Anda di halaman 1dari 14

GLOMERULONEFRITIS

PENDAHULUAN

Glomerulonefritis (GN) merupakan penyakit glomerular yang sering dijumpai dalam praktik
klinik sehari-hari. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan maka GN diklasifikasikan menjadi
dua kelompok yaitu primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasar
berasal dari ginjal sendiri sedangkan GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain misalnya diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma
multipel, atau amiloidosis.
Di lndonesia GN masih merupakan penyebab utama penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun data dunia menunjukkan bahwa
diabetes merupakan penyebab yang tersering. Manifestasi klinik GN sangat bervarisi, mulai
dari kelainan urin yaitu proteinuria dan atau hematuria saja sampai dengan GN yang
berlangsung progresif cepat disertai gangguan fungsi ginjal.

DEFINISI

Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau noninflamasi pada glomerulus yang


menyebabkan perubahan permeabilitas, perubahan struktur, dan fungsi glomerulus. Data
imunopatologik dan eksperimental menyokong bahwa kerusakan glomerulus pada GN
merupakan mekanisme imunologik.

EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi GN yang bersifat nasional belum ada dan laporan dari berbagai pusat ginjal
dan hipertensi masih terbatas. Hal ini disebabkan biopsi ginjal tidak selalu dapat dilakukan
dalam menegakkan diagnosis etiologi GN. Data Perhimpunan Nefrologi lndonesia (Pernefri)
menunjukkan bahwa GN sebagai penyebab PGTA yang menjalani hemodialisis mencapai 39%
pada tahun 2000. Data mengenai GN masih terbatas dan merupakan laporan dari masing
masing pusat ginjal dan hipertensi.
Sidabutar RP dan kawan melaporkan 177 kasus GN yang lengkap dengan biopsi ginjal
dari 459 kasus rawat inap yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun. Dari 177 yang
dilakukan biopsi ginjal didapatkan 35,6% menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik,
19,2% sindrom nefritik akut, 3,9% GN progresif cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3%
proteinuria, dan 6,8% hipertensi.

PATOGENESIS

Kerusakan yang terjadi pada glomerulus tidak hanya tergantung respon imunologik awal tetapi
juga ditentukan oleh seberapa besar pengaruhnya terhadap timbulnya kelainan. lnflamasi juga
berpengaruh terhadap terjadinya kelainan pada glomerulus. Kelainan yang terjadi dapat berupa
fibrosis, kelainan destruktif atau mungkin berkembang menjadi glomerulosklerosis dan fibrosis
interstisialis.

lmunopatogenesis GN
Glomerulonefritis merupakan penyakit glomerulus akibat respon imunologik dan hanya jenis
tertentu yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh berbagai
faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespon terhadap sesuatu
kejadian. Secara garis besar dua mekanisme GN yaitu circulating immune complex (ClC) dan
terbentuknya deposit komplek imun in-situ. Pada ClC, antigen (Ag) eksogen memicu
terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk komplek imun (Ag-Ab) dalam
sirkulasi. Komplek imun akan mengaktivasi sistem komplemen dan selanjutnya komplemen
berikatan dengan Ag-Ab. Dalam keadaan normal ikatan komplemen dengan Ag-Ab bertujuan
untuk membersihkan komplek imun dari sirkulasi melalui reseptor C3b yang terdapat pada
eritrosit. Komplek imun akan mengalami degradasi dan dibersihkan dari sirkulasi pada saat
eritrosit melewati hati dan limpa. Apabila antigenemia menetap dan bersihan komplek imun
terganggu, maka komplek imun akan menetap dalam sirkulasi. Komplek imun kemudian akan
terjebak pada glomerulus melalui ikatannya dengan reseptor-Fc yang terdapat pada sel
mesangial atau mengendap secara pasif di daerah mesangium atau ruang sub-endotel. Aktivasi
sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan komplek imun pada
glomerulus.
Mekanisme pembentukan endapan komplek imun dapat terjadi secara in situ apabila
Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen dari membran basal
glomerulus (fixed-Ag) atau Ag dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen).
Alternatif lain apabila Ag non-glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anion dari
glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal.
Selain kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-
mediated immunity). Studi eksperimental membuktikan bahwa sel T dapat berperan langsung
terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik. Sel T yang
tersensitisasi (sensitized-T cells) oleh Ag eksogen dan Ag endogen yang terdapat pada
glomerulus akan mengaktivasi makrofag dan menghasilkan reaksi lokal hipersensitisasi tipe
lambat (delayed type).

Kerusakan Glomerulus pada GN


Kerusakan glomerulus tidak hanya secara langsung disebabkan oleh endapan komplek imun.
Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan komplemen
berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan
sistem komplemen dan sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa peran sel inflamasi,
dan melibatkan sel inflamasi tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula
terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sel T yang tersensitisasi.
Pada sebagian GN, endapan komplek imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus
dan menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif dan tipe sklerosing seperti GN
membranosa (GNMN) atau glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) tidak melibatkan sel
inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi
endapan, komposisi dan jumlah endapan, serta jenis Ab berpengaruh terhadap kerusakan
glomerulus.

Proses lnflamasi pada Kerusakan Glomerulus


Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh endapan
komplek imun. Proses inflamasi melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan kemokin yaitu
sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali dengan melekat dan
bergulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and rolling). Proses ini
dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada
permukaan lekosit, endotel dan trombosit. Molekul CD31 atau PECAM-1 (platelet-endothetial
cell adhesion molecule-1) yang dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel
inflamasi. Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel
inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan
ini dimediasi oleh VLA-4 (very-late antigen 4) pada permukaan sel inflamasi dan VCAM-1
(vascular cell adhesion molecule-1) pada sel endotel yang teraktivasi. lkatan antara LFA-1
(lymphocyte function-associated antigen-l) pada permukaan sel inflamasi dan ICAM-1
(intracellular adhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih memperkuat perlekatan
tersebut. Proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel
(transendothelial migration). Pada tabel 1 disebutkan berbagai molekul adesi yang berperan
pada proses inflamasi termasuk pada GN.

Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar
dari pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar kemokin dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu kemokin- dan kemokin-β, yang berturut turut mempunyai efek kemotaktik
terhadap lekosit dan monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Pengaruh kemokin
akan menyebabkan semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses
inflamasi menjadi lebih berat.

Sel lnflamasi pada Kerusakan Glomerulus


Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus pada GN adalah lekosit
polimorfonuklear (PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk koagulasinya juga ikut
berperan pada proses inflamasi. lnfiltrasi sel inflamasi ditentukan ditempat mana terjadinya
endapan komplek imun. Endapan komplek imun di subendotel atau membran basal
glomomerulus umumnya dikaitkan dengan akumulasi lekosit yang menyolok. Endapan di
mesangium menyebabkan respon sedang, dan endapan di ruang subepitel misalnya pada
nefropati membranosa tidak melibatkan sel inflamasi.
Peran lekosit PMN dibuktikan pada GN akut paska infeksi streptokokus. Infiltrasi
makrofag pada glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN kresentik. Belakangan
dilaporkan bahwa infiltrasi makrofag pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN dan
berkaitan dengan beratnya proteinuria. lnteraksi antara makrofag dengan sel glomerulus seperti
sel mesangial, sel epitel, atau sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut teraktivasi
dan melepaskan berbagai mediator inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang
akan menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Trombosit yang lebih banyak
berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel endotel dan
sel mesangial pada GN. Trombosit dapat diaktivasi oleh komplek imun atau Ab melalui ikatan
dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel. lnteraksi ini menyebabkan agregasi
trombosit yang akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.

Komplemen pada Kerusakan Glomerulus


Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop
imunofluoresen (lF) biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemenyang rendah pada
nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptokokus akut memperkuat kaitan antara komplemen
dan GN. Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai mekanisme pertahanan humoral.
Pada GN komplemen berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula menginduksi reaksi
inflamasi. Terdapat dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan alternatif. Komplek
imun yang mengandung lgG atau lgM akan mengaktivasi jalur klasik, sedangkan aktivasi jalur
alternatif dipicu oleh komplek imun yang mengandung lgA atan lgM seperti terlihat pada
gambar 1.
Kerusakan glomerulus terjadi akibat terbentuknya fragmen komplemen aktif yang
berasal dari aktivasi sistem komplemen. Fragmen komplemen C3a, C4a, C5a bersifat
anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap lekosit. Endapan komplek
imun subepitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC (membrane attack
complex). Dalam jumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada
GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan
membentuk kolagen serta produk metabolisme asam arakidonat yang bersifat protektif.
Endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui
reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan dilepaskan berbagai
protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.

Mediator inflamasi pada kerusakan glomerulus


Mediator inflamasi yang diproduksi sel inflamasi atau sel glomerulus teraktivasi misalnya
sitokin proinflamasi, protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid berperan pada
kerusakan glomerulus. Aktivasi lekosit menyebabkan dilepaskannya granul azurofilik yang
mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan MBG. Granul
spesifik yang mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen radikal yang
berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag juga mampu melepaskan mediator inflamasi
seperti sitokin proinflamasi, PDGF (platelet-derived growth factors), TGF-β (transforming
growth factor-β) yang berperan pada patogenesis dan progresi GN.

GEJALA DAN TANDA


Manifestasi klinik penyakit glomerular merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang
terdiri dari kelainan urin asimtomatik, hematuri makroskopik, sindrom nefrotik, sindrom
nefritik, GN progresif cepat, dan GN kronik. Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan
walaupun satu gambaran klinik dapat diasosiasikan dengan berbagai jenis GN baik penyebab
maupun histopatologinya. Pada sebagian besar penyakit glomerular tidak menunjukkan gejala
khas. Gejala dan tanda misalnya proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, perubahan
ekskresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi mungkin dapat
ditemukan.
Kelainan urin asimtomatik ditandai hematuria mikroskopik dengan atau tanpa disertai
proteinuria. Hematuri mikroskopik ditandai dengan ditemukan 2 eritrosit/lpb (lapang pandang
besar) pada pemeriksaan sedimen urin dengan 3000 putaran per menit selama 5 menit atau
ditemukan eritrosit lebih dari 10x106/1. Hematuri mikroskopik dapat diikuti proteinuria non-
nefrotik (< 3.5 g/24 jam) biasanya tidak lebih dari 1.5 g/24 jam urin. Hematuri dan proteinuri
asimtomatik yang disertai silinder eritrosit lebih sering ditemukan pada GN. Hematuri
makroskopik yang diasosiasikan dengan GN biasanya tanpa keluhan sakit dan tampilan urin
berwarna kecoklatan. Kemungkinan hemoglobinuria, mioglobinuria, porfiria, dan pengaruh
makanan berwarna atau obat misalnya rifampisin perlu disingkirkan. Evaluasi urologik
diperlukan juga untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan yang lain.
Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria 3,5 g/1.73 m2/hari, edema anasarka,
hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan urin ditemukan lipiduria dan silinder
eritrosit (red cell cast). Lipiduria ditandai dengan silinder hialin berisi badan lemak oval
berwarna kecoklatan. Fungsi ginjal pada sindrom nefrotik umumnya masih normal. Pada
sindrom nefritik sebagai bukti inflamasi ditemukan hematuria dan silinder eritrosit, proteinuria,
edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Proteinuria jarang mencapai tingkat nefrotik
dan kadar serum albumin masih normal. Sindrom nefritik dapat dibedakan menjadi fokal bila
proteinuria <1.5 g/24 jam dan sindrom nefritik difus yang disertai proteinuria lebih berat tetapi
belum mencapai stadium nefrotik. Glomerulonefritis progresif cepat menunjukkan kerusakan
mendadak dan berat, ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa hari
atau minggu. Pasien menunjukkan tanda uremia akut, gambaran nefritik, dan pada biopsi ginjal
menunjukkan gambaran histologik spesifik. Glomerulonefritis kronik ditandai proteinuria
persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal progresif lambat.
ETIOLOGI

Sebagian besar etiologi GN tidak diketahui kecuali yang disebabkan oleh infeksi beta
streptokokus pada GN paska infeksi streptokokus atau akibat virus hepatitis C. Faktor
presipitasi misalnya infeksi dan pengaruh obat atau pajanan toksin dapat menginisiasi
terjadinya respon imun serupa yang menyebabkan GN dengan mekanisme sama.

DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis GN diperlukan anamnesis untuk mengetahui riwayat penyakit,


melakukan pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan penyakit
non-glomerular. lnformasi tentang riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi
nonsteroid, preparat emas organik, heroin, imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus,
dan riwayat infeksi streptokokus, endokarditis atau infeksi virus diperlukan untuk menelusuri
penyebab GN. Berbagai keganasan misalnya paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit
Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem misalnya diabetes, amiloidosis,
lupus dan vaskulitis juga diasosiasikan dengan GN.
Edema tungkai disertai edema periorbita sering merupakan gejala klinik awal GN.
Edema periorbita sampai ke dinding perut dan genital disertai penumpukan cairan di rongga
abdomen (asites) atau pleura (efusi pleura) biasanya ditemukan pada sindrom nefrotik. Akibat
hipoalbuminemia kronik seringkali didapatkan tampilan kuku terlihat pucat dan membentuk
pita berwarna putih, dan ditemukannya xantelasma dikaitkan dengan hiperlipidemia.
Kemungkinan lain penyebab timbulnya edema misalnya penyakit jantung atau sirosis hati juga
perlu disingkirkan.
Pemeriksaan urinalisis sangat penting untuk menegakkan diagnosis GN. Ditemukan
hematuria dan silinder eritrosit membuat kecurigaan kearah GN semakin besar. Morfologi
eritrosit dalam urin dapat menggambarkan darimana eritrosit berasal. Eritrosit urin dismorfik
lebih dari 60% menunjukkan eritrosit berasal dari glomerulus. Proteinuria yang ditemukan
lebih dari 1 g/24jam dapat disimpulkan juga berasal dari glomerulus. Pemeriksaan biokimiawi
misalnya gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk
membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA,
antibodi anti-GBM (glomerular basement membrane), ANCA diperlukan untuk menegakkan
diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada kecurigaan,
pemeriksaan untuk menegakkan infeksi bakteri, HlV, virus hepatitis B dan C juga diperlukan.
Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan
kelainan lain seperti obstruksi sistem pelvokalises oleh karena batu ginjal. Biopsi ginjal
diperlukan untuk menegakkan diagnosis histopatologi yang dapat digunakan sebagai pedoman
pengobatan. Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi umum
sedangkan biopsi jarunr perkutan dilakukan dengan anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak
dilakukan apabila ukuran ginjal < dari 9 cm yarg menggambarkan proses kronik.

KLASIFIKASI

Klasifikasi GN ditentukan berdasarkan gambaran, histopatologik glomerulus yang terlihat pada


biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya (MC), mikroskop imunofluoresen (MIF)
dan mikroskop elektron (ME). Klasifikasi ini tidak ideal karena satu kelainan histologik tidak
menunjukkan etiologi dan manifestasi klinis yang tertentu. Klasifikasi histopatologik GN
primer sangat bervariasi umumnya dibedakan berdasarkan perubahan yang bersifat proliferatif
dan non-proliferatif. Digolongkan GN non-proliferatif adalah GN lesi minimal (GNLM),
glomerulosklerosis fokal dan tegmental (GSFS), dan GN membranosa (GNMN) yang sering
ditemukan dengan manifestasi klinis sindrom nefrotik. Termasuk GN proliferatif adalah GN
membrano-proliferatif (GNMP), GN kresentik, nefropati lgA, nefropati lgM, dan GN
mesangio-proliferatif lain.

GN NON-PROLIFERAT!F

Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)


GNLM merupakan salah satu bentuk yang sering dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan
disebut pula sebagai nefrotik lupoid. Pada pemeriksaan MC menunjukkan gambaran
glomerulus yang normal. Endapan lg atau komplemen tidak ditemukan pada pemeriksaan Ml
sedangkan pada pemeriksaan ME menujukkan fusi atau hilangnya foat processes sel epitel
viseral glomerulus.

Glomerulosklerosis fokal dan segmental (GSFS)


Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala proteinuria masif,
hipertensi, hematuria dan sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan MC
menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi
kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan dinding kapiler mengalami kolaps.
Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komplemen C3. Glomerulus yang lain
dapat normal atau membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.

Glomerulonefritis Membranosa (GNMN)


GNMN atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Sebagian
besar kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) sedangkan yang lain dikaitkan dengan
LES, infeksi hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas,
penisilinamin, obat anti inflamasi non-steroid. Pemeriksaan MC tidak menunjukkan kelainan
berarti dan pemeriksaan MIF menunjukkan deposit lgG dan komplemen C3 berbentuk granular
pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike-like
pada MBG. Gambaran histopatologi pada pemeriksaan MC, MIF dan ME sangat tergantung
pada stadium penyakitnya.

GLOMERULONEFRITIS PROLIFERATIF

GN Membrano-Proliferatif (GNMP)
GNMP dibagi menjadi primer yang penyebabnya tidak diketahui atau idiopatik dan sekunder
akibat infeksi kronik, krioglobulinemia, dan penyakit autoimun sistemik. GNMP atau GN
mesangio-kapiler dapat bermanifestasi klinis SN dan atau sindrom nefritik akut. Pada
pemeriksaan serologi ditemukan kadar komplemen rendah atau hipokomplemenemia.
Pemeriksaan MC menunjukkan penebalan dinding kapiler dan penambahan matrik mesangial.
Pulasan periodic acid schiff (PAS) ditemukan MBG yang terbelah (splitting) 'disebut double
contour atau tram-track appearance. Pada pemeriksaan MIF memperlihatkan endapan C3,
biasanya disertai properdin, C1q, C4 dan C2. Endapan IgG dan lgM dapat pula ditemukan dan
endapan lgA sewaktu-waktu.

GN Progresif Cepat (GNPC)


GN progresif cepat mempunyai etiologi dan patogenesis yang berbeda tergantung penyebabnya
misalnya GN pasca infeksi streptokokus, sindrom Goodpasture, lupus nefritis, vaskulitis,
krioglobulinemia atau idiopatik. Gambaran histopatologik secara khas ditemukan kresen
selular pada sebagian besar glomerulus. Kresen berasal dari proliferasi sel epitel parietal dan
viseral glomerulus, infiltrasi fibroblas, limfosit dan monosit, serta endapan fibrin.
Nefropati lgA dan nefropati lgM juga dikelompokkan dalam GN proliferatif. Nefropati
lgA merupakan bentuk yang sering ditemukan pada GN mesangio-proliferatif dan juga
penyebab hematuria asimtomatik. Gambaran histopatologi pada pemeriksaan MC bervariasi
mulai dari ringan hingga kronik lanjut. Pemeriksaan MIF menunjukkan endapan lgA terutama
ditemukan pada mesangium dan sedikit pada dinding kapiler glomerulus.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan spesifik GN ditujukan pada penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat


progresivitas penyakit. Pemantauan klinik reguleri kontrol tekanan darah dan proteinuria
dengan penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors,
ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antagonists, AIIRA)
bermanfaat sebagai pengobatan konservatif. Target tekanan darah yang diharapkan < 130/80
mmHg atau < 125/75 mmHg bila proteinuria  1g/24 jam. Pengaturan asupan protein 0.8
g/kg/hari sesuai berat badan ideal ditambah kehilangan protein dalam urin 24 jam dan kontrol
kadar lemak darah dengan HMG CoA reduktase diharapkan dapat membantu menghambat
progresivitas GN.
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif pada GN masih belum seragam.
Pengobatan imunosupresif mempertimbangkan berbagai faktor misalnya diagnosis etiologi
GN, faktor pasien, efek samping, dan faktor prognosis. Kortikosteroid efektif pada beberapa
tipe GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti lL-1β atau TNF- dan aktivitas
transkripsi NFB yang berperan pada patogenesis GN. Pada GNLM kortikosteroid merupakan
pengobatan utama sebagai terapi inisial.
Pengobatan inisial GNLM menggunakan prednison 1 mg/kg berat badan/hari dengan
dosis maksimal 60- 80 mg, diberikan setiap hari selama 6-8 minggu dan diturunkan bertahap
setelah mencapai remisi komplit. Remisi komplit apabila pengobatan berhasil menurunkan
proteinuria  200 mg/hari dan kadar albumin serum meningkat mencapai > 3,5 g/L. Pada
GNLM dewasa remisi komplit dapat dicapai dalam waktu 12-16 minggu. Alternatif
pengobatan lain prednison 2 mg/kg/hari diberikan dengan dosis berselang (alternating dose),
selama 6-8 minggu. Pada GSFS pengobatan dengan kortikosteroid membutuhkan waktu
selama 4-6 bulan dan dosis prednison diturunkan setelah 3 bulan. Umumnya pengobatan GSFS
membutuhkan kombinasi dengan imunosupresif lain. Pengobatan imunosupresif tidak selalu
diperlukan pada GNMN karena remisi spontan dapat terjadi. Pengobatan konservatif dilakukan
dengan menggunakan ACE-i atau AIIRA pada pasien progresif ringan yang ditandai
proteinuria < 4 g/24 jam. Data klinis menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak efektif sebagai
monoterapi pada GNMN.
Pengobatan lanjutan dengan kombinasi kortikosteroid dan imunosupresif lain
diperlukan pada GN yang resisten dan tergantung steroid atau kambuh berulang.
Siklofosfamid, klorambusil, dan azatioprin diketahui mempunyai efek antiproliferasi dan dapat
menekan inflamasi glomerulus. Siklosporin mulai banyak digunakan pada pengobatan GN.
Apabila kortikosteroid merupakan indikasi kontra atau sikloposfamid gagal mencapai remisi,
siklosporin dapat direkomendasikan penggunaannya. Mofetil mikofenolat yang terbukti efektif
pada nefritis lupus juga mulai banyak digunakan pada pengobatan GN primer.
Sikloposfamid dosis 2-3 mg/kg/hari atau kombinasi dengan prednison dosis rendah
dapat digunakan sebagai pengobatan imunosupresif lanjutan pada GNLM. Apabila pengobatan
tersebut gagal mencapai remisi, siklosporin merupakan pilihan terapi dengan dosis antara 2
sampai 5 mg/kg/hari. Mofetil mikofenolat merupakan alternatif pengobatan pada GNLM yang
resisten steroid atau kambuh berulang dan dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g/han dalam 2
kali pemberian setiap hari. Pengobatan GSFS dengan sikloposfamid dapat mencapai 51%
remisi komplit dan 23% remisi parsial. Pengobatan kombinasi sikloposfamid dan prednison
tidak memberikan hasil yang berbeda apabila dibandingkan penggunaan obat tunggal.
Siklosporin dapat menggantikan steroid pada GSFS yang resisten dan dapat mengurangi
proteinuria. Kombinasi siklosporin dan prednison dosis rendah sering pula digunakan pada
pengobatan GSFS. Data mofetil mikofenolat pada pengobatan GSFS masih terbatas tetapi
remisi dapat dicapai dalam 6 bulan pengobatan dan tanpa pengaruh toksisitas pada ginjal.
Pengobatan GNMN dengan kombinasi prednison dan siklofosfamid atau klorambusil
berhasil mempertahankan fungsi ginjal selama satu tahun. Pasien yang resisten steroid,
kombinasi siklosporin dan prednison dosis rendah mencapai remisi komplit 75% dalam waktu
26 minggu. Kombinasi mofetil mikofenolat dan prednison dapat berhasil mengurangi
proteinuria pada 61% pasien. Penggunaan rituksimab, suatu antibodi monoklonal tehadap
antigen CD20 yang berasal dari sel B mulai banyak dilaporkan. Rituksimab dengan dosis 375
mg/m2 diberikan seminggu sekali selama 4 minggu berturut atau dosis 1 gr dua kali dengan
interval 2 minggu dilaporkan berhasil menurunkan proteinuria. Walaupun data klinis
menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan proteinuria, penggunaan rituksimab saat ini
masih dalam tahap penelitian.

KOMPLIKASI
Pada GN dengan gejala SN yang disertai proteinuria masif sehingga menyebabkan
hipoalbuminemia dan kadar kolesterol yang tinggi dalam darah merupakan faktor penyebab
timbulnya komplikasi. Hiperkoagulasi dengan berbagai akibatnya dapat juga ditemukan pada
SN yang disebabkan oleh GN tertentu. Gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada GN yang
disertai SN berat. Pengobatan imunosupresi yang tidak berhasil mencegah progresivitas GN
dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal jarang terjadi pada
GNLM dan lebih sering ditemukan pada GSFS dan GNMN yang dapat berkembang menuju
ke PGTA. Kerentanan terhadap timbulnya infeksi sebagai komplikasi akibat penggunaan
imunosupresi pada pengobatan GN perlu untuk diperhatikan.

PENCEGAHAN

Pencegahan primer tidak dapat dapat dilakukan karena etiologi GN secara pasti tidak diketahui.
Kecurigaan terhadap GN dengan ditemukannya edema periorbita, proteinuria, atau hematuria
pada pemeriksaan urin diharapkan dapat ditegakkan diagnosis GN lebih awal dan dilakukan
pengobatan segera untuk mencegah perkembangan penyakit. Pencegahan sekunder ditujukan
untuk menghambat progresivitas penyakit menuju PGTA sedang pencegahan tersier dilakukan
untuk mencegah kecacatan atau menghambat masuknya ke program pengobatan pengganti
ginjal.

PROGNOSIS

Jejas glomerulus yang terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali sehingga menyebabkan
fibrosis glomerulus akibat proses inflamasi. Pada GN bentuk akut biasanya membaik dengan
sedikit atau tanpa kerusakan ginjal yang permanen. Kekambuhan sering terjadi pada GNLM
walaupun tidak sesering pada anak-anak walaupun biasanya fungsi ginjal masih dalam keadaan
normal. Pada GSFS dalam waktu 5 sampai 20 tahun dapat terjadi progresivitas penyakit
menuju PGTA. Suatu laporan menyebutkan 50% kasus GSFS berkembang menjadi PGTA
dalam waktu 5 tahun. Perbaikan spontan dapat terjadi pada sebagian GNMN walaupun
sebagian yang lain mempunyai prognosis buruk.

REFERENSI
Arend WP. lnterleukin-1 receptor antagonist. A new member of minterleukin- 1 family. J Clin
lnvest 1991;88:1445-51.
Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis evidence-based
recommendations. Kidney lnt 1995;55:S3-S6.
Becker DJ. Minimal change disease. Nephrology Rounds issue 8, www.nephrologyrounds.org
Bockenstedt LK, Goetzl EJ. Constituents of human neutrophils that mediate enhanced
adherence to surfaces. J Clin Invest 1980;65:1372-80.
Bomback AS, Derebail VK, McGregor jG, Kshirsagm RJ, Nachman PH. Rituximab therapy
for membranous nephropathy: A systematic review. CJASN 2009;4:734-44,

Anda mungkin juga menyukai