Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu gangguan metabolik yang


merupakan penyebab utama mortalitas di seluruh dunia1. Penelitian epidemiologi
saat ini menunjukkan kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi
DM tipe-2 diberbagai penjuru dunia2. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita DM yang menjadi salah satu
ancaman kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak
2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation
(IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 9,1
juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035, mengacu pada pola
pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194
juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun3.
Vitamin D telah mendapatkan perhatian yang meningkat di berbagai
penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Ekspresi reseptor vitamin D (VDR)
yang mendasari beragam efek vitamin D memberikan dasar mekanisme hubungan
antara vitamin D dengan kekurangan dan sejumlah gangguan, termasuk diabetes,
penyakit autoimun, penyakit hati, penyakit kardiovaskular dan kanker. Bukti
epidemiologi menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D dikaitkan dengan
peningkatan risiko terkena diabetes. Prevalensi penderita diabetes yang
kekurangan vitamin D sekitar 70-85% dari populasi umum, 47% wanita dan 36%
laki-laki mempunyai kadar vitamin D yang menurun sesuai pertambahan usia.
Beberapa penelitian telah dilakukan pada populasi heterogen, memiliki desain dan
durasi yang berbeda, dengan berbagai macam jenis dan dosis rejimen vitamin D.4
Tujuan dari referat ini adalah menguraikan berbagai temuan yang
mendukung. Sehingga memberi gambaran peran vitamin D dalam manajemen
pencegahan atau perubahan metabolisme glukosa termasuk pengaruhnya terhadap
berbagai komplikasi yang diakibatkan oleh diabetes.
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus.


2.1.1. Definisi dan Klasifikasi.
Diabetes merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1
Klasifikasi Diabetes Mellitus dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologi DM.1

DM tipe 1 karena adanya penghancuran sel β secara autoimun,


menyebabkan kekurangan insulin secara absolut. Sementara DM tipe 2 akibat
hilangnya sekresi insulin sel β secara progresif sehingga terjadi resistensi insulin
yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Dalam keadaan normal para
penderita DM tipe 2 memiliki produksi insulin yang cukup, tetapi dengan
sensitivitas yang rendah. Rendahnya sensitivitas insulin menyebabkan reseptor
insulin gagal membuka sehingga menyebabkan glukosa gagal untuk diserap oleh
tubuh dan menumpuk banyak di aliran pembuluh darah yang disebut dengan
resistensi insulin.1,3
3

2.1.2. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 1.


Adanya dua atau lebih autoantibodies merupakan prediktor klinis
hiperglikemia dan diabetes pada pasien diabetes tipe 1. Tingkat perkembangan
tergantung pada usia pertama kali terdeteksinya antibodi, jumlah antibodi,
spesifisitas antibodi dan titer antibodi.3

2.1.3. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2.


Patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berdasarkan penelitian DeFronzo tahun 2009, digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. The Ominus Octet (Defronzo).1,5


1. Kegagalan sel beta pancreas.
Fungsi sel β menghilang 80% saat terdiagnosa DM, sesuai hipotesis bahwa
resistensi insulin disebabkan kegagalan sel β pankreas. Deposisi lemak dalam
sel β menyebabkan gangguan sekresi insulin dan kegagalan sel β. Hipersekresi
islet amyloid polypeptide menyebabkan kegagalan sel β secara progresif.5
2. Liver.
Deposisi lemak pada liver menyebabkan resistensi insulin. Penderita DM tipe-2
memproduksi glukosa basal oleh liver (HGP = hepatic glucose production).
Faktor lain yang menyebabkan peningkatan HGP adalah peningkatan
glukagon, lipotoksisitas, glukotoksisitas.5
4

3. Otot.
Penderita DM tipe-2 mengalami gangguan kerja insulin di intramioselular,
akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen dan penurunan oksidasi glukosa.1,5.
4. Sel lemak.
Disfungsi sel lemak menyebabkan produksi adipositokin yang memprovokasi
resistensi insulin, inflamasi dan aterosklerosis. Sel lemak resisten terhadap
antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar
asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) plasma. Peningkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis dan resistensi insulin liver dan otot. FFA
juga mengganggu sekresi insulin. Gangguan FFA disebut lipotoxocity. Sel
lemak dalam jumlah besar resisten terhadap insulin. Saat kapasitas cadangan
adiposit bertambah banyak, terjadi overflow lipid ke dalam otot, liver dan sel β,
menyebabkan resistensi insulin hepatik dan otot. Lipid overflow ke pembuluh
darah arteri, menyebabkan peningkatan aterosklerosis.5
5. Usus.
GLP 1 di sekresi oleh sel L di usus kecil distal dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau gastric inhibitory polypeptide (GIP) oleh sel
K di usus kecil proksimal. Glukosa oral memicu respon insulin lebih besar
dibanding intravena.5 Hal ini disebut efek incretin yang diperankan hormon
GLP-1 dan GIP. Penderita DM tipe-2 mengalami defisiensi GLP-1 dan resisten
GIP. Incretin dipecah oleh enzim DPP-4, sehingga bekerja dalam beberapa
menit. Saluran pencernaan berperan menyerap karbohidrat melalui enzim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida.1,5
6. Sel Alpha Pancreas.
Mensintesis glukagon saat puasa, dimana kadar plasma akan meningkat dan
menyebabkan HGP basal juga meningkat.1,5
7. Ginjal.
Berperan dalam patogenesis DM tipe-2. 90% glukosa terfiltrasi diserap
kembali oleh SGLT 2 pada tubulus proksimal. 10% diabsorbsi oleh SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga glukosa di urine tidak ada. Obat
5

inhibitor SGLT-2 akan menghambat penyerapan kembali glukosa sehingga


dikeluarkan lewat urine. 1,5
8. Otak.
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Individu obes yang DM
maupun non-DM, terjadi hiperinsulinemia akibat kompensasi resistensi insulin,
sehingga asupan makanan meningkat.5

2.2. Vitamin D.
2.2.1. Sintesis dan Mekanisme Kerja Vitamin D.
Vitamin D diproduksi kulit dalam bentuk 7-dehydrocholesterol menjadi
previtamin D3, kemudian dikonversi menjadi vitamin D3 dengan bantuan paparan
sinar ultraviolet pada kedalaman 280-310 nm, antara jam 8.00-10.00 pagi dan
16.00-18.00 sore. Previtamin D3 diolah menjadi vitamin D3 dan selalu seimbang
antara 5,94% previtamin D3 dan 94,06% vitamin D3.6
Manusia juga bisa menghasilkan 80% vitamin D harian meski tidak
terpapar langsung sinar matahari. Kapasitas menghasilkan jumlah vitamin D tidak
sama dibanding paparan sinar ultraviolet B (UVB). Efisiensi vitamin D
bergantung pada intensitas sinar matahari, jumlah kulit yang terpapar, durasi
paparan sinar UVB, sudut zenith dari matahari, ketebalan kulit dan warna kulit.7
Paparan sinar matahari yang berlebihan menyebabkan previtamin D3 dan
vitamin D3 menjadi produk tidak aktif. Vitamin D2 dan vitamin D3 dari sumber
makanan dimasukkan ke dalam ciklomicrons, diangkut sistem limfatik ke dalam
sirkulasi vena. Vitamin D dibuat di kulit dan disimpan dalam lemak. Vitamin D
dalam sirkulasi terikat pada protein binding di hati kemudian diubah menjadi 25-
hydroxyvitamin [25(OH)D]. 25(OH)D menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxy
vitamin D [1,25(OH)2D]. Serum fosfor, kalsium, faktor pertumbuhan fibroblas
(FGF-23) dan faktor lainnya dapat meningkatkan atau menurunkan produksi
ginjal menghasilkan 1,25(OH)2D. Umpan balik 1,25(OH)2D mengatur dan
mengurangi sintesis serta sekresi hormon paratiroid (PTH) di kelenjar paratiroid.
1,25(OH)2D meningkatkan ekspresi 4-OHase dan mengkatabolis 1,25(OH)2D dan
25(OH)D menjadi asam kalsitroat yang tidak larut dalam air yang kemudian
6

diekskresikan kedalam empedu. Sintesis dan metabolisme vitamin D didalam


tubuh dapat dirangkum dalam sebuah gambaran berikut.7

Gambar 2.2. Representasi Metabolisme Vitamin D Dalam Tubuh.7

2.2.2. Sumber Vitamin D.


Makanan yang banyak mengandung vitamin D adalah ikan, minyak ikan,
kuning telur, hati, jamur dan ergosterol. Makanan yang difortifikasi seperti susu,
juice, yogurt, butter, keju, sereal juga mengandung vitamin D. Multivitamin D
berisi vitamin D2 / D3. Preparat bentuk kapsul dan tablet mengandung 50.000 IU
vitamin D2. Sementara vitamin D3 banyak ditemukan berisi 1000 IU. Kemudian
formulasi cairan pediatrik (Drisdol) mengandung 8.000 IU/ml.7

2.2.3. Vitamin D Receptor (VDR).


Vitamin D mengerahkan aksinya melalui VDR, reseptor nuklear yang
terdapat di hampir semua sel berinti. Model ekspresi gen yang diregulasi oleh
hormon vitamin D berinteraksi dengan reseptor vitamin D (VDR) membutuhkan
peran reseptor retinoid (RXR). Protein berikatan dengan elemen vitamin D
7

sepanjang target gen, termasuk regio promotor. Elemen ini merupakan hexamers
yang tidak sempurna dan dipisahkan oleh 3 nukleotida yang tidak spesifik. Faktor
yang terlibat termasuk histone acetylase (HAT), Drip protein, CBP/p300, PCAF
dan SRCs. Meskipun secara alami ditemukan pada promoters, studi terbaru
menunjukkan bahwa element tanpa gen terletak jauh dari promoter. Ekspresi atau
represi gen reseptor vitamin D terhadap 1,25-(OH)2D3 diuraikan pada gambar
2.3.6,7

Gambar 2.3. Ekspresi Gen yang Diregulasi Reseptor Vitamin D (VDR).6,7

2.2.4. Defisiensi Vitamin D.


Kekurangan vitamin D meningkatkan risiko penyakit kronis. Kadar
vitamin D 25(OH)D > 30 ng/ml direkomendasikan untuk kesehatan dan
disarankan minimal 40 ng/ml.7
Berdasarkan beberapa penelitian, 100 IU vitamin D2 / D3 dikonsumsi
setiap hari minimal 2 bulan menaikkan kadar darah 25(OH)D menjadi 1 ng/ml.
Dewasa sehat menerima 1.000 IU vitamin D2 / D3 setiap hari selama 3 bulan,
akan menaikkan kadar 25(OH)D darah sebesar 10 ng/ml. Jadi, dengan tidak
adanya paparan sinar matahari, 2.000-3.000 IU vitamin D perhari dibutuhkan
sebagai asupan bagi anak-anak dan dewasa dalam mempertahankan kadar vitamin
D diatas 30 ng/ml. Defisiensi vitamin D didefinisikan bahwa kadar 25(OH)D < 20
ng/ml, insufisiensi 21-29 ng/ml, dan kecukupan ≥ 30 ng/ml. Suplementasi vitamin
D bertujuan untuk mencapai dan memelihara konsentrasi 25(OH)D optimal tanpa
8

efek samping. Dilaporkan 50% 25(OH)D-1a-hydroxylase aktivasi tercapai bila


konsentrasi 25(OH)D mendekati 40 ng/mL (100 nmol/L).7,8

2.2.5. Kebutuhan Vitamin D yang Dianjurkan.


American dan Canadian Pediatric Association merekomendasikan 400
IU/hari pada bayi untuk kesehatan tulang dan mencegah rakhitis. Bayi dan anak
kecil membutuhkan cairan yang mengandung 8.000 IU vitamin D2/ml. Untuk
anak yang lebih tua dan dewasa, ada kapsul vitamin D yang mengandung minyak
50.000 IU vitamin D2. 50.000 IU vitamin D2 1xseminggu selama 8 minggu dapat
mengatasi kekurangan vitamin D. Dosis vitamin D diikuti oleh 50.000 IU vitamin
D2 setiap 2 minggu. Sampai 5 tahun menggunakan rejimen ini dan kebanyakan
pasien memiliki kadar vitamin D antara 30-50 ng/ml dalam 2-3 bulan setelah
memulai pengobatan. Bagi pasien yang memiliki kadar 25(OH)D > 30 ng/ml
untuk mempertahankannya diberikan 50.000 IU vitamin D2 setiap 2 minggu
sekali. Bagi neonatus yang kekurangan vitamin D, menerima rata-rata 1.000 IU
vitamin D/hari sampai kadar darah > 30 ng/ml.8
Institute of Medicine (IOM) USA merekomendasikan 10-15 μg vitamin
D3 (400-600 IU) untuk anak dan 15-20 μg (600-800 IU) untuk dewasa dalam
mencegah kekurangan vitamin D. Rekomendasi ini berbeda dengan Endokrin
USA Society dimana kadar 25(OH)D dicapai > 30 ng/mL (>75 nmol/L) atau
kisaran 40-60 ng/mL (100-150 nmol/L). Bayi hingga 1 tahun membutuhkan 400-
1000 IU/hari (10-25 μg), anak di atas 1 tahun 600-1000 IU/hari (15-25 μg) dan
dewasa 1500-2000 IU/hari (37,5-50 μg). Dewasa gemuk (BMI > 30 kg/m2) dosis
vitamin D harian ditetapkan sebagai 3x dosis yang dianjurkan. Batas aman 5.000
IU per hari (ada yang berpendapat 10.000 IU dan toksisitas >120 ng/mL.
Kebutuhan maksimal 40-60 ng/ml dengan vitamin D2 50.000 IU setiap 2 minggu
selama 6 tahun tanpa terjadi toxicitas. Sehingga, keamanan dosis sampai 5.000 IU
sehari terjamin. Cara terbaik mendapatkan vitamin D melalui paparan sinar
matahari. Populasi rentan yang tidak mampu mendapatkan paparan sinar matahari
cukup, diberikan suplemen 1 kapsul vitamin D3 50.000 IU, setiap 2 minggu
sekali.9
9

Tabel 2.2. Rekomendasi Pemberian Vitamin D Tanpa Efek Merugikan.9


Usia Toleransi Limit
Neonatus ( lebih dari 1 bulan) 0- 1000 IU/hari (25 µg/hari)
Bayi dan anak usia 1 bulan-10 tahun 1000-2000 IU/hari (50 µg/hari)
Anak dan remaja usia 11-18 tahun 2000-4000 IU/hari (100 µg/hari)
Dewasa dan usia tua 4000 IU/hari (100 µg/hari)
4000-10.000 IU/hari (250 µg/hari)
Wanita Hamil 1500-2000 IU/hari (50 µg/hari)

2.2.6. Peranan Vitamin D.


Vitamin D mempunyai bukti terhadap manfaat kesehatan extra-skeletal
yang tidak terbantahkan. 25(OH)D3 memiliki efek fisiologis dalam jalur endokrin,
autokrin dan parakrin, terhadap peran afinitas protein binding vitamin D, masa
paruh sirkulasi, transformasi metabolik enzim dan aksi biologis pada jaringan
yang mengalami aktifitas fisiologis. Bermanfaat untuk menurunkan risiko kanker,
autoimun (multiple sclerosis, diabetes tipe1), asma dan mengi berulang, CVD dan
stroke, SLE, dermatitis atopik, disfungsi neurokognitif (alzheimer, autisme),
penyakit menular (influenza, tuberkulosis), komplikasi kehamilan, diabetes tipe2,
osteoporosis, rakhitis, osteomalacia, nyeri tulang, lemah otot, fraktur, depresi serta
penyebab kematian. Hubungan ini diuraikan gambar 2.4.10

Gambar 2.4. Hubungan Defisiensi Vitamin D dengan Resiko Penyakit.10


10

Selain metabolisme kalsium-fosfat dan mineralisasi tulang, manfaat


pleotropik 1,25(OH)2D terdapat juga dalam berbagai organ. Produksi vitamin D
diikuti oleh pengikatan terhadap VDR, bertanggung jawab atas upregulasi sekitar
2000 gen yang terlibat dalam berbagai jalur metabolisme dan jalur non-kimia.
Manfaat vitamin D 1,25(OH)2D telah terbukti memodulasi pertumbuhan dan
diferensiasi seluler, meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan aktivitas limfositik
serta merangsang produksi insulin. Temuan ini membantu menjelaskan vitamin D
dan hubungannya dengan pengurangan risiko beberapa penyakit.11
Vitamin D menunjukkan kapasitas imunomodulator yang kuat, dimana
mendukung perannya dalam memerangi bakteri, dan mencegah penyakit
autoimun dan peradangan kronis. Studi mengungkapkan bahwa vitamin D
memberikan perlindungan terhadap infeksi saluran pernafasan sehingga
menyebabkan penurunan penggunaan antibiotik.12
Target lain vitamin D adalah sistem kardiovaskular. Studi kardiovaskular
meneliti bahwa ketebalan media intima karotid (IMT) penanda aterosklerosis,
berkorelasi dengan faktor risiko kardiovaskular dan memprediksi kardiovaskular
di masa dewasa. Diperkirakan dengan meningkatnya IMT di masa dewasa akan
terjadi kekurangan vitamin D (<20 ng/mL, <50 nmol/L).13
Vitamin D dapat menurunkan tekanan darah dengan mengatur sistem renin
angiotensin. Studi menunjukkan bahwa metabolisme vitamin D pada sel otot
polos endotel, kardiomiosit, vaskular. Rendahnya kadar 25(OH)D berhubungan
dengan hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi vaskular dan aktivasi sistem renin-
angiotensin. Vitamin D mengurangi kekakuan dan disfungsi vaskular.14
Suplemen vitamin D direkomendasikan bagi semua anak dengan epilepsi
untuk mencegah hipovitaminosis D. Penggunaan obat antiepilepsi jangka panjang
menyebabkan defisiensi vitamin D dan merupakan faktor risiko terjadinya
epilepsi bagi anak-anak. Suplemen vitamin D dan paparan terhadap sinar matahari
mengurangi prevalensi terjadinya epilepsi pada anak yang berisiko tinggi.15
Dan banyak berbagai penyakit kronis lainnya dimana vitamin D cukup
berperan untuk mencegah terjadinya progesivitas yang berkelanjutan.
11

BAB 3
PERANAN VITAMIN D PADA
DIABETES MELLITUS DAN KOMPLIKASINYA

Reseptor Vitamin D untuk 1,25(OH)2D ditemukan dalam sel β pankreas


penghasil insulin, organ target penghasil insulin lainnya (seperti hati, otot rangka
dan jaringan adiposa), serta di semua sel sistem imun tubuh. Selain itu, makrofag,
sel dendritik, limfosit T, dan limfosit B juga dapat mensintesis 1,25(OH)2D serta
berbagai jenis sel dalam hati, otot dan jaringan adiposa. 1,25(OH)2D
meningkatkan fungsi sel β dan meningkatkan sensitivitas insulin jaringan target.
1,25(OH)2D melindungi serangan sel β dari imun yang merugikan. Secara
langsung oleh aksinya pada sel β tetapi juga secara tidak langsung pada sel imun
yang berbeda, termasuk makrofag inflamasi, sel dendritik, dan berbagai sel T.
Target aktif vitamin D dalam perlindungan dan pencegahan terhadap diabetes tipe
1 dan tipe 2 diuraikan pada gambar 3.1.16

Gambar 3.1. Target Aktif Vitamin D terhadap T1DM dan T2DM.16


12

3.1. Diabetes Tipe 1.


Vitamin D merupakan faktor penting dalam mengurangi risiko diabetes
tipe 1 (T1DM), terkait autoimunitas dan lingkungan terbentuknya T1DM. Tidak
ada terapi atau penyembuhan untuk mencegah terjadinya T1DM. Namun, dengan
peningkatan asupan vitamin D dianggap sebagai salah satu hal yang paling
menjanjikan.17
Kekurangan vitamin D pada awal kehidupan dikaitkan dengan risiko
T1DM yang lebih tinggi di masa dewasa. Data meta-analisis mendukung
suplemen vitamin D selama masa 1 tahun kehidupan sejak ibu hamil akan
mengurangi angka kejadian T1DM. Meski belum dipelajari secara rinci,
kemungkinan suplemen vitamin D pada tahap awal penyakit, dapat mencegah
kerusakan sel β.18

3.1.1. Mekanisme Vitamin D pada Diabetes Tipe 1.


Inflamasi dari sel CD8+ dan CD4+, limfosit T, limfosit B, makrofag, sel
killer ditemukan pada islet Langerhans pasien T1DM yang lama. Onset penyakit
didahului oleh peradangan asimtomatik dari sekresi insulin sel β, autoantibodi
antigen spesifik yang dideteksi diabetes. Seperti pada penyakit autoimun lainnya,
respon T-sel dan autoantibody diarahkan melawan beberapa antigen sendiri.
Dengan berkembangnya aktivasi autoimun dari awal ke keadaan kronis, jumlah
autoantigen islet yang ditargetkan oleh sel T dan autoantibodi sering meningkat.
Gangguan polarisasi antara T helper tipe 1 (Th1) dan Th2 terhadap upregulasi
diyakini menjadi pusat patogenesis diabetes tipe 1. Penelitian in vitro dan
percobaan hewan menunjukkan bahwa calcitriol mempengaruhi aktivitas sel-T,
yang mempengaruhi berbagai tahap proses autoimun yang menyebabkan T1DM.
Secara in vitro, calcitriol menghambat proliferasi sel T dan menurunkan produksi
Th1, sitokin IL-2 dan INF-γ. Selanjutnya bukti menunjukkan bahwa kalsitriol
(atau analoginya) menekan aktivasi sel Th1 melalui diferensiasi dan pematangan
sel dendritik atau dengan meningkatkan fungsi sel T supressor.19
Mekanisme lain mencakup pengaruh terhadap pengurangan predisposisi
inflamasi T1DM dan pengurangan risiko diabetes melalui efek langsung calsitriol
13

pada sekresi insulin di sel β. Setelah aktivasi autoimun, radikal bebas yang
diproduksi oleh makrofag dan sel T akan berkontribusi pada disfungsi dan
kematian sel β.19
Patogenesis vitamin D terhadap imun dan sel β pada T1DM diuraikan
pada gambar 3.2. Sel β dan berbagai sel imun mengekspresikan reseptor
1,25(OH)2D yang menghambat ekspresi MHC dan costimulator molekul, dimana
vitamin D secara tidak langsung menggeser CD4+ dari proinflamasi menjadi anti
inflamasi, dan secara langsung memodulasi respon sel T dengan menghambat
sitokin Th1 dan Th17 dengan upregulasi sel Th2. Sehingga mengurangi infiltrasi
pankreas oleh Th1 dan Th17.20

Gambar 3.2. Patogenesis 1.25(OH)D pada Sistem Imun dan Sel β Pankreas T1DM.20

3.1.2. Eksperimen Pada Hewan.


Penelitian calsitriol dalam mencegah diabetes pada tikus NOD
dibuktikan dengan pemberian vitamin D yang cukup akan melindungi hewan
14

jantan dan betina. Menunjukkan adanya perkembangan diabetes dihentikan oleh


analog vitamin D bahkan setelah dimulainya serangan autoimun, dengan
perawatan yang panjang memberikan hasil terbaik. Tidak ada onset insulitis atau
progresivitas diabetes yang diubah pada hewan yang kekurangan reseptor vitamin
D, meskipun terdapat cacat pada kedua imunitas bawaan dan adaptif. Hal ini bisa
digunakan untuk mempertanyakan peran vitamin D dalam perkembangan diabetes
pada tikus NOD, contoh dimana kekurangan reseptor menghasilkan efek yang
berbeda dibandingkan reseptor dengan kehilangan ligan (seperti dalam kasus
kekurangan vitamin D) dan menyimpulkan bahwa kekurangan vitamin D
menyebabkan diabetes baik pada tikus maupun pada manusia.21
1,25(OH)2D3 dapat memperbaiki diabetes yang diinduksi oleh STZ
(Streptozotocin) pada hewan penelitan. Saat lesi pankreas terjadi dan pemberian
vitamin D dapat mengurangi terjadinya kuantitas insulin yang dibutuhkan dalam
mengobati hewan yang diabetes. Selanjutnya salah satu mekanisme kerusakan
yang diakibatkan adalah memperbaiki kontrol glukosa darah. Mekanisme yang
ditimbulkan pada sel beta pankreas dapat menyembuhkan kerusakan akibat
sitokin, memperbaiki fragmentasi DNA, menetralisasi radikal bebas atau
neogenesis islet.22

3.1.3. Studi Pada Manusia.


Studi pertama tentang hubungan antara suplementasi vitamin D pada
masa kanak-kanak dengan risiko diabetes dilakukan EURODIAB. Berkurangnya
risiko 33% terhadap berkembangnya T1DM dengan pemberian suplemen vitamin
D selama 1 tahun pertama. Didukung oleh temuan meta-analisis dengan studi case
kontrol. Pemberian suplemen vitamin D pada bayi (dosis berapapun) berisiko
rendah terjadinya diabetes tipe 1 adalah signifikan.23
Penelitian pada ibu yang mengalami T1DM dengan menggunakan
suplemen minyak ikan cod selama kehamilan menyebabkan berkurangnya
keturunan risiko diabetes tipe 1. Temuan mengenai efek suplementasi vitamin D
yang lebih tinggi selama kehamilan mengurangi risiko diabetes pada anak yang
dilahirkan.24 Pemberian vitamin D pada masa bayi (penurunan suplementasi
15

hampir 90%) risiko diabetes meningkat 2x lipat. Pada studi case-control


disebutkan bahwa bayi yang telah menerima minyak ikan cod memiliki risiko
rendah diabetes tipe 1.25
Ibu tertentu yang mempunyai VDR SNPs spesifik mempunyai hubungan
antara genotype dengan konsentrasi serum 25(OH)D. Adanya hipovitaminosis D
dapat mempengaruhi lingkungan in utero dan pembentukan janin menuju awal
T1DM. Penelitian terbaru menunjukkan berkurangnya kejadian autoantibodi
spesifik pada keturunan diabetes dengan pemberian vitamin D yang relatif
tinggi.26
Pemberian 25(OH)D yang lebih tinggi pada anak dan remaja dengan
T1DM akan memberikan kontrol glikemik yang stabil dan lebih baik. Penelitian
telah membuktikan bahwa pemberian suplemen vitamin D selama 3 bulan terapi
4000 IU/hari dengan tambahan calcium suplementasi oral dengan dosis 50
mg/kg/hari akan mempengaruhi glikemik kontrol dengan menurunnya
hemoglobin terglikasi (HbA1c) pasien T1DM, sementara kebutuhan insulin harian
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.27
Penelitian juga membuktikan pada anak yang memiliki resiko genetik
islet autoimun terhadap T1DM setelah diberikan probiotik dengan vitamin D
selama 1- 2 tahun pertama ternyata tidak terjadi perkembangan kearah T1DM.28

3.2. Diabetes Militus Tipe 2.


Beberapa penelitian observasional telah melaporkan efek vitamin
25(OH)D dalam mengurangi risiko diabetes tipe 2 (T2DM). Studi kohort
melaporkan bahwa pasien dengan serum 25(OH)D > 29 ng/ml mengalami
penurunan 20% - 50% risiko berkembangnya T2DM. Penelitian juga
menunjukkan bahwa pasien dengan kadar serum > 40 ng/ml memiliki nilai
terendah untuk kejadian T2DM. Meskipun demikian, ketika seseorang menderita
T2DM, vitamin D mungkin tidak terukur pada perjalanan penyakit kecuali
beberapa pengurangan resistensi insulin.29
Patogenesis efek vitamin D pada T2DM diuraikan pada gambar 3.3.
Bahwa vitamin D dalam hal ini 1,25(OH)2D dapat mengurangi disfungsi Sel β
16

pankreas dengan memperbaiki produksi insulin dan viabilitas islet serta


meredam terjadinya inflamasi dalam pankreas. Vitamin D juga mengcounter
aktivitas resisten insulin yang terjadi.20 ,29

Gambar 3.3. Patofisiologi Efek Vitamin D pada T2DM.20


Kemudian selain itu, penggunaan jangka panjang vitamin D secara
optimal dengan konsentrasi yang tetap sejak awal kehidupan sejak anak-remaja
usia 3-18 tahun dikaitkan dengan berkurangnya risiko terjadinya T2DM. Hal ini
juga menunjukkan suatu strategi hemat biaya pada dewasa dan eldery rentan.29

3.2.1. Peranan Vitamin D Sebagai Signaling di Pankreas.


Hubungan antara hipovitaminosis D dan diabetes didukung oleh deteksi
VDR pada sel β pankreas. Penelitian menyebutkan bahwa identifikasi Nuclear
Hormon Reseptor (NHR) pada sel endokrine pankreas tikus dan manusia
menunjukkan potensial target terapi terhadap fisiologi islet, walaupun perlu
penelitian lanjut untuk mencari manfaat dari NHR ligands dan genetik dalam
mengubah protein strain tikus pada fisiologi islet.30
VDR telah diidentifikasi dalam sel β pankreas dalam memodifikasi
tanggapan insulin terhadap beban glukosa dan secara langsung melalui stimulasi
sekresi insulin. Hewan tikus yang tidak memiliki VDR secara fungsional
17

menunjukkan penurunan sekresi insulin sebesar 60% setelah pengambilan glukosa


sementara massa sel β, struktur dan neogenesis islet adalah normal.31
VDR digunakan sebagai faktor kritis pada pertahanan dan fungsi sel β
pankreas dalam mengaktivasi peningkatan homeostasis glukosa. Pada penelitian
menunjukkan hubungan VDR dengan protein BRD antara BAF dan PBAF, yang
merupakan terapi untuk mensupresi inflamasi melalui aktivasi reseptor pada sel β
dengan merombak cromatin terkait VDR. Suatu lisin asetat dalam VDR yang
masing-masing berhubungan langsung ke protein bromodomain BRD7 dan BRD9
ke PBAF dan meremodeling kompleks kromatin BAF. Secara mekanis, ligan
mempromosikan hubungan VDR dengan PBAF untuk perubahan genom dalam
kromatin yang dihasilkan dalam respons anti-inflamasi. Farmakologis
penghambatan BRD9 mempromosikan PBAF-VDR mengembalikan fungsi sel β
dan memperbaiki hiperglikemia pada model murine T2DM. Transkripsional yang
bergantung pada VDR dan mendukung kelangsungan hidup sel β dalam
mengidentifikasi hubungan VDR dengan PBAF / BAF sebagai potensi target
terapi untuk T2DM. Merupakan satu cara natural sel β dengan sedikit inflamasi
kronik, memanfaatkan kekuatan VDR, asetilasi, dan keamanan ligans yang
ditawarkan untuk terapi T2DM. Mekanisme dijelaskan pada gambar 3.4.32

Gambar 3.4. Mekanisme VDR terhadap Protein BRD.32


18

3.2.2. Peranan Vitamin D terhadap Glikemik Kontrol.


Hubungan terbalik ditunjukkan oleh status vitamin D dengan HbA1C.
Vitamin D berhubungan dengan penurunan level HbA1c secara signifikan dan
mempengaruhi penurunan level FBg walaupun tidak secara signifikan.33
Penambahan vitamin D dapat memperbaiki homeostasis glukosa dan
profil kolesterol pada pasien diabetes. Pemberian cholecalciferol 45.000 IU
seminggu sekali selama 8 minggu, kemudian 22.500 IU seminggu sekali selama
16 minggu ditambah kalsium karbonat tablet 500 mg/hari selama 2 bulan selama
terapi. Kekurangan vitamin D dan insufisiensi kalsium dapat mempengaruhi kadar
glikemia secara negatif, tetapi suplementasi gabungan kedua nutrisi tersebut dapat
bermanfaat dalam mengoptimalkan metabolisme glukosa. Hal ini juga
menunjukkan tingginya prevalensi kekurangan vitamin D pada pria dan wanita.
Melalui penelitian prospektif ini ditunjukkan betapa pentingnya skrining dan
pemberian vitamin D pada populasi T2DM..34 Suplemen Vitamin D yang tinggi
dapat mempengaruhi kontrol glikemik, tetapi dengan perhitungan yang berbeda
ternyata dilaporkan tidak mempengaruhi kontrol glikemik serum-fasting plasma
glucose dan HOMA-IR.35 Sehingga saat ini American Diabetes Association
(ADA) tidak menganjurkan penggunaan suplementasi vitamin D untuk
memperbaiki kontrol glukosa pada setiap pasien T2DM.3
Pada penelitian lain yang mendukung, adanya status 25(OH)D yang
tinggi dikaitkan dengan prevalensi FPG serta konsentrasi HbA1c yang lebih
rendah setelah memperhitungkan sosio-demografis, variabel gaya hidup dan
komponen MetS. Hasil tersebut dapat menunjukkan peran langsung vitamin
dalam pencegahan terjadinya T2DM.36

3.2.3. Peranan Vitamin D terhadap Sekresi Insulin.


1,25(OH)2D bisa mengaktifkan transkripsi gen insulin manusia dan
berperan penting dalam sekresi insulin. Adanya VDRE pada promotor gen
menjelaskan induksi transkripsi gen dengan 1,25(OH)2D dengan membentuk
lokus yang merespons 1,25(OH)2D melalui aktivasi VDR. Lokus ini bisa menjadi
mediasi antara vitamin D dan jalur pensinyalan insulin.37
19

Vitamin D adalah hormon calciotropic yang terlibat dalam pengaturan


kalsium masuk melalui membran sel dan konsentrasi kalsium bebas sitosol.
Karena itu, efek vitamin D pada sekresi dan aksi insulin dapat dimediasi oleh
ekstra seluler dan penanganan kalsium intraseluler, dimana keterlibatan kalsium
dipengaruhi oleh protein kinase dalam stimulasi transportasi glukosa oleh
kontraksi otot.38
Ekspresi 1-alpha-hydroxylase (1α-Ohase) pada sel β pankreas
mencerminkan kapasitas dalam mengaktifkan vitamin D. Islet pankreas secara
lokal dapat menghasilkan sendiri vitamin D aktif (calcitriol). Hal ini menjadi
penting karena calcitriol mempromosi kapasitas biosintesis sel β pankreas dan
mempercepat konversi proinsulin terhadap insulin, seperti yang telah dibuktikan
dalam penelitian dengan mengisolasi islet rat dan insulinoma tikus. Bahwa
calcitriol dapat meningkatkan sekresi insulin secara autokrin atau parakrin.
Hypovitaminosis D pada tikus menyebabkan berkurangnya sekresi insulin
pankreas. Penelitian pada hewan baru-baru ini serta sebagian besar studi
observasional dan meta-analisis menunjukkan bahwa hypovitaminosis D
dikaitkan dengan risiko tinggi terjadinya T2DM.39
Selain itu, vitamin D memiliki efek fisiologis positif terhadap regulasi
kadar kalsium plasma, yang secara tidak langsung mengatur sintesis dan sekresi
insulin, dan juga ternyata memiliki fungsi pada sel beta pankreas.40

3.2.4. Peranan Vitamin D di Sel Tulang, Otot dan Adiposa.


Jaringan lain yang terlibat dalam homeostasis glukosa, adalah tulang, otot
dan jaringan adiposa. VDR pada sel-sel otot skeletal menunjukkan peran potensial
vitamin D dalam pengaturan utama sistem homeostasis glukosa dalam jaringan
otot. Peran penting 1,25(OH)2D sebagai stimulator genom dari insulin reseptor
(IR) pada mRNA, jumlah IR, dan respons insulin untuk transpor glukosa pada sel
promonositik manusia. Efek ini tampaknya dimediasi oleh peningkatan pada gen
VDR dan ekspresi protein. Vitamin D menstimulasi ekspresi gen reseptor insulin
manusia, sehingga memiliki efek modulasi aksi insulin dan peningkatan insulin
responsif.41
20

1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan ekspresi gen peroksisome


proliferator-activated receptor delta (PPAR-δ) dan bermanfaat mempengaruhi
akumulasi sel lemak dan oksidasi asam lemak.42
Pelepasan insulin sebagai sekresi respon glukosa dari sel β pankreas,
bergantung pada kecukupan vitamin D. Selain itu, juga mengurangi kelebihan
produksi dan rusaknya jaringan oleh radikal bebas serta menghambat produksi
renin. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar gula darah akibat efek
hiperglikemia dan resistensi insulin. Pada pasien T2DM, suplemen vitamin D
jangka pendek harian mengurangi obesitas sentral, khususnya pada pembawa
genotipe AA. Hal tersebut berdasarkan mekanisme penghambatan pada
peradangan. Berdampak juga terhadap peningkatan sensitivitas insulin dan
penurunan resistensi insulin.43

3.2.5. Peranan Vitamin D dalam Agregasi Platelet.


Vitamin D yang rendah berhubungan terbalik dengan HbA1C dan
kenaikan agregasi pletelet. Peningkatan aregasi platelet berhubungan langsung
dengan calcitriol terhadap komplikasi vaskular pada diabetes. Berdasarkan
mekanisme non-genomik 1,25(OH)2D bertindak sebagai agen pelindung anti-
inflamasi dan vaskular, menghambat aktivasi NFkB dan pensinyalan downstream.
Penemuan ini menyoroti kontribusi vitamin D dalam mengatur aktivitas trombosit
dan progesivitas diabetes.44

3.2.6. Peranan Vitamin D pada Diabetes Geriatri.


Penelitian meta analisis yang pertama kali menegaskan hipovitaminosis
D dikaitkan dengan diabetes pada geriatri. Bahwa suplemen vitamin D dapat
mencegah atau memperlambat perkembangan diabetes pasien yang lebih tua,
suplemen vitamin D yang rendah pada eldery dengan risiko diabetes yang lebih
tinggi. Hipovitaminosis D dikaitkan dengan timbulnya diabetes di usia lanjut
setelah disesuaikan dengan faktor risiko potensial lainnya. Karena
hipovitaminosis D adalah salah satu kondisi yang paling sering terjadi pada
geriatri dan suplementasi vitamin D dapat mencegah diabetes pada geriatri.45
21

Pada orang tua, adipositas atau BMI yang tinggi penting dalam
menjelaskan mengapa tingkat 25(OH)D yang rendah dapat terkait dengan
diabetes. Hipotesis ini didukung beberapa studi sebelumnya bahwa hubungan
signifikan antara status vitamin D yang buruk dan diabetes menjadi hilang setelah
dapat mengendalikan BMI atau adipositas lainnya.46
Hipovitaminosis D merupakan prediktor mortalitas yang lebih kuat pada
diabetes geriatri, seperti yang sudah ditunjukkan oleh sejumlah referensi dan
berbagai penelitian.47 Adanya peningkatan mortalitas kardiovaskular dan semua
kausalitas subjek yang berusia 50 tahun ke atas. Diperlukan investigasi lebih
lanjut dari populasi yang berbeda untuk mengamati hubungan antara serum 25-
hydroxyvitamin D dari waktu ke waktu berdasarkan perbedaan usia dan jenis
kelamin dengan kematian.48

3.2.7. Pengaruh Vitamin D terhadap Diabetik Retinopati (DR).


Berdasarkan efek anti-inflamasi dan imunosupresif vitamin D dan efek
penghambatan potensinya pada angiogenesis, hubungan sebab-akibat antara
vitamin D dan DR telah dihipotesiskan pada usia tua.49 Konsentrasi serum
1,25(OH)D yang tinggi dikaitkan dengan penurunan angiogenesis di
retinoblastoma dan retinopati iskemik pada tikus model. VDR telah ditambahkan
pada retina tikus dan efek penghambatan retinopati diabetik dibuktikan setelah
pemberian vitamin D.50
Prevalensi DR ditemukan lebih tinggi pada pasien T1DM usia muda
dengan defisiensi vitamin 25(OH)D <20 ng/ml dan hasilnya adalah signifikan,
terlepas dari durasi diabetes yang telah terjadi. Sehingga rendahnya kadar vitamin
D bisa dianggap sebagai faktor risiko untuk terjadinya progresivitas dan tingkat
keparahan DR pada T1DM dan T2DM.51

3.2.8. Peranan Vitamin D terhadap Diabetik Nefropati (DN).


Produk akhir glikasi, hemodinamik, perubahan endokrin, sekresi faktor
pertumbuhan menghasilkan oksigen reaktif dan mediator inflamasi yang
22

merupakan penyebab utama patofisiologi Diabetik Nefropati. DN dicirikan oleh


struktur spesifik dan defek fungsional ginjal terkait dengan T1DM dan T2DM.52
Vitamin D telah terbukti mengurangi stres oksidatif dan peradangan,
mempertahankan morfologi podosit, mencegah transformasi epitel menjadi
mesenkim dan menekan transkripsi gen renin sehingga berpotensi mengurangi
risiko DN. Dengan terapi gabungan ARB akan memiliki renoprotektif yang lebih
kuat yang berpengaruh pada DN jika telah menggunakan agen hipoglikemik.53
Penelitian terbaru pada hewan dilakukan modifikasi pemberian vitamin
D menstimulus ekspresi Klotho sehingga memblokir aktivasi renin angiotensin
dan dapat memediasi terjadinya perlindungan vitamin D terhadap DN.54
Analog vitamin D telah terbukti memperbaiki proteinuria. Pemberian
paricalcitol terbukti mengurangi albuminuria pada pasien T1DM dan T2DM yang
sudah menggunakan RAAS blocker. Tetapi untuk mikroalbuminuria tahap awal,
pemberian vitamin D tidak direkomendasikan.55

3.2.9. Peranan Vitamin D terhadap Diabetik Peripheral Neuropati (DPN).


Diabetik peripheral neuropati (DPN) merupakan komplikasi diabetes
mellitus yang mempengaruhi setengah dari populasi diabetes. Demielinasi dan
degenerasi aksonal merupakan patogenesis terjadinya neuropati diabetes, yang
terjadi selain dari mikrovaskular dan ekstra seluler pada patologi saraf.
Kekurangan vitamin D yang telah terjadi terkait dengan patogenesis DPN,
mengingat perannya sebagai faktor neurotropik. Khususnya, ekspresi VDR dan
CYP27B1 pada bagian yang berbeda dari sistem saraf berperan terhadap modulasi
vitamin D. Studi observasional pada pasien T2DM menunjukkan bahwa
hipovitaminosis D dikaitkan dengan insiden tinggi DPN, serta keparahan gejala
yang disebabkan oleh DPN. Studi terbaru menunjukkan hubungan antara
insidensi ulkus kaki dan hipovitaminosis D. Hasil dari metaanalisis menyarankan
bahwa hipovitaminosis D terkait dengan peningkatan risiko untuk terjadinya DPN
pada pasien dengan T2DM. Pulihnya sekresi insulin, reduksi resistensi insulin,
dan pengurangan respons inflamasi telah ditunjukkan sebagai mekanisme
potensial dalam perbaikan klinis DN karena pemberian vitamin D pada populasi
23

spesifik ini. Sebagian besar bukti yang tersedia tentang peran vitamin D dalam
progesivitas DPN serta penggunaannya sebagai terapi. Pendekatan berasal dari
studi pada pasien T2DM.56

3.3.0. Peranan Vitamin D terhadap Komplikasi Makrovascular.


Studi epidemiologis telah berulang kali menunjukkan hubungan terbalik
antara status vitamin D dan prevalensi infark miokard akut dan prognosisnya,
risiko stroke, dan risiko rawat inap untuk gagal jantung. Mekanisme patogenesis
yang berbeda telah dihipotesiskan, termasuk efek vitamin D pada fungsi
endotelial, peradangan kronis, renin-angiotensin, pengaturan aldosterone sistem,
dan homeostasis kalsium. Beberapa penelitian telah mengevaluasi nilai serum 25
(OH)D dalam memprediksi terjadinya penyakit kardiovaskular (CVD) atau peran
protektif suplementasi vitamin D pada pasien dengan T2DM. Populasi T2DM
telah menunjukkan hubungan terbalik antara konsentrasi vitamin D dan kejadian
CVD. Pasien Diabetes dengan 25(OH)D < 36 nmol/L bermanifestasi 21% risiko
lebih tinggi untuk terjadinya penyakit makrovaskuler dibandingkan dengan
pemberian 25(OH)D > 63 nmol/L.57
Peran protektif atau predisposisi untuk penyakit jantung koroner telah
dikaitkan dengan VDR tertentu dalam polimorfisme gen.58 Ketebalan Carotid
intima-media (IMT) dan arterial stiffness, kedua penanda tersebut dapat
digunakan dalam merancang studi intervensi pada pasien T2DM dan remaja
dengan T1DM. Mengenai T1DM, sebagian besar penelitian memberikan bukti
tentang suatu hubungan antara konsentrasi 25(OH)D dan endotelial, kalsifikasi
koroner dan kekakuan vaskular. Namun, suplementasi belum menghasilkan efek
apapun pada peristiwa makrovaskuler.59

3.3. Peranan Vitamin D terhadap DM Tipe Lain.


Penggunaan analog (alfacacidol) dalam subkelompok tertentu yaitu
pasien LADA telah dilakukan penelitian dimana hasilnya lebih menjanjikan yaitu
terjadinya residual fungsi sel beta. Penelitian ini menunjukkan penambahan
24

vitamin D3 dalam mempertahankan fungsi sel β lebih baik daripada menggunakan


terapi insulin saja.60
Mekanisme pasti dari efek menguntungkan vitamin D pada pasien LADA
masih belum jelas. Mekanisme pertama kemungkinin terkait dengan efek vitamin
D terhadap regulasi kekebalan tubuh. Studi berfokus pada model epidemiologi
dan hewan menunjukkan bahwa vitamin D memiliki beberapa efek pada proses
autoimun. Penelitian invitro juga menunjukkan bahwa vitamin D mengurangi
produksi sitokin inflamasi (IL-6 dan NO) di islet pankreas. 1,25(OH)2D
meningkatkan efek menekan sel T dan menurunkan regulasi aktivasi sel T melalui
sitokin. Mekanisme kedua mungkin melibatkan antiapoptotik langsung aktivitas
vitamin D pada sel β. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D
menginduksi produksi antiapoptotik protein (A20) sel tikus dan islet manusia.60

3.4. Peranan Vitamin D terhadap DM Gestasional.


Penelitian dilakukan pada pasien Diabetes Gestasional yang diberikan
vitamin D dan berakibat menaikkan sekresi insulin. Penelitian lain menyebutkan
pemberian vitamin D bersama calsium juga menaikkan fasting insulin, penurunan
HbA1C pada pasien Diabetes Gestasional.61

3.5. Peranan Vitamin D terhadap Prediabetes.


Serum baseline 25(OH)D < 20 ng/ml, glukosa plasma 2-jam setelah TT
GO secara signifikan berkurang, menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D
bermanfaat pada individu pradiabetes yang kekurangan vitamin D.62
Hipovitaminosis D telah dikaitkan dengan peningkatan kekakuan arteri
pada pasien prediabetik. Ketebalan Carotid intima-media (IMT) dan arterial
stiffness, merupakan penanda yang digunakan dalam merancang studi lanjutan.63
Penelitian juga menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D pada
hiperparatiroidisme sekunder terjadi peningkatan konsentrasi PTH dalam
mempromosikan defosforilasi glukosa transporter-4 (GLUT-4), sehingga
menyebabkan gangguan pada transportasi glukosa yang pada akhirnya
menyebabkan berkurangnya insulin yang dihasilkan.64
25

BAB 4
RINGKASAN

Suplementasi vitamin D adalah solusi sederhana yang mudah dikelola


dan meringankan masalah kesehatan kronis. Banyak penelitian vitamin D yang
melaporkan hubungan kadar vitamin D yang rendah dengan peningkatan risiko
kematian dini terhadap penyakit kronis termasuk diabetes mellitus. Kekurangan
vitamin D juga terkait dengan peningkatan risiko dari semua penyebab kematian.
Memahami terjadinya proses inflamasi pada sel islet merupakan suatu hal
yang penting di dalam patogenesis terjadinya diabetes. Perlindungan terhadap sel
β dari kematian merupakan suatu target terapi terbaru. Vitamin D dengan VDR
suatu nuklear hormon reseptor telah dihasilkan oleh berbagai organ dan telah
banyak diteliti memiliki peranan dalam mencegah terjadinya DM tipe 1 dan
mengatur kontrol metabolik pada DM tipe 2.
Kekurangan vitamin D pada awal kehidupan dikaitkan dengan risiko
T1DM yang lebih tinggi di masa dewasa bahkan telah diuji cobakan melalui
eksperimen baik pada hewan maupun manusia dimana dengan pemberian vitamin
D mencegah perkembangan DM tipe 1 bahkan kemungkinan pemberian suplemen
vitamin D pada tahap awal penyakit, dapat mencegah kerusakan sel β pankreas.
Peranan vitamin D terhadap DM tipe 2 antara lain sebagai signaling di
pankreas, glikemik kontrol, sekresi insulin, homeostasis glukosa pada jaringan
otot, tulang dan adiposa, mencegah agregasi platelet, bermanfaat bagi diabetes
geriatri, mengurangi resiko diabetik retinopati, diabetik nefropati dan diabetik
peripheral neuropati dan mencegah terjadinya komplikasi makrovaskular.
Sementara untuk tipe lain seperti LADA, Diabetes Gestasional, dan
Prediabetes ternyata vitamin D mempunyai nilai yang menguntungkan.
Penelitian berkelanjutan diperlukan untuk menjawab tantangan kegunaan
vitamin D sehingga dapat dimasukkan dalam anjuran rekomendasi ADA sebagai
tatalaksana terapi suportif pada pasien diabetes mellitus.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PB PERKENI. 2015.
2. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition
[Internet]. 2013 [cited Februari 14 2018] Available from
http://www.diabetesatlas.org/.
3. Classification and Diagnosis of Diabetes. In: American Diabetes Association
Standards of Medical Care in Diabetes.. 2018; 41(1): S13-S20.
4. Maddaloni E, Cavallari I, Napoli N, Conte C. Vitamin D and Diabetes
Mellitus. In: Giustina A, Bilezikian JP, editors. Vitamin D in Clinical
Medicine. Front Horm Res. New York: Karger; 2018. Pp 161–176.
5. Defronzo RA. From the Triumvirate to the Ominus Octet : A new Paradigm
for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus: A new Paradigm for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795.
6. Hector F. DeLuca, Vitamin D: Historical Overview. In: Gerald Litwack.
Structural Studies of Vitamin D Nuclear Receptor Ligand-Binding Properties
Vitamins and Hormones 1st ed. California: Elsivier; 2016. Pp.1-20.
7. Holick MF. Vitamin D and Health: Evolution, Biologic Functions, and
Recommended Dietary Intakes for Vitamin D. In: Vitamin D Physiology,
Molecular Biology, and Clinical Applications, 2sd ed. New York; Springer:
2010. Pp. 5-55
8. Holick MF, Binkley NC, Bischoff HA, Gordon CM, Hanley DA, Heaney RP,
et al. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D deficiency: an
endocrine society clinical practice guideline. J. Clin. Endocrinol Metab. 2011;
96(7): 1911–30.
9. Pludowski P, Holick M, Grant W, Wimalangsa S, Mascarenhas M,
Povoroznyuk V, et al. Vitamin D supplementation guidelines, J. Steroid
Biochem. Mol. Biol. 2017; 48(76): 1-11.
10. Wimalawansa SJ. Non-musculoskeletal Benefits of Vitamin D, Journal of
Steroid Biochemistry and Molecular Biology. 2016; 4(16): 30252-7.
27

11. HA. Morris, Anderson PH, Autocrine and paracrine actions of vitamin D: the
clinical biochemist, Rev. Aust. Assoc. Clin. Biochem. 2010; 31(4): 129–138.
12. Norlin AC, Hansen S, Wahren-Borgström E, Granert E, Björkhem B,
Bergman P. Vitamin D3 supplementation and antibiotic consumption _results
from a prospective, observational study at an immune-deficiency unit in
Sweden. PLoS One. 2016; 11(9): e0163451.
13. Juonala M, Voipio A, Pahkala K, Viikari JSA, Mikkila V, Kahonen M, et al.
Childhood 25-OH Vitamin D levels and carotid intima-media thickness in
adulthood: the cardiovascular risk in young finns study, J. Clin. Endocrinol.
Metab. 2015; 100 (4): 1469–76.
14. Al Mheid I, Patel RS, Tangpricha V, Quyyumi AA. Vitamin D and
cardiovascular disease: is the evidence solid? Eur Heart J. 2013; 34(48):
3691-8.
15. Fong CY, Kong AN, Poh BK, Mohamed AR, Khoo TB, Ng RL, et al.
Vitamin D deficiency and its risk factors in Malaysian children with epilepsy.
Epilepsia. 2016; 57(8): 1271-9.
16. Mathieu C. Vitamin D and diabetes: Where do we stand? Diabetes Res Clin
Pract 2015; 108(2): 201–9.
17. Grammatik M, Karras S, Kotsa K. The role of vitamin D in the pathogenesis
and treatment of diabetes mellitus: a narrative review. Hormones. 2018;
S4(2): 1-12.
18. Dong J, Zhang W, Chen J, Zhang L, Han S, Qiang L. Vitamin D Intake and
Risk of Type 1 Diabetes: A Meta-Analysis of Observational Studies.
Nutrients. 2013; 5: 3551-62.
19. Harinarayan CV. Vitamin D and Diabetes Mellitus. Hormones. 2014, 13(2):
163-181.
20. Van Belle TL, Gysemans C, Mathieu C. Vitamin D and diabetes: the odd
couple. Trends Endocrinol Metab. 2013; 24(11): 561-8.
21. Gysemans C, Van Etten E, Overbergh L, Giulietti A, Eelen G, Waer M, et al.
Unaltered diabetes presentation in NOD mice lacking the vitamin D receptor.
Diabetes. 2008; 57(1): 269–275.
28

22. Pino D, Montes J, Benito GE, Fernandez, Salazar MP. Calcitriol improves
streptozotocin-induced diabetes and recovers bone mineral density in diabetic
rats. Calcif Tissue Int. 2004; 75: 526–532.
23. Zipitis CS, Akobeng AK. Vitamin D supplementation in early childhood and
risk of type 1 diabetes: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis
Child. 2008; 93: 512–517.
24. Sørensen IM, Joner G, Jenum PA. Vitamin D-binding protein and 25-
hydroxyvitamin D during pregnancy in mothers whose children later
developed type 1 diabetes. Diabetes Metab Res Rev. 2016; 32(8): 883–90.
25. Stene LC, Joner G. Use of cod liver oil during the first year of life is
associated with lower risk of childhood-onset type 1 diabetes: a large,
population-based, case–control study. Am J Clin Nutr. 2003; 78(6): 1128–
1134.
26. Miettinen ME, Smart MC, Kinnunen L. Genetic determinants of serum 25-
hydroxyvitamin D concentration during pregnancy and type 1 diabetes in the
child. PLoS One. 2017; 12(10): e0184942.
27. Hafez M, Hassan M, Musa N, Abdel A, Azim SA. Vitamin D status in
Egyptian children with type 1 diabetes and the role of vitamin D replacement
in glycemic control. J Pediatr Endocrinol Metab. 2017; 30(4): 389–394.
28. Yang J, Tamura RN, Uusitalo UM, Aronsson CA, Silvis K, Riikonen A, et al.
Vitamin D and probiotics supplement use in young children with genetic risk
for type 1 diabetes. European Journal of Clinical Nutrition. 2017; 6: 1–6.
29. Wu F, Juonala M, Pitkänen N. Both youth and longterm vitamin D status is
associated with risk of type 2 diabetes mellitus in adulthood: a cohort study.
Ann Med. 2017; 7: 1–9.
30. Chuang JC, Cha JY, Garmey JC, Mirmira RG, Repa JJ. Research resource:
nuclear hormone receptor expression in the endocrine pancreas. Mol
Endocrinol. 2008; 22(10): 2353–63.
31. Zeitz U, Weber K, Soegiarto DW, Wolf E, Balling R, Erben RG. Impaired
insulin secretory capacity in mice lacking a functional vitamin D receptor.
FASEB J. 2003; 17: 509–51.
29

32. Wei Z, Yoshihara E, He N, Yu R, Downes M, Evans R. Vitamin D Switches


BAF Complexes to Protect b Cells. 2018; 173: 1135–49.
33. Wu C, Qiu S, Zhu X, Li L. Vitamin D supplementation and glycemic control
in type 2 diabetes patients: a systematic review and meta-analyses.
Metabolism. 2017; 73: 67–76.
34. Nada AM, Shaheen DA. Cholecalciferol improves glycemic control in type 2
diabetic patients: a 6-month prospective interventional study. Ther Clin Risk
Manag. 2017; 13: 813–820.
35. Olt S. Relationship between vitamin D and glycemic control in patients with
type 2 diabetes mellitus. Int J Clin Exp Med. 2015; 8(10): 19180–3.
36. Maestro B, Davila N, Carranza MC, Calle C. Identification of a vitamin D
response element in the human insulin receptor gene promoter. J Steroid
Biochem Mol Biol. 2003; 84: 223–230.
37. Wright DC, Hucker KA, Holloszy JO, Han DH. Ca2+ and AMPK both
mediate stimulation of glucose transport by muscle contractions. Diabetes.
2004; 53: 330–335.
38. Karras SN, Anagnostis P, Antonopoulou V. The combined effect of vitamin
D and parathyroid hormone concentrations on glucose homeostasis in older
patients with prediabetes: a crosssectional study. Diab Vasc Dis Res. 2017;
1(14): 1-17
39. Bland R, Markovic D, Hills CE. Expression of 25-hydroxyvitamin D3-1
alpha-hydroxylase in pancreatic islets. JSteroid Biochem Mol Biol. 2004; 89–
90: 121–125.
40. Pannu PK, Piers LS, Soares MJ, Zhao Y, Ansari Z (2017) Vitamin D status is
inversely associated with markers of risk for type 2 diabetes: a population
based study in Victoria, Australia. PloS One. 2017; 12(6): e0178825.
41. Palomer X, Gonzalez-Clemente JM, Blanco-Vaca F, Mauricio D. Role of
vitamin D in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Diabetes Obes
Metab. 2008; 10(3): 185-97.
42. Maestro B, Campion J, Davila N, Calle C. Stimulation by 1, 25-dihydroxy
vitamin D3 of insulin receptor expression and insulin responsiveness for
30

glucose transport in U-937 human promonocytic cells. Endocr J. 2000; 47:


383–391.
43. Dunlop TW, Väisänen S, Frank C, Molnár F, Sinkkonen L, Carlberg C. The
human peroxisome proliferator-activated receptor delta gene is a primary
target of 1alpha,25- dihydroxyvitamin D3 and its nuclear receptor. J Mol
Biol. 2005; 349: 248–260.
44. Pilz S, Kienreich K, Rutters F, Jongh R, Ballegooijen AJ, Grubler M, et al.
Role of vitamin D in the development of insulin resistance and type 2
diabetes. Curr Diab Rep. 2013; 13(2): 261-70.
45. Sultan M, Twito O, Tohami T, Ramati E, Neumark E, Rashid G. Vitamin D
diminishes the high platelet aggregation of type 2 diabetes mellitus patients.
Platelets. 2018; 1: 1–6.
46. Lucato P, Solmi M, Maggi S, Bertocco A, Bano G, Trevisan C et al. Low
vitamin D levels increase the risk of type 2 diabetesin older adults: A
systematic review and meta-analysis. 2017; 100(16): 8-15.
47. Schafer AL, Napoli N, Lui L, Schwartz AV, Black DM. Study of
Osteoporotic Fractures. Serum 25-hydroxyvitamin D concentration does not
independently predict incident diabetes in older women. Diabet Med. 2014;
31(5): 564-569.
48. Samefors M, Östgren CJ, Mölstad S, Lannering C, Midlöv P, Tengblad A.
Vitamin D deficiency in elderly people in Swedish nursing homes is
associated with increased mortality. Eur J Endocrinol. 2014; 170(5): 667-675.
49. Fan H, Yu W, Cao H, Meta-Analysis of Circulating 25-Hydroxyvitamin D
Levels and Risk of Cardiovascular and All-Cause Mortality in Elderly
Population. 2014; 7(74): 1-8.
50. Bonakdaran S, Shoeibi N. Is there any correlation between vitamin D
insufficiency and diabetic retinopathy? Int J Ophthalmol. 2015; 8(2): 326–
331.
51. Zhang J, Upala S, Sanguankeo A. Relationship between vitamin D deficiency
and diabetic retinopathy: a meta-analysis. Can J Ophthalmol. 2017; 52(1):
S39–S44.
31

52. Shimo N, Yasuda T, Kaneto H. Vitamin D deficiency is significantly


associated with retinopathy in young Japanese type 1 diabetic patients.
Diabetes Res Clin Pract. 2014; 106(2): e41–e43.
53. Umanath K, Lewis JB. Update on diabetic nephropathy: core curriculum
2018. Am J Kidney Dis PII. 2018; 71(6): 884–895.
54. Deng X, Cheng J, Shen M. Vitamin D improves diabetic nephropathy in rats
by inhibiting renin and relieving oxidative stress. J Endocrinol Investig. 2016.
39(6): 657–666.
55. Eltablawy N, Ashour H, Rashed LA, Hamza WM. Vitamin D protection from
rat diabetic nephropathy is partly mediated through Klotho expression and
renin-angiotensin inhibition. Arch Physiol Biochem. 2018; 8: 1–7.
56. Joergensen C, Tarnow L, Goetze JP. Vitamin D analogue therapy,
cardiovascular risk and kidney function in people with type 1 diabetes
mellitus and diabetic nephropathy: a randomized trial. Diabet Med. 2015;
32(3): 374–381.
57. Luv WS, Zhao WJ, Gong SL et al. Serum 25-hydroxyvitamin D levels and
peripheral neuropathy in patients with type 2 diabetes: a systematic review
and meta-analysis. J Endocrinol Investig. 2014; 38(5): 513–518.
58. Costanzo S, Curtis A, Castelnuovo A. Serum vitamin D deficiency and risk of
hospitalization for heart failure: Prospective results from the Moli-sani study.
Nutr Metab Cardiovasc Dis. 2018; 28(3): 298–307.
59. Maia J, da Silva AS, do Camo RF. The association between vitamin D
receptor gene polymorphisms (Taq1 and FokI) , type 2 diabetes and micro-
macrovascular complications in postmenopausal women. Appl Clin Genet.
2016; 9:131–136.
60. Engelen L, Schalkwijk CG, Eussen SJ. Low 25-hydroxyvitamin D2 and 25-
hydroxyvitamin D3 levels are independently associated with
macroalbuminuria, but not with retinopathy and macrovascular disease in
type 1 diabetes: the EURODIAB prospective complications study.
Cardiovasc Diabetol. 2015; 14:67.
32

61. Li X, Liao L, Yan X. Protective effects of 1-alphahydroxyvitamin D3 on


residual beta-cell function in patients with adult-onset latent autoimmune
diabetes (LADA). Diabetes Metab Rev. 2009; 25(5): 411–416.
62. Yeow TP, Lim SL, Hor CP, Khir AS, Wan Mohamud WN, Pacini G. Impact
of Vitamin D Replacement on Markers of Glucose Metabolism and Cardio-
Metabolic Risk in Women with Former Gestational Diabetes--A Double-
Blind, Randomized Controlled Trial. PLoS One. 2015; e0129017.
63. Angellotti E, Pittas AG. The role of vitamin D in the prevention of type 2
diabetes. To D or not to D? Endocrinology journals. 2017; 12(10): 1-14.
64. Zagami RM, Di Pino A, Urbano F, Piro S, Purrello F, Rabuazzo AM. Low
circulating vitamin D levels are associated with increased arterial stiffness in
prediabetic subjects identified according to HbA1c. Atherosclerosis. 2015;
243(2): 395–401.

Anda mungkin juga menyukai