Anda di halaman 1dari 11

ONTOLOGI DAN EPISTIMOLOGI FILSAFAT SAINS

A. LATAR BELAKANG
Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi
kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pikiran telah dihasilkan sebagai
bagian dari sejarah kebudayannya. Meskipun kelihatannya betapa banyak dan
beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia
dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yakni:
Apakah yang ingin kita ketahui? (Ontologi) Bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? (Epistemologi).

Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian


kebenaran pikiran dari isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah
pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan
tersebut bernilai salah. Secara garis besar, dalam epistemologi cara
mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah.
Pengetahuan secara ilmiah bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara
tidak ilmiah.

Berdasarkan uraian teroretis di atas, maka penulis akan membahas


pengertian Ontologi, Epistemologi serta segala permasalahannya sebagai unsur
yang sangat penting dalam filsafat sains yang dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.

B. ISI
1. Ontologi
a. Pengertian Ontologi Ilmu (Hakikat Ilmu)
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan
yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Awal mula alam pikiran Yunani
telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Studi tersebut
membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan
Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara
penampakan dengan kenyataan.

1
Thales merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas perenungannya
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam
yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri)
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos
berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia ontologi artinya cabang ilmu filsafat yg berhubungan
dengan hakikat hidup. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang
mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata
hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada
alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur,
dan tertib dalam keharmonisan (Suhartono, 2007).
Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Objek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia
yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, objek ilmu adalah
pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan
berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh
pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya
ontologi adalah teori tentang wujud.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu merupakan
pembahasan tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal dengan
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau objek yang akan
ditelaah dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan
mengindra) sehingga membuahkan sebuah pengetahuan. Serta menjadi asas
dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan
serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan tersebut
(Suhartono, 2007). .
b. Pandangan Pokok Pemikir dalam Pemahaman Ontologi
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat

2
metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) membagi
metafisika menjadi dua, yaitu:
1) Metafisika umum
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari
ontologi. Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam
dari segala sesuatu yang ada.
a) Metafisika khusus.
1)) Kosmologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta
2)) Psikologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa
manusia
3)) Teologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan (Amsal,
2011).
Sedangkan arti metafisika itu sendiri menurut Reza A.A
Wattimena, dalam bukunya yang berjudul “Filsafat dan Sains; Sebuah
Pengantar” adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakekat dari
realitas pada levelnya yang paling abstrak (Wattimena, 2010).

Ada beberapa pandangan pemahaman tentang ontologi, diantaranya


yaitu:

1)
Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh


kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Thomas Davidson
menyebut dengan Block Universe. Kemudian paham ini terbagi ke dalam
dua aliran:

3
a) Materialisme (naturalisme)
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani. Seperti halnya manusia, karena manusia pada
instansi terakhir adalah benda dunia (materi) seperti benda (materi)
lainnya.
b) Idealisme
Aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah nurani, spirit
atau sebangsanya.
2) Dualisme
Paham ini menganggap bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan
ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari
benda.
3) Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata.
4) Nihilisme
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak
dapat diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya karena
sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui, ia tidak akan dapat
kita beritahukan kepada orang lain.
5) Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat
benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Aliran ini dengan tegas
selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent
(Burhanuddin, 2009).
c. Pendekatan Ontologis
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya
pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek
penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman

4
diserahkan ilmu kepada pengetahuan ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu
pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan
keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi
keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral, bahwa dalam menetapkan objek
penelaahan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat
manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan
kehidupan. Di samping itu, secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap nilai-
nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas, sebab ilmu
merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya
(Surajiyo, 2010).
2. Epistemologi
a. Pengertian Epistemologi
Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia, epistemologi dimaknai
dengan cabang ilmu filsafat tertentu, dasar-dasar dan batas-batas
pengetahuan.30 Istilah epistemologi sendiri berasal dari bahasa Yunani
episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata
“episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya
mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan
sesuatu dalam kedudukan setepatnya.” Selain kata “episteme”, untuk kata
“pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka
istilah “epistemologi” dalam sejarah pernah juga disebut gnoseologi.
Sebagian kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang
dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemology kadang juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie) (Sudarminta, 2002).
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan
“misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami.
Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi
mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika

5
mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda,
bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya
(Idris, 2005).
Menurut P. Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan
skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar
dan lingkup pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama.
Tetapi ada perbedaan pada persoalan kodrat pengetahuan dan hakikat
pengetahuan. Kodrat pengetahuan berkaitan dengan sifat asli dari
pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri
pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya.
Sedangkan menurut Surajiyo, epistemologi merupakan cabang
filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur
dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu,
landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Surajiyo, 2010).
b. Objek dan Tujuan Epistemologi
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa
“segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi
sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara
yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran,

6
mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran
menjadi tidak terarah sama sekali.
Sedangkan tujuan epistemologi yaitu ingin memiliki potensi
untuk memperoleh pengetahuan. Karena epistemologi merupakan sub
sistem filsafat yang bertugas memberdayakan pemikiran. Akhirnya
epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan (Idris, 2005).
c. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam
metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu
memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a)
kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; (b)
menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebut; (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk
menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang
bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena
alam. Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan ilmuan setiap
upaya ilmiah harus ditunjukan untuk menemukan kebenaran, yang
dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan
langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi
secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai
kebenaran dan membenci kebohongan.
Diantara gejala-gejala eksistensi manusia yang dialami, satu hal
yang amat menyolok mata dan amat penting ialah pengetahuan. Sebab ia
merefleksikan pengetahuannya juga. Bagian filsafat yang dengan sengaja
berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia itu disebut
“epistemologi”, atau “ajaran tentang pengetahuan” (Suparman, 2007).
d. Metode dan Metodologi
Perlu ditelusuri di mana posisi metode dan metodologi dalam
konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode,
metodologi dan epistemologi. Dalam dunia keilmuan, ada upaya ilmiah

7
yang disebut metode yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Sedangkan metodologi adalah
ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural
teoritis antara epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi,
yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Karena makna
epistemologi itu sendiri merupakan hal yang mengkaji perilah urutan
langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh
memenuhi ciri-ciri ilmiah. Epistemologi itu sendiri merupakan sub sistem
dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat.
Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan
metodologi, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode
(Surajiyo, 2010).
e. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
1) Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah
suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni
metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami
realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan
pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan
bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan
sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan
dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita
membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan
bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu
dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang
diragukan.
2) Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat
adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal,
dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus
(metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang
eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan
mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami

8
hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika
merupakan mukadimah bagi filsafat.
3) Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam
(teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks
suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan
peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang
berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi,
epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu
tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi
ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar
pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait
langsung dengan pembahasan epistemology (Sudarminta, 2002).

f. Epistemologi Pengetahuan secara umum

Epistemologi Pengetahuan secara umum adalah, ilmu yang


menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam
manusia dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah
mencapai pengetahuan. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran,
apakah pengetahuan itu benar-benar atau tidak, untuk itu perlu dimengerti
apa itu yang benar dan bagaimana manusia mengetahui kebenaran.

Pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi generik yang


mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Dengan demikian
pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran,
pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan
kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan.
Tujuan manusia mempunyai pengetahuan adalah:

1) Memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup


2) Mengembangkan arti kehidupan
3) Mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
4) Mencapai tujuan hidup.

9
Ada beberapa jenis Pengetahuan yaitu:

a) Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk


kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-
dalamnya dan seluas-luasnya.
b) Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin
mengetahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya,
tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c) Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas,
sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki
sampai diluar dan diatas pengalaman biasa.
d) Pengetahuan agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari
Tuhan lewat para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak
dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.

Pada suatu saat, manusia ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya,


dunia sekitarnya, oranglain, yang baik dan yang buruk, yang indah dan
jelek, dan macam-macam lagi. Jika ingin mengetahui sesuatu, tentu ada
suatu dorongan dari dalam diri manusia yang mengajukan pertanyaan yang
perlu jawaban yang memuaskan keingintahuannya. Dorongan itu disebut
rasa ingin mengetahui.

Sesuatu yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan


yang memuaskan manusia adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan
yang tidak benar adalah kekeliruan. Keliru seringkali lebih jelek dari pada
tidak tahu. Pengetahuan yang keliru dijadikan tindakan/ perbuatan akan
menghasilkan kekeliruan, kesalahan dan malapetaka. Sasaran atau objek
yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada, yang mungkin ada, yang
pernah (Mulyadi, 2014).

10
Daftar Pustaka

Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Burhanuddin. 2009. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara

Idris. 2005. Epistimologi. Jakarta: Prenamedia Group

Mulyadi. 2014. Pengantar Epistemologi. Bandung: Mizan.

Sudarminta. 2002. Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan.


Yogyakarta: Kanisius

Suhartono. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya pada Pemikiran


Islam Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi


Aksara

Wattimena. 2010. Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar. Jakarta: Grasindo

11

Anda mungkin juga menyukai