A. LATAR BELAKANG
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan sekelompok infeksi yang saat ini
bertanggung jawab terhadap sejumlah besar morbiditas dan mortalitas di negara
berkembang, karena IMS memiliki peran dalam memfasilitasi transmisi human
immonodeficiency virus (HIV) serta memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap
kesehatan reproduksi dan anak-anak. Komplikasi dari IMS dapat menyebabkan infertilitas
baik pada laki-laki maupun perempuan, kehamilan ektopik, kanker serviks, kematian
prematur, sifilis kongenital, berat lahir rendah, prematuritas dan oftalmia neonatorum (Made,
2016).
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 340 juta kasus baru dari 4
jenis IMS yang dapat disembuhkan (gonore, infeksi klamidia, sifilis dan trikomoniasis)
terjadi setiap tahunnya, dengan 85% diantaranya terjadi di negara berkembang. Selain itu,
berjuta-juta kasus IMS yang disebabkan oleh virus juga telah dilaporkan di seluruh dunia,
terutama infeksi HIV, human herpes simpleks virus (HSV), human papilloma virus (HPV)
dan virus hepatitis B (Syaiful & Fahmi, 2005).
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah syphilis
dan gonorrhea. Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di
kota Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia
34,5%, dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis
28,8% dan gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%,
syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus meningkat setiap
tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan pada
tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005
meningkat menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual.
Kecenderungan semakin meningkatnya penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual
yang berganti-ganti pasangan, adanya hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang
cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah remaja usia 15-29
tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya (Murtiastutik, 2008).
B. TUJUAN
1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan ini diharapkan wanita pekerja seksual
(WPS) dapat memahami tentang penyakit infeksi menular seksual (IMS) serta screening
IMS.
2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
a. Dapat menjelaskan definisi dari infeksi menular seksual (IMS).
b. Dapat menjelaskan jenis-jenis penyakit infeksi menular seksual (IMS).
c. Dapat menjelaskan screening infeksi menular seksual (IMS).
C. SASARAN
Wanita pekerja seksual (WPS) di lokalisasi Kampung X, Surakarta.
D. POKOK BAHASAN
Infeksi menular seksual (IMS) dan screening IMS.
F. METODE
1. Ceramah
2. Kuesioner
3. Curah pendapat
H. MEDIA
1. Audio visual
2. Visual
Penutupan :
1. Memberikan pertanyaan 1. Menjawab pertanyaan kuesioner
mengenai IMS dan screening post test
2. Menjawab salam
3. 5 menit IMS melalui kuesioner post test
2. Menutup acara dengan salam dan
penutup
K. KRITERIA EVALUASI
1. Evaluasi partisipasi wanita pekerja seksual (WPS) :
a. Perencanaan pelaksanaan penyuluhan dilakukan sebelumya dengan melakukan
perizinan ke pihak kecamatan terlebih dahulu.
b. Peserta hadir tepat waktu di tempat penyuluhan.
c. Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 15 orang.
d. Peserta menjawab pertanyaan kuesioner (pre test dan post test).
e. Pelaksaanan penyuluhan di lokalisasi Kampung X, Surakarta.
2. Evaluasi proses
a. Peserta sangat antusias dengan materi penyuluhan dan mendengarkan materi yang
disampaikan dengan baik serta aktif dalam bertanya.
b. Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan waktu penyuluhan sedang
berlangsung.
c. Peserta menjawab pertanyaan kuisioner (pre test dan post test) dengan sebenar-
benarnya.
3. Evaluasi hasil
a. Wanita pekerja seksual (WPS) dapat mengetahui, memahami, dan menerapkan
screening IMS.
b. Wanita pekerja seksual (WPS) dapat merasakan dampak baik terhadap kesehatan dan
mengurangi risiko terjangkitnya IMS.