Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muhamad Reza Fauzi

NIM : 1157070052

Zona Nyaman Militer ?

Tentara Nasional Indonesia atau biasa disingkat TNI adalah nama sebuah angkatan
perang dari negara Indonesia. Pada awal dibentuk bernama Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) kemudian berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI)
dan kemudian diubah lagi namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
hingga saat ini [1].

Tentara Nasional Indonesia (TNI) terdiri dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI
Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh
seorang Panglima TNI, sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang
Kepala Staf Angkatan. Panglima TNI saat ini adalah Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

Pada masa Demokrasi Terpimpin hingga masa Orde Baru, TNI pernah digabungkan
dengan POLRI. Penggabungan ini disebut dengan ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia).

Sesuai Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI
serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI
maka pada tanggal 30 September 2004 telah disahkan Rancangan Undang-Undang
TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya ditandatangani oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Oktober 2004.

Rahasia militer kerapkali menjadi ganjalan bagi pengungkapan kasus korupsi di


dalam korps angkatan bersenjata. Proses pemberantasan korupsi di lingkaran TNI
seringkali tersendat, karena berbenturan dengan sumpah prajurit yang harus menjaga
rahasia dan mematuhi atasan.

Selain terkait dengan kerahasiaan, penuntasan kasus juga kerapkali mengalami


kesulitan karena faktor regulasi. Kasus kriminal termasuk korupsi militer, umumnya
harus diselesaikan di internal TNI melalui pengadilan militer. Hal ini membuat KPK
atau kejaksaan agung tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus rasuah
di lingkungan TNI.

Padahal, lingkungan TNI bukanlah lingkungan yang suci dari korupsi. Ada beberapa
kasus korupsi yang menyeret perwira TNI dengan kerugian tidak sedikit. Berdasarkan
indeks, risiko korupsi di lingkungan militer Indonesia pun cukup tinggi.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Panglima TNI Marsekal Hadi
Tjahjanto. Ia pernah menyebut bahwa ia mendukung komitmen pemerintah dalam
pemberantasan korupsi. Jika ia berkomitmen penuh, maka ada ujian besar dalam
memberantas rasuah di institusi yang ia pimpin.

Korupsi dan Rahasia Militer

Isu dugaan korupsi yang menyeret perwira di lingkaran angkatan bersenjata kerapkali
berhembus. Akan tetapi isu tersebut amat jarang yang terungkap. Alih-alih berujung
di meja hijau, kasus ini kerapkali menguap begitu saja.

Pengungkapan kasus korupsi di tubuh militer memang kerap terbentur alasan menjaga
rahasia militer. Hal ini terutama jika menyangkut dengan pengadaan alat utama
sistem senjata (alutsista). Pembelian alat tempur utama ini memang dirahasiakan
jumlah dan jenisnya di setiap tahun.
Sumber: https://pinterpolitik.com/jalan-terjal-mengungkap-korupsi-militer/ [2]

Kondisi ini rentan menimbulkan praktik korupsi. Minimnya pengawasan dan


transparansi proses pengadaaan alutsista dapat menimbulkan celah bagi pejabat yang
bertugas melakukan pengadaan. Pengawasan yang kurang kuat dapat membuat anggota
TNI terlalu leluasa bermain dalam pengadaan barang dan jasa.

Korupsi dalam pengadaan alutsista pernah terjadi misalnya dalam kasus Brigjen Teddy
Hernayadi. Ia terbukti menilap uang pada proses pembelian alutsista yang terdiri dari
pesawat F-16 hingga Apache. Kerugian negara akibat kasus tersebut ditaksir mencapai
USD 12,4 juta.

Adanya kasus tersebut membuat publik bertanya-tanya. Ada kemungkinan bahwa


praktik korupsi tidak hanya berlaku pada kasus Teddy saja. Meskipun demikian,
rahasia militer yang begitu ketat membuat akses publik pada kemungkinan kasus
tersebut menjadi minim.

Secara spesifik, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko pernah


mengungkapkan bahwa kasus pengadaan senjata adalah kasus yang tidak dapat dibuka
ke publik. Ia bahkan menyebut jika KPK sampai mendatangi TNI, maka hal itu berarti
telah menjadikan TNI sebagai organisasi yang tidak terhormat.

Di luar itu, proses hukum di lingkungan militer memang masih merupakan misteri bagi
masyarakat. Kerapkali ada resistensi dari internal militer untuk mengungkan suatu
kasus yang menjerat anggota TNI. Kasus seperti korupsi seringkali dirahasiakan dari
masyarakat.

Menurut YLBHI, kondisi ini menunjukkan bahwa TNI masih menggunakan perspektif
lama seperti di era Orde Baru. Dalam hal ini, TNI masih tidak ingin menunjukkan
adanya kelemahan di dalam institusinya. Institusi militer masih tidak ingin terlihat
melakukan kesalahan di depan publik. Inilah yang menyebabkan kasus-kasus hukum
seperti korupsi militer kerap ditututpi.

Korupsi Militer dan Sistem Peradilan

Secara hukum, proses penanganan korupsi di dalam tubuh militer memang berbeda
dengan kasus korupsi yang membelit kalangan sipil. Ada berbagai peraturan
perundang-undangan yang membuat pengungkapan kasus korupsi militer terhambat.

Salah satu aturan tersebut adalah UU Peradilan Militer. Revisi UU ini belum juga
selesai dilakukan sehingga menghambat lembaga seperti KPK untuk menyelesaikan
kasus korupsi di lingkungan angkatan bersenjata.

Peradilan militer ini kerapkali berjalan tertutup dan tidak banyak diketahui publik.
Proses hukum yang terjadi bagi kasus yang menjerat prajurit seringkali berjalan seolah
tiba-tiba dan minim transparansi. Mulai dari penetapan tersangka hingga penjatuhan
vonis kerapkali sulit diketahui oleh publik.

Terdapat pula perdebatan mengenai sistem peradilan yang seharusnya digunakan untuk
mengadili korupsi di tubuh militer. Terdapat UU Peradilan Militer dan juga UU
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Keduanya adalah hukum bersifat spesialis atau
khusus. UU Peradilan Militer dikhususkan untuk mengadili pidana yang dilakukan
prajurit. Sementara itu UU Pengadilan Tipikor dikhususkan untuk mengadili tindak
pidana korupsi.

Banyak yang menganggap idealnya korupsi militer tetap diadili melalui pengadilan
tipikor. Hal ini dikarenakan adanya asas hukum yang baru mengesampingkan hukum
yang lama. Akan tetapi, KPK atau penegak hukum lain seringkali inferior dihadapan
militer.

Pada kasus korupsi Bakamla misalnya, KPK buru-buru melimpahkan kasus yang
membelit Laksma Bambang Udoyo ke Puspom TNI. Padahal, bisa saja KPK
mengambil alih kasus ini jika menilik asas di atas.

Salah satu jalur agar KPK dapat mengusut kasus korupsi militer adalah unsur kerugian
yang diderita. Jika kerugian negara yang ditimbulkan lebih banyak merugikan sipil
dibanding militer, maka KPK dapat masuk untuk ikut melakukan penyelidikan. Sistem
ini disebut dengan sistem koneksitas.

Meski terbuka jalan bagi KPK mengusut kasus korupsi militer, kenyataannya tidak
semudah itu. Sistem ini menghendaki adanya kolaborasi antara penegak hukum sipil
dengan militer. Dalam kondisi ini, sipil kerapkali lebih inferior dibanding militer.
Proses penegakan hukum kemudian berjalan tidak efektif.

Pada sistem koneksitas ini, pihak luar yang ikut mengusut kasus korupsi di tubuh TNI
seringkali memiliki peran yang minimal. Pihak luar seperti KPK umumnya hanya
berperan melakukan koordinasi saja. Pihak luar tidak dapat secara langsung terlibat
pada proses investigasi yang lebih besar.

Loyalitas Tanpa Batas

Tantangan pengungkapan kasus korupsi militer juga berkaitan dengan loyalitas prajurit
pada atasannya. Ada indikasi bahwa korupsi yang terjadi di lingkungan militer terjadi
secara sistematis. Hal ini berarti jika terjadi korupsi di lingkungan TNI maka akan
melibatkan perwira hingga ke jajaran bintang para jenderal.
Bagi prajurit-prajurit di level lebih rendah, mereka harus menunjukkan loyalitas mati
kepada atasan-atasan mereka. Kepatuhan pada instruksi atasan adalah hal yang
tertanam jauh sejak pendidikan. Hal ini membuat kasus korupsi sulit terungkap.

Prajurit di tingkat bawah cenderung akan bungkam jika harus mengungkap kasus
korupsi. Hal ini dikarenakan atasannya kemungkinan akan terlibat. Sang prajurit akan
berusaha untuk menjaga marwah dari atasan dan korps tempat ia bernaung. Ada
anggapan bahwa jika ia buka suara sama dengan berkhianat pada korps.

Jadi menurut penulis bahwasanya zona nyaman militer mungkin akan selalu terjadi
ketika ketidakberanian sesorang untuk mengungkapkan sesuatu yang bersifat
menyimpang dengan aturan yang di tetapkan oleh karena itu revolusi di dalam
lingkungan militer harus dilakukan akan tetapi ketika dibenturkan dengan rahasia
militer maka organisasi manapun tidak akan bisa menyentuh teritorial militer tersebut
akan tetapi faktor utama yang harus di perhatikan yaitu kejujuran seorang prajurit
ketika akan melakukan hal apapun karena kejujuran merupakan awal proses menuju
suatu tahap keberhasil.
DAFTAR PUSTAKA

[1] wikipedia, “wikipedia,” [Online]. Available:


https://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Nasional_Indonesia. [Diakses Rabu 12 2018].

[2] pinterpolitik, “korupsimiiter,” [Online]. Available: https://pinterpolitik.com/jalan-


terjal-mengungkap-korupsi-militer/. [Diakses Rabu 12 2018].

Anda mungkin juga menyukai