Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TIJAUAN PUSTAKA

3.1 Defenisi Karsinoma Serviks


Kanker mulut rahim adalah tumor ganas yang mengenai lapisan permukaan
(epitel) dari leher rahim atau mulut rahim, di mana sel-sel epitel tersebut mengalami
penggandaandan berubah sifat tidak sama seperti sel yang normal. Kanker serviks
berkembang secara bertahap, tetapi progresif. Proses perkembangan sel ini dimulai
dengan sel yang mengalami mutasilalu berkembang menjadi sel displastiksehingga
terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia
sedang dan displasia berat hingga akhirnya menjadi karsinoma in-situ (KIS), kemudian
berkembang lagi menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan KIS dikenal juga
sebagai lesi pra-kanker. Dari displasia menjadi kersinoma in-situ diperlukan waktu 1-7
tahun, sedangkan karsinoma in-situ menjadi karsinoma invasif berkisar 3-20 tahun.6

3.2 Epidemiologi Kanker Serviks


Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus.
Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital, dan
data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun insiden dari
kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan sekitar
200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-
49 tahun yang hidup di negara sedang berkembang. Berdasarkan GLOBOCAN 2012
kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara global dalam segi angka kejadian (urutan
ke urutan ke-6 di negara kurang berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab
kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat
leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang, dan
urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker
serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak berdasar data dari Patologi
Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar 12,7%. 7
3.3 Klasifikasi Kanker Serviks

a. Klasifikasi berdasarkan klinis:9


Tingkat Kriteria
0 KIS (karsinoma in-situ) atau karsinoma intra epitel membrana basalis masih utuh.
I Proses terbatas serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
Ia Karsinoma mikro invasif bila membrana basalis sudah rusak dan tumor sudah
memasuki stroma tdk > 3mm dan sel tumor tidak terdapat dalam pembuluh limfe/
pembuluh darah. Kedalaman invasi 3mm sebaiknya diganti dengan tdk >1mm.
Ib occ IB occult = IB yang tersembunyi secara klinis tumor belum tampak sebagai Ca,
tetapi pada pemeriksaan histologis, ternyata sel tumor telah mengadakan invasi
stroma melebihi IA.
Ib secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik menunjukan invasi ke
dalam stroma serviks uteri.
II Proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar kebagian 2/3 bagian atas
vagina dan kebagian parametrium, tetapi tidak sampai dinding panggul.
IIa Penyebaran hanya kevagina, parametrium masih bebas dari infiltrat tumor.
IIb Penyebaran ke parametrium uni/bilateral tetapi belum sampai ke dinding panggul.
III Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina/ ke parametrium sampai
dinding panggul.
IIIa Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina, sedang ke parametrium tidak
dipersoalkan asal tidak sampai ke dinding panggul.
IIIb Penyebaran sudah sampai kedinding panggul, tidak ditemukan daerah bebas
infilrat antar tumor dengan dinding panggul (frozen pelvic)/ proses pada tk klinik
I/II. Tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.
IV Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan mukosa rektum
dan tau kandung kemih.
IVa Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi mukosa rektum
dan atau kandung kemih.
IVb Telah terjadi penyebaran jauh.
b. Klasifikasi keganasan menurut sistem TMN:9

Tingkat Kriteria
T Tidak ditemukan tumor primer.
TIS Karsinoma pra invasif (KIS).
TI Karsinoma terbatas pada serviks.
TIa Pra klinik: karsinoma yang invasif terlibat dalam histologik
TIb Secara jelas karsinoma yang invasif
T2 Karsinoma telah meluas sampai di luar serviks, tetapi belum sampai dinding
panggul, atau Ca telah menjalar ke vagina, tetapi belum sampai 1/3 bagian
disltal.
T2a Ca belum menginfiltrasi parametrium.
T2b Ca telah menginfiltrasi parametrium.
T3 Ca telah melibatkan 1/3 distal vagina/ telah mencapai dinding panggul (tidak
ada celah bebas).
T4 Ca telah menginfiltrasi mukosa rektum, kandung kemih atau meluas sampai
diluar panggul.
T4a Ca melibatkan kandung kemih/ rektum saja, dinuktikan secara histologik.
T4b Ca telah meluas sampai keluar panggul.
Nx Bila memungkinkan untuk menilai limfa regional. Tanda -/+ ditambahkan
untuk tambahan ada atau tidaknya informasi mengenai pemeriksaan
histologik, jadi Nx + atau Nx -.
N0 Tidak ada deformitas kelenjar limfe pada limfografi.
N1 Kelenjar limfa regional berubah bentuk (dari CT Scan panggul, limfografi).
N2 Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul dengan celah
bebas infiltrat diantara massa ini dengan tumor.
M0 Tidak ada metastase jarak jauh.
M1 Terdapat metastase jarak jauh, termasuk kelenjar limfe di atas bifurkatio
arteri komunis.

