Anda di halaman 1dari 25

Masalah terkait telinga pada pasien karsinoma nasofaring

1. Pendahuluan

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah kanker ke -6 yang paling sering ditemukan


diantara pria di Singapura Setiap tahun, sebanyak 300-400 kasus baru terdiagnosis
(Registrasi Kanker Singapura 2005-2009). KNF bersifat endemik di Asia Tenggara,
Afrika Utara, dan beberapa daerah Mediterania, dengan prevalensi tertinggi di Cina
Selatan dimana rata- rata 80 kasus per 100.000 populasi dilaporkan setiap tahun.

Nasofaring adalah semua lokasi dekat dengan telinga, hidung, dan daerah atas faring.
KNF bersifat relevan ke ahli telinga (otologis) walaupun nasofaring lokasinya diluar
anatomi telinga dan sering menimbulkan masalah terkait telinga. Telinga memerlukan
perhatian khusus bukan hanya untuk diagnosis , tetapi juga dalam hal tatalaksana dan
follow up pasien dengan KNF. KNF bersifat radiosensitif dan dapat diobati terutama
jika diagnosis dibuat secara dini. Struktur telinga sering terlibat dalam radioterapi,
sehingga komplikasi yang melibatkan telinga berkaitan dengan radioterapi sering
ditemukan.

Diagnosis dini penting untuk ditentukan karena berkaitan dengan luaran tatalaksana.
Pasien dengan stadium awal penyakit dapat mengeluhkan masalah telinga. Pada
penyakit lanjut, kemoterpai adjuvan dapat diberikan. Kemoterapi biasanya
menggunakan Cisplatin (CDDP), dimana bersifat ototoksik. Hal ini menjadi penting
karena hanya 10% pasien didiagnosis awal pada stadium 1. Menurut Leong dkk,
faktor pasien yang diidentifikasi dalam kontribusi terlambatnya penegakan diagnosis
termasuk penundaan mencari bantuan medis, tidak melakukan follow up, dan
menolak investgasi. Faktor lainnya yang mendukung terlambatnya penegakan
diagnosis adalah klinisi yang tidak memikirkan diagnosis KNF dan klinisi yang
menduga KNF namun memberi hasil yang kurang memuaskan. Faktor-faktor ini
berperan pada sekitar seperlima pasien dengan KNF yang terlambat diagnosis. Faktor
ini sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan edukasi pasien menjadi lebih baik
dan konseling, dokter memiliki argumen klinis dan kemampuan yang lebih baik, dan
admisi rumah sakit memiliki sistem yang lebih baik untuk menilai pasien risiko
tinggi menderita KNF.

Tinjauan ini bertujuan untuk menyoroti masalah telinga terkait KNF pada pasien dari
dua perspektif : (1) sebagai manifestasi penyakit itu sendiri, (2) komplikasi terkait
telinga sebagai akibat dari pengobatan seperti radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Terdapat kekurangan relatif dari literatur dunia mengenai efek KNF pada
Otologis. Bagian utama dari tinjauan ini adalah penilaian penulis selama dua dekade
dan tinajuan dari literatur relevan lainnya.

2.1 Manifestasi Telinga pada KNF

Efusi telinga tengah sebagai akibat KNF adalah yang sering ditemukan,
bagaimanapun juga, terdapat manifestasi telinga lainnya yang lebih jarang seperti
otalgia, pusing, hemotimpani, barotrauma, dan massa preaurikular yang harus
dipikirkan.

2.1 Keterlibatan Telinga Tengah

Hubungan antara telinga tengah dan nasofaring dengan tuba esutachius adalah satu
alasan penting mengapa telinga tengah sering terlibat pasien KNF. Tumor kecil pada
fossa Rossenmuler di nasofaring tidak secara langsung mempengaruhi fungsi tuba
eustachius, namun keterlibatan fossa pada pasien KNF tampaknya dapat membuat
disfungsi tuba esutachius. Tumor dapat menyebar keluar melalui mukosa dan
submukosa atau sepanjang otot pada jaringan lemak di sekeliling otot atau badan
neurovaskular.
2.1.1 Efusi Telinga Tengah

Efusi Telinga Tengah/otitis media efusi (OME) adalah manifestasi telinga yang sering
ditemukan dan mungkin satu satunya gejala penyakit. Adanya tuli konduktif terjadi
secara unilateral dan hal ini diakibatkan tumor sehingga terjadi disfungsi tuba
eustachius. Sham dkk mengevaluasi hubungan antara penyebaran tumor
paranasofaring dan OME menggunakan CT Scan. Tuba eustachius melintasi ruang
paranasofaring dan adanya tumor pada regio ini memiliki dampak pada fungsi tuba,
baik mekanikal atau fungsional. Derajat penyebaran tumor paranasofaringeal, erosi
petrosa os temporal, dan obliterasi faring ditemukan secara signifikan berhubungan
dengan perkembangan OME dan keterlibatan paranasofaringeal. Bagian kartilago dari
tuba eustachius lebih penting dibanding bagian tulang sejati pada perkembangan
OME. Walaupun disfungsi tuba eustachius dapat disebabkan karena adanya inflamasi
pada lumen dan invasi orifisium tuba, terdapat banyak bukti terkait patologi
fungsional dibanding obstruksi mekanik dari lumen tuba. Beberapa penelitian
terakhir menunjukkan pasien dengan OME berkaitan KNF memiliki tuba eustachius
yang aaten. Hal ini mengarah ke berbagai evolusi teori untuk menjelaskan obstruksi
fungsional dibanding mekanikal.

2.1.1.1 Teori Infiltrasi Otot

Sade mengatakan bahwa OME pada KNF biasanya adalah konsekuensi dari adanya
aerasi pada telinga tengah karena ketidakmampuan hantaran udara dalam tuba
Eustachius. Hal ini dikarenakan ototnya terkena dan bukan karena pembukaan
nasofaring yang terhalang oleh tumor. Dia mengobservasi pada penelitian yang
melibatkan hewan, OME dapat dihasilkan melalui percobaan dengan cara merusak
otot tensor veli palatini di monyet (Casselbrand dkk dalam Sade, 1994). Pada studi
post-mortem, pemeriksaan histologi dari tuba Eustachius pada pasien dengan KNF
menunjukkan bahwa terkadang tumor menginfiltrasi otot tuba Eustachius dan tidak
melibatkan pembukaan tuba Eustachius atau lumen secara utuh. Pada beberaa
penelitian klinis, menunjukkan bahw hubungan langsung antara frekuensi OME pada
KNF dan penyebaran infiltrasi hingga regio paranasofaring dimana otot tuba
Eustachius kemungkinan terinfiltrasi. Myers dkk, juga menjelaskan adanya OME
pada kasus tumor kepala dan leher lainnya seperti karsinoma sinus maksila dan
pembedahaannya. Mereka menunjukkan bahwa pada kasus ini, kerusakan otot tuba
Eustachius dibanding obstruksi pada pembukaan tuba atau lumen mengarah ke efusi.

2.1.1.2 Teori Neurogenik

Su dkk (1993) melakukan penelitian konduksi elektromiogenik (EMG) pada otot


tensor veli palatini (TVP) dan levator veli palatini (LVP) pada pasien. Pola
gelombang TVP abnormal terjadi bersamaan dengan telinga simptomatik dimana
teling non-simptomatik memiliki pola gelombang yang normal. LVP yang mengalami
paralisis dengan TVP intak tidak menghasilkan efusi. Invasi KNF secara umum tidak
menjelaskan EMG miopatik pada kedua otot. Hal ini mengarah ke simpulan dimana
paralisis neurogenik dari otot TVP pada lesi memiliki peranan penting pada
patogenesis dari obstruksi fungsional tuba Eustachius yang mengarah pada kejadian
OME. Fascia faringobasilar yang kuat tidak hanya memisahkan TVP dan LP, namun
juga melekatkan tensor lateral. Secara anatomis, nervus pada TVP terletak pada posisi
rentan dan oleh sebab itu penyebab neurogenik paralisis TVP sering terjadi.

2.1.1.3 Teori Erosi Kartilago

Low dkk menemukan bahwa studi MRI pada pasien KNF yang memiliki OME lebih
cenderung mengalami erosi kartilago tuba Eustachius yang diakibatkan oleh tumor.
Berdasarkan penemuan ini dan observasi lainnya yang berhubungan dengan OME,
penulis menyatakan bahwa efek tumor pada kartilago tuba Eustachius memiliki peran
penting dalam perkembangan OME di KNF.

Penulis menjelaskan bahwa terjadinya OME tidak dapat dijelaskan melalui obstruksi
mekanik simpel pada tuba Eustachius saja. Teori “hydrops-ex-vacuo” pada OME
adalah berdasarkan konsep dimana absorpsi kontinyu gas terjadi pada kantong udara
biologis hingga tekanan yang sangat negatif menyebabkan perkembangan OME.
Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa pada kavitas udara telinga tengah
yang tidak berventilasi, terjadi pertukaran gas bilateral pada telinga tengah dan sistem
pertukaran jaringan lokal sampai keseimbangan terjadi, dimana dapat menghasilkan
tekanan telinga tengah yang hanya menghasilkan sedikit tekanan negatif atau bahkan
positif. Hal ini juga telah dijelaskan bahwa mekanisme pengaturan tekanan pada
telinga tengah mencegah terjadinya pembentukan tekanan negatif tinggi pada telinga
tengah dari absorpsi gas melalui mukosa telinga tengah. Hal ini didukung oleh studi
yang dilakukan pada hewan dimana pencegahan ventilasi telinga tengah melalui
ligasi tuba Eustachius mengarah ke tekanan telinga tengah setinggi 116 mm tekanan
air. Pada manusia, dilakukan observasi bahwa ventilasi telinga tengah yang inadekuat
akibat obstruksi organik karena polip polip antro-koanal dan beberapa tumor
nasofaring jarang mengarah ke pembentukan OME.

Bagaimana pun juga, selama beberapa tahun, penuhnya tuba Eustachius merupakan
faktor penyebab OME pada anak. Sering kali, OME berhubungan dengan bibir
sumbing dan sindrom Down yang diyakini sebagai hasil buruknya perkembangan
kartilago Eustachius dengan sumbatan abnormal.

Hal ini menjadi alasan untuk menyatakan bahwa sumbatan abnormal dari tuba
Eustachius juga terjadi akibat erosi tumor pada kartilago tuba dan hal ini mempunyai
peranan penting dalam patogenesis KNF yang berhubungan OME. Low dkk (1997)
menyatakan bahwa ketika tumor menyerang lamina dan sendi kartilago, hal ini dapat
mengarah pada perubahan komplians tuba yang menghasilkan OME.

2.1.2 Blokage Telinga dan Tekanan Negatif Telinga Tengah

KNF yang menginduksi disfungsi tuba Eustachius dapat mneimbulkan bloakge


telinga. Low dan Goh mengilustrasikan dengan studi kasus ini:
Seorang pria Cina usia 50 tahun datang dengan keluhan adanya sumbatan pada
telinga kirinya yang berlangssung selama 2 minggu. Tidak ada riwayat infeksi saluran
napas atas sebelumnya. Pemeriksaan telinga didapat normal. Pemeriksaan nasofaring
dengan menggunakan endoskopi nasal tampak biasa. Serologi Virus Epstein-Barr
mendapat hasil positif baik untuk kapsid virus dan antigen dini. Biopsi nasofaring
mendapatkan adanya karsinoma undifferentiated pada sisi kiri. MRI menunjukkan
adanya lesi submukosa T1 pada sisi kiri nasofaring.

Sumbatan telinga adanya hasil akibat adanya tekanan negatif telinga tanpa adanya
perkembangan OME. Low melakukan studi prospektif untuk menginvestigasi tekanan
negatif telinga pada pasien dengan KNF. Pasien yang baru didiagnosis KNF diteliti
selama 3-12 bulan setelah radioterapi. Tekanan negatif telinga diukur menggunakan
timpanometri. Rerata tekanan negatif telinga sebelum dan sesudah radioterapi adalah
-55.2 mm air (kisaran -250 hingga 45 mm air) dan -73.1 mm air (kisaran -215 hingga
35 mm air). Sekitar 2/3 dari telinga yang dinilai mengalami peningkatan tekanan
negatif telinga setelah radiasi dan sisanya mengalami tekanan yang lebih sedikit
setelah radiasi. Telinga yang mengalami OME pasca radiasi memiliki tekanan negatif
telinga setidaknya -45 mm air. Hal ini dapat disimpulkan bahwa timpanometri
sebelum readioterapi dapat berguna untuk identifikasi risiko tinggi telinga yang
mengalami OME.

2.1.3 Barotrauma

Disfungsi tuba Eustachius sub klinis yang disebabkan oleh KNF dapat mengalmai
gejala klinis seperti barotrauma. Low dan Goh (1999) menggambarkan dalam laporan
kasus dari wanita Cina usia 40 tahun yang mengeluh adanya nyeri telinga kanan dan
sumbatan setelah mengalami penerbangan pesawat. Tidak ada riwayat rhinitis selama
penerbangan. Diagnosis pasien adalah diduga barotrauma dan diterapi dengan
perbaikan sebagian dari gejalanya. Sumbatan pada telinga kanan tetap ada selama
satu bulan dan dibawa berobat ke dokter THT dengan diagnosis OME. Pemeriksaaan
post-nasal mendapatkan adnaya tumor pada sisi kanan dimana secara histologis
terbukti KNF.

2.1.4 Tumor yang Menginvasi Telinga Tengah

KNF dapat menyebar dan menempati ruang telinga tengah. Telah dipelajari bahwa
rute penyebaran KNF hingga telinga tengah adalah melalui tuba Eustachius, invasi
langsung dari ruang parafaring dan penyebaran melalui sinus cavernosus melalui
kanal karotis dan menuju telinga tengah (Low, 2002)

Insidens invasi KNF ke telinga tengah terjadi lebih tinggi dibanding yang telah
dilaporkan, berkaitan dengan lokasi anatomi. Diagnosis mungkin tidak dibutuhkan
secara langsung. Low (2002) melaporakan kasus diana invasi telinga tengah pada
KNF mengalami misdiagnosis sebagai OME simpel post–radioterapi dimana
miringotomi dan insersi ventilation tube dilakukan. Pada pasien yang sebelumnya
telah mendapatkan terapi radiasi, tumor rekuren pada telinga dapat menjadi hal yang
membingungkan dengan kondisi lain yang berkaitan seperti osteo-radionekrosis.

2.2 Keterlibatan Sudut Serebelo-Pontin

Pada lesi pengisi ruang sudut serebelo pontin (CPA), KNF yang mengalami
metastasis secara nromal tidak terlibat. Walaupun hal ini merupakan komplikasi yang
jarang, KNF sebaiknya tetap dipikirkan pada populasi dimana KNF terjadi secara
endemik. Telah diobservasi dalam sebuah studi bahwa ketika KNF terlibat dalam
CPA, hal itu terjadi pada pasien dengan penyakit rekuren atau lanjut.

Keterlibatan CPA dapat bervariasi. KNF bermanifestasi sebagai tuli sensorineural


jarang terjadi. Hal ini terjadi akibat tumor yang mengenai nervus koklearis namun
jarang mengenai koklea karena kapsul otik yang kuat. Walaupun tuli biasanya bersifat
tersembunyi, namun dapat terjadi tuli secara mendadak secara tiba tiba (Young,
2001). KNF yang melibatkan CPA juga dapat mempengaruhi komponen vestibular
dari nervus kranialis ke 8 yang menyebabkan gejala vestibular. Hal ini biasanya
terjadi secara tersembunyi. KNF dalam CPA juga mempengaruhi nervus fasialis yang
berakibat palsi pada wajah.

Diagnosis klinis dari keterlibatan KNF pada CPA cukup sulit. Pasien yang menerima
radiasi KNF sebelumnya dapat mengeluh tuli sensorineural yang disebabkan oleh
KNF rekuren pada CPA. Klinisi dapat salah mendiagnosis dengan tuli akibat radiasi
(Low dan Fong, 1998). Dizziness dapat terjadi sebagai akibat abnormalitas metabolik
dan efek post-radiasi. Bahkan palsi wajah sebagai gejala yang muncul pada KNF
yang terlibat dalam CPA dapat salah diagnosis karena dokter lebih memikirkan ke
arah Bell’s palsy, karena KNF yang menyebabkan gejala palsi wajah bersifat jarang.

Pria CIna, usia 50 tahun, yang mendapatkan radioterapi untuk KNF selama 2 tahun
mengeluh adanya cairan yang keluar dari telinga kanan bersifat kronik. Pemeriksaan
pada telinga kanan menunjukkan adanya edema pada kanalis eksterna telinga kanan.
Membran timpani tidak bisa dinilai melalui auroskopi. CT Scan menunjukkan adanya
keterlibatan tulang. Daftar diagnosis banding meliputi tumor rekuren, osteonekrosis,
dan otitis ekterna maligna. Pasien menjalani pembedahan dan biopsi, dimana
terkonfimasi adanya tumor rekuren. Pasien diterapi denan kemoterapi paliatif.

Low dkk (2000) melaporkan laporan kasus, dimana gambaran klinis dari keterlibatan
CPA dalam KNF. Seorang pria, 53 tahun ditemukan memiliki KNF (stadium T4N2,
UICC 1997) ketika dia mengalmai palsi pita suara (CN 10) dan palsi CN 12 kiri.
Pasien diterapi dengan radioterapi radikal. Dua tahun kemudian, pasien mengalami
palsi wajah kiri (CN 7), pusing, dan tuli sensorineural kiri (CN 8). Pusing
digambarkan sebagai ketidakseimbangan dan melayang namun bukan vertigo. Ruang
post-nasal secara klinis bebas dari tumor, dan biopsi menunjukkan tidak ada
malignansi. CT Scan menunjukkan KNF submukosa rekuren dengan erosi tulang dari
foramen jugularis kiri dan meluas ke fossa kranialis posterior kiri. Pasien kemudian
diterapi dengan gamma knife radio surgery.
Terdapat beberapa kemungkinan mekanisme dimana KNF yang melibatkan CPA.
Lesi isolasi pada CPA yang tidak melibatkan tumor pada dasar tengkorak dapat
mempengaruhi CPA, dimana penyebarannya melalui rute hematogen. Yuh dkk (1993)
menyarankan bahwa kanker metastatik ke CPA dapat berasal dari penyebaran
leptomeningeal secara langsung atau cairan serebrospinal. Goh dan Lim dkk (2009)
menyarankan hal itu terjadi akibat penyebaran tumor secara perineural.

Menurut Low dkk (2000), manifestasi CPA pada KNF dapat menjadi hasil inadekuat
dari standar radioterapi berdasarkan prinsip dosis maksimum pada jaringan tumor.
Jaringan atau organ normal dipertimbangkan sebagai “dosis terbatas” karena toleransi
pada radiasi yang jelek yang mempengaruhi dosis maksimum yang dapat diberikan
pada jaringan tumor. Sturktur di sekitarr ruang post nasal termasuk isi rongga oribita,
nervus optikus dan kiasma, aksis hipotalamus-pituitari, telinga dalam, medulla
spinalis, lobus temporalis, dan batang otak. Ensefalomielopati adalah komplikasi
pada tatalaksana KNF.

Tatalaksana KNF pada CPA secara klinis cukup menjadi tantangan karena ketika
teknik radioterapi standar untuk KNF digunakan pada daerah ini, batang otak
mengalami risiko tinggi. Penyebaran penyakit secara luas ke CPA pada CT scan
mungkin tidak bersifat radiocurable. Pada pusat penelitian kami, beberapa pasien
akan diterapi dengan kemoterapi inisial dengan harapan tumor akan menghilang
secara efisien meliputi standar radioterapi. Sayangnya, seperti yang digambarkan
Low dkk (2000), KNF pada CPA mungkin tidak berespon baik pada kemoterapi.

Ketika tumor terdapat di CPA, pemberian radioterapi dalam bentuk radiosurgery


yang diberikan dalam bentuk gamma knife atau Linac stereotaktik radioterapi dapat
dipertimbangkan. Seperti pemberian radioterapi memiliki keuntungan untuk
memberikan dosis tinggi pada jaringan sekitar tumor. Kerugiannya adalah kehilangan
dosis pada 4 cm pada batas atas tumor. Ketika tumor memiliki ukuran lebih besar dari
kelihatannya untuk radioterapi stereotatik, teknik standar wedge pair dapat
digunakan.

Gambar 1. CT scan aksial pada tulang temporal telinga menunjukkkan adanya


rekurensi tumor pada telinga tengah dan mastoid

2.3 Otalgia yang Menjalar

Otalgia yang menjalar adalah nyeri yang dirasakan pada telinga namun sumber
asalanya bukan dari telinga. Nyeri telinga adalah suatu dilema diagnostik ketika
pemeriksaan otoskopi menunjukkan adanya hasil normal pada kanalis ekternalis
telinga dan membran timpani. Telinga dipersarafi oleh nervus kranialis sensori ke 5,
ke 7, ke 9 dan ke 10 dan medulla spinalis C2 dan C3, lesi berasalah dari area yang
dipersarafi dapat mengalami penjalaran nyeri telinga.
Secara teori, KNF dapat memberi gejala otalgia dengan melibatkan nervus kranialis
ke 9. Kami setuju dengan observasi yang dilakukan oleh Van Hasselt dan Gibb (1991)
bahwa otalgia jarang terjadi dibanding yang kita harapkan. Kami setuju bahwa
gambaran nyeri tidak bersifat “tajam, tetapi “sakit, tumpul, atau tertekan”. Hal ini
menggambarkan laporan kasus yang dilakukan oleh Low dan Goh (1999)

Seorang pria 48 tahun mengeluh adanya sensasi rasa penuh pada regio preaurikular
kiri, antero-inferior hingga tragus yang berlangsung selama 1 bulan. Pemeriksaan
melalui palpasi manual tidak menunjukkan adanya massa pada daerah ini. Ct scan
parotis normal. Endoskopi nasal menunjukkan adanya massa diskret pada sisi kiri
dari ruang post-nasal. Biopsi nasofaring menunjukkan karsinoma undifferentiated.
Gejala berkurang setelah terapi radiasi.

2.4 Tinitus

Adalah gejala yang sering terjadi pada pasien jika tidak terdapat gejala dan tanda
telinga lainnya. Jika unilateral, dokter THT sering mempertimbangkan kemungkinan
adnaya akustik neuroma dan akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Bagaimanapun juga, KNF jarang menimbulkan gejala tinitus sebagai gejala utama
jika tidak terdapat tanda dan gejala telinga lain seperti yang diungkapkan oleh Van
Hasselt dan Gibb (1991). Jika ada, hal ini adalah akibat dari keterlibatan tuba
Eustachius, telinga tengah, nervus auditorik dalam KNF.

2.5 Massa Pre-aurikular

Walaupun KNF yang bermetastasis ke parotis adalah hal yang jarang hanya
ditemukan 14 kasus yang dilaporkan dalam literatur, kemungkinan hal ini tetap harus
dipikirkan pada pasien risiko tinggi yang mengalami adanya massa parotis. Batsakis
dan Bautina (1990) melaporkan beberapa kasus dari KNF “primary undifferentiated”
yang menyerang glandula saliva adalah suatu metastasis KNF. Low (2002)
melaporkan kasus metastasis KNF hingga ke parotis dan memeberi gejala palsi
wajah.

Seorang pria 50 tahun diterapi untuk kasus KNF. Dua tahun kemudia, dia
mengeluhkan adalah palsi wajah komplit LMN. Pemeriksaan menunjukkan adanya
massa keras pada parotis kiri hingga ke regio trunkus dan pembengkakan nodus
servikal. Ruang postnasal secara klinisi bebas dari tumor, dan penampakan telinga
dalam batas normal. X-ray dada menunjukkan metastasis multipel. Analisis FNAB
menunjukkan adanya karsinoma undifferentiated konsisten metastasis. Pasien
menolak terapi lebih lanjut dan meninggal 3 bulan kemudian.

Metastasis parotis sering disebabkan karena penyebaran secara limfatik (Wanamaker


dkk, 1994). Parotis terdiri dari jaringan limfatik yang kaya dan terhubung dengan
nodus intragrandular dan periglandular. KNF dapat menyerang nodus limfa
retrofaringeal yang dapat mengalir ke nodus parotis. Dari nodus parotis, tumor
memiliki akses ke pleksus limfatik, parenkim parotis, nervus fasialis, dan bahkan
ruang parafaringeal.

3. Komplikasi telinga akibat terapi KNF

KNF bersifat radiosensitif yang tinggi, terapi radiasi sendiri adalah modalitas terapi
utama. Tujuan terapi adalah eradikasi tumor melalui terapi radiasi yang ditargetkan
pada sumber utama tumor, dengan dosis yang dapat ditoleransi untuk meminimalisisr
komplikasi akut dan akhir. Adalah suatu hal yang menantang untuk menyeimbangkan
pengobatan dalam satu sisi, dan pencegahaan komplikasi dari pengobatan di sisi
lainnya. Fokus pada bagian ini adalah untuk menilai dampak terapi KNF pada
struktur telinga.

3.1 Terapi radiasi

Pancaran eksternal megavoltase radioterapi adalah pilihan utama terapi. Terdapat dua
pancaran yaitu lateral dan anterior. Hal ini bertujuan untuk menutupi sisi leher dan
seluruh nasofaring. Radioterapi diberikan secara profilaksis pada leher, dan asumsi
jika terdapat penyakit yang tersembunyi.

Teknik konvensi tipikal digunakan dengan melibatkan pasien yang diterapi dengan 6
megavolt. X-ray dengan akselerator linear. Kemoterapi bukanlah bagian dari protokol
untuk pasien. Volume primer digunakan untuk menutupi nasofaring termasuk tuba
Eustachius, parafaring hingga batas bawah C2, dan dua pertiga posterior pada kavitas
nasal dan antra maksila. Seperti yang ditunjukkan, batang otak terlindungi pada sisi
lateral dan telinga dalam berada pada ujung pelindung ini. Dosis total 66-70 Gys
dalam 2 Gys per hari diberikan. Bagian leher menerima 60 Gy, dengan nodus yang
teraba ditingkatkan hingga 70 gys.

3.1.1 Otitis media post-radiasi


3.1.1.1 Efusi telinga tengah
OME paling sering ditemukan diantara pasien KNF yang telah diradiasi dan biasanya
mengarah ke disfungsi tuba Eustachius. Penemuan post radiasi pada mukosa tuba
Eustachius menujukkan hilangnya siliar, vakuol interseluler dan intraseluler, dan
dismorfisme siliar. Kebanyakan penemuan patologis ini diobservasi menjadi persiten
dan tidak membaik seiring waktu yang membuat kesimpulan bahwa radiasi membuat
kerusakan jangka panjang pada epitel tuba Eustachius. Tuba Eustachius dapat secara
luas bermanifestasi dalam beberapa cara bervariasi dari patensi tuba, adesi, bahkan
obstruksi komplit dan inkomplit.
Efusi telinga tengah dapat terjadi pada post radioterapi awal dan beberapa bertahan
hingga jangka waktu lama. Low dan Fong (1998) meneliti faktor, dimana
kemungkinan berpengaruh pada perkembangan efusi telinga tengah pada pasien KNF
yang diradiasi. Sebanyak 35 pasien (70 telinga) diteliti selama 2-8 tahun (rerata 5.5
tahun) pasca radioterapi. Faktor yang diteliti antara lain jenis kelamin, usia, ukuran
tumor, dan pasca radioterapi efusi telinga tengah. Efusi telinga tengah yang
ditemukan pada pre-radioterapi berhubungan signifikan (P= 0,004, tes fisher).
Analisis regresi multipel menunjukkan adanya efusi telinga tengah pada pre-
radioterapi adalah prediktor efusi telinga tengah post-radioterapi dengan OR 0,67.
Karenanya, telinga dengan efusi telinga tengah pre-iradiasi hampir 7x lebih mungkin
memiliki efusi telinga tengah pasca iradiasi daripada telinga tanpa pre-radiasi.
Dikatakan bahwa disfungsi tuba eustasius yang ireversibel terjadi ketika tuba rusak
karena tumor dengan kerusakan lebih lanjut oleh radiasi. Diketahui bahwa tumor dan
radiasi dapat menyebabkan perubahan pada penyesuaian tuba eustasius yang
menghasilkan pasca radioterapi jangka panjang efusi telinga tengah.
Mekanisme efusi telinga tengah pasca radioterapi biasanya berbeda dari efusi
telinga tengah yang umumnya ditemukan pada anak, prinsip terapinya juga berbeda.
Tidak seperti anak, kegunaan dari tuba ventilasi cenderung menyebabkan infeksi
kronik, yang mana biasanya persisten dan menimbulkan masalah dan berhubungan
dengan perforasi. Karena itu, hilangnya pendengaran karena efusi telinga tengah
pasca radioterapi sebaiknya diatasi dengan amplikasi alat bantu degar daripada
drainase dengan tabung ventilasi.

3.1.1.2 Otitis Media Supuratif Kronik


Otitis media supuratif kronik (OMSK) ditemukan sebanyak 24,5% dari pasien
NPC yang mengalami komplikasi setelah radioterapi. Perforasi gendang telinga
terjadi setelah insersi tabung ventilasi untuk efusi telinga tengah atau merupakan hasil
spontan dari radioterapi yang menyebabkan disfungsi tuba eustasius.
Beberapa otologis dalam terapi OMSK pada pasien NPC pasca radiasi lebih
suka pendekatan konservatif, mungkin karena gangguan ini lebih sering pada jaringan
yang diradiasi dan disfungsi tuba karena radiasi mengurangi kemungkinan untuk
perbaikan sempurna. Namun Yuen dan Wei merekomendasikan
tmpanomastoidektomi untuk pasien NPC dengan OMSK aktif yang gagal terapi
konservatf, dengan tingkat sukses hampir 70% setelah operasi.
3.1.2 Tuli Sensorineural pasca radiasi
Radioterapi pada keganasan kepala dan leher termasuk NPC dapat
menyebabkan Tuli sensorineural, dimana struktur telinga terkena radiasi. Tuli pada
pasca terapi radiasi dilaporkan berdasarkan evaluasi audiometri antara 0%-54%.
Sangat penting diketahui apakah saraf auditori, perjalanan nervus central atau
keduanya rusak karena radioterapi. Ini hal penting dari tuli pada telinga pasca radiasi
yang menggunakan implant koklear. Implant koklear bekerja dengan menstimulasi
serat saraf auditori secara langsung, tanpa perlunya sel rambut koklear berfungsi.
Kesuksesannya tergantung dari luasnya fungsi saraf auditori dan perjalanan saraf
sentralnya.
Jika saraf auditori dan struktur saraf sentral tidak terganggu dan kerusakan
primernya pada koklea, dapat dimengerti bila proses sel dan molekulnya pada radiasi
yang dapat menyebabkan kerusakan sel rambut. Ini disebabkan karena perhitungan
pencegahan yang relevan dimana obat-obat digunakan untuk target jalur sel dan
molekul.

3.1.2.1 Patogenesis
Didemonstrasikan bahwa serat saraf koklear mengalami degenerasi setelah
terpapar radiasi dosis tinggi. Pada telinga yang terpapar 40 hingga 50Gy dan 60
hingga 90Gy radiasi, angka insidensi sekitar 31% dan 62%, mongkonfimasi bahwa
kerusakan yang disebabkan oleh radiasi tergantung dosis.
Untuk mengetahui jika radiasi merusak jalur auditori retrokoklear, dilakukan
studi terbaru pada pasien NPC yang hanya diberikan radioterapi. Audiogram
termasuk audiometri membangkitkan respon yang dapat mengetahui jalur integritas
auditori retrokoklear, dilakukan sebelum dan sesudah radioterapi (pada 3, 18, dan 48
bulan). Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam latensi antar gelombang yang
direkam sebelum dan sesudah radioterapi, menandakan bahwa jalur auditori
retrokoklar berfungsi. Analisis histogram volume dosis menyatakan bahwa koklea
dan meatus auditori internal menerima radiasi dosis signifikan, dengan rentang dari
24,1-62,2 dan 14,4-43,4Gy.
Etiologi dari SNHL seperti umur dan toksisitas obat, memiliki mekanisme
kematian sel yang sama mengarah ke jalur akhir apoptosis. Radiasi menyebabkan
apoptosis telah di gambarkan pada sistem sel non-koklear dan diterima sebagai
mekanisme penting dari rasiasi yang menyebabkan kematian sel secara in vivo.
Karena itu dari temuan yang diketahui, tidak mungkin mengharapkan radiasi
menyebabkan apoptosis terjadi di sel rambut koklear secara in vivo.
Dapat diterima bahwa radiasi menyebabkan SNHL secara progresif. Keutuhan
jaringan normal atau organ tergantung dari perawatan sel dewasa. Ketika deplesi sel
mencapai batas kritis, efek klinis akan mulai muncul. Pada kasus radiasi
menyebabkan SNHL, koklea terdiri dari jumlah terbatas dari sel rambut post-mitosis
non-regenerasi. Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran ketika sel rambut
hilang dan butuh beberapa bulan atau tahun setelah terpapar radiasi sebelum stadium
ini dicapai. Radiasi menyebabkan SNHL digambarkan memiliki onset cepat dan
lambat. Onset cepat SNHL terjadi dalam hitungan jam atau hari setelah radioterapi
selesai, dimana onset lambat terjadi dalam hitungan bulan atau tahun setelah paparan.
Karena itu, radiasi menyebabkan SNHL onset lambat muncul dengan stadium lanjut
dari degenerasi sel rambut progresif diawali dengan cedera sel secara langsung saat
radiasi. Atau cedera awal yang disebabkan radiasi bisa membuat sel lebih rentan
menjadi apoptosis setelah paparan berikutnya terhadap bising atau obat ototoksik.
Terdapat bukti dari model hewan, melibatkan kerusakan Reactive Oxygen
Species(ROS) berhubungan dengan non-radiasi yang menyebabkan iskemik koklea,
trauma bising, presbiakusis, meningitis berhubungan dengan hilangnya pendengaran
dan ototoksik aminoglikosida dan cisplatin.
Pada radiasi menyebabkan apoptosis dari telinga dalam OC-k3, digambarkan
pada generasi ROS intrasel tergantung dosis pada 1 jam pasca radiasi dan dipercaya
penyebab penting pada proses apoptosis. ROS dapat menjelaskan dari pendengaran
frekuensi tinggi yang rusak oleh radiasi. Pada studi hewan terhadap ototoksik
aminoglikosida, kematian sel rambut luar pada organ korti diamati mengikuti gradien
dasar-ke-puncak, yang dapat dihilangkan dengan penambahan antioksidan. Hal ini
dikaitkan dengan sel rambut luar di dasar (yang merespon pada suara frekuensi
tinggi) memiliki tingkan glutiaton yang rendah dibandingkan bagian apikal (yang
merespon pada suara frekuensi rendah) dan karena itu, kapasitas antioksidan lebih
rendah.
Pada sel rambut OC-k3, Low et al menemukan regulasi darigen p53 dari studi
studi mikro-array. Western blotting mengkonfirmasi regulasi dari gen p53 pada 72
jam dan fosforilasi 3, 24, 48, dan 72 jam pasca radiasi. Diketahui bahwa p53 dapat
menyebabkan apoptosis.
Namun, berbagai mekanisme yang menyebabkan kematian sel termasuk
radiasi menyebabkan ototoksik. Ini termasuk kematian sel, mekanisme p53-
independent dan caspase-independent menyebabkan kematian sel. Beberapa organel
sel menyebabkan beberapa jalur yang dapat bertindak secara independen atau tidak.

3.2 Pencegahan
NPC dan tumor lainnya yang diterapi utama dengan radiasi, teknik radioterapi
yang ditingkatkan seperti radioterapi dengan intensitas dimodulasi membantu untuk
mengurangi paparan radiasi yang tidak perlu ke telinga. Ini difasilitasi oleh deteksi
dini tumor saat masih kecil dan berada jauh dari struktur telinga.
Delineasi yang akurat dari telinga tengah merupakan syarat untuk mencapat
batasan dosis untuk struktur tersebut. Ukuran dan kedekatan telinga tengah dan
telinga dalam hingga ke tumor, membuatnya rentan terhadap kerusakan. Sebagai
penyimpangan selama pembentukkan memberikan dampak besar terhadap sekuele
pasca terapi.
Meningkatkan laju kontrol tumor adalah tujuannya, tetapi tujuan penting
lainnya mengurangi komplikasi yang disebabkan oleh radiasi dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Penerapan terapi radiasi dengan konformal 3D (3D-CRT) dan
terapi radiasi intensitas termodulasi (IMRT) menandai peningkatan besar
dibandingkan terapi konvensional radiasi 2D. Studi klinis terkontrol acak
menunjukkan bahwa pasca radiasi terapi 12 bulan, skor kualitas hidup secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok IMRT daripada kelompok terapi konvensional
dengan NPC (86,5 vs 58,3; p<0,001). Insidensi OMSK dan vestibular abnormal
membangkitkan potensi miogenik pada pasien NPC yang diterapi dengan IMRT
secara signifikan lebih rendah daripada yang diobati dengan 2DRT, menunjukkan
bahwa IMRT dapat mengurangi komplikasi yang tidak diinginkan. namun, terjadinya
efusi telinga tengah, yang berhubungan dengan tahap T lanjutan, tidak dapat
dikurangi oleh IMRT.
Secara klinis hitungan pencegahan efektif dapat diterapkan berdasarkan ROS-
linked-p53 tergantung model apoptosis dari radiasi menyebabkan ototoksik. Ini
menetapkan kegunaan antioksidan dan anti faktor apoptosis dalam pencegahannya.
Antioksidan terlihat menjanjikan sebagai agen prencegahan efektif terhadap radiasi
menyebabkan ototoksis; mereka menargetkan proses yang kearah mekanisme
kematian sel yang berbeda yang hidup berdampingan dalam populasi sel rusak.
Antioksidan, L-N-Acetylcysteine (L-NAC), diberikan dalam sel yang sama untuk
memiliki efek protektif. L-NAC menjanjikan sebagai antioksidan untuk mencegah
radiasi menyebabkan SNHL. Dosis tinggi berpotensi diantarkan secara trans timpani
ke telinga tengah dengan efek samping sistematis minimal, dan masuk ke telinga
dalam difasilitasi oleh berat molekul yang rendah.

3.3 Terapi
Usaha untuk meregenerasi sel rambut dalam bidang penelitian terlihat
menjanjikan dalam penelitian pada hewan. Namun, transplantasi stem sel terintegrasi
hingga kerusakan epitel dan generasi sel yang benar pada organ korti akan menjadi
tantangan. Banyaknya fungsi koklear tergantung dari mekanikal organ corti,
penempatan sel yang berlebihan atau tidak tepat sering menyebabkan masalah. Selain
itu kemungkinan efek dari radiasi dalam struktur vaskular organ korti akan
berdampak pada upaya regenerasi. Untuk sekarang, strategi terapi terbaik adalah
rehabilitasi efektif pada SNHL pasca radioterapi.

3.3.1 Implantasi Koklear


Pada pasien dengan SNHL, implan koklear mungkin efektif bila jalur auditori
retrokoklear masih intak. Untuk membuktikan jalur ini masih intak setelah
radioterapi, sebuah studi kontrol pada penerima implan koklear yang sebelumnya
diradiasi pada pasien NPC, mereka menerima radioterapi dalam 11-28 tahun sebelum
implantasi koklea dan periode follow up pasca implan sekitar 9 hingga 46 bulan.
Implan telinga setiap pasien memiliki stimulasi promontorium yang baik. Pasca
implan, semua pasien puas dnegan hasil pendengaran mereka. Terdapat masalah
spesifik mengenai implantasi koklear pasca radiasi telinga yang harus
dipertimbangkan:
3.3.1.1 Bedah
Perlengketan pada telinga tengah adalah komplikasi dari pembedahan,
termasuk kesulitan dalam mengidentifikasi lengkungan bulat. Kemungkinan
hilangnya lumen koklea pasca radiasi, yang dapat menekan insersi halus dari array
elektroda selama implantasi.
Pada pasien NPC dengan implantasi koklear dan telah di radiasi, 2 aspek yang
diperhatikan. Pertama, pasien ini tidak jarang memiliki perforasi gendang telinga dan
infeksi telinga tengah, dengan bukaan tuba eustasius di nasofaring sepenuhnya
dihilangkan. Untuk pasien ini, teknik konvensional implantasi koklear tidak
diterapkan dan teknik modifikasi seperti petrosektomi subtotal, penghilangan lemak
dan penutupan kantong dibutuhkan. Kedua, NPC memiliki predileksi ras dan paling
banyak pada ras Chinese. Perbedaan ras pada morfologi mastoid telah diketahui pada
identifikasi ras selama investigasi forensik dan antropologi. Studi dari tulang
temporal ras Chinese telah dikemukakan berbeda pada perpotongan saraf fasialis di
mastoid dan berorigo di korda timpani, dibandingkan dengan yang dijelaskan dalam
textbook Western. Pengetahuan mengenai variasi anatomi ras akan menurunkan risiko
cedera nervus fasialis selama operasi mastoid, khususnya pada telinga yang diradiasi
dimana tulang biasanya lebih rapuh dari biasanya.
3.3.1.2 Surveillance Imaging
Bagian dari komponen internal dari implantasi koklar adalah sebuah magnet
kecil, yang mana dibutuhkan untuk mengamankan struktur luar hingga ke bagian
kulit. Pada pasien NPC yang diterapi sebelumnya, MRI kadang dibutuhkan untuk
menghilangkan kemungkinan rekurensi tumor. MRI diindikasikan pada pasien yang
menerima implantasi koklear, yang mungkin masih dibutuhkan pelepasan magnet dari
alat dalam sebelum dilakukan pencitraan.
3.3.1.3 Re-radiasi
Pada tumor yang rekurensi, radioterapi lebih lanjut diindikasikan. Untungnya,
alat internal menunjukkan resisten terhadap kerusakan oleh radiasi. Namun, dosis
kumulatif radiasi dari radioterapi lanjutan dapat memperparah kerusakan hingga ke
saraf auditori, yang dapat membahayakan pendengaran yang merupakan hasil dari
implan.

3.3.2 Bone-Anchored Hearing Aids (BAHA)


Alat dengar konvensional mungkin efektif pada tuli konduktif hasil dari efusi
telinga tengah. Namun, dapat menyebabkan otorrhea, dan jamur pada telinga yang
bisa menyebabkan ulkus pada kanal telinga. Alternatif pada pasien dapat
menggunakan BAHA. BAHA menunjukkan osseointegrasi yang sukses pada pasien
dengan pasca radiasi. Meningkatkan kejelasan dalam pendengaran, mengurangi
tingkat discharge telinga. Maka dari itu penggunaan BAHA direkomendasikan untuk
terapi OMSK terkait masalah pendengaran pada pasien NPC.

3.3.3 Implan Aktif Telinga Tengah


Dibandingkan dengan alat bantu dengar konvensional, implan aktif telinga
tengah seperti Vibrant Soundbridge meningkatkan energi mekanik kedalam telinga
dalam. Namun, hanya viabel pada sel rambut koklear untuk mengubah energi
mekanik menjadi energi listrik untuk transmisi melewati saraf auditori menuju otak.
Pada radiasi menyebabkan SNHL, terdapat kehilangan sel rambut yang progresif.
Pasien dengan pasca radioterapi, SNHL hanya terkena pada frekuensi tinggi yang
cocok untuk implan telinga tengah. Namun, harus diwaspadai sebagai sifat progresi
alami dari radiasi menyebabkan SNHL dapat mempengaruhi efektifitas alat ini dalam
jangka panjang.

3.3.4 Kemoradiasi dan Kombinasi Efek Ototoksik


Kombinasi kemo-radioterapi mengalami peningkatan digunakan untuk terapi
keganasan lanjut kepala dan leher. Pada radioterapi tumor bagian kepala dan leher,
jalur auditori sering terkena dan menyebabkan SNHL. Cisplatin (CDDP), banyak
digunakan sebagai obat anti-neoplastik efektif untuk keganasan ini, namun juga
diketahui menyebabkan ototoksik. Namun, terapi kombinasi, merupakan efek
ototoksik sinergis dari CDDP dan radiasi secara teoritis dapat menjad bencana pada
pasien dan merupakan masalah klinis yang harus mendapat perhatian lebih.
Skinner et al, menyebutkan bahwa penggunaan obat sebelumnya atau
bersamaan dengan agen ototoksik lainnya dengan CDDP, meningkatkan toksisitas.
Studi oleh Schnell et al, ditemukan bahwa anak dan dewasa muda yang diterapi
dengan CDDP menderita SNHL pada 20-30dB jika mereka mendapatkan radioterapi
kranial sebelumnya. Studi pada anak dan dewasa yang menerima CDDP untuk terapi
tumor solid, Skinner et al melaporkan ototoksik CDDP lebih parah pada pasien yang
menerima radioterapi meliputi telinga sebelumnya. Sama seperti Merchant et al
mengamati ototoksik pada studi anak dengan tumor otak yang diterapi dengan pre
radioterapi kemoterapi ototoksik. Miettinen et al juga menemukan bahwa radioterapi
menambah ototoksik dari CDDP pada frekuensi tinggi. Ide bahwa radioterapi harus
dipertimbangkan hati-hati pada terapi anak dengan CDDP untuk keganasan
intrakrania.
Dilakukan uji randomisasi buta untuk menginvestigasi perbedaan
sesungguhnya dalam perjalanan, onset dan klinis SNHL antara NPC yang baru
didiagnosis dan pasien yang dirawat dengan radioterapi saja dan dengan kombinasi
kemo-radioterapi. Batas konduksi tulang sebelum terapi dan pada 1 minggu, 6 bulan,
1 tahun dan 2 tahun setelah radioterapi lengkap. Analisis statistik menggunakan tes
Mann-Whitney. Batas pendengaran rata-rata lebih dari 0,5, 1 dan 2kHz ditemukan
lebih buruk pada kelompok kemo-radioterapi (116 telinga) dibandingkan kelompok
radioterapi (114 telinga), pada 1 tahun (p=0,001) dan 2 tahun (p=0,03) pasca terapi.
Pendengaran pada 4kHz secara signifikan memburuk pada pasien dengan kemo-
radioterapi pada semua waktu pasca terapi dan paling parah terkena daripada
frekuensi rendah.

