada saat dalam posisi
pronasi

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 28


Gambar 28 Laringomalasia

 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan
menggunakan serat fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan.
Penemuan endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika ariepiglotik
dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung merupakan
cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis.
 Penatalaksanaan
Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan
adalah waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah
dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring
bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan bertambahnya
umur.Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara
konservatif. Jarang terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang
signifikan sehingga memerlukan operasi. Trakeotomi merupakan prosedur
pilihan untuk laringomalasia berat.

Inflamasi
A Laringitis

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 29


 Definisi
Peradangan akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis (common cold). Pada anak laringitis akut ini dapat menimbulkan
sumbatan jalan napas. Dapat juga disebabkan oleh virus dan bakteri yang
berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi
virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan
adenovirus. Laringitis akut memiliki onset yang mendadak dan umumnya self-
limited, yang terjadi dalam waktu < 3 minggu.
 Etiologi
Penyakit ini sering disebabkan oleh virus. Biasanya merupakan perluasan
radang saluran napas bagian atas oleh karena bakteri Haemophilus Influenzae,
Staphylococcus sp., Streptococcus sp., atau Pneumococcus sp.. Timbulnya
penyakit ini sering dihubungkan dengan perubahan cuaca atau suhu, gizi yang
kurang/malnutrisi, imunisasi yang tidak lengkap dan pemakaian suara yang
berlebihan. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim/cuaca.1
Menurut Rahul K shah etiologi dari laringitis akut adalah :
1) Infeksi (biasanya infeksi virus dari saluran pernapasan atas) :
Rhinovirus, Parainfluenza virus, Respiratory syncytial virus,
Adenovirus, Influenza virus, Measles virus, Mumps virus, Bordetella
pertussis, Varicella-zozter virus
2) Gastroesophageal reflukx disease
3) Environmental insults (polusi)
4) Vocal trauma
5) Konsumsi alkohol berlebihan
6) Alergi
7) Penggunaan suara yang berlebihan
8) Iritasi bahan kimia atau bahan lainnya

 Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri
mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 30


Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu
mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis
umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring
dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang
meningkat. Laringitis ini biasanya di dahului oleh faringitis dan infeksi saluran
napas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran
napas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara
berlebihan sehingga menyumbat saluran napas. Kondisi tersebut akan
merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring.
Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan
menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika
berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.
 Gejala Klinis
Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara
yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah
dari suara yang biasa/normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan
dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara
menjadi parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).1 Selain itu
terdapart gejala lainnya, diantaranya:
1) Sesak napas dan stridor
2) Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara
3) Gejala radang umum seperti demam, malaise
4) Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
5) Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga
sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk
dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari
38˚C
Etiologi lainnya dari laringitis akut termasuk penggunaan vokal
berlebihan vocal misuse/ vocal abuse), pajanan dari dari agen berbahaya,
atau agen infeksi dari saluran pernapasan atas. Umumnya infeksi terjadi
banyak disebabkan oleh agen viral dibandingkan bakterial.
 Diagnosis

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 31


Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis,
membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan
tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru. Pada pemeriksaan
laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yang sangat sembab,
hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu
pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah
pita suara.9,10

Pemeriksaan Penunjang :
- Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis
(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus
- Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai
infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat

Gambar 29 Steeple Sign

 Penatalaksanaan
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun
ada indikasi masuk rumah sakit apabila :
- Usia penderita dibawah 3 tahun
- Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted
- Diagnosis penderita masih belum jelas
Penatalaksanaan berupa :
1. Perawatan dirumah kurang memadai
2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 L/menit
3. Menghirup udara lembab

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 32


4. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghindari iritasi
faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas, atau minum es
5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen/antipiretik jika pasien ada
demam, bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat analgetik, hidung
tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin
(PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk
oral ataupun spray. Pemberian antibiotika apabila perdangan berasal dari
paru. Antibiotika golongan penisilin anak 50 mg/kgBB dibagi dalam 3
dosis, dewasa 3 x 500 mg/hari.1,9,10
Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup udara
lembab. Menghindari dari iritasi pada faring dan laring, misalnya
merokok, makan dan minum es. Antibiotika diberikan apabila
peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan laring, dilakukan
pemasangan pipa endotrakea atau trakheostomi
B Epiglotitis
 Definisi
Epiglottitis adalah suatu infeksi yang terjadi pada epiglotis dan jaringan
sekitarnya yang dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas bahkan kematian
 Epidemiologi
Epiglottitis paling sering ditemukan pada anak usia 2-6 tahun dan jarang
terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun.
 Etiologi
Infeksi ini biasa terjadi akibat kuman Haemofilus influenza. Infeksi biasa
dimulai dari saluran nafas bagian atas sebagai peradangan hidung dan
tenggorokan. Kemudian menyebar ke bagian bawah yaitu epiglotis. Infeksi
seringkali disertai bakterimia.
 Gejala Klinis
Gejala klinis berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan (odinofagia) yang
menyebabkan sulit menelan (disfagia), hot potato voice, demam sampai
menggigil, stridor inspirasi, dan sesak napas akibat sumbatan jalan napas. Anak
biasanya lebih suka posisi duduk, dagu lebih maju, dan leher lebih hiperekstensi
untuk menjaga agar jalan napas tetap tebuka.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 33


Gambar 30 Epiglotitis

 Diagnosis
Foto leher lateral dapat terlihat obstruksi supraglotis akibat
pembengkakan epiglotis (thumb sign). Pada pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya leukositosis dan pada hitung jenis tampak pergeseran ke
kiri. Jika fasilitas tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan hapusan tenggorokan
dan biakan darah yang tampak adanya Haemophilus Influenzae tipe B.
 Penatalaksanaan
Pemilihan antibiotik :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari secara intravena, terbagi 4 dosis
- Kloramfenikol 50 mg/kgBB/hari secara intravena, terbagi dalam 4 dosis
- Sefalosporin generasi ke 3 (Cefotaxime atau Ceftriaxone)
Jika demam dapat diberikan antipiretik. Tindakan trakeostomi seringkali
diperlukan.
C Angina Ludwig
 Definisi
Angina ludwig atau angina ludovici merupakan infeksi ruang
submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan
submandibular

 Etiologi
Penyebab angina ludwig adalah trauma bagian dalam mulut, infeksi lokal
pada mulut (oleh Streptococcus sp. atau Staphylococcus sp.), karies gigi
(terutama gigi molar dan premolar), tonsillitis dan peritonsilitis, trauma pada
ekstraksi gigi, otitis media dan eksterna, serta ulkus pada bibir dan hidung

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 34


 Gejala Klinis
Tanda dan gejala angina ludwig, yaitu nyeri tenggorokan dan leher,
disertai pembengkakan didaerah submandibula, yang tampak hiperemis dan
keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas
belakang sehingga menimbulkan sesak napas karena sumbatan jalan napas.

Gambar 31 Angina Ludwic

 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau
mencabut gigi, disertai gejala dan tanda klinik. Diagnosis menurut kriteria
Grodinsky, yaitu:5
a. Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam
b. Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous
c. Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
d. Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem
limfatik

 Penatalaksanaan
Pengobatan angina Ludwig pada anak untuk perlindungan jalan napas
digunakan antibiotik intravena, selain itu dapat juga digunakan
terapi pembedahan. Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi,
kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat anti staphylococcus atau
metronidazole. Jika pasien alergi pinicillin, maka clindamycin hydrochloride

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 35


adalah pilihan yang terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan
secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan
perlindungan jalan nafas.
Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, pada angina Ludwig jarang terdapat
pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan
memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah dilakukan insisi dan drainase.
D Abses Leher Dalam
 Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan
leher.
 Epidemiologi
Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah
abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan
retrofaring (5,9%).
 Etiologi
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek
gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi
akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III
apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke
daerah submaksila.
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti,
Prevotella, Fusobacterium spp,.
 Gambaran Klinis
1. Abses Peritonsil
 Definisi

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 36


Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material
purulen yang terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas
tonsil
 Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak
ditemukan, dan biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub
atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
 Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan
jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial pritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak.7
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses
berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke
arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan
jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.
Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
 Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri
tenggorok, nyeri menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri
telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot potato voice). Rasa
nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris,
pembengkakan di daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 37


sehat, dan trismus. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus.
 Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi
dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat
dan kompres dingin pada leher.7
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan
drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik
insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan
setelah pemberian cairn kokain 4% pada daerah insisi dan daerah
ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.Kemudian pasien
dinjurkan untuk operasi tonsilektomi
2. Abses Retrofaring
 Definisi
Abses retrofiring merupakan kelainan terjadinya
pengumpulan pus (nanah) di ruang retrofiring.
 Epidemiologi
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama
terjadi pada bayi atau anak di bawah dua tahun dan merupakan
abses leher dalam yang terbanyak pada anak.
 Etiologi
Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran
nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang
terdapat pada daerah retrofaring. Pada orang dewasa abses
retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada
mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.

 Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar
menelan (disfagia) di samping juga gejala-gejala lain berupa
demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas
timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas,

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 38


terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring,
dapat timbul stridor.
 Penatalaksanaan
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis
tinggi untuk kuman aerob dan anaerob, dan tindakan bedah.
Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan
dalam analgesia lokal atau umum.
3. Abses Parafaring
 Definisi
Abses parafaring merupakan kelainan terjadinya
pengumpulan pus (nanah) di ruang parafaring.
 Etiologi
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil,
adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus
abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam
yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula,
abses retrofaring maupun mastikator.
 Gejala klinis
Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus,
nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan
dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak
teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.
 Pentalaksanaan
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses
harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam
narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal
pada 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula
4. Abses Submandibula
 Definisi

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 39


Abses submandibula merupakan kelainan terjadinya
pengumpulan pus (nanah) di ruang submandibular.
 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar liur atau kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher dalam lain.
 Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan
leher, air liur banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula
dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.
E Laringotrakeobronkitis
 Definisi
Croup merupakan suatu penyakit yang mengenai laring, infra/subglotis,
trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang
menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya
obstruksi jalan napas. Pada croup syndrome ini biasanya dipicu oleh infeksi
virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan pembengkakan di
dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal.
 Klasifikasi
Croup syndrome diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu :
1. Viral Croup
Ditandai dengan gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi
saluran pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Usia ± 6 tahun. Stridor,
batuk (sepanjang waktu), demam yang tinggi dengan durasi 2-7 hari.

2. Spasmodic Croup
Ditandai dengan gejala: batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala
prodromal, anak tiba-tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan,
biasanya pada malam hari sebelum menjelang tidur, serangan terjadi
sebentar kemudian kembali normal.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 40


Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan
derajat keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4
kategori.
1. Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-
kadang muncul, stridor tidak terdengar saat pasien istirahat/tidak
beraktivitas dan teradapat retraksi dada ringan.
2. Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor lebih bisa terdengar ketika pasien beristirahat/tidak aktivitas,
retraksi dinding dada sedikit terlihat, tetapi tanpa gawat napas (repiratory
distress).
3. Berat: Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor saat inspirasi lebih bisa terdengar saat aktivitas, kadang-kadang
disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, serta terdapat
gangguan pernapasan.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor
positif (kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit
gangguan kesadaran (letargi).
 Epidemiologi
Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak
berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada anak perempuan dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya
meningkat pada musim dingin dan musim gugur pada negara-negara sub-tropis,
sedangkan pada negara tropis seperti Indonesia angka kejadian cukup tinggi
pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien
sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.
 Etiologi
Croup syndrome ini biasanya terjadi akibat infeksi virus (Human
Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4
terdapat pada sekitar 75% kasus, Influenza A dan B, virus campak, Adenovirus,
dan Respiratory Syncytial Virus (RSV)). Nama lain menggunakan istilah yang

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 41


lebih luas, untuk menyertakan laryngotrakeitis akut, batuk tidak teratur, difteri
laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeo-bronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Croup syndrome juga dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenzae, dan Catarrhalis moraxella dan jamur (Candida
albican). Etiologi lainnya, yaitu akibat benda asing, pasca pembedaha
penekanan massa ekstrinsik, dan edema angioneurotik
 Gejala Klinis
Gejala klinis diawali dengan suara serak, batuk menggonggong, dan
stridor inspirasi. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam
kondisi yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah
terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati
suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan
membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas
yang makin berat, ditandai dengan takipnea, takikardia, sianosis dan pernapasan
cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi
supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrium. Bila anak mengalami
hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat anak tampak
diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal
napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari.
Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di
tempat tidur atau digendong. Perbedaan antara viral croup
(laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup (spasmodic cough) dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.

Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup


Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 42


Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada
Tabel 2 Perbedaan Viral Croup (Laringotrakeobronkitis) dan Spasmodic
Croup
 Diag

 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi
sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung
area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan, tetapi bila diduga terdapat
epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia, drooling),
maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.12
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya
adalah Skor Westley yang menilai jumlah poin yang dipaparkan untuk lima
faktor: tingkat kesadaran, sianosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-
hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel dan skor akhir
berkisar dari 0 sampai 17.
 Skor total ≤ 2 menunjukkan batuk ringan. Batuk menggonggong
karakteristik dan suara serak yang mungkin ada, tetapi tidak ada stridor
saat istirahat
 Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat. Hal ini menyajikan
dengan mendengar stridor mudah, tetapi dengan beberapa tanda-tanda lain
 Hal ini juga menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga ditandai dinding
dada indrawing
 Sebuah nilai total ≥ 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan
pernapasan, batuk menggonggong, dan stridor mungkin tidak lagi
menonjol pada tahap ini.

Tabel 3 Skor Westley

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 43


Pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis
tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Bila ditemukan peningkatan
leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN, kemungkinan telah terjadi
superinfeksi, misalnya epiglottitis.12
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan
diagnosis croup syndrome, yaitu pemeriksaan radiologi dan CT scan. Gambaran
radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara/steeple sign) pada
foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang ireguler pada trakea
foto lateral, serta peumonia bilateral. Tanda menara terlihat pada radiografi
anteroposterior jaringan lunak leher. Konektivitas lateral normal trakea
subglottic hilang, dan penyempitan lumen subglottic menghasilkan konfigurasi
V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin inferior pita
suara yang benar. Penyempitan dari lumen subglottic mengubah tampilan
radiografi dari kolom udara trakea, yang menyerupai atap bernada tajam atau
menara gereja. Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan
saluran napas adalah 1 cm proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita
suara. Pada CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi pada
pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia
di bawah 6 bulan atau stridor pada saat aktivitas.
 Penatalaksanaan
CROUP

Diagnosis banding

Obstruksi jalan napas yang  Aspirasi benda asing
mengancam jiwa  Abnormalitas kongenital
 Sianosis  Fakultas
Epiglotitis
Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 44
 Penurunan kesadaran
 O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
Trauma
A Menelan Bahan Kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorit, atau basa kuat
seperti soda kaustik, potasium kaustik dan ammonium bila tertelan dapa mengakibatkan
terbakarnya mukosa saluran cerna. Pada penderita yang tak sengaja minum bahan
tersebut, kemungkinan besar luka baker hanya pada mulut dan faring karena bahan
tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja masuk ke dalam lambung. Tetapi pada
mereka yang coba bunuh diri akan terjadi luka bakar yang luas pada esofagus bagian
tengah dan distal karena larutan tersebut berdiam di sini agak lama sebelum memasuki
kardia lambung.
Diagnosis didasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di
sekitar dan di dalam mulut. Kasus kecelakaan biasanya terjadi pada anak usia dibawah
enam tahun, sedangkan kasus bunuh diri pada dewasa.
B Trauma Trakea
Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma tumpul
tidak menimbulkan gejala atau tanda tetapi dapat juga mengakibatkan kelainan hebat
berupa sesak napas, karena penekanan jalan napas atau aspirasi darah atau emfisema
kutis bila trakea robek.
Dari pemeriksaan photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma penyerta
seperti fraktur vertebra servikal atau emfisema di jaringan lunak di mediastinum, leher
dan subkutis.
Trauma tumpul trakea jarang memerlukan tindakan bedah. Penderita
diobservasi bila terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan trakeotomi. Pada trauma tajam
yang menyebabkan robekan trakea segera dilakukan trakeotomi di distal robekan.
Kemudian robekan trakea dijahit kembali.
C Trauma Intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan
trakea. Keadaan ini baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar
parau dan ada kesulitan menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat
obstruksi pernapasan. Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bila
obstruksi napas terlalu hebat maka dilakukan trakeotomi.
Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalon dalam
waktu lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai
penyembuhan dengan jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 45


Pengobatan stenosis ini berupa peregangan bagian yang stenosis dalam waktu
lama, tetapi seringkali perlu dilakukan reseksi segmental trakea dan anstomosis ujung
ke ujung.
D Dislokasi Krikoaritenoid
Trauma pada laring dapat menyebabkan dislokasi persendian krikoaritenoid
yang mengakibatkan suara parau disertai obstruksi jalan napas bagian atas. Pada
pemeriksaan roentgen leher tampak dislokasi struktur laring, penyempitan jalan napas,
dan udem jaringan lunak.
Penanganannya berupa trakeotomi, kemudian dislokasi direposisi secara
terbuka dan dipasang bidai dalam. Kelambatan penanganan dislokasi krikoaritenoid
dapat mengakibatkan stenosis laring.

Tumor
A Papiloma Laring
 Definisi dan Epidemiologi
Papiloma laring merupakan tumor jinak pada laring yang jarang terjadi.
Insidensi tumor ini pada anak sebesar 4,3/100.000 dan pada dewasa sebesar
1,8/100.000. Papiloma laring pada anak sering didiagnosis pada usia 2-4 tahun
dan distribusinya sama antara laki-laki dan perempuan
 Etiologi
Tumor ini disebabkan oleh Human Papiloma Virus tipe 6 dan 11
 Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, papiloma laring dibagi menjadi:
a. Papiloma laring tipe juvenilis
Biasanya berupa lesi multipel dan mudah kambuh sehingga
membutuhkan eksisi yang berulang. Namun, papiloma tipe ini dapat
regresi secara spontan pada usia pubertas. Pada anak yang menderita
papiloma laring di bawah usia 3 tahun, memiliki risiko 3,6 kali untuk
dioperasi lebih dari 4 kali tiap tahun.6
b. Papiloma laring tipe senilis
Biasanya berupa lesi tunggal dengan tingkat rekurensi rendah dan kurang
agresif, tetapi memiliki risiko pre kanker yang tinggi

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 46


 Gejala Klinis
Manifestasi klinis papiloma laring berupa suara serak yang progresif,
sensasi mengganjal di tenggorokan, batuk kronis, stridor, dan dispnea.
Kebanyakan pasien terutama pada anak datang dengan obstruksi jalan napas dan
sering salah diagnosis sebagai asma, bronkitis kronis, atau
laringotrakeobronkitis. Penyebaran papiloma laring ke ekstralaring yang paling
sering adalah kavitas oris, trakea dan bronkus.6
Gambaran makroskopis papiloma laring, yaitu terlihat sebagai massa
multinodular yang tumbuh eksofitik dan berwarna merah muda atau putih.
Lokasi utama papiloma laring tipe senilis adalah pada glotis dan supraglotis,
sedangkan papiloma laring tipe juvenilis paling banyak ditemukan pada
komisura anterior dan plika vokalis, diikuti pada komisura anterior dan
posterior, plika vokalis, plika ventrikularis dan permukaan epiglotis, serta regio
subglotik. Gambaran mikroskopis papiloma laring, yaitu tampak jaringan yang
berbentuk papil dengan jaringan ikat fibrovaskular dan epitel skuamosa
hiperplastik yang mengalami parakeratosis, akantosis dan koilositosis. Adanya
sel-sel yang atipik merupakan petanda suatu keganasan seperti karsinoma in situ
atau karsinoma sel skuamosa invasif.

Gambar 32 Papiloma Laring

 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada papiloma laring adalah untuk mempertahankan jalan
napas dan kualitas suara. Terapi papiloma laring meliputi terapi operasi dan
medikamentosa sebagai terapi adjuvan

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 47


Terapi adjuvan pada papiloma laring meliputi interferon-α, asam retinoat,
estrogen, indole-3-carbinol, terapi fotodinamik, cidofovir dan asiklovir. Terapi
adjuvant tersebut diberikan jika pasien telah menjalani operasi lebih dari empat
kali dalam satu tahun, terdapat penyebaran penyakit ke lokasi yang lebih distal
dan/atau pertumbuhan kembali lesi yang cepat disertai dengan gangguan pada
jalan napas
B Neoplasma Tiroid
Karsinoma tiroid dapat berinvasi ke laring dan mempengaruhi jalan napas.
Adanya invasi ini harus dicurigai bila tumor tiroid tidak dapat digerakkan dari dasarnya,
disertai suara parau dan gangguan napas. Pada pemeriksaan photo roentgen leher
terlihat distorsi laring atau bayangan suatu massa yang menonjol ke lumen laring dan
trakea.
Kadang tumor tiroid berada pada saluran napas atas secara primer. Diduga
tumor primer di laring atau trakea bagian atas berasal dari sisa tiroid yang terletak dalam
submukosa yang melapisi krikoid dan cincin trakea atas yang ditemukan pada 1-2 %
populasi. Tumor ini harus dieksisi dengan laringektomi.

Gambar 33 Karsinoma Tiroid

C Karsinoma Nasofaring
 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring
 Epidemiologi
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang
terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga ,
Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan KNF

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 48


 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan
timbulnya KNF adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen
pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan
sebagian besar karsinoma nasofaring
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara
karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr
(EBV).
3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan
timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan
Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin,
Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat
 Gejala Klinis
 Gejala Dini
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius.
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang
disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala
yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang
telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat
penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi
cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga
akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan
pendengaran

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 49


Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor
biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan
ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang
menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan
menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang
disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit
ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis,
sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang
sedang menderita radang
 Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping
leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini
merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama
sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini
tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar
dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot
dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke
atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot
dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda
(diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul
kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan
penciuman

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 50


 Stadium

 Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 51


Lain-Lain
A Benda Asing
 Epidemiologi
Benda asing pada saluran napas adalah hal yang sering terjadi pada anak-
anak. Anak laki-laki terinhalasi benda asing dua kali lebih banyak daripada anak
perempuan dan sekitar 80% dari penderita adalah anak dibawah usia 4 tahun.
Kacang tanah dan kacang-kacangan lainnya yang dapat dimakan, merupakan
kasus terbanyak didapat dan terletak paling sering di bronkus kanan
dibandingkan di bronkus kiri.
 Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi bergantung pada letak benda asing tersebut di
saluran napas. Penderita yang mengalami aspirasi benda asing akan mengalami
3 stadium, yaitu:
1) Stadium 1, yaitu batuk hebat secara tiba-tiba, rasa tercekik, rasa tersumbat
ditenggorokan, bicara gagap, dan obstruksi jalan napas
2) Stadium 2, yaitu gejala stadium pertama diikuti oleh interval
asimptomatik. Hal ini terjadi karena benda asing tersebut tersangkut,
refleks akan melemah, dan gejala rangsangan akut menghilang
3) Stadium 3, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi, atau
infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk,
hemoptisis, pneumonia, dan abses paru
 Penatalaksanaan
Penanganan terhadap benda asing, yaitu dengan perasat heimlich
(Heimlich Maneuver).
Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang
menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak di
laring Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan
pada paru. Diibaratkan paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara yang
tertutup oleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan
terlempar keluar
Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan anak.
Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu ruptur gaster, ruptur hepar, dan fraktur
costae

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 52


Gambar 34 Perasat Hemlich

II.2.5 Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
a. Gejala dan tanda sumbatan yang tampak, yaitu:1
 Serak (disfoni) sampai afoni
 Dispnea
 Stridor saat inspirasi
 Retraksi saat inspirasi pada suprasternal, epigastrium, supraclavicular dan
intercostal
 Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
 Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia
b. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan, antara lain:1
 Laringoskop (direk dan indirek)

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 53


 Nasoendoskopi
 Foto rontgen
Dilakukan pada foto thoraks yang mencakup saluran napas bagian atas. Apabila
sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran radiolusen. Pada
epiglotitis didapatkan gambaran thumb like
 Foto polos sinus paranasal
 CT-Scan kepala dan leher
 Biopsi

II.2.6 Stadium Obstruksi Saluran Napas Atas


Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium, yaitu sebagai berikut.
Tabel 4 Stadium Jackson
Stadium I  Retraksi saat inspirasi di suprasternal
 Stridor saat inspirasi
 Pasien masih tampak tenang
Stadium II  Retraksi saat inspirasi di suprasternal makin dalam,
ditambah timbulnya retraksi di daerah epigastrium
 Stridor saat inspirasi
 Pasien sudah mulai gelisah
Stadium III  Retraksi selain di daerah suprastrenal, epigastrium juga
terdapat di infraclavicula dan di intercostal
 Stridor saat inspirasi dan ekspirasi
 Pasien sangat gelisah dan dispnea
Stadium IV  Retraksi bertambah jelas
 Pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan
sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka
penderita akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan
paralisis karena hiperkapnea. Pada keadaan tersebut
penderita tampak tenang dan tertidur, akhirnya penderita
meninggal karena asfiksia

II.2.7 Penanggulangan Obstruksi Saluran Napas Atas

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 54


Prinsip dari penanggulangan pada obstruksi saluran napas, yaitu melancarkan kembali
jalan napas.
a. Tindakan konservatif
Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotik, serta pemberian oksigen
intermiten yang dilakukan pada obstruksi laring stadium I yang disebabkan oleh
peradangan.1
b. Tindakan operatif/resusitasi
Memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui
hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi
laring stadium II dan III, atau melakukan krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi
laring stadium IV. Terdapat beberapa cara untuk mengatasi gangguan pernapasan
bagian atas, antara lain sebagai berikut.
1) Intubasi

Gambar 35 Intubasi

2) Trakeostomi

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 55


Gambar 36 Trakeostomi

3) Crikotirotomi

Gambar 37 Cricotyrotomi

BAB III

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 56


PENUTUP

Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas yang disebabkan
oleh radang, benda asing, tumor, trauma, kongenital dll.
Jackson membagi sumbatan laring kedalam 4 stadium yaitu; stadium 1 – adanya retraksi
di suprasternal dan stridor, pasien tampak tenang, stadium 2 – retraksi pada waktu inspirasi di
daerah suprasternal makin dalam, ditambah dengan timbulnya retraksi di daerah epigastrium,
pasien sudah mulai gelisah, stadium 3 – retraksi selain didaerah suprasternal, epigastrium juga
terdapat di klavikula dan sela-sela iga pasien, paien sangat gelisah dan dispneu, stadium 4 –
retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan, sianosis, jika keadaan
ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan tenaga lama kelamaan asfiksia.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas adalah mengusahakan agar jalan
napas kembali lancar. Tindakan konservatif berupa pemberian antiinflamasi, antialergi,
antibiotic, serta pemberian oksigen intermitten yang dilakukan pada sumbatan laring stadium
1 oleh peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi dengan memasuka pipa endotrakeal
melalui mulut (intubasi), membuat trakeostomi yang dilakukan pada sumbatan laring stadium
2 dan 3, atau melakukan krikotirotomi pada sumbatan laring stadium 4.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 57


1. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok.
Edisi 5. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005.
2. D Gerard,MD. Epiglotitis. Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco Talavera, harmD, PhD,
Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D Meyers,MD,MBA (editor).
http://www.emedicine.com.
3. D Gerard,MD. Croup Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco Talavera, PharmD, PhD,
Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D Meyers,MD,MBA (editor).
http://www.emedicine.com.
4. Adams GL, Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 6. Effendi H. Santoso
RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1993.
5. Jonas J Johnson, MD, FACS. Arlen D Meyers, MD, MBA (editor). Malignant Tumor of
the Larynx. http://www.emedicine.medscape.com

Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta 58

Anda mungkin juga menyukai