c. Klasifikasi berdasarkan histopatologi:9


1. CIN 1 ( Cervical Intraepitheliel Neoplasia), perubahan sel- sel abnormal
lebih kurang setengahnya. Berdasarkan pada kehadiran dari displasia
yang dibatasi pada dasar ketiga darilapisan cerviks, atau epitelium
(dahulu disebut displasia ringan). Ini di pertimbangkan sebagai low
grade lesion (luka derajat rendah).
2. CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya.
Dipertimbangkan sebagai luka derajat tinggi (high-grade lession). Ia
merujuk pada perubahan-perubahan sel displastik yang dibatasi pada
dasar duapertiga dari jaringan pelapis ( dahulu di sebut displasia sedang
atau moderat).
3. CIN3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel, adalah luka
derajat tinggi (high grade lession). Ia merujuk pada perubahan –
perubahan pra kanker pada sel-sel yang mencakup lebih besar dari
duapertiga dari ketebalan pelapis serviks, termasuk luka-luka dengan
ketebalan penuh yang dahulunya dirujuk
4. sebagai displasia dan karsinoma yang parah di tempat asal.

3.4 Etiologi dan Faktor Risiko Kanker Serviks

3.4.1 Etiologi
Sel kanker serviks pada awalnya berasal dari sel epitel serviks yang mengalami
mutasi genetic sehingga merubah perilakunya. Sel yang bermutasi ini melakukan
pembelahan sel yang tidak terkendali, immortal dan menginvasi jaringan stroma di
bawahnya. Keadaan yang menyebabkan mutasi genetik ini tidak dapat diperbaiki akan
menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel kanker.4
Penyebab utama kanker seviks adalah infeksi virus HPV (Human Papilloma
Virus). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV
dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini
terutama melalui hubungans eksual. Dari banyaknya tipe virus HPV, tipe 16 dan tipe 18
mempunyai peranan penting melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengode
pembentukan protein-protein yang penting dalam replikasi virus.4
HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang
ebrasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein
E6 akan mengikat P53 sehingga TSG (Tumor suppressor Gene) P53 akan kehilangan
fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan
terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa
kontrol.9

4.3.2 Faktor risiko


a) Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa risiko terjangkit kanker serviks
meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang dimulai
pada usia dini, yaitu kurang dai 20 tahun, juga dapat dijadikan sebagai faktor risiko
terjadinya kanker serviks. Hal ini juga ada hubungannya dengan belum matangnya
daerah transformasi pada usia tersebut bila sering terekspose. Frekuensi hubungan
seksual juga berpengaruh pada lebih tingginya risiko pada usia tersebut, tetapi tidak
pada kelompok usia lebih tua.10,11
b) Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan.
Semakin sering melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks.
Penelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara risiko dengan
multiparitas setelah dikontrol dengan HPV. 10,11
c) Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983
(schiffman, 1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks
dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga
mendapatkan bahwa semua kejadian kanker serviks invasive terdapat pada
pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker
setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna kontrasepsi
oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh Peritz dkk menyimpulkan bahwa
aktivitas seksual merupakan confounding yang erat kaitannya dengan hal tersebut.
10,11
WHO melihat berbagai penelitian yang menghubungkan penggunaan
kontrasepsi oral dengan risiko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa sulit
mengnterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama penggunaan
kontrasepsi oral berinteraksi dengan faktor lain khususnya pola kebiasaan seksual
dalam mempengaruhi risiko kanker serviks. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan
pemeriksaan smear serviks, sehingga displasia dan karsinoma in situ Nampak lebih
jelas pada kelompok tersebut. Diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
asosiasi antara lama penggunaan kontrasepsi oral dengan risiko kanker serviks
karena adanya bias dan faktor confounding. 10,11
d) Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defsiensi zat gizi tertentu seperti
betakaroten dan vitamin A serta asam folat, berhubungan dengan peningkatan risiko
terhadap displasia ringan dan sedang. Namun sampai saat ini tidak ada indikasi
bahwa perbaikan defisiensi gizi tersebut akan menurunkan risiko.10,11
e) Sosial ekonomi
Studi secara deskriptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat
antara kejadian kanker serviks dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hal ini
juga diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen
pada wanita dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah. Faktor defisiensi
nutrisi, multilaritas dan kebersihan genitalia juga diduga berhubungan dengan
masalah tersebut. 10,11.
f) Pasangan seksual
Peranan pasangans eksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan
yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi
risiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebrsihan
genitalian yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang
terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga
merupakan faktor risiko yang lain. 10,11

