Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan yang pesat di bidang transaksi

internasional yang meliputi perdagangan, jasa, dan modal, maka pajak

menjadi masalah/isu klasik, misalnya negara mana yang berhak

memajaki penghasilan yang timbul dari transaksi internasional,

transfer pricing, penyelundupan dan penggelapan pajak, dan lain-lain.

Kiranya untuk mencegah masalah perpajakan yang timbul dari transaksi

internasional itu diperlukan kerjasama di antara negara-negara dan salah

satu bentuk kerjasama tersebut adalah perjanjian bilateral di bidang

perpajakan, yang dikenal dengan Perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax

Treaty).

Tax Treaty berisikan ketentuan yang mengatur mengenai pembagian hak

pemajakan dari masing-masing negara atas penghasilan yang timbul dari

transaksi internasional sehingga pengenaan pajak berganda dapat dihindari.

Selain itu, tax treaty mengatur mengenai pertukaran informasi yang

dibutuhkan untuk mencegah timbulnya penyelundupan pajak melalui praktek-

praktek transfer pricing. Berkaitan dengan Tax Treaty kemudian munculah

suatu model subjek pajak baru yang sering kita kenal dengan istilah Bentuk

Usaha Tetap. Bentuk Usaha Tetap sekarang ini sudah menjadi terminologi

baku dalam ketentuan Pajak Internasional. Adanya Bentuk Usaha Tetap ini

mempengaruhi Hak suatu negara untuk mengenakan pajak terhadap obyek

yang di maksud.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukanan diatas, maka

rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT)?

2. Bagaimana pemajakan BUT di Indonesia?

3. Bagaimana transaksi antara BUT dengan Kantor Pusat dan BUT

lainnya?

4. Bagaimana pengaruh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari dibuatnya makalah

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT)

2. Untuk mengetahui pemajakan BUT di Indonesia

3. Untuk mengetahui transaksi antara BUT dengan Kantor Pusat

dan BUT lainnya.

4. Untuk mengetahui pengaruh Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pengertian bentuk usaha tetap (BUT) menurut Undang-Undang PPh

adalah bentuk usaha dipergunakan oleh orang pribadi yang berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan

yang tidak didirian dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa

berikut ini.

a. Tempat kedudukan manajemen;

b. Cabang perusahaan;

c. Kantor perwakilan;

d. Gedung kantor;

e. Pabrik;

f. Bengkel;

g. Gudang;

h. Ruang untuk promosi dan penjualan;

i. Pertambangan dan penggalian sumber alam;

j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,

sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu

12 (dua belas) bulan;

3
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak

bebas;

o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan

tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi

atau menanggung resiko di Indonesia; dan

p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,

atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Jika dikategorikan, BUT yang diberikan pengertian dan cakupannya oleh

UU PPh ada empat jenis berikut:

a. BUT Aktiva

Dalam BUT jenis aktiva penetuan ada atau tidak BUT dengan melihat

adanya aktiva berupa suatu tempat usaha (place of business). Suatu bentuk

usaha tetap jenis aktiva ditentukan dengan adanya suatu tempat usaha (place

of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung, termasuk

juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau

peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau

digunkan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan

aktivitas usaha melalui internet.

b. BUT Aktivitas

Dalam BUT jenis aktivitas, penentuan ada atau tidaknya BUT dengan

melihat apakah ada aktivitas tertentu yang dilakukan di Indonesia. Jadi

pennetuannya bukan didasarkan pada atau tidaknya aktiva atau tempat

usaha, namun di Indonesia. Yang termasuk BUT jenis aktivitas adalah

4
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perkaitan dan pemberian jasa dalam

bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih

dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

c. BUT Keagenan

Yang termasuk dalam jenis ini adalah orang atau badan yang bertindak

selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. Pengertian bentuk usaha tetap

mencakup pula orng pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya

tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan

yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan

dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap

mmepunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau

badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia

menggunkan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan

bebas, aslakan agen atau perantara tersebut dalam kenyataan bertindak

sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaan sendiri.

d. BUT Asuransi

Berupa agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi

asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Perusahaan premi asuransi

yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar indonesia dianggap

mempunyai bentuk usaha tetap di indonesia apabila perusahaan asuransi

tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di

Indonesia tidak berarti bahwa perstiwa yang mengakibatkan risiko tersebut

5
terjadi di Indonesia. Yang perlu di perhatikan adalah bahwa pihak

tertanggung bertempat tinggal, berada, atau tempat kedudukan di Indonesia.

2.2 Pemajakan BUT di Indonesia

2.2.1 Subjek Pajak BUT

a. Dalam hal ini, Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah

Subjek Pajak Luar Negeri yang terdiri dari:Orang pribadi yang tidak

bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia

tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) dalam jangka waktu

12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia.

Subjek Pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus

menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan

yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh

penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau

6
badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Wajib Pajak

luar negeri:

 Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber

penghasilan di Indonesia.

 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto

 Tarif pajak yang dipergunakan adalah tidak sepadan (tarif UU PPh

pasal 26)

 Tidak wajib menyampaikan SPT

Subjek Pajak Luar Negeri melalui BUT dimulai saat menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan berakhir saat

tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di

Indonesia. Sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT dimulai

saat menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia dan berakhir saat

tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.2.2 Objek Pajak BUT

Objek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh dikategorikan

dalam 3 jenis berikut:

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang

dimiliki atau dikuasai.

Sebagai contoh, Communitel Ltd. yang bergerak dalam usaha

penjulan satelit komunikasi mempunyai cabang di Jakarta dengan nama

Communitel Indonesia. Apabila Communitel Indonesia memperoleh

laba melalui usaha penjualan satelit komunikasi, maka atas laba

7
penjualan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagai pajak atas

penghasilan Wajib Pajak BUT.

b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau

dilakukan BUT di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) huruf b penghasilan kantor

pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan

pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha

tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada

hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup

usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan

bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar

Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman

secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.

Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha

tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk

usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh

bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha

tetapnya kepada pembeli di Indonesia.

Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang

diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan

konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan

8
jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung

tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.

Sebagai contoh, New York Bank mempunyai cabang di Jakarta

(New York Bank-Indonesia). Apabila New York Bank memperoleh

penghasilan berupa bunga atas pinjaman yang diberikan tanpa melalui

New York Bank-Indonesia, maka penghasilan bunga tersebut tetap

dianggap sebagai penghasilan BUT (New York Bank-Indonesia).

c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima

atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara

BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan

dimaksud.

Sebagai contoh, Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT Lezzat

untuk menggunakan merek dagang Foodz Inc. Atas penggunaan hak

tersebut Foodz Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Lezzat.

Dalam rangka pemasaran produk, Foodz Inc. juga memberikan jasa

manajemen kepada PT Lezzat melalui Foodz-Indonesia (BUTnya di

Indonesia). Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT

Lezzat mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia. Oleh

karena itu, penghasilan Foodz Inc. yang berupa royalti diperlakukan

sebagai penghasilan BUT (Foodz-Indonesia).

2.2.3 Pengurang Penghasilan/Biaya BUT

Berdasarkan pasal 6 ayat (1) seperti halnya wajib pajak badan dalam

negeri bentuk usaha tetap dapat mengurangkan biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk hal berikut.

9
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan

usaha anatar lain berkut ini.

1) Biaya pembelian

2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

honorarium, bonus, garatifikasi, danntunjangan yang diberikan dalam

bentuk uang.

3) bunga, sewa, dan royalti;

4) biaya perjalanan;

5) biaya pengolahan limbah;

6) premi asuransi;

7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

8) biaya administrasi; dan

9) pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan

amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang PPh.

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan.

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan

digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan.

e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.

10
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di

Indonesia.

g. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat berikut.

1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat

ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;

3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri

atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau

adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan

piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang

bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau

khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah

dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

4. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk

penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.

h. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

i. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di

Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

j. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah;

k. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah; dan

11
l. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, pengeluaran yang tidak boleh

dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi :

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen

termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada

pemegang polis.

b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham.

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain

yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,

perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan

limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.

d. Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak

orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut

dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersakutan.

12
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan

makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau

imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang

berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham

atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan.

h. Pajak Penghasilan.

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi .

j. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana

berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di

bidang perpajakan.

2.2.4. Tarif Pajak BUT

BUT dikenakan Tarif PPh Badan pasal 17 ayat (1) yaitu sebesar 25% .

Tarif ini berlakau sejak tahun pajak 2010. Selain dikenai tarif PPh Badan pasal

17 ayat (1), berdasarkan pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh, atas

penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT akan

dikenakan pajak tambahan (branch profit tax) sebesar 20%.

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang

paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang

disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan

13
tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah

daripada tarif yang berlaku. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran

bruto sampai dengan 50 Milyar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif

sebesar 50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian

peredaran bruto sampai dengan 48 Milyar. Pajak Penghasilan (bagi Wajib

Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap) setahun dihitung dengan cara

mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak sebagaimana diatur

dalam UU PPh pasal 17. Untuk menghitung PPh dapat digunakan rumus

sebagai berikut:

Pajak Penghasilan (WP badan) :

= Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17

= Penghasilan netto x tarif pasal 17

= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tarif pasal 17

Pajak Penghasilan (WP Orang Pribadi) :

= Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17

= (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pasal 17

= [ (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh)-PTKP] x

tarif pasal 17

Catatan: Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang pada akhir

tahun, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh

2.3 Transaksi Antara BUT dengan Kantor Pusat dan BUT Lainnya

Untuk keperluan pemajakan, walaupun secara legal mereka merupakan

satu kesatuan entitas, BUT dan Kantor pusat (secara administratif) dianggap

mempunyai kewajiban perpajakan tersendiri. Hal demikian nampaknya telah

14
diterima secara internasional. Misalnya, dalam paragf 11 Komentar pasal 7

(2) OECD 1992 dinyatakan bahwa laba yang dialokasikan kepada BUT

adalah laba yang seharusnya diperoleh BUT apabila, seandainya seolah-olah

tidak berhubungan dengan Kantor Pusat, telah bermitra usaha dengan suatu

perusahaan yang bebas. Hal demikian juga berlaku terhadap alokasi laba

yang akan diperoleh BUT dan semua transaksi dengan BUT lainnya dari

perusahaan yang sama dan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.

Dalam kententuan domestik, ketentuan tersebut dapat dilihat (secara

implisiit) pada penjelasan Pasal 6 (1) (a). Penjelasan tersebut, antara lain,

menyatakan bahwa pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar. Selanjutnya sesuai

dengan ketentuan pasal 18 (3), Direktur Jenderal Pajak dapat menghitung

kembali besar penghasilan dan pengurangan bagi wajib pajak yang

mempunyai hubungan istimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman

usaha tidak dipengaruhi oehh hubungan istimewa. Dalam pengertian Yuridksi

fiskal kita BUT diperlakukan sebagai bagian dari WPLN.

2.4 Pengaruh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Pemajakan BUT, baik menegnai definisi, alokasi penghasilan maupun

pemajakan laba setelah pajak, sanagt diwarnai oleh ketentuan dalam

perjanjian penghindaraan pajak berganda (P3B) individu antara Indonesia

dengan negara mitra perjanjian. Oleh Karena itu, dalam aplikasi pemajakan

ketentuan pada P3B antara Indonesia dengan mitra tempat WPLN

pengoperasian BUT bertempat kedudukan perlu diperhatikan secara seksama.

Ketentuan dalam P3B, apabila kurang sejalan dengan ketentuan domestik,

15
sesuai dengan kebiasaan global (van Read; 1988), mempunyai prioritas untuk

dilaksanakan dengan mngesampingkan ketentuan domestik. Menurut

Brotodihardjo (1971) dan Rochmat Soemitro (1977), Indonesia termasuk

negara penganut pemikiran tersebut.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Bentuk usaha tetap (BUT) menurut Undang-Undang PPh adalah bentuk

usaha dipergunakan oleh orang pribadi yang berada di Indonesia tidak

lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak

didirian dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan

usaha atau melakan kegiatan di Indonesia.

2. Pemajakan BUT di Indonesia dari wajib pajak yang termasuk ke dalam

subjek pajak BUT, dan objek pajak BUT sesuai dengan tarif pajak BUT

yang telah ditetapkan.

3. BUT dan Kantor pusat (secara administratif) dianggap mempunyai

kewajiban perpajakan tersendiri. Laba yang dialokasikan kepada BUT

adalah laba yang seharusnya diperoleh BUT apabila, seandainya seolah-

olah tidak berhubungan dengan Kantor Pusat, telah bermitra usaha dengan

suatu perusahaan yang bebas.

4. Perjanjian penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Negara

mitra perjanjian berpengaruh terhadap pemajakan BUT baik dari definisi,

alokasi penghasilan maupun pemajakan laba setelah pajak.

17

Anda mungkin juga menyukai