3.4 Osteo-radionekrosis
Osteo-radionekrosis (ORN) adalah komplikasi yang jarang pada terapi radiasi.
Pada pasien NPC pasca radioterapi, terjadi pada tulang temporal dan muncul secara
kronik atau discharge telinga yang rekuren. Menurut klinisi, dapat terjadi
misdiagnosis sebagai gejala OMSK dan OE, yang mana keduanya adalah hal yang
sering dialami pada pasien NPC pasca radiasi.
Radiasi dapat menyebabkan hipoksia, hipovaskularisasi dan hiposeluler pada
kulit kanalis. Sintesis kolagen normal rusak dan produksi sel dan menyebabkan
kerusakan jaringan dan tiba-tiba ORN. Vaskulitis obliteratif dapat menyebabkan
secara langsung radiasi menyebabkan nekrosis avaskular dari tulang. Ini biasanya
terjadi pada keterlibatan tumor. Terdapat hubungan positif antara ukuran dosis radiasi
dan derajat dari nekrosis.
Ramsden et al mengklasifikasikan osteoradionekrosis pada tulang temporal
sebagai terlokalisasi atau difusa. Pada osteoradionekrosis terlokalisasi, penyakit ini
terbatas pada kanalis akustikus eksterna, gejalanya tergantung letak dan stadium
penyakit. Pada difusa diperluas hingga melebihi tulang temporal dari basis kranii dan
struktur lainnya. Pasien yang terkena memiliki gejala lebih parah dari otorrea yang
lebih parah dan nyeri yang signifikan. Difusa ini berhubungan dengan komplikasi
lebih berat seperti trismus, infeksi intrakranial, kelumpuhan nervus fasialis, labrinitis,
mastoiditis kronik, kebocoran LCS, dan aneurisma arteri carotis interna.
Tipe terlokalisasi yang sering terlihat dimana ORN terjadi karena ulkus yang
tidak sembuh, discharge yang bau, tulang terekpose dan diikuti granuloma. Ini terlihat
pada kanalis eksternal bawah, sebuah area predisposisi trauma yang disebabkan
tekanan kebawah dari pemakaian alat bantu dengar atau trauma secara iatrogenik
selama aural toileting. Terkadang, meliputi telinga bagian tengah. Menurut Hao et al,
rentang terapi dari aural toilet, tetes telinga, dan terapi oksigen hiperbarik yang
membalikkan efek buruk dari radiasi menyebabkan perubahan kulit dan akhirnya
sequestrektomi. Miringotomi dilakukan dan kemudian diagnosis kebocoran LCS
sekunder hingga osteoradionekrosis tulang temporal dibuat.

3.5 Tumor Terkait Radiasi


Tumor terkait radiasi (RATS) adalah komplikasi jarang dari radioterapi. Goh
et al mempelajari RATS pada tulang temporal pasien yang sebelumnya mengalami
radiasi untu keganasan nasofaring. Dari 7 pasien yang diteliti, 5 memiliki SCC, 1
osteogenik sarcoma dan 1 chondrosarcoma. Distribusi tipe keganasan sebagai radiasi
menyebabkan keganasan lebih berhubungan dengan sarkoma daripada SCC. Alasan
yang mungkin berhubungan dengan infeksi telinga kronik yang sering muncul pada
telinga pasca radioterapi. Kombinasi dari efek radiasi jangka panjang dan infeksi
kronik merupakan faktor predisposisi hingga menjadi SCC. Pada studi lain pasien
dengan tumor malignansi dari CAE dan tulang temporal, rekurensi kumulatif 1 tahun
untuk kelompok RAT adalah 100%, namun tidak terdapat rekurensi pada kelompok
non-RAT (p=0,001) menyebabkan jeleknya prognosis pada pasien RATS.
Diagnosis yang terlambat bukannya tidak biasa pada kondisi ini. Hampir 2
dari 3 pasien dengan masalah ini dilaporkan oleh Lim et al memiliki penyakit T3. 1
alasan bisa jadi ottorea, yang paling banyak terlihat, sering disalahartikan sebagai
OMSK.
Alasan lain dari misdiagnosis sulit dibuktikan secara histologi. Lim et al
memberikan contoh pasien dengan diagnosis awal hiperplasia pseudoepitheliomatous.
Ini berdasarkan dari biopsi cubitan kecil dibawah anestesi lokal. Itu hanya pada
spesimen yang lebih besar dan dalam yang diperoleh dibawah anestesi umum dari
mastoid yang mengungkapkan diagnosis yang benar.
RATS mungkin jarang terjadi, tapi dengan perbaikan teknik radioterapi dan
peningkatan hasil dalam kelangsungan hidup pasien, mungkin lebih banyak pasien
dengan tumor terkait radiasi di masa depan. Penting bagi dokter untuk waspada ketika
pasien yang sebelumnya diradiasi pada NPC dengan gejala otologi sebagai kunci
keberhasilan pengelolaan kondisi ini terletak pada deteksi dini dan pengobatan yang
tepat dari penyakit sulit ini.

4. Kesimpulan
Karena hubungan dekat antara nasofaring dan struktur telinga, NPC sering
memiliki manifestasi pada telinga. Klinisi harus memikirkan manifestasi ini sehingga
diagnosis awal akan memberikan hasil terapi yang baik
Terapi NPC dengan radioterapi atau kemo-radioterapi memiliki dampak yang
besar pada praktek dalam Otologi. Peningkatan teknik radioterapi dapat mengurangi
paparan radiasi yang tidak diperlukan pada struktur telinga, dengan kesempatan lebih
kecil berkembang menjadi komplikasi telinga. Namun tidak dapat dihindari pula.
Dengan penekanan yang lebih besar dalam penggunaan kemo-radioterapi pada kanker
kepala dan leher tingkat lanjut, kemoradiasi menyebabkan SNHL memiliki
signifikansi yang lebih besar. Meskipun teknologi terbaru seperti implan koklea telah
berhasil dalam merehabilitasi gangguan pendengaran yang mendalam, pencegahan
masih merupakan tindakan terbaik dalam pengelolaan SNHL yang diinduksi radiasi.
Model apoptosis tergantung ROS dari kerusakan sel rambut menawarkan prospek
pencegahan pada tingkat molekular dalam waktu dekat.

Anda mungkin juga menyukai