3.5 Patofisiologi kanker serviks


Karsinoma serviks biasanya timbul di daerah yang disebut squamousa-columnar
junction (SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan
endoserviks kanalis serviks., dimana secara histologi terjadi perubahan dari sel epitel
kuboid/ kolumnar pendek bersilia. Letak SCJ dipengaruhi faktor usia, aktivitas seksual
dan paritas. Pada wanita muda SCJ berada di kanalis serviks. Oleh karena itu pada
wanita muda, SCJ berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar
berupa mutagen yang akan memicu dysplasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dnegan
aktifitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium uteri eksternum Karena trauma atau
retraksi otot oleh prostaglandin.12
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologi pada epitel serviks yaitu
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat
proses metaplasia ini secara morfologi terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang
menjadi tempat pertemuan antara sel epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.
Daerah diantara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi.13
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu faktor
penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam nukleat
virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga
menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat
berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang dsebut
displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma
in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasive. Tingkat displasia dan
karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.11,12
Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa
yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi
persyaratan sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang
mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangka karsinoma in-situ
adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasive tetapi
membrane basalis masih utuh.13
Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasma Intraepitel Serviks (NIS)
untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari : 1) NIS 1, untuk
displasia ringan, 2) NIS 2, untuk displasia sedang, 3) NIS 3, untuk displasia berat, dan
karsinoma in-situ.13
Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang dimulai
dari displasia ringan (NIS), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma in-
situ (NIS 3). Untuk kemudian perkembangan menjadi karsinoma invasive. Beberapa
penelitian menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regenerasi, yang terbanyak
berasal dari NIS 1/NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan
berkembang menjadi progresif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap
potensial menjadi ganas sehingga harus ditatalaksana sebagaimana mestinya.14
Terhadap risiko bagi semua wanita yang terinfeksi HPV dapat menjadi lesi
kronis dan pra-kanker serta berkembang menjadi kanker serviks invasif. Dibutuhkan
waktu 15 sampai 20 tahun untuk berkembang menjadi kanker serviks pada wanita
dengan system kekebalan tubuh normal. Sedangkan pada wanita dengan system
kekebalan tubuh lemah. Seperti wanita dengan infeksi HIV yang tidak diobati
membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 tahun untuk berkembang menjadi kanker
serviks.14

3.6 Mainifestasi Klinis Kanker Serviks


Pada fase prakanker, sering tidak disertai dengan gejala atau tanda-tanda yang
khas, namun kadang-kadang dapat ditemui gejala sebagi berikut :13
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina, cairan yang keluar dari vagina
makin lama makin berbau busuk karena adanya infeksi dan nekrosis jaringan.
b. Perdarahan setelah senggama (post coital bleeding ) kemudian yang berlanjut ke
perdarahan yang abnormal.
c. Pada tahap invasif dapat muncul cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau
dan dapat bercampur dengan darah.
d. Timbul gejala-gejala anemia akibat dari perdarahan yang abnormal.
e. Timbul nyeri pada daerah panggul atau pada daerah perut bagian bawah bila
terjadi peradangan pada panggul.
f. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih khas untuk kanker.

3.7 Deteksi dini lesi pra kanker


a) Tes Iva
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah
peradangan yang pemeriksanya mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat /asam cuka 3-5% . Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) merupakan
deteksi dini kanker serviks yang sesuai untuk negara berkembang termasuk
Indonesia. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang
disebyut acetowhite epithelium. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi
epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik
cairan dari intraseluler sehingga membrane akan kolaps dan jarak anatara sel
akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar,
sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar hingga
permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebyut juga epitel
putih(acetowhite). Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan
berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan
intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini memebedakannya dengan
proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang
karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein
lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas makin tinggi derajat kelainan
jaringannya. Kategori temuan IVA :15
a. Negatif Tidak ada lesi bercak putih
- Samar. Transparan, tidak jelas,
terdapat lesi bercak putih yang
ireguler pada serviks.
- Lesi bercak putih yang tegas
b. Positif (+)
membentuk sudut (angular),
geographic acetowhite lesions
yang terletak jauh dari
sambungan skuomokolumnar
- Lesi acetowhite yang buram
padat dan berbatas jelas
sampai ke sambungan
skuamokolumnar
c. Positif 2 (++) - Lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas tegas,
tebal dan padat
- Pertumbuhan pada leher rahim
menjadi acetowhite
b) Pap Smear
Pap smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil
dari leher rahum dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Pap smear
merupakan tes aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun untuk
mendeteksi kelainan kelainan yang terjadi pada sel-sel rahim. Pemeriksaan pap
smear bertujuan sebagai evaluasi sitohormonal, mendiagnosis peradangan,
identifikasi organism penyebab peradangan, mendiagnosis kelainan pra kanker
(displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini atau lanjut
(karsinoma/invasive). Tes pap smear diindikasikan untuk skrining lesi prakanker
dan lesi kanker serviks. Wamita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear
biasanya mereka yang tinggi aktifitas seksualnya namun tidak menjadi
kemungkinan juga wanita yang tidak mengalami aktivitas sesualnya
memeriksakandiri. ACOG merevisi pedoman skrining kanker serviks yaitu
dimulai saat usia 21 tahun tanpa memepertimbangkan riwayat seksual
sebelumnya.
Parameter ACS rekomendasi
Mulai skrining sitologi pada usia 21
Usia memulai skrining tahun, tanpa mempertimbangkan
riwayat seksual sebelumnya
Skrining dengan sitologi saja setiap 3
Skrining antara usia 21-29 tahun
tahun
Skrining dengankombinasi sitologi dan
pemeriksaan HPV stiap 5 tahun atau
Skrining antara 30-65 tahun sitologi saja setiap 3 tahun. Skrining
HPV saja secara umum tidak
direkomendasikan.
Usia 65 tahun, jika wanita memiliki
Usia berhenti skrining skrining awal negative dan tidak
dinyatakan resiko tinggi kanker serviks
Tidak diindikasikan untuk wanita tanpa
Skrining setelah histerektomi leher rahim dan tanpa riwayat lesi
prakanker grade tinggi CIN2 atau CIN
3 dalam 20 tahun terakhir atau kanker
serviks
Skrining dengan rekomendasi yang
Wanita yang vaksin HPV
sama dengan wanita tanpa vaksin HPV

Terdapat banyak interprestasi hasil pemeriksaan pap smear. System papinicolau,


system cervical intraephitelial neoplasma (CIN) dan bahesda. Klasifikasi papanicolau
membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas yaitu :
a. Kelas I : Tidak ada sel abnormal.
b. Kelas II: Terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya
keganasan.
c. Kelas III: Gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai
sedang.
d. Kelas IV : Gambaran sitologi dijumpai dysplasia berat.
e. Kelas V: Keganasan.

Pengelompokan hasil uji pap smear terdiri dari :


a. CIN I merupakan dysplasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada
kurang dari sepertiga lapisan epithelium.
b. CIN II merupakan dysplasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epithelium.
c. CIN III merupakan dysplasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah
melibatkan sampai ke basement membrane dari epithelium.16

c) Biopsi
Diagnosis kanker serviks didapatkan melalui pemeriksaan histopatologi
jaringan biopsy. Pada dasarnya jika ditemukan lesi seperti kanker secara kasat
mata maka harus dilakukan biopsy walaupun hasil pemeriksaan tes Pap masih
dalam batas normal sedangkan untuk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata,
dilakukan dengan bantuan kolposkopi. Kecurigaan adanya lesi yang tidak kasat
mata didasarkan dari hasil pemeriksaan sitology serviks (tes Pap). Sekitar 85-
90% jenis histopatologi kanker serviks adalah karsinoma sel skuamosa, sisanya
adalah jenis yang lain termasuk adenokarsinoma. Stelah dilakukan biopsy dan
ditentukan jenis keganasannya berdasarkan histopatologinya, maka akan
ditentukan satadium kanker serviks menurut FIGO 2000.17
d) Kolposkopi
Pemeriksaan kolposkopi adalah pemeriksaan yang menggunakan alat
kolposkopi yaitu mikroskop binokuler dengan sumber cahya yang terang untuk
memperbesar gambaran visual serviks sehingga dapat menegakkan diagnose
kanker serviks.18 Indikasi dari pemeriksaan ini adalah ditemukannya hasil positif
dari pemeriksaan skrining seperti tes Pap dan atau IVA, lesi yang mencurigakan
dan temuan sitology yang tidak memuaskan.19,20
Prosedur pemeriksaan ini meliputi aplikasi asam asetat dan visualisasi
serviks dengan menggunakan mikroskop khusus, dimana setelah serviks
dioleskan dengan asam asetat dan terjadi perubahan warna menjadi putih, maka
akan dilakukan biopsy pada daerah tersebut.19,20 Dari pemeriksaan ini dapat
diklasifikasikan hasilyaitu temuan kolposkopi normal, abnormal, gambaran
kolposkopi mengarah ke kanker invasive, gambaran kolposkopi tidak
memuaskan, dan temuan kolposkopi miscellaneous.19

3.8 Penatalaksanaan Kanker Serviks


3.8.1 Pembedahan
Pada karsinoma in situ ( kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar ),
seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui
LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan
tersebut, penderita masih bisa memiliki anak, karena kanker bisa kembali kambuh,
dianjurkan untuk pemeriksaan ulang dan pap smear setiap 3 bulan selama 1 thun
pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk
hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan tindakan yang
langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi klinis yang ditimbulkan
dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif tindakan yang berarti memperbaiki
keadaan penderita. 7,12
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya sub total. Biasanya
dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien
sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien
yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum
(resiko tinggi ) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar. 7,12

3.8.2 Terapi penyinaran (radioterapi)


Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan
parametrial dan nodus limpa pada pelvic. Kanker serviks stadium IIB. III, IV sebaiknya
diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan
pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel
yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul,
dengan tetap mempertahankan sebanyak mungklin kebutuhan jaringan sehat disekitar
seperti rectum, vesika urinaria, usus halus, ureter. 7,12
Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai
IIIB. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya
bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IVA. Terapi penyinaran
efektif untuk mengobati kanker invasive yang masih terbatas padadaerah panggul. Pada
radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak se;-sel kanker dan
menghentikan pertumbuhannya. 7,12
Ada dua jenis radioterapi yaitu rasiasi eksternal yaitu sinar berasal dari sebuah
mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat dirumah sakit, penyinaran biasanya
dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduanya adalah melalui radiasi
internal yaitu zat radioaktif terdapat didalam sebuah kapsul dimasukkan langsung
kedalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu pencerita dirawat
dirumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek
samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rectum dan vagina, kerusakan kandung
kemih dan rectum dan ovarium berhenti berfungsi. 7,12

3.8.3 Kemoterapi
Kemoterapi terutama diberikan sebagai gabungan radio-kemoterapi adjuvant
atau sebagai terapi paliatif pada kasus residif. Kemoterapi dapat meningkatkan
efektifitas dari radioterapi. Kemoterapi yang paling aktif pada kanker serviks adalah
ciplastin. Karboplatin juga memiliki aktifitas yang sama dengan ciplastin. 7,12
3.9 Pencegahan Kanker Serviks
Pencegahan kanker serviks yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas
beberapa tahapan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.14
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mengurangi infeksi HPV. Langkah
pencegahan primer meliputi melakukan vaksinasi HPV pada anak perempuan
berusia 9-13 tahun, pemberian edukasi tentang kesehatan reproduksi pada
remaja, penggunaan kondom saat berhubungan seksual dan sirkumsisi pada
lako-laki.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi angka kejadian
kanker serviks dan kematian yang disebabkan kanker serviks, dengan cara
mencegah lesi prakanker menjadi kanker serviks. Langkah pencegahan sekunder
meliputi konseling dan pemberian informasi tentang kanker serviks dan
pencegahannya kepada orang yang berisiko, melakukan skrining bagi semua
wanita yang berusia 30-49 tahun untuk mengidentifikasi lesi prakanker,
memberikan terapi bagi wanita yang terdeteksi lesi prakanker. Bagi wanita telah
mendapatkan vaksinasi HPV disarankan tetap melakukan skrining dan terapi
apabila terdeteksi memiliki lesi prakanker.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersiar bertujuan untuk mengurangi angka kematian akibat
kanker serviks. Langkah pencegahan tersier meliputi mekanisme rujukan,
diagnosis yang tepat, perawtan yang sesuai dengan setiap stadium dan perawatan
paliatif untuk pasien stadium akhir.

3.10 Prognosis Kanker Serviks


Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah :
a. Umur penderita
b. Keadaan umum
c. Tingkat klinik keganasan
d. Sitopatologi sel tumor.
e. Sarana pengobatan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai