Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. T


DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
KETIDAKEFEKTIFAN POLA NAFAS
DI UNIT GAWAT DARURAT RS BHAYANGKARA LUMAJANG

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi laporan tugas mata kuliah
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
yang dibimbing oleh Ibu Arista Maisyaroh, S.Kep., Ners. M.Kep.

Disusun oleh:
Ghoziatur Rodhiyah 162303101053
Intan Nur Fajriyah 162303101054
Ismi Eka F 162303101120
Muhammad Zia Ikhsan 162303101133

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya telah
diselesaikan laporan kasus ini dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan
Kritis. Pada laporan makalah disusun dari berbagai sumber dan dirangkum dalam makalah
ini.
Tidak lupa diucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah membantu dalam
menyelesaikan pembuatan makalah ini dan juga diharapkan agar makalah ini bisa bermanfaat
bagi semua untuk dijadikan referensi penunjang dalam mata kuliah Keperawatan gawat
darurat.
Demikianlah yang dapat disampaikan, apabila ada kesalahan atau kekurangan mohon
maaf. Kritik dan saran sangat terbuka supaya makalah ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih
baik lagi untuk berikutnya.

Lumajang, 12 Desember 2018

Penyusun
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronis atau chronic kidney disease adalah suatu keadaan klinis yang
di tandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal
(Setiati, 2015).
Menurut data dari WHO, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup
tinggi. Setiap tahunnya prevalensi penyakit gagal ginjal terus meningkat. Data di
Amerika Serikat tahun 2015 diperkirakan angka kejadian CKD mencapai 19,2 juta
(11%) dari seluruh populasi dewasa dan 0,22% diperkirakan sudah ada pada stadium
akhir (WHO, 2015). Data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2013,
30,7 juta penduduk mengalami Penyakit Ginjal Kronik. Sedangkan berdasar data dari
riset kesehatan dasar tahun 2013 (RISKESDAS) Kementrian Kesehatan Indonesia
prevalensi gagal ginjal kronik 0,2% dari populasi penduduk. Di Jawa Tengah,
berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2012 prevalensi gagal ginjal kronis
sebesar 0,3% dari populasi penduduk.
Angka kematian pada CKD di Indonesia masih sangat besar, yaitu 3.332 dengan
penyebab kematian 47% karena komplikasi kardiovaskuler. Prevalensi berdasarkan
jenis kelamin didapatkan perbandingan laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
Sedangkan kelompok umur terbanyak yang menjalani hemodialisis adalah pada
kelompok umur produktif (45-54 tahun) sebesar 29,2%. Dan lebih dari 50%
pembiayaan ditanggung oleh asuransi, baik dari pemerintah maupun swasta (Indonesian
Renal Registry, 2012). Chronic kidney disease dapat mengakibatkan menurunnya
cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat menurun hingga 25% dari
normal, insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami poliurea dan nokturia,
GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar ceratinin serum dan BUN sedikit meningkat
diatas normal, penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (volume
overload), neuropati perifer, pruritus, uremik frost, pericarditis, kejang-kejang sampai
koma, yang di tandai GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum kreatinin dan BUN
meningkat tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek (Nurarif &
Kusuma, 2015).
Komplikasi chronic kidney disease yaitu penyakit tulang; penurunan kadar
kalium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan dekalsifikasi matrik
tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama
akan menyebabkan fraktur pathologis; penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi,
kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering terjadi hipertrofi
ventrikel kiri); Anemia; Disfungsi seksual dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka
libido sering mengalami penurunan dan terjadi impotensi pada pria, sedangkan pada
wanita dapat terjadi hiperprolaktinemia (Prabowo Pranata, 2014).
Penderita cronic kidney disease memerlukan penanganan secara optimal untuk
mempertahankan kualitas hidup guna meminimalkan komplikasi lebih lanjut, peran
perawat menjadi faktor yang sangat penting dalam mengatasi masalah kesehatan ini
sebagai care provider yaitu memberikan pelayanan asuhan keperawatan secara
komprehensif, perawat juga bisa berperan sebagai edukator yaitu memberi penyuluhan
kepada klien seperti diit rendah protein dan tinggi karbohidrat, selain itu perawat juga
bisa berperan sebagai konsultan, kolaborasi, advokat (pembela) dan pendidik.

1.2 Rumusan Materi


Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien dengan ALO?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui cara penanganan dan perawatan pasien dengan ALO mulai dari
pengkajian, menentukan diagnosa, membuat intervensi keperawatan, melakukan
implementasi, serta evaluasi.
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi Secara
Mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara Masif Di
Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan Respirasi Dan
Ancaman Gagal Napas.
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terkumpulnya Cairan Ekstravaskuler Yang
Patologis Di Dalam Paru. (Soeparman;767).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit
lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri
dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri
tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu
memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi
pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari
obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan
dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi.
Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah
akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk
di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur
aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu
menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir
kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
2. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu
sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute respiratory distress syndrome (ards)
f. Neurogenik
C. Patofisiologis
alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan
keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah
cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit
jantung yang potensial mengalami alo adalah semua keadaan yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan alo non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding
kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.

D. Pathway
Gagal jantung
kanan/kongesti

Aliran balik darah paru terhambat

Peningkatan tekanan intra kapiler pulmonal

Peningkatan tekanan intra kapiler > tek. interstisial

Timbunan pada alveoli

Oedem paru

Distensi intra pulmonal

Pecahnya pembuluh darah paru


Intoleransi Bersihan jalan

aktivitas napas tidak efektif


Gangguan pertukaran gas

E. Manifestasi klinik
Alo dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium),
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi co. Keluhan pada
stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan
cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil,
terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek
bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat
dan tersengal.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara
berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas
yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata.
F. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda.
Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya.
Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut.
Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung
Kiri Kronik
1. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-
pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
2. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok
kokain, atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan
di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini
dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau
transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus,
atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.
G. Pemeriksaan Penunjang
» Pemeriksaan Fisik
- Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
- Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
- Takikardia dengan S3 gallop.
- Murmur bila ada kelainan katup.
» Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
» Laboratorium
- Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
- Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
- Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
- Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph
(X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung
dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column,
dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap
pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray
dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang
lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang
signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru
yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyebab yang mungkin mendasarinya.
» Gambaran Radiologi yang ditemukan :
- Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
- Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
- Kranialisasi vaskuler
- Hilus suram (batas tidak jelas)
- Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
» Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel
(hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan
umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
» Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari
pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam
darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari
BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau
lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-
nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai
penyebabnya.
» Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter)
yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui
ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau
pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari
paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam
pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure
dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema,
sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan
interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).

H. Penatalaksanaan.
- Posisi ½ duduk.
- Oksigen (90 – 100%) sampai 12 liter/menit bila perlu dengan masker NRBM.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian Primer
Airways
1) Sumbatan atau penumpukan secret.
2) Wheezing atau krekles.
3) Kepatenan jalan nafas.
Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
3) Ronchi, krekles.
4) Ekspansi dada tidak penuh.
5) Penggunaan otot bantu nafas.

Circulation
1) Nadi lemah, tidak teratur.
2) Capillary refill.
3) Takikardi.
4) TD meningkat / menurun.
5) Edema.
6) Gelisah.
7) Akral dingin.
8) Kulit pucat, sianosis.
9) Output urine menurun.

Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale
(GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja.
Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium :
keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak
sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan
kesadaran yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan
rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak
dapat dibangunkan dengan rangsang apapun.
Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan ketidaknyamanan
(nyeri) dengan pengkajian PQRST.
Pengkajian Sekunder
a. AMPLE
1) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu
terjadinya penyakitnya.
2) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit
terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
3) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan
menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang.
4) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
5) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien
dengan kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.

- Pemeriksaan fisik
a. Sistem Integumen
Subyektif :-
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat,
kemerahan
b. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot
bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor,
ronchii pada lapang paru,
c. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara
jantung tambahan
d. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
e. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
f. Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun,
g. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
h. Pemeriksaan Penunjang :
1) Hb : menurun/normal
2) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
3) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa yang mungkin muncul
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadapprosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
Rencana Tindakan:
Intervensi
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan pola nafas Pola nafas kembali efektif setelah 1. Berikan HE pada pasien 1.Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan dilakukan tindakan keperawatan tentang penyakitnya membawa pasien lebih kooperatif
keadaan tubuh yang lemah selama 3 × 24 jam, dengan kriteria dalam memberikan terapi
hasil: 2. Atur posisi semi fowler 2.Jalan nafas yang longgar dan tidak
1.Tidak terjadi hipoksia atau ada sumbatan proses respirasi dapat
hipoksemia 3. Observasi tanda dan gejala berjalan dengan lancar.
2.Tidak sesak sianosis 3.Sianosis merupakan salah satu
3.RR normal (16-20 × / menit) tanda manifestasi ketidakadekuatan
4.Tidak terdapat kontraksi otot bantu suply O2 pada jaringan tubuh
nafas perifer .
5.Tidak terdapat sianosis 4. Berikan terapi oksigenasi 4.Pemberian oksigen secara adequat
dapat mensuplai dan memberikan
5. Observasi tanda-tanda vital cadangan oksigen, sehingga
mencegah terjadinya hipoksia.
5.Dyspneu, sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun
6. Observasi timbulnya gagal
timbul takikardia dan capilary refill
nafas
time yang memanjang/lama.
6.Ketidakmampuan tubuh dalam
7. .Kolaborasi dengan tim
proses respirasi diperlukan intervensi
medis dalam memberikan
yang kritis dengan menggunakan alat
pengobatan
bantu pernafasan (mekanical
ventilation).
7.Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat membantu
dalam proses terapi keperawatan
2 Gangguan pertukaran Gas Fungsi pertukaran gas dapat 1. Berikan HE pada pasien 1.Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan maksimal setelah dilakukan tindakan tentang penyakitnya membawa pasien lebih kooperatif
distensi kapiler pulmonar keperawatan selama 3 × 24 jam dalam memberikan terapi
dengan kriteria hasil: 2. Atur posisi pasien semi 2.Jalan nafas yang longgar dan tidak
8.Tidak terjadi sianosis fowler ada sumbatan proses respirasi dapat
9.Tidak sesak berjalan dengan lancer
1. RR normal (16-20 × / menit) 3.Posisi yang berbeda menurunkan
3. Bantu pasien untuk
2. BGA normal: resiko perlukaan akibat imobilisasi
melakukan reposisi secara
1. partial pressure of 4.Pemberian oksigen secara adequat
sering
oxygen (PaO2): 75- dapat mensuplai dan memberikan
100 mm Hg cadangan oksigen, sehingga
2. partial pressure of 4. Berikan terapi oksigenasi mencegah terjadinya hipoksia
carbon dioxide 5.Dyspneu, sianosis merupakan tanda
(PaCO2): 35-45 mm terjadinya gangguan nafas disertai
5. Observasi tanda – tanda
Hg dengan kerja jantung yang menurun
vital
3. oxygen content timbul takikardia dan capilary refill
(O2CT): 15-23% time yang memanjang/lama.
4. oxygen saturation 6. Kolaborasi dengan tim 6.Pengobatan yang diberikan
(SaO2): 94-100% medis dalam memberikan berdasar indikasi sangat membantu
5. bicarbonate (HCO3): pengobatan dalam proses terapi keperawatan
22-26 mEq/liter
6. pH: 7.35-7.45

3 Resiko tinggi infeksi Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan 1.Berikan HE pada pasien tentang1.Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan area tindakan keperawatan selama 3 × 24 kondisi yang dialaminya membawa pasien lebih kooperatif
invasi mikroorganisme jam, dengan kriteria hasil: 2.Observasi tanda-tanda vital. dalam memberikan terapi
sekunder terhadap 7.Pasien mampu mengurangi kontak 2.Meningkatnya suhu tubuh dpat
pemasangan selang dengan area pemasangan selang dijadikan sebagai indicator terjadinya
endotrakeal endotrakeal 3.Observasi daerah pemasangan infeksi
o
8.Suhu normal (36,5 C) selang endotrakheal 3.Kebersihan area pemasangan
selang menjadi factor resiko
4.Lakukan tehnik perawatan secara masuknya mikroorganisme
aseptik 4.Meminimalkan organisme yang
kontak dengan pasien dapat
5.Kolaborasi dengan tim medis menurunkan resiko terjadinya infeksi
dalam memberikan pengobatan 5.Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat membantu
dalam proses terapi keperawatan
BAB 3. LAPORAN KASUS
3.1 Pengkajian
a. Identitas : Tn. N
Alamat : Padang, Lumajang
Usia : 61 th
Sex : Pria
Agama : Islam
Waktu Kedatangan : 23.00 WIB
Waktu diperiksa : 23.01 Wib
Kondisi kedatangan : Sadar
Informasi diperoleh dari : Keluarga
b. Primary survey
Kategori Triase : P1
TD : 160/80 mmHg
HR : 118 x/menit
Resp Rate : 30x/menit
SaO2 : 86%
Temp : 37,2 0C
Status mental : sadar penuh
Airway
Paten
Masalah keperawatan :-
Tindakan :-
Breathing
Cepat, Retraksi
Suara nafas Wheeze (+)

+
+
+
+
+

Masalah Keperawatan : Ketidakefetifan Pola nafas


Tindakan : - Memberikan NRBM 7 lpm
- Memberikan posisi high fowler
Circulation
Nadi : 118 x/menit
Kualitas : Reguler
CRT : <2det
Kulit : Lembab
Membran mukosa : kering
Disabilities
A : Alert (klien sadar dengan kejadian yang dialami)
V : Verbal (klien berespon terhadap pertanyaan perawat)
P : Pain (Klien berespon terhadap rangsangan nyeri)
U:-
3.2 Secondary Survey
(1) Keluhan Utama : keluarga mengatakan klien sesak sudah 5 hari, ngongsrong,
memiliki riwayat DM, terdapat luka gangren pada ibu jari kaki kanan dan kiri
(2) Riwayat Kesehatan :
S : sesak 5 hari
A : tidak memiliki riwayat alergi
M : klien tidak meminum obat untuk mengobati sesaknya
P : memiliki riwayat hipertensi dan DM
L : air putih pukul 21.00 WIB
E : tiba-tiba sesak
(3) Alergi : Tidak
(4) Nyeri : Tidak
(5) Kepala : Normal
(6) Thorak : Normal
(7) Vertebra : Normal
(8) Abdomen : Normal
(9) Ekstremitas : terdapat luka ganren pada ibu jari kaki kanan dan kiri
Oedema (+)

+ +
(10) Genitourinari : Normal
(11) Neurologi
Bicara : Normal
GCS : 15
(12) Pemeriksaan diagnostik : EKG
(13) Pengobatan Medis : Inj. RL dimatikan
Inj. Lasik 100mg
Inj. Fargoxin 0,5 mg

Hari/Tanggal Data Action/Tindakan Respon/Evaluasi


11 desember DS : Keluarga 1. Berikan oksigen tambahan S : klien
2018 mengatakan menggunakan NRBM 7lpm mengatakan
sesak sudah 5 2. Berikan posisi high fowler untuk masih sesak
hari memaksimalkan ventilasi O:
3. Auskultasi suara nafas tambahan RR : 30 x/ menit
DO : 4. Monitor status pernafasan dan SpO2 : 95%
RR : 30x/menit oksigenasi Retraksi dinding
SpO2 : 86 % 5. Anjurkan kepada klien untuk tidak dada (+)
Retraksi dinding banyak bicara Wheeze (+)
+
dada (+)
+ Wheeze (+)
+
+
+
++ Oedema
+ Ekstremitas
+
Oedema
Ekstremitas
+ +
A : Masalah
+ + tidak teratasi
P : Lanjutkan
D. Kep : intervensi 1-5
Ketidakefektifan
pola nafas
berhubungan
dengan
Hiperventilasi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC


Colquhaun, M. C, 2004. ABC of Resusitation 5th Edition. London: BMJ Publishing
Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp
Griffiths, M. J. D, 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ
Publishing
Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher

Anda mungkin juga menyukai