Anda di halaman 1dari 20

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

Menurut Diagnostic and Statistic Manual, Fourth Edition Text

revision (DSM IV-TR) bahwa gejala psikotik sebagai ciri dari beberapa

gejala dari skizofrenia. Istilah psikotik telah memiliki banyak interpretasi ,

termasuk hilangnya rasional dan atau hilangnya kemampuan membedakan

lingkungan nyata dan tidak nyata. Dan gejala tersebut merupakan gejala

yang paling sering di lihat oleh perawat. Gejala yang paling sering muncul

pada pasien skizofrenia yaitu halusinasi dan delusi. Ketiga gejala tersebut

juga merupakan karakteristik dari psikotik. Gejala tersebut juga terkadang

disertai gangguan manik depresif. Dan skizofrenia juga merupakan tahap

lanjut dari psikosis yang berkepanjangan (Frisch & Frisch, 2009).

Skizofrenia mulanya berlangsung seumur hidup, dan menganai

semua orang dengan berbagai lapisan sosial. Skizofrenia juga merupakan

gejala yang heterogen dan dikenal dengan istilah dementia prekoks.

Menurut Kraepelin mengartikan istilah dementia prekoks gangguan

kognitif (dementia) dan awitan dini (prekoks). Gejala ini memiliki

perjalanan yang lama dan gejala umum yang dialami yaitu halusinasi dan

waham. Sedangkan menurut Eugen Bleuler istilah skizofrenia

menggantikan dementia prekoks. Skizofrenia sendiri merupakan

perpecahan antara fikiran, emosi, dan perilaku pada pasien. Bleuler


16

menekankan bahwa skizofrenia tidak harus memiliki perjalanan lama

(Kaplan & sSaddock, 2010).

Kekambuhan pasien skizofrenia salah satunya dipengaruhi oleh

dukungan keluarga. Dalam penelitian Wahyuningrum dijelaskan bahwa

ada hubungan antara dukungan keluarga dengan durasi kekambuhan pada

pasien skizofrenia di Semarang. (Wahyuningrum, 2013). Selain dukungan

keluarga, kekambuhan juga dipengaruhi ekspresi emosi keluarga yang

tinggi. Sesuai dengan penelitian Machira bahwa terdapat koralasi positif

antara ekspresi emosi keluarga pasien dengan tingkat kekambuhan pasien

skizofrenia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Machira, 2008).

Selain dukungan keluarga dan ekspresi emosi, salah satu masalah

lain yaitu gejala positif dan negatif berhubungan dengan kejadian

kekambuhan. Seperti penelitian Ayu yang dilakukan di Jember bahwa pada

tahun pertama setelah terdiagnosa skizofrenia dialami 60-70% pasien tidak

mendapatkan terapi medikasi, 40% pada pasien yang mendapatkan terapi

medikasi, dan 15,7% pasien mendapatkan terapi kombinasi (medikasi,

psikoterapi, dukungan keluarga, tenaga kesehatan & masarakat) (Ayu,

2014).

Dampak skizofrenia bagi pasien skizofrenia antara lain penurunan

kualitas hidup (WHO, 2003), peningkatan lama rawat inap terutama bagi

pasien yang tidak meminum obat (Gilmer at al, 2004). Selain itu dapat

meningkatkan penggunaan pelayanan kegawatdaruratan psikiatri terutama

pada kasus perilaku kekerasan, penurunan kepuasan hidup (Ascher at al,


17

2006). Resiko lainnya dalama jangka panjang dapat menyebabkan bunuh

diri (Carlborg at al, 2008). Angka kematian akibat bunuh diri diperkirakan

12 kali lebih tinggi pada pasien skizofrenia dibandingkan pasien dengan

penyakit umum (Loas, 2009). Dalam artikel Edelman tahun 2010

dijelaskan pasien skizofrenia kehilangan produktifitasnya (pengangguran,

kematian akibat bunuh diri). Dalam artikel Fiovaranti tahun 2005

dijelaskan juga bahwa pasien skizofrenia mengalami disfungsi kognitif,

domain kognitif yang terjadi antara lain persepsi, memori jangka pendek

dan jangka panjang, perhatian, kognisi sosial, daya konsentrasi.

Kekambuhan skizofrenia juga berdampak pada penurunan fungsi

kehidupan sehari-hari (Larco at al, 2002). Respon tubuh pasien terhadap

obat juga mengalami penurunan, artinya pasien membutuhkan dosis yang

lebih tinggi untuk hasil pengobatan yang maksimal (Lindenmayer at al,

2009).

Dalam artikel Edelman at al tahun 2010 dampak pasien skizofrenia

terhadap keluarga antara lain kecemasan, emosi. Selain itu dalam artikel

Fitrikasari tahun 2012 bahwa pengasuh yang merawat pasien dengan

skizofrenia juga merasa terbebani oleh kondisi pasien, pengasuh

merasakan dampak akan penurunan kesejahteraan mereka, dampak

hubungan sosial dengan keluarga maupun masyarakat sekitar menjadi

terganggu. Selain bagi pasien dan keluarga dampak skizofrenia pada

negara seperti di Amerika pada tahun 2002 sekitar 6,27 milyar dollar. (Wu,

Birnbaum,at al, 2005).


18

2.2 Proses Recovery Pada Pasien Skizofrenia

Skizofrenia sering diartikan sebagai penyakit kronis yang menetap,

kambuh, memiliki gejala memburuk, dan tidak ada harapan untuk sembuh

kembali. Hal tersebut merupakan asumsi yang keliru (Bond at al, 2001).

Menurut Libermann tahun 2002 menunjukan bahwa pasien skizofrenia

memiliki kesempatan untuk sembuh, asalkan didukung oleh perawatan

yang komperhensif, berkesinambungan, sehingga proses pemulihan dapat

berjalan dengan baik. Pasien gangguan jiwa dapat hidup tanpa pengawasan

dari keluarga/pengasuh, mereka tidak bergantung sepenuhnya pada

keluarga, dapat secara mandiri memenuhi kebutuhannya, memiliki teman,

dan dapat bersosialisasi. Kriteria tersebut dipertahankan minimal selama 2

tahun.

Menurut Warmer tahun 2004 mengungkapkan bahwa lebih dari 20

% penderita gangguan jiwa melalui dapat sembuh walaupun pasien masih

berada pada di awal gejala, dan hal itu tentu saja melalui proses pemulihan

dan akhirnya pasien dapat mandiri baik secara ekonomi dan sosial. Proses

pemulihan pasien gangguan jiwa antara lain pasien bagaimana pasien

mencari dan mempertahankan harapan, memiliki arti hidup dan optimis

akan masa depan, bagaimana pembentukan kembali identitas, bertanggung

jawab dan memegang kontrol hidupnya sendiri (Andersen, Oades, &

Caputi, 2003).

Menurut artikel Harrow & Jobe tahun 2007 yang membahas

mengenai pasien skizofrenia yang tanpa pengobatan antipsikotik. Artikel


19

tersebut mengidentifikasi 145 pasien yang 64 diantaranya adalah

skizofrenia. Penelitian ini ditindaklanjuti selama 5 kali dalam 15 tahun,

dan setiap tindaklanjut dan hasilnya pasien menunjukan proses pemulihan

baik dan dapat melakukan kehidupannya.

Untuk menilai apakah individu telah melakukan proses recovery

dengan baik salah satu nya yaitu menilai kualitas hidup. Badan kesehatan

dunia meneliti mengenai hal ini atau dikenal dengan nama WHOQOL

(World Health Quality Of Life). Model ini dugunakan untuk menilai

masalah kesehatan mental skizofrenia yaitu memahami sifat kompleks dari

aspek kualitas hidup antara lain usia, kapan mulai sakit, seberapa jauh

pengetahuan pasien, keparahan gejala, psikopatologi, efek sampig

antipsikotik dll (Kao, 2011).

Recovery merupakan proses individu yang unik dimana proses ini

mengubah sikap, nilai-nilai, tujuan, kemampuan, dan peran seseorang.

Bagaimana seseorang menjalani hidupnya, harapannya meskipun ada

dalam keterbatasan. Bagaimana individu memaknai kehidupan barunya,

bagaimana individu mengatasi stigma, pengalaman mengatasi efek

samping obat dll. (Anthony, 1993).

Sedangkan menurut Green tahun 2004 recovery adalah

“ proses yang dinamis dari individu dalam mencapai dan

mempertahankan kesejahteraan dalam kehidupannya, sadar bahwa

gangguan mental yang dialami berdampak pada diri sendiri dan

lingkungan, kemudian individu tersebut berjuang sampai pada


20

suatu titik dan pada akhirnya individu tersebut pulih seperti orang

yang tidak memiliki masalah kesehatan mental”.

Pemulihan menurut Libermann & Kopelowitch tahun 2002 juga

didefinisikan bahwa seseorang dikatakan berada pada proses pemulihan

apabila gejala yang dialami sebelumnya tidak dialaminya sekarang, dapat

memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bekerja, dapat melanjutkan

pendidikan, hidup mandiri, memiliki teman-teman dan melakukan

kegiatan bersama, semua hal tersebut dilakukan dalam waktu sekurang-

kurangnya 2 tahun.

Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa recovery

merupakan sebuah perjalanan panjang individu yang unik, dimulai dari

terdiagnosa gangguan jiwa, menemukan harapan, kemudian menemukan

titik balik kehidupannya hingga pulih seperti orang yang tidak mengalami

gangguan jiwa dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Bagaimana

seseorang mengatasi stigma, pengalaman akan efek samping obat,

memaknai kehidupan baru meskipun dalam keterbatasan terlepas apakah

klien bebas maupun akan terus hidup dengan penyakitnya (Suryani, 2013).

Keberhasilan pemulihan seseorang dipengaruhi juga oleh

bagaimana interaksi dari beberapa faktor seperti harapan, kemandirian,

akal, manajemen diri, karakteristik lingkungan (ada/tidaknya sumber daya

pendukung misalnya tempat tinggal). Selain itu juga dipengaruhi oleh

interaksi individu & lingkungan (makna hubungan, kegiatan sosial, dll.

(Onken, at al, 2002).


21

Dalam sebuah artikel yang berjudul The Power of Prorecovery in

Healing Mental Ilness tahun 2000, Crowley mengatakan :

“ Banyak hal yang dapat dicapai apabila kita dapat melepaskan

siapa kita dulu dan membuktikan siapa kita sekarang dan kita bisa

jadi siapapun”. Watson juga mengatakan : “ perjuangan bisa

memperkaya kita, membuat kita lebih penyayang, peka dan berani.

Kita juga telah belajar dari beberapa pelajaran berharga sepanjang

perjalanan, dan kami tidak ingin seperti sebelumnya atau seperti

orang lain yang mengalami hambatan oleh penyakit mereka”.

Banyak yang merasa mereka telah menjadi orang yang lebih baik

setelah melalui proses pemulihan. Mereka berjuang walaupun

dalam keterbatasan status sosial rendah tetapi dapat mengambil

hikmah dari keadaan mereka sendiri”.

Menurut artikel Deegan tahun 1997 menjelaskan bahwa

penghentian penggunaan obat merupakan suatu kemajuan kondisi menuju

kesembuhan, sementara klien lain menganggap bahwa mereka merasa

dikendalikan oleh obat. Selain itu ada juga klien lainnya yang menganggap

bahwa penggunaan obat-obatan merupakan bagian dari proses pemulihan

dan menggunakan pelayanan kesehatan hanya ketika dibutuhkan.

Sedangkan menurut Topor tahun 2001 bahwa menurut pasien gangguan

jiwa pengunaan obat-obatan memiliki peran utama dalam pemulihan.

Dengan perbedaan pendapat tersebut diperlukan pengetahuan yang luas


22

mengenai pengalaman pribadi klien dalam proses pemulihan itu sendiri

sehingga individu difahami secara utuh oleh perawat.

Dari beberapa artikel antara lain Lapsley & Martyn tahun 2002

tentang manajemen diri dalam proses recovery, Bellack tahun 2010

tentang karakteristik recovery, Broadmann tahun 2002 tentang recovery

bagi seluruh professional kesehatan, Hanna tahun 2010 tentang patient

centre care, Grandfield & Cloud tahun 1999 tentang kekuatan diri (sumber

internal & eksternal), Bobes at al tahun 2009 tentang recovery pada pasien

skizofrenia, Davidson tahun 2005 tentang recovery, Broadmann tahun

2010 tentang harapan dan peluang sembuh bagi pasien dalam konteks

recovery, Mead & Copeland tahun 2000 tentang recovery dilihat dari

perspective pasien sebagai konsumen, Andersen tahun 2002 tentang

pengalaman pasien skizofrenia dalam proses recovery, Stewart tahun 2002

tentang pemberdayaan pasien sebagai sarana recovery.

Dari beberapa artikel diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses

pemulihan didapatkan 10 karakteristik recovery antara lain : self direction,

person centered, empowerment (pemberdayaan), holistik, non-linier,

strengths based, peer support, respect, responsibility dan hope. Berikut

penjelasan dari masing-masing karakteristik tersebut :

Mengontrol diri sendiri merupakan bagian dari manajemen diri

yang dapat diartikan meskipun kehidupan dipengaruhi keadaan eksternal,

namun kontrol tetap ada pada diri kita sendiri. Walaupun intervensi

dilakukan oleh professional kesehatan, namun inisiatif ada pada diri,


23

bukan menjadikan pasien ketergantungan (Lapsley, 2002). Serupa dengan

Lapsley tahun 2002, Bellack tahun 2010 juga menjelaskan mengenai self

direction dimana klien memimpin, mengendalikan, dan menentukan jalan

mereka sendiri dalam proses pemulihan. Menurut Broadmann tahun 2010

kontrol diri berkaitan dengan penentuan nasib sendiri, pilihan dan

tanggung jawab atas hal yang dilakukan. Serupa dengan Broadmann,

Martyn tahun 2002 juga menjelaskan individu memegang kontrol atas

bagaimana cara mengatasi, mengelola atau meminimalkan segala sesuatu

yang menghambat dan membatasi kondisi gangguan jiwa, mengontrol

bagaimana cara berkembang, merasa bahagia dan puas meskipun pasien

berada dalam keterbatasan

Person centered artinya didalam proses pemulihan, setiap individu

memilih jalur yang berbeda-beda, memiliki keunikan dan pengalaman

yang berbeda pula. (Bellack, 2010). Dalam artikel Hanna tahun 2010

dijelaskan bahwa dalam merawat pasien perawat harus berpusat pada

pasien atau patien centre care dimana perawatan bersifat individual dan

pasien secara utuh dapat bebas memilih bagaimana perawatan yang akan

dilakukan, memilih penyedia pelayanan kesehatan, dalam prosesnya

individu mendapatkan perawatan yang respek dan hangat. Klien sebagai

pembuat keputusan dan terlibat penuh dalam pelayanan keperawatan.

Selain itu, perawat sebagai penyedia pelayanan keperawatan harus

memperhatikan hal-hal seperti pelayanan harus mudah diakses oleh pasien,

respek terhadap pasien, pelayanan dapat diberikan dimana saja, melihat


24

permasalahan dari sisi klien, melakukan pengkajian terhadap kondisi

kognitif pasien, status kesehatan pasien, inform consent dll.

Pemulihan erat kaitannya dengan pemberdayaan pasien yang

mengalami gangguan jiwa. Pemberdayaan artinya klien memiliki

kewenangan untuk menentukan pilihan dan membuat keputusan yang akan

berdampak pada kehidupan mereka. (Bellack, 2010). Pemberdayaan

didalamnya terdapat potensi faktor internal dan eksternal dikombinasikan,

dimana individu memfasilitasi dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri,

peduli atas apa yang terjadi. (Stewart & Kopache, 2002). Grandfield juga

menjelaskan bahwa sumber daya internal dan eksternal yang berfungsi

untuk memulai dan mempertahankan recovery itu sendiri. (Granfield &

Cloud, 1999).

Karakteristik selanjutnya yaitu holistik artinya proses recovery

berfokus pada semua aspek dalam kehidupan manusia termasuk emosi,

sosial, body mind spirit (Bellack, 2010).

Proses pemulihan sendiri tidaklah linier, artinya mengalami

pertumbuhan dan kemunduran. Periode perubahan dapat cepat ataupun

lambat tergantung individu. Secara keseluruhan pertumbuhan terus maju

ke atas walaupun terkadang dalam prosesnya mengalami kemunduran.

(Anthony, 1993). Serupa dengan Anthony, Bobes at al tahun 2009 juga

menjelaskan bahwa proses recovery bersifar non-linear artinya bahwa

dalam proses pemulihan setiap individu memiliki perbedaan dalam

perkembangannya meskipun melalui langkah-langkah yang sama. Hal


25

serupa juga di jelaskan Bellack tahun 2010 bahwa pemulihan bukanlah

selangkah demi selangkah, akan tetapi satu kesatuan yang

pertumbuhannya yang terus menerus dengan kemunduran sesekali.

Dalam proses pemulihan hal lain yang penting yaitu strengths

based. Dimana pemulihan berfokus pada individu sendiri dalam menilai

kekuatan yang dimiliki. strengths based artinya ketahanan dan

kemampuan dalam mengatasi masalah. (Ballack, 2010). Selain Ballack,

Davidson tahun 2005 juga menjelaskan bahwa kekuatan dan mekanisme

koping setiap individu berbeda-beda, kondisi kesehatan mental juga

berbeda maka kondisi ini perlu dilakukan pendekatan sesuai dengan

kekuatan individu itu sendiri.

Peran sesame pasien yang juga mengalami gangguan jiwa sangat

penting dalam memberikan support bagi klien. Orang tersebut mendukung,

menjadi orang terdekat, dan ada saat dibutuhkan. Memberi dukungan

namun tidak memaksa, mendengarkan, memahami ketika ada

permasalahan. (Anthony, 1993). Menurut Ballack juga dijelaskan bahwa

peer support bagi gangguan jiwa membuat klien merasa dihargai (Bellack,

2010).

Dalam proses pemulihan klien tidak berdiri sendiri, dibutuhkan

partisipasi masyarakat. Individu dengan gangguan jiwa ingin menjadi

bagian dari masyarakat, agar dihormati oleh masyarakat, memberikan

kontribusi terhadap masyarakat dan memiliki hubungan baik dengan

masyarakat tersebut.(Broardman, 2010).


26

Dalam proses pemulihan juga diperlukan tanggung jawab klien

atas dirinya sendiri. Dalam artikel Deegan tahun 1996, seorang klien yang

tengah berada dalam proses pemulihan berkata : “ saya sekarang

menyadari bahwa saya perlu bertanggung jawab atas pemulihan saya

sendiri, saya tidak dapat menunggu seseorang membantu saya”. Tanggung

jawab tersebut meliputi manajemen diri, obat-obatan, otonomi dalam

pilihan hidup, tanggung jawab ketika mencoba kemudian gagal dan

mencoba kembali (Deegan, 1996). Seseorang yang mengalami gangguan

jiwa harus menentukan perjalanan hidupnya sendiri, dengan bantuan dan

bimbingan (Mead & Copeland, 2000). Serupa dengan Deegan dan

Coopeland, Andersen tahun 2002 juga menjelaskan bahwa tanggung jawab

berperan penting dalam proses pemulihan. Tanggung jawab yang

dimaksud antara lain : manajemen diri & obat-obatan, otonomi terhadap

pilihan hidup, tanggung jawab terhadap tindakan, resiko atas tindakan

yang diambil, dll. (Andersen, 2000). Orang dapat beranggapan bahwa

klien tidak dapat dihargai secara sosial. Artinya klien tidak dapat

menjalankan perannya secara sosial. Mead dan Coopeland menjelaskan

bahwa “ kita telah belajar bahwa kita bertanggung jawab atas hidup kita

sendiri dan bisa maju dan melakukan apa yang kita inginkan “. (Mead &

Copeland, 2000).

Karakteristik lainnya yaitu harapan. Proses pemulihan mustahil

tanpa adanya harapan, harapan dilakukan untuk mempertahankan

motivasi, harapan juga mendukung individu dalam menjalani proses


27

pemulihan itu sendiri (Boardman at al, 2010). Menurut Andersen tahun

2000 menjelaskan bahwa harapan dapat berasal dari dalam diri individu,

maupun dipicu hal di luar individu. Harapan dapat muncul dari orang yang

menjadi panutan, orang yang di cintai, dan merupakan langkah awal

proses pemulihan. Harapan bukan hanya sebagai pemicu proses pemulihan

tetapi juga dapat mempertahankan proses pemulihan itu sendiri : “ saya

telah bertemu dengan orang-orang yang telah sembuh dari gangguan ini

dan apa yang membedakan mereka dengan orang lain adalah keyakinan

bahwa mereka bisa disembuhkan”. (Andersen, 2002).

2.3 Pengalaman Hidup Pasien Skizofrenia Dalam Proses Recovery

Kisah patricia dalam proses pemulihan telah memberikan

gambaran bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa merasa

kesepian, mereka membutuhkan teman sebagai sandaran hidup. Klien juga

menganggap obat-obatan seakan memborgol seperti haloperidol misalnya.

Klien juga banyak menghabiskan waktunya dengan merokok sampai jari-

jaringa menguning. Hal itu terus menerus dilakukan sepanjang waktu.

Merasa orang disekelilingnya memaksa klien untuk melakukan sesuatu

yang sebetulnya tidak diinginkannya. Patricia memberi tahu kita bahwa

waktu demi waktu, bulan demi bulan dilewati dengan perasaan mati rasa

yangditandai oleh rokok. Begitu hari demi hari. sampai pada suatu ketika

orang yang biasa memotivasinya mengajaknya untuk berbelanja dan pada

saat mendorong troly disitulah seperti ada kekuatan yang mendorongnya.

Dan dia segera sadar bahwa meskipun yang dilakukan adalah langkah
28

kecil, namun perlahan-lahan dia akan mengambil sikap yang akan

merubah dirinya.

Sikap yang ditunjukan Patricia merupakan sikap aktif dan merupakan ciri

khas dari proses pemulihan. Pemulihannya berlangsung ketika dia

berjuang bersama gejala yang dirasakan mulai dari perasaan berduka,

berjuang ketika melepaskan obat-obatan terlarang, berjuang melawan

perasaan saat menjadi korban kekerasan seksual dll. Dia terlibat sendiri

dalam proses pemulihannya sendiri dengan cara menggunakan jasa

professional kesehatan, psikoterapi, dan sudah tidak membutuhkan obat-

obatan lagi.

Kisah lain seperti Rufus may seorang psikolog klinis yang saat usia

18 tahun didiagnosa skizofrenia dan harus minum obat disisa hidupnya.

Namun May membuktikan bahwa bisa sembuh dalam waktu 14 bulan dan

tidak lagi menggunakan pelayanan kesehatan. May tidak menerima dirinya

gangguan jiwa dan tidak pula menerika intervensi yang diberikan,

akhirnya hanya mau melakukan terapi okupasi. Menurut May selama ini

pandangan praktisi kesehatan salah menganggap bahwa pasien gangguan

jiwa tidak berdaya dan tidak memiliki kemungkinan sembuh. May merasa

harus keluar dari zona tersebut dan membuktikan bahwa suatu saat dapat

sembuh, maka May memutuskan mendalami ilmu psikologi dan menjadi

seorang psikolog klinis.

Selain Patricia & May, dari hasil wawancara dalam sebuah seminar

mahasiswa keperawatan jiwa tahun 2014 dengan Hanna Al Fikih dimana


29

gejala seperti halusinasi dan berteriak-teriak sudah dialaminya sejak kecil.

Hanna dianggap asing oleh teman-temannya juga orang tuanga. Hal itu

berlangsung hingga remaja dimana Hanna sering tiba-tiba menangis keras

dan terkadang tertawa dan merasa bahagia tanpa sebab. Hingga dokter

yang merawatnya mendiagnosa skizofrenia dan bipolar. Hanna mendatangi

rumah sakit dan mendapati bahwa penderita gangguan jiwa lain jauh lebih

memprihatinkan. Hanna merasa beruntung dan bertekad harus merubah

pandangan bahwa meskipun dia gangguan jiwa, akan tetapi dapat seperti

orang pada umumnya. Saat di wawancara Hanna sudah tidak

menggunakan obat-obatan selama 6 bulan dan dalam proses pemulihannya

dibantu oleh teman dekatnya yang setiap saat menolongnya saat

dibutuhkan. Saat ini Hanna berfrofesi sebagai pelukis, model dan juga

bekerja di perusahaan sebagai desainer.

Kisah selanjutnya dalam artikel Bartnik tahun 2012 adalah Joshua

Cunniffe berusia 19 tahun asal Australia anak tertua dari 5 bersaudara telah

mengalami kejadian tragis dimana seluruh anggota keluarganya meninggal

akibat bunuh diri. Seorang remaja yang harus melanjutkan hidupnya

dengan bersekolah dengan penuh rasa cemas akibat kejadian yang

menimpanya. Ia harus beradaptasi dengan sekolah barunya dan sadar

bahwa dirinya kemungkinan mengalami depresi. Ia berjuang untuk

melawan perasaan tersebut selama 2 tahun dan menyembunyikan semua

kejadian yang menimpanya. Di Sekolah Josh dikenal sebagai pelajar yang

baik, ramah, berprestasi, menjadi panutan teman-temannya. Dibalik semua


30

itu josh terus berjuang dengan perasaannya dalah kesedihan. Josh terus

menyembunyikan apa yang menimpanya kepada orang lain. Josh

kemudian berkata : “saya belum pernah mendengar seorang remaja

mengalami masalah seperti saya dan saya takut orang berfikir bahwa

saya lemah “. Josh telah menemukan caranya untuk mengatasi semua

masalahnya dan telah diam-diam hidup dengan masalahnya. Josh telah

mencapai titik dimana ia tidak kuat dan menghubungi temannya untuk

memberikan dukungan kepadanya. Disitulah awal mula proses pemulihan

josh dimulai yang akhirnya membuka jalan untuk menggunakan pelayanan

kesehatan.

2.4 Peran Perawat Dalam Proses Recovery

Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan baik oleh

individu, keluarga maupun masyarakat terhadap perawat sesuai

kedudukannya dalam sistem pelayanan kesehatan (Kusnanto, 2005).

Sebagai perawat professional memberikan asuhan keperawatan secara

holistik meliputi aspek bio-psiko-sosiokultural-spiritual. Asuhan

keperawatan dilakukan kepada klien, keluarga dan masyarakat pendekatan

multidisiplin (Marilynn, 2006).

Dalam artikel Adam et al tahun 2003 dijelaskan bahwa peran

perawat sangat dirasakan klien terutama klien yang tidak memiliki teman

dekat maupun keluarga. Klien merasa bahwa perawat jiwa memfasilitasi

kebutuhan mereka sehingga merasa dihargai dan apabila telah terbina


31

hubungan saling percaya antara perawat jiwa dan klien, maka klien akan

lebih menghargai pendapat perawat dan lebih mudah dalam melakukan

intervensi.

Peran perawat dalam proses pemulihan membutuhkan pendekatan

yang berbeda, perawat harus memposisikan klien sebagai orang yang ahli

dalam penyakitnya, klien memiliki otoritas dalam memilih intervensi yang

diberikan, perawat harus jujur, terbuka dan yang penting perawat harus

menanamkan harapan pada klien (Perkins, 2006).

Dalam artikel Nutbeam tahun 2002 dijelaskan bahwa perawat jiwa

harus memiliki keterampilan untuk dapat memberikan intervensi yang

lebih baik. Salah satu peran perawat adalah memberikan promosi

kesehatan yang tujuannya agar klien dapat mengontrol dirinya sendiri

sehingga kondisi kesehatan mereka meningkat dan membantu kelompok

klien lain yang beresiko tinggi. Promosi kesehatan juga bertujuan

memberdayakan pasien, meningkatkan rasa tanggung jawab klien dan

menciptakan otonomi pasien sehingga dapat membatu proses recovery.

Peran perawat jiwa tidak hanya memperhatikan kebutuhan

psikologis klien akan tetapi kebutuhan fisik klien. Banyak dari masyarakat

yang gangguan jiwa yang juga mengalami masalah kesehatan fisik tidak

mencari atau menerima pelayanan kesehatan yang baik hal ini disebabkan

karena kesulitan akses, ketakutan & kecemasan klien ketika mengunjungi

penayanan kesehatan. Salah satu contoh klien schizophrenia atau bipolar

yang juga mengalami diabetes mellitus, stroke, penyakit jantung iskemik,


32

tekanan darah tinggi. (Phelan at al, 2001). Menurut Mc Cardle at al tahun

2007 peran perawat selain promosi kesehatan juga memberikan asuhan

secara holistik. Sebagai contoh seorang klien bernama Brian, didiagnosa

schizophrenia yang juga mengalami diabetes mellitus tipe 2, maka perawat

dalam memberikan asuhan yaitu menemani ketika klien berbelanja dengan

membantu memilih bahan makanan yang sesuai atau tidak bagi klien,

memberikan pendidikan kesehatan mengenai pentingnya diet sehat. Brian

mampu hidup dengan baik meskipun dengan keterbatasan penyakit dan

mampu mengambil tanggung jawab pada dirinya sendiri. Pendapat

tersebut sama dengan Ewles & Simnett tahun 2003 bahwa promosi

kesehatan yang dilakukan perawat dapat merubah perilaku seseorang.

Menurut Esther tahun 2003 peran perawat dalam proses recovery

lainnya yaitu sebagai fasilitator, supervisi, dan advocat. Fasilitator artinya

perawat merupakan tempat bertanya bagi klien, keluarga dan masyarakat

dalam memecahkan masalah kesehatan. Perawat diharapkan dapat

memberikan solusi dalam mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi.

Supervisi artinya kegiatan-kegiatan yang terencana seorang manajer

melalui aktifitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi dan evaluasi.

(Arwani, 2006). Perawat melakukan supervisi terhadap klien, pengasuh,

dan perawat lainnya dalam keseluruhan proses pemulihan dan menjamin

keseluruhan proses recovery dapat berjalan dengan baik melalui proses

evaluasi.
33

Advokasi artinya perawat sebagai penyedia pelayanan keperawatan

melindungi hak azasi dan hukum bagi klien. Sebagai contoh perawat

memberikan informasi lebih lanjut untuk membantu klien memutuskan

terapi apa yang cocok bagi klien. Perawat dapat dibantu keluarga dalam

menyampaikan kepada klien jika klien tidak memahami apa yang

disampaikan perawat. Terkadang dibutuhkan pernyataan langsung yang

menyatakan ketidaksetujuan terhadap tindakan yang membahayakan klien

dan hak-haknya. Dalam proses advokasi perawat harus menyesuaikan

dengan agama dan budaya klien.

Dalam proses recovery pasien schizophrenia, perawat dapat

melibatkan teman atau keluarga pasien sebagai Careers (pengasuh).

Keberadaan pengasuh sangat mendukung proses pemulihan sebagai

fasilitator, juga efektif menanggulangi stigma. Tujuan dari adanya

pengasuh/wali pasien adalah memberdayakan pengasuh yang juga dapat

mengembangkan model perawatan dan membantu memfasilitasi antara

pasien dengan pasien lainnya yang sedang dalam proses pemulihan. Peran

perawat adalah memberi pemahaman kepada pengasuh mengenai

bagaimana teknis perawatan dan intervensi yang diberikan. Perawat juga

memfasilitasi mengenai hal-hal yang yang diperlukan pengasuh. Selain itu

peran advocate juga dilakukan perawat dalam perlindungan terhadap

dampak dari tindakan keperawatan , persetujuan dan kerahasiaan terhadap

intervensi yang diberikan (inform consent). Perawat juga melakukan peran

lainnya yaitu supervisi artinya mengawasi, memastikan semua proses


34

yang berjalan sehingga proses pemulihan dapat berjalan dengan baik.

(Escher, 2013)

Peran perawat dalam proses pemulihan selain memberikan

intervensi keperawatan, juga edukatif yaitu melakukan pendidikan

kesehatan kepada klien untuk merubah perilaku klien. Dalam prosesnya,

perawat dan pasien memahami kebutuhan pasien dan antara perawat dan

pasien saling berbagi pengalaman masing-masing dalam mengatasi

masalah pasien. Dalam proses pemulihan sendiri perawat mengharapkan

ingin mendapatkan kembali keadaan pasien ke dalam kondisi normal ,

melalui prose pemulihan perawat juga memeriksa perubahan kondisi

tersebut. (Escher, 2013).

Anda mungkin juga menyukai