Manifestasi klinik
Episode depresi
Gejala yang muncul pada episode depresi adalah identik dengan diagnosis
gangguan depresi berat dan ditambah dengan riwayat ≥ 1 episode manik (Kay and
Tasman, 2006; Severus and Bauer, 2013; Yatham et al., 2013; National Institute for
Health and Clinical Excellence (NICE), 2014; Varcarolis, 2014). Ketika gejala yang
muncul adalah perubahan mood yang cepat (sedih, iritabel, euforia) yang disertai
dengan depresi dan mania maka disebut sebagai gangguan bipolar campuran
(Varcarolis, 2014). Pada gangguan bipolar campuran dimungkinkan ditemukan
gejala pskioaktif.
Episode depresi dapat dinilai apabila 5 gejala diatas (gejala 1 atau 2 harus ada)
terjadi selama 2 minggu berturut-turut (Severus and Bauer, 2013).
Episode manik
Episode manik terjadi setidaknya 7 hari dan dalam rentang waktu tersebut penderita
akan mengalami peningkatan mood dan menjadi iritabel (Kay and Tasman, 2006;
Severus and Bauer, 2013; Yatham et al., 2013; National Institute for Health and
Clinical Excellence (NICE), 2014; Varcarolis, 2014). Aktivitas motorik mengalami
hipermotorik-tidak terkontrol yang mengakibatkan gangguan pada pekerjaan,
aktivitas sosial dan yang terparah dapat melukai diri sendiri maupun orang lain dan
apabila seseorang telah memasuki tahap ini maka hal tersebut merupakan salah satu
indikasi rawat inap (Varcarolis, 2014). Gejala psikotik mungkin saja muncul. Di
dalam episode manik dikenal pula istilah hipomanik yaitu apabila gejala yang
ditemukan bersifat ringan dan tidak ditemukan gejala psikotik (Kay and Tasman,
2006; Severus and Bauer, 2013; Yatham et al., 2013; National Institute for Health
and Clinical Excellence (NICE), 2014; Varcarolis, 2014). Halusinasi terkadang
muncul atau tidak.
Tingkat keparahan episode manik dapat diukur dalam skala YMRS (Young Maniac
Rating Scale) (Mood and Content, 2014). Skala ini berisi pertanyaan yang harus
dijawab atas apa yang dirasakan dalam 48 jam terakhir.
Penegakkan diagnosis
Bipolar memiliki ciri khas yaitu rekurensi depresi berat dengan disertai episode
mania atau hipomania yang dapat menjadi salah satu kriteria diagnosis.
Bipolar I
Bipolar II
Bipolar II didiagnosis melalui adanya rekurensi serangan depresi berat yang disertai
dengan episode hipomanik (4 hari) (Kay and Tasman, 2006; Severus and Bauer,
2013; Yatham et al., 2013; National Institute for Health and Clinical Excellence
(NICE), 2014; Varcarolis, 2014). Penderita yang terdiagnosis bipolar II memiliki
riwayat atau gejala dari episode depresi atau hipomania. Penderita bipolar II juga
tidak pernah memiliki riwayat atau mengalami episode mania (Varcarolis, 2014).
Untuk menegakkan diagnosis bipolar pada anak cukup sulit dilakukan karena gejala
yang tidak spesifik dan rancu akan gejala ADHD. Oleh karena itu, konsensus
bipolar di Amerika Serikat menggunakan istilah FIND untuk mendiagnosis bipolar
pada anak (Varcarolis, 2014).
Frequency: gejala apa yang paling sering yang muncul dