Anda di halaman 1dari 25

MYASTHENIA GRAVIS

OLEH

KELOMPOK 3

DWI ROSSI

MONO KRISTIAN TELAUMBANUA

PUTRI DELIMA PERDANA

VERY VERA

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. ELIDA, MNS

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah.
Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan
gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan
lambatnyapemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini
bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan
tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah
kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini ditemukan
pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis
dibedakan dari kelemahan ototakibat paralisis burbar. Pada tahun 1920
seorang dokter yang menderitapenyakit Miastenia gravis merasa lebih baik
setelah minum obat efidrinyang sebenarnya obat ini ditujukan untuk
mengatasi kram menstruasi.
Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker
melihatadanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan
keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu
fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan
nyata dalam penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul
antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis
lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih
banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika
Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli
menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus
yang tidak pernah terdiagnosis
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui secara umum penyakit Miastenia Gravis dan asuhan
keperawatan tentang penyakit Miastenia Gravis.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengetahui dan memahami definisi dari Miatenia gravis
b. Mampu mengetahui dan memahami etiologi dari Miastenia gravis
c. Mampu mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari
Miastenia gravis
d. Mampu mengetahui dan memahami patofisiologi dari Miastenia
gravis
e. Mampu mengetahui dan memahami pathway Miastenia gravis
f. Mampu mengetahui dan memahami klasifikasi Miastenia gravis
g. Mampu mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang dari
Miastenia gravis
h. Mampu mengetahui dan memahami penatalasanaan medik dari
Miastenia gravis
i. Mampu mengetahui dan memahami komplikasi dari Miastenia
gravis
j. Mampu mengetahui dan memahami asuhan keperawatan
Miastenia gravis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS MEDIS

A. Definisi
Myasthenia Gravis berasal dari bahasa latin, yaitu Myasthenia yang
berarti kelemahan otot dan Gravis yang berarti berat atau serius.
Miastenia Gravis adalah penyakit autoimun kronis dan transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot.
Miastenia Gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal), Price and Wilson
1995.
Miastenia gravis merupakan penyakit kronis, neuromuskular, autoimun
yang bisa menurunkan jumlah dan aktifitas reseptor Acethylcholaline
(ACH) pada Neuromuscular junction. Hipotesis yang dibuat oleh para
sarjana untuk menerangkan peristiwa ini ada beberapa buah.
Asetilkolin yang diperlukan sebagai mediator kimiawi rangsang dari
saraf ke otot, kurang pembentukannya. Hipotesis lainnya mengatakan
pelepasan asetilkolin, terganggu. Yang banyak dianut ialah asetilkolin
lekas terurai oleh enzim kolinesterase. Pada permulaan penyakit, otot-
otot yang lekas lelah ini dapat pulih kembali sesudah istirahat. Otot-
otot yang terserang biasanya otot-otot kelopak mata, otot-otot
penggerak mata, otot-otot untuk mengunyah dan menelan. Otot-otot
tubuh lainnya dapat pula dihinggapi penyakit ini. Miastenias gravis
berakhir dengan kematian bila otot-otot pernapasan menjadi lumpuh
sama sekali.

B. Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor
asetilkolin pada persimpangan neuromuskular akibat dari reaksi
autoimun. Etiologi penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun seperti direct mediated antibody, kekurangan
reseptor asetilkolin atau kelebihan kolinesterase (enzim
penghancur asetilkolin).
2. Genetik : bayi yang dilahirkan oleh ibu yang memiliki riwayat
penyakit miastenia gravis.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis


adalah:

1. Infeksi (virus)
2. Pembedahan
3. Stress
4. Perubahan hormonal
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan (Antikolinesterase, laksative, sedatif, antibiotik, dll)

C. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala klien myasthenia gravis meliputi :
1. Kelelahan
2. Wajah tanpa ekspresi
3. Kelemahan secara umum, khususnya pada wajah, rahang, leher,
lengan, tangan dan atau tungkai. Kelemahan meningkat pada saat
pergerakan.
4. Kesulitan dalam menyangkut lengan diatas kepala atau meluruskan
jari.
5. Kesulitan mengunyah
6. Kelemahan, nada tinggi, suara lembut
7. Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata
8. Kelumpuhan okular
9. Diplopia
10. Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit ; namun berjalan dengan
jari kaki
11. Kekuatan makin menurun sesuai dengan perkembangan
12. Inkontinensia stress
13. Kelemahan pada sphincter anal
14. Pernapasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot-otot
aksesori.

D. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada
sambungan neuromuskular.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik
dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan
neuromuskular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps
kimia antara saraf dan otot yang terdiri atas 3 komponen dasar yaitu,
unsur prasinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai
lebar sekitar 200A.
Unsur prasinaps terdiri atas akson terminal dengan vesikel sinaps yang
berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmiter. Asetilkolin
disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran plasma akson
terminal disebut membran prasinaps.
Unsur postsinaps terdiri dari membran postsinaps atau lempeng akhir
motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi
selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps
tempat akson terminal menonjol masuk kedalamnya. Membran
postsinaps memiliki reseptor – reseptor asetilkolin dan sanggup
menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat
mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps memiliki
suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu
asetilkolinesterase.
Celah sinaps merupakan ruang yang terdapat diantara prasinaps
dengan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin dan
melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka membran
akson terminal prasinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin
akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui
celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium dan kalium pada membran postsinaps.
Influksi ion natrium dan pengeluaran kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbetuk
potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dnegan
saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut
otot. Setelah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi,
asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih
dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada kasus miastenia
gravis, konduksi neuromuskulat terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin
berkurang, bisa saja akibat dari cedera autoimun. Antibodi terhadap
protein reseptor asetilkolin banyak ditemukan dalam serum penderita
miastenia gravis. Akibat dari kerusakan reseptor primer atau sekunder
oleh suatu agen primer yang belum diketahui merupakan faktor
penting dalam penentuan patogenesis yang tepat dari miastenia gravis.
E. Pathway

Gangguan autoimun yang merusak reseptor


asetilkolin

Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada


membran postsinaps

Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel


otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya
reseptor normal membran postsianps pada sambungan
neuromuskular

Penurunan hubungan neuromuskular

Kelemahan otot-otot

Otot-otot okular Otot wajah, Otot volunter Otot pernapasan


laring, faring

Gangguan otot Kelemahan otot Ketidakmampuan


levator palpebra Regurgitasi rangka batuk efektif
makanan ke
Kelemahan otot-
Ptosis dan hidung pada saat
otot pernapasan
Diplopia menelan, Suara Hambatan
abnormal, Mobilitas Fisik
Ketidakmampuan Ketidakefektifan
Gangguan menutup rahang Intoleransi pola nafas
Citra Diri Aktivitas
Ketidakefektifan
bersihan jalan
Resiko Tinggi napas
Aspirasi
Krisis Miastenia
Gangguan
Pemenuhan
Nutrisi Kematian
Kerusakan
Komunikasi
Verbal
F. Klasifikasi
No Klasifikasi Klinis
1 Kelompok I Hanya menyerang otot-otot okular, disertai dengan
Miastenia Okular ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus
kematian
2 Kelompok II
Miastenia Umum
a.Miastenia umum ringan -Progres lambat, biasanya pada mata, lambat laun
menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar
-Sistem pernapasan tak terkena. Respons terhadap
terapi obat baik
-Angka kematian rendah

b.Miastenia umum sedang -Progres bertahap dan sering disertai gejala-gejala


okular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar
-Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan
menelan), dan sukar mengunyah lebih nyata
dibandingkan dengan miastenia umum ringan
-Otot pernapasan tidak terkena
-Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
aktivitas klien terbatas
-Angka kematian rendah

c.Miastenia umum berat 1.Fulminan Akut


-Progres yang cepat dengan kelemahan otot-otot
rangka dan bulbar dan mulai terserangnya otot-otot
pernapasan
-Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan.
-Respon terhadap obat buruk
-Insiden krisis miastenik , kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi
-Tingkat kematian tinggi

2.Lanjut
-Miastenia gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progres gejala-gejala kelompok I atau II.
-Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan-
lahan atau tiba-tiba
-Respon terhadap obat dan prognosis buruk

No Golongan Klinis
1 Golongan I Gejala-gejalanya hanya terdapat pada otot-otot ocular
2 Golongan II A Miastenia gravis umum ringan
3 Golongan II B Miastenia gravis umum sedang
4 Golongan III Miastenia gravis akut berat, terkena otot-otot
pernapasan
5 Golongan IV Miastenia gravis kronik yang berat

G. Pemeriksaan penunjang
1. Tes Darah
Dilakukan untuk menentukan kadar antibodi tertentu di dalam
serum. Semakin tinggi kadar antibodi dapat mengindikasi adanya
Miastenia Gravis. Misalnya:
a. Antibodi Anti-reseptor Asetilkolin (AB Anti Ach-R)
b. Antibodi Anti-otot skelet (Anti striate muscle antibody)
c. Antistriatonal antibody
d. Tes antibody anti-MuSK

2. Pemeriksaan Neurologis
a. Menatap tanpa kedip pada suatu benda yg terletak diatas
bidang kedua mata selama 30 detik, akan terjadi ptosis
b. Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
c. Menghitung atau membaca keras-keras selama 3 menit akan
terjadi kelemahan pita suara serta suara hilang
d. Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit
dalam posisi berbaring
e. Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengan mempertahankan
posisi saat mengangkat kaki dengan sudut 45° pada posisi tidur
telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan diatas
tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali

3. Pencitraan
a. Foto Thorax X-Ray dan CT-SCAN untuk mendeteksi adanya
pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada penderita
miastenia gravis

4. Tes tensilon (edrofonium chloride)


Berguna pada kasus dimana pemeriksaan antibody negatif
sedangkan gejala klinis diduga kuat miastenia gravis. Injeksi
edrofonium HCL 2mg i.v lalu tunggu hingga 1-3 menitperbaikan
gejala klinis positif. Tes prostigmin, injeksi prostigmin 0,5-1 mg
dicampur dengan 0,1 atropin sulfat lalu disuntikan intarmuskular
atau subkutan perbaikan gejala klinis positif

5. EMG (Electromyography)
Menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan mengevaluasi
fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan
adanya miastenia gravis

H. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksaan pada pasien dengan Miastenia
Gravis yaitu:
1. Lakukan istirahat yang sering pada siang hari untuk mengehemat
kekuatan
2. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Kelenjar Timus Memproduksi T- Limfosit yang berperan dalam
system imun. Ada penderita Miastenia Gravis, kelenjar tymus
dapat mengalami peningkatan jumlah sel (hyperplasia timus) atau
tumor ( Tinoma ), sehingga merangsang pembentukan antibody
berlebihan.
3. Plasmaferesis
Merupakan dialis darah dengan pengeluaran antibodi IgG. Efektif
sebagai terapi jangka pendek pada pasien MG dengan exaserasi
akut. Pada Plasma ferensis dilakukan pengantian darah dengan sel
darah merah merah, sehingga plasma darah dibuang dan diganti
dengan suplemen yaitu human albumin
4. Terapi Farmakologi
a. Medikamentosa
1) Piridostigmin ( tablet 60 mg) Dosis awal 4 x 15 mg ( ¼
tablet ) setelah 2 hari ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg jika
perlu dapat ditingkatkan menjadi 4 x 60 mg. Dosis
maksimum 6 table / hari ( 360 mg /hari) Jika tidak
berespons dapat diberi kortikosteroid maupun Azathioprine.
Bila Pasien usia <45 tahun dengan AChR + dapat
dipertimbangkan timektomi dini.
2) Kortikosteroid ( Prednison) dapat diberikan selang beberapa
hari. Dosis mencapai 1,5mg / kg/ selang sehari atau
misalnya 100 mg /hari. Dosis ini dipertahankan sampai
pasien mengalami remisi ( beberapa bulan ). Dosis dapat
dikurangi per 10 mg setiap3-4 mg sampai 20 mg / selang
sehari. Dosis kemudian dikurangi 1 mg setiap bulan dan
diberikan kembali dengan dosis tinggi bila relaps.
3) Azathiropin, dapat diberikan dengan dosis awal 2 x 25mg .
Dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 /hari sampai mencapai
2,5 mg/kg/hari. Sebelum dilakukan terapi, dilakukan
evaluasi darah rutin ( hitung jenis dan fungsi hati).Evaluasi
dilakukan setiap 3 minggu selama 8 minggu kemudian
setiap 3 bulan.
(Dewanto dkk,2009:64).
I. Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika keadaan pasien
tersebut tidak dapat menelan, membersihkan sekret atau bernapas
secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jeis krisis yang terjadi
sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
1. Krisis Miastenik
2. Krisis Kolinergik
BAB III
TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis
kelamin(wanita),dan status
b. Keluhan utama : kelemahan otot
c. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada
riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah
aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin
mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada
pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
d. Pemeriksaan fisik :
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau
penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang disertai
adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien,
menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan napas
dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan
untuk memantau perkembangan dari status kardiovaskular,
terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara
progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernapasan.
3) B3 (Brain)
 Pengkajian Saraf Kranial
1) Saraf I (olfaktorius)
Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama
fungsi penciuman
2) Saraf II (optikus)
Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien
sering mengeluh adanya penglihatan ganda
3) Saraf III, IV dan VI
(okulomotoris,troklearis,abdusens)
Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya
oftalmoplegia, mimic dari pseudointernuklear
oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada
nervus VI.
4) Saraf V (trigeminus)
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah.
5) Saraf VII (fasialis)
Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya
gangguan motorik lidah.
6) Saraf VIII (akustikus)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
7) Saraf IX dan X (glosofaringeus,vagus)
Ketidakmampuan dalam menelan.
8) Saraf XI (aksesorius)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
9) Saraf XII (hipoglosus)
Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi
akibat kelemahan otot motorik pada lidah.
 Pengkajian Sistem Motorik
Karakteristik utama miestania gravis adalah kelemahan dari
system motorik. Adanya kelemahan umum pada oto-otot
rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas
dan intoleransi aktivitas.
 Pengkajian Refleks
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons
normal.
 Pengkajian Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada penyakit ini biasanya
didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya
menunjukkan berkurangnya volume pengeluaran urin,
yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5(Bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miestania gravis
menurun karena ketidakmampuan menelan makanan
sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.
6) B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan
hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktivitas
perawatan diri.(Arif Muttaqin, 2008).
e. Riwayat keperawatan : kelemahan otot (meningkat dengan
pengerahan tenaga, membaik bila istirahat, tiba-tiba cepat lelah);
kesulitan menelan dan mengunyah; diplobia; tumor kelenjar timus.
f. Psikososial : usia; jenis kelamin; pekerjaan; peran dan tanggung
jawab yang biasa dilakukan; penerimaan terhadap kondisi; koping
yang biasa digunakan; status ekonomi dan penghasilan.
g. Pengetahuan klien dan keluarga : pemahaman tentang penyakit,
komplikasi, prognosa dan pengobatan; kemampuan membaca dan
belajar.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifanpola nafas yang berhubungan dengan kelemahan
otot pernafasan
2. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak
optimal
3. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan
kelemahan fisik umum, keletihan
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular,
kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral

C. Intervensi
1. Ketidakefektifanpola nafas yang berhubungan dengan kelemahan
otot pernafasan
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi
polapernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil :
- Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas
normal
- Bunyi nafas terdengar jelas
- Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
Kaji Kemampuan ventilasi untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat
mengkaji
frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi
paru-paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan
interval yang sering
dalammendeteksi masalah
pau-paru, sebelumperubahan
kadar gas darah arteri
dansebelum tampak gejala
klinik.
Kaji kualitas, frekuensi,Dan Dengan mengkaji kualitas,
kedalaman frekuensi, dankedalaman
pernapasan,laporkansetiap pernapasan, kita
perubahan yang terjadi. dapatmengetahui sejauh mana
perubahan kondisiklien.
Baringkan klien dalamposisi yang Penurunan diafragma
nyamandalam posisi duduk memperluas daerah dada
sehingga ekspansi paru bisa
maksimal
Observasi tanda-tanda vital Peningkatan RR dan takikardi
(nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru

2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan fungsi indra penglihatan


yang tidak optimal
Tujuan : Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat
dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk
menurunkan faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.
- Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk
meningkatkan keamanan
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya
Atur cara beraktivitas klien Sasaran klien adalah memperbaiki
sesuai kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, danefek
toksik. Dan yang penting
padapengguaan medikasi dengan
tepat waktuadalah ketegasan.
Evaluasi Kemampuan Menilai singkat keberhasilan dari
aktivitas motorik terapi yang boleh diberikan

3. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan


kelemahan fisik umum, keletihan
Tujuan : Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk
menghilangkan edema inflamasi dan memungkinkanpenyembuhan
aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak
memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru
normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria hasil :
- Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit
- Kemampuan batuk efektif dapat optimal
- Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya
Atur cara beraktivitas klien Sasaran klien adalah memperbaiki
sesuai kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, danefek
toksik. Dan yang penting
padapengguaan medikasi dengan
tepat waktuadalah ketegasan.
Evaluasi Kemampuan Menilai singkat keberhasilan dari
aktivitas motorik terapi yang boleh diberikan

4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan


disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular,
kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan : Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
- Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
- Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isyarat.
Intervensi Rasional
Kaji komunikasi verbal klien Kelemahan otot-otot bicara
klien krisis miastenia gravis
dapat berakibat pada
komunikasi
Lakukan metode komunikasi Teknik untuk meningkatkan
yang idealsesuai dengan komunikasimeliputi
kondisiklien mendengarkan klien,
mengulangiapa yang mereka
coba komunikasikan dengan
jelas dan membuktikan yang
diinformasikan, berbicara
dengan klienterhadap kedipan
mata mereka dan
ataugoyangkan jari-jari tangan
atau kaki untukmenjawab
ya/tidak. Setelah periode krisis
klien selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwaklien di Untuk kenyamanan yang
ruang inimengalami berhubungan dengan
gangguanberbicara, sediakan ketidakmampuan komunikasi
bel khusus bila perlu
Kolaborasi: konsultasi ke ahli Mengkaji kemampuan verbal
terapi bicara individual,sensorik, dan
motorik, serta fungsi kognitif
untuk mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Miastenia gravis ialah penyakit dengan gangguan pada ujung-ujung
saraf motorik di dalam otot yang mengakibatkan otot menjadi lekas lelah.
Otot-otot pada pergerakan berulang-ulang atau terus-menerus menjadi lelah
dan ampuh. Miastenia gravis merupakan penyakit kronis, neuromuskular,
autoimun yang bisa menurunkan jumlah dan aktifitas reseptor
Acethylcholaline (ACH) pada Neuromuscular junction.
Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi menurut
penelitian menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan dari
sirkulasi antibodi ke reseptor Ach. Tanda dan gejala klien myasthenia gravis
meliputi : Kelelahan, Wajah tanpa ekspresi, Kelemahan secara umum,
khususnya pada wajah, rahang, leher, lengan, tangan dan atau tungkai.
Kelemahan meningkat pada saat pergerakan, Kesulitan dalam menyangkut
lengan diatas kepala atau meluruskan jari, Kesulitan mengunyah, Kelemahan,
nada tinggi, suara lembut, Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata,
Kelumpuhan okular, Diplopia, Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit ;
namun berjalan dengan jari kaki, Kekuatan makin menurun sesuai dengan
perkembangan , Inkontinensia stress, Kelemahan pada sphincter anal,
Pernapasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot-otot aksesori.

B. Saran
1. Mahasiswa
setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami dan mempelajari asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien
dengan Miastenia Gravis.
2. Tenaga kesehatan
Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga kesehatan baik
primer maupum spesialis dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat untuk pasien dengan Miastenia Gravis.
3. Masyarakat
Setelah membaca makalah ini diharapkan masyarakat dapat
memahami dan mengetahui pengertian, tanda dan gejala, komplikasi dan
penatalaksanaan apa saja yang harus dilakukan secara mandiri terkait
dengan Miastenia Gravis.
DAFTAR PUSTAKA

Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.


EGC.jakarta.

Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.

Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol


16: Page: 519-534.1984.

Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological


Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.


Page: 301-305. 1991.

Nanda . 2009 - 2011 . Diagnosa Keperawatan . Jakarta : EGC

Judith, M. Wilkinson . 2007.Diagnosa Keperawatan NIC dan NOC . Jakarta :


EGC.

Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem


Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai