PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai
buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf disejumlah
perpustakaan, dinegara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara – Negara barat
sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan
betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.
Hanya saja, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah
penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka
terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau
naluriah dan kedua karena kecenderungan pada persoalan akademis.
Kecenderungan pertama mengisyaratkan bahwa manusia sesungguhnya
membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani, kesejukan dan kedamaian hati
merupakan salah satu kebutuhan yang ingin mereka penuhi melalui sentuhan spiritual ini.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Barmawie Umarie bahwa setiap rohani manusia
senantiasa rindu untuk kembali ketempat asal, selalu rindu kepada kekasihnya yang
tunggal.
Adapun kecenderungan yang kedua mengisyaratkan bahwa tasawuf memang
menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan. Boleh jadi, dengan kecenderungan yang
kedua ini, kajian tasawuf hanya berfungsi sebagai pengayaan keilmuan ditengah
keilmuan-keilmuan lain yang berkembang di dunia.
Kedua kecenderungan diatas menuntut keharusan adanya pengkajian tasawuf
dalam kemasan yang proposional dan fundamental. Hal ini dimaksudkan agar tasawuf
yang kian banyak menarik peminat itu dapat dipahami dalam kerangka ideologis yang
kuat, disamping untuk memagari tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tulisa ini dapat
diterima jelas dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam islam dalam kemasan
yang dilengkapi dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan tasawuf
itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ?
2. Apa fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia ?
3. Bagaimanakah sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ?
2. Untuk mengetahui fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia ?
3. Untuk mengetahui sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
9
Al-Qusyairi, Op Cit ; 138
tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgan keberagamaan, selama
kurun waktu itu tasawuf berkembang terus kearah yang lebih spesifik, seperti konsep
Intuisi, Al-Kasyf dan Dzauq. 10
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman,
nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga factor, muncul pertama adalah
karena cerak kehidupan uang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh Umat
Islam terutama pada pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang
paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari
kelompok alit dinas penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya
murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etika. 11 Tokoh populer yang
dapat mewakili aliran ini adalah :
1) Hasan Al-Bashri
a) Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar,
adalah seoran Zahid yang sangat mashur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal
10 tahun 110 H (728 H) ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin
Khatab wafat, ia di kabarkan berytemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.12
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurniana akhlak, dan usaha
menyucikan pada sunnah Nabi sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun
mengakui kebesaranya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas Bin malik-
Sahabat nabi yang utama-untuk menanyakan persoalan agama, Anas
memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini,
saya sudah saksikan sendiri (keistimewaanya, tidak ada seorang Tabi’in pun yang
menyerupai sahabat nabi selainnya. 13
Karir pendidikan hasa Al-Bashri dimulai dari Hijaz, ia berguru hamper
kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah,
tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri, puncak
keilmuannya ia peroleh disana. 14
10
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Op Cit, 80-82
11
A. Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002, hlm :
37-38
12
Hamka, Tasawuf : PErkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986, hlm : 76
13
Ibid
14
Umar Farukh, Tarikh Al Fikr Al-A’rabi. Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm 216
b) Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Nai’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-
Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan
dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu
mengingat Allah, “Pandangan yang lain tasawufnya yang lain adalah anjuran
kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu
melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larang-Nya. Sya’raniki
pernah berkata “demikia takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka
itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri)15
Lebih jauh lagi, hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf hasan
Al-Bashri seperti ini. 16
7. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa
tentram yang menimbulkan perasaan takut”
8. “Dunia adalah negeri tempat beramal, barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, akan berbahafia dan memperoleh faedah darinya.
Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya terlambat
dengan dunia, ia akan sengasara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang
tidak dapat ditanggungnya”
9. “Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakanya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak
mengulanginya lagi, sesuatu yang fana’ betatapun banyaknya tidak akan
menyamai sesuatu yang baqa’ betapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri
yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”
10. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya.”
11. “Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada diantara dua perasaan takut : takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
12. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya dan
juga takut akan kiamat yuang hendak menagih janjinya”
13. Banyak duka cita didunia memperteguh semangyat amal shaleh”
Berkaitan dengan ajaran tasawuf hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,
Guru besar filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-
Bashri di dasari oleh rasa takut sik Tugan di dalam neraka. Namun, lanjutnya,
15
Hamka, op Cit, hlm 77
16
Ibid, hlm 77-78
setelahkami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang
mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian
dirinnya yang mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda nabi
yang berbunyi “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang
senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.17
Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah
bibir kaum Sufi adalah :
“ Anak adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikmat yang buka surge, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka ada mudah”18
2) Rabi’ah Al-Adawiah
a) Riwayat hidup
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-
Bashriyah Al-Qaisiyah, ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M / 99 H / 717
M disuatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada
tahun 185 H / 801 M. ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang
sangat miskin. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakanya Rabi’ah kedua
orantuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana
perang diBashrah, ia dilahirkan penjahat dan dijual kepada Keluarga Atik dari
Suku Qais banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qoisiyah atau
Al-‘Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan
karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan
menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. 19
17
Ibid, hlm 79
18
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 100
19
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 119-120
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalan
kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufi’ah, ia menjalani sisa hidupnya hanya
dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya,
ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi, ia hidup dalam kemiskinan
dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan”
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi, Rabi’ah menurutnya,
sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi
penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan
yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat
Rabi’ah itu sendiri, menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah
kepada Allah begitu ekstrimnya, kecuali bila ia pernah sedemikian jauh menjalan
dan mencintai kehidupan duniawinya. 20
b) Ajaran Tasawufnya
Dalam perkembanganya mistisisme dalam islam tercatat sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya
merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan
kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus,
ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaa ganti dari Allah. Sikap dan
pandanganya tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya.
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mashur adalah :
“Aku mencitaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena dirimu
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya” 21
Ulasan Al-Ghazali tentang Syair Rabi’ah sebagai berikut :
“Mungkin yang dimaksud ole Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah
cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya didunia ini. Sedangkan cinta
kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai yang kedua merupakan cinta yang
20
Badawi, Op Cit, hlm 20-21
21
Abu Bakar Muhammad Al-Kalabzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl At-Tashawwuf, Isa Al Bab Al Halabi, 1960, Hlm
131
paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.
Hal ini seperti disebabkan dalam Hadits Qudsi .
“Bagi hamba-hamba –Ku yang shaleh aku menyiapkan apa yang tidak terlihat
mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit dikalbu manusia” 22
27
Andul Qodir Mahmud, Faisafatu Ash-Shufiyyah fi Al- Islam, 1996 : hlm 306
28
Ibid ; 186
29
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme, Rajawali Pers, Jakartam 2002, hlm 41
tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum
orthodox denan kelompok sufi berpaham Ittijad dipihak lain. 30
Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran itu, maka seklitar akhir abad tiga
hijriyah tampil al-Karraj (W 277 H). bersama Al-Junaidi (yang memiliki nama
lengkap Asy-Syaikh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi adalah guru kelompok ahli
tasawuf secara mutlak dan imam Bilittifaq (menurut kesepakatan semua kelompok
tasawuf) sehingga mnedapat gelar Sayyidut-Tha’ifah Ash-Shufiyyah. Beliau belajar
ilmu kepada pamannya sendiri (adik laku-laki dari ibunya) yang bernama Asy-Syaikh
Sirri As-Siathi (W 253 H / 867 M). ayahnya seorang penjual kaca yang mendapatkan
julukan al Qawariri (sebangsa kaca). Al Junaedi lahir di Negeri Nahawand dan
dibesarkan di Irak. Beliau adalah seorang Ahli fiqih yang memberikan fatwa kepada
masyarakat, mengikuti mafzhab Abu Tsaur, yaitu murid Al-Imam Asy-Syafi’I dan
yang meriwayatkan madzab Asy-Syafi’i Qaul Qadim. Disamping beliau belajar
menjadimurid Sirri As-Siqthi, beliau juga menjadi Asy-Syaikh Al-Harits Al Muhabisi
dan Asy –Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Beliau adalah termasuk pembesar
imam – imam kauh shufi dan pemimpin mereka. Perkataanya dapat diterima dalam
semua bahasa. Beliau wafat pada hari sabtu 297 H). menawarkan konsep-konsep
tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah
untuk menjembatani dan atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran
mistik dengan syari’at islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin
Al-Baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas Al-Fana. Hasil keseluruhan
dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan
kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu
lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilannya penulis.
Penulis tasawuf tipologi ini, seperti Al-Sarraj dengan Al-Luma, Al Kalabazi dengan
Al Ta’aruf Li Madzab ahl Al Tasawuf dan Al Qusyairi dengan Al Risalah. 31
Sesudah masanya ketiha tokoh sufi ini, muncul jenis jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu Ibn Masarrah (memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin
Masarrah (269-319 H). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosoft dari
Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esoteric Mazhab Al
Mariyyah lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki
kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Mushthafa
Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk sufi aliran Ittihadiyyah berbarengan dengan
30
Moch. Djamaluddin Ahmad, dua figure tokoh agung, Pustaka Al-Muhibbin, hlm : 67 - 70
31
Ibid ; 187
masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosof. Ia lebih banyak disebut
–sebut sebagai filosof ketimbangan seorang sufi Namun, pandangan pandanganya
tentang filsafat tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan
penganut sejati aliran Mu’tazillah, lalu berpaling pada Madzab neo-Platonisme. Oleh
karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno).32
Gagasan Ibn Masarrah ini, sesudah masa Al-Ghazali dikembangkan oleh Suhrawardi
Al-Maqtul ( W 578 H) dengan doktrin Al –Isyraqiyah atau illuminasi. Gerakan
orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriyah melalui tokoh
monumental Al-Ghazali. Berikut biografi singkat tentang Al-Ghazali.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’lis
Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al Ghazali. Secara singkat dipanggil Al Ghazali atau Abu
Hamid Al-Ghazali. Beliau lahir dikota Thus daerah rasan pada tahun 450 H / 1058 M.
ayahnya wafat sebelum ia baligh. Beliau hidup berdikasi, mula –mula ia belajar ilmu
Khat dari Ayahnya, kemudian setelah ayahnya wafat ia belajar Mabadi. Al-Lughah.
Wa Al-fi’ah di negaranya sendiri kepada Al-Imam Abu Hamid Ahmad bin Muhammad
Ar-Razikani At-Thusi.
Kemudian beliah pergi ke Jurja untuk mengaji kepada Abu Nasr Al-Isma’ili.
Di Jurjan dalam waktu yang tidak lama beliau sudah mampu mengarang Ta’liqah
(Penjabaran) tentang ilmu-ilmu yang diperoleh dari gurunya. Setelah itu beliau
kembali ke Thus negeri kelahirannya guna mendalami ilmu-ilmunya selama 3 tahun. 33
Kemudian beliau pergi ke Naisabur mengaji kepada Al-Imam Khilaf. Ilmu
Jadal, Ilmu Ushuluddin, Ushul Fiqh , Ilmu Mantiq, Ilmu Hikmah dan filsafat
kesemuannya dikuasai secara mendalam hanya selama dua tahun. Memang imam Al-
Ghazali orang yang sangat cerdas, tepat pendapatnya, sangat luas pandanganya, dan
sangat kuat hafalannya dan pandai mendalami ilmu yang rumit, sehingga imam
Haramain memberinya julukan Bahr Mughriq (lautan yang menenggelamkan) Al-
Ghazali wafat pada tahun 503 H.
Al-Ghazali berupaya mengikis semua jaran tasawuf yang tidak islami,
sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapatkan tempat
yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat islam cara yang ditempuhnya
untuk menyelesaikan pertikaian itu. Adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik
berasal dari orang yang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, sebab
32
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al islami bain Ad Din Wa Al-Falsasfahm dar Al –Nahdhah Al Arabiyyah, hlm 123-
124
33
Moch. Dhamaluddin Ahmad, dua figure tokog Agung, Pustaka Al Muhibbin, hlm 14-15
dalam kenyataanya, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki,
tetapi kesatuan simbiolistik. 34
Pendekatan yang dilakukan oleh Al-Ghazali, nampaknya bagi satu pihak
memberikan jaminan untukmempertahankan prinsip, bahwa Allah dan alam ciptaan
Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di
pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untukmemasuki pengalaman-
pengalaman kesufian puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini
menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau
memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu
tasawuf sunni dan tasawuf filsafati. Sebab, ternyata pada akhirnya intisari pengalaman
kesufian yang menuru Al-Ghazali tidak mungkin diungkapkan, menerobos juga keluar
lewat konsep-konsep Ibn Arabi (W 638 H). Tetapi corak Ma’rifat yang diajarkan Sufi
kelahiran Murcia ini tidak sama dengan konsep Ma’rifat yang sebelumnya. Ia bukan
saja mengungkapkan kesatuan dirinya dengan Tuhan seperti halnya Abu Yazid Al-
Busthomi dan Al-Hallaj, tetapi ia memberikan satu pemikiran yang hamper
menyerupai filsafat. Ia menjelaskan hubungan antara fenomena lama semester yang
pluralistic dengan tuhan sebagai. Prinsip keesaan yang melandasinya. Bertolak dari
pendapat para sufi, bahwa yang ada mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa ala
mini sebagai penampakan (Mazhohir) dari nama dan sifat Allah, yang sebenarnya
adalah esensi-Nya keterbatasan. 35
Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul Wujud
berkembang pula kemana-mana. Pada abad tujuh hijriyah, ajaran ini berkembang di
Mesi melalui sufi penyair Ibn Al Faridh (W 633 H) dan Ibn Saba’in (W 669 H) di
Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair jalaludin rumi (W 672 H). seperti
dinyatakan oleh dengan inti ajaran ma’rifat, menurut ajaran ini Tuhan sebagai esensi
mutlak-yang menurut Al-Ghazali dapat dikenal tidak mungkin dikenal oleh siapapun,
walau oleh Nabi sekalipun menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai Dzat Mutlak hanya bisa
dikenal melalui nama dan Sifat-Sifat-Nya, yakni melalui penampakan lahir dari esensi
Dzat-Nya, yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan
dalam konsep bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali didunia islam dalam
tulisan Ibn Arabi. 36
34
Al-Ghazali, Al – Munqidz min al-Dhalal, 1316 H ; 76
35
Ibn. Arabi, Futurat Al Makiyah, Vol. I, 1977 ; 90
36
Ibrahim Basuni, Op, Cit : 115
Dari uraian ringkas ini terlihat bahwa lima ciri atau karakteristik tasawuf
yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara utuh pada satu fase
dan disemua kawasan barangkali kemunculan tasawuf yang hamper utuh dengan
kelima cirinya itu hanyalah pada abad tiga Hijriyah, pada periode tasawuf meningkat
menjadi ilmu tentang moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung
sampai abad ketujuh hijriyah , sebab sejak abad delapan, nampaknya tasawuf mulai
mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini tidak ada lagi
konsep-konsep tasawuf yang baru, yang tertinggal hanyalah sekedar komentar-
komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama disisi lain, para pengikut
tasawuf sudah lebih cenderung kepada penakanan perhatian terhadap berbagai bentuk
ritus dan formalisme yang tidak terdapat dalam substansi ajaran. Kemandikan tasawuf
sebagai ilmu moralitas, nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti
dunia pemikiran islam pada masa itu perkembangan tasawuf selanjutnya sudah
berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih menonjolkan perkembangan
pada aspek ritus dan pengalamanya, bukan pada aspek subtansi ajarannya. Namun
bagaimanapun tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam
cara-cara tertentu yang mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim Al-Jilli
(W 832 H) dalam bukunya Al-Insan Al Kamil yang cukup popular, ternyata ajaranya
sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu. Demikian pula dengan konsep-
konsep tasawuf di Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam tasawuf Al Raruri adalah
pemaduan antara tasawuf Al-Ghazali dengan Al Fansyuri, atau antara paham kesatuan
wujud dengan transentalisme. Hal ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya,
karena memang ia bersifat dinamik bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat,
bahwa tidak setiap orang yang mengerti tasawuf disebut sufi, karena seseorang tidak
mungkin dapat mengetahui bahwa ia benar-benar memahami dan merasakan ap ayang
dilihat dan dirasakan oleh sufi dalam mi’raj Spiritualnya. Menjadi seorang sufi berarti
menjadikan ajaran itu sebagai penggerak hidupnya. It is to become and not to learn
second hand. Manusia sempurna adalah idola Sufi, manusia yang telah dapat
melepaskan ke – aku – an – nya sehingga ia adalah cermin yang merefleksikan setiap
aspek realitas Absolut. 37
Dasar – dasar Tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diteruskan oleh para sahabat selama periode makiyah, kesadaran
37
Rivay Siregar, tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sufisme, rajawali per, hlm : 45-46
spiritual Rasulullah SAW. Adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik
yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an surat An Najm : 11
-13, surat At Takwir, 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas
dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsip dalam tasawuf, para sufi
merujuk kepada Al-Qur’an sebagai landasan utama karena manusia memiliki sifat
baik dan sifat jahat, sebagaimana dinyatakan 38 “ Allah mengilhami (jiwa manusia)
kejahatan dan kebaikan : maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang
jelek dan pengembangan sifat-sifat yang baik. Dalam tasawuf dikonsepkan untuk
penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa itu melalui dua tahap, yakni pembersihan
jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut takhalli. Tahap awal dimulai dari
pengendalian dan penguasaan hawa nafsu. Sesuai dengan firman Allah “
...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi oleh Tuhanmu …”39 “ dan Adapaun orang-orang yang takut pada kebesaran
tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.”
Sedangkan tasawuf memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam ajaran pokok
dalam tasawuf adalah konsel Al-Hubb dan Ma’rifat yang merupakan perintah
Allah melalui firman-Nya : “kami lebih dekat kepada manusia dari pada urat
lehernya sendiri” 40
38
Al-Qur’an, Surat Al-Syams ; 8
39
Al-Qur’an, Surat Yusuf, 53
40
Al-Qur’an, Surat Al-Qaff ; 16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian tasawuf secara lughawi adalah Ahlu Suffah yang berarti sekelompok
orang imasa Rasulullah yang hidupnya hanya berdiam diserambi-serambi masjid, dan
mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan pengertian
tasawuf berdasarkan istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah
dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.
Fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia adalah menjadikan manusia berada
sedekat mungkin dengan Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.
Perkembangan tasawuf mengalami kejayaan yaitu pada abad ke-3 hijriah dengan
munculnya tokoh monumental Al-Ghazali, tetapi ketika memasuki abad ke-8 tasawuf
mengalami kemunduran karena tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : “Pustaka Setia”
Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NCO. Sufisme. Jakarta : Rajawali
Pers
Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-Muhibbin
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo : Tiga Serangkai
Qoyyinm Al Jauziyah, Ibn dan Haris bin Asad Al-Muhasibi. 1990. Tasawuf Murni. Surabaya :
Al-Ihsan
Abdul Khaliq, Dr. Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zhahir. 2001
Abdirrahman Al-Sulami, Abu. 2007. Tasawuf. Jakarta : Erlangga
AL-Ghazali. 1961. Ihya’ Ulum Ad-Din, Dar Tsawafah Islamiyah, Kairo. Mesir
Umari, Barmawi. 1966. Systematika Tasawuf , Solo : Penerbit Siti Syamsiyah
Hamka. 1986. Tasawuf : Perkembangan dan pemurniannya Jakarta : Pustaka Panjimas
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang
Al-Hafani, Abd. Al-Munin, 1992. Al Mausu’ah Ash-Shufiyah. Kairo. Dar Ar-Rasyad
Mahmud, Abdul Qodir. 1966. Falsasafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam. Kairo : Dar Al-Fikr Al-
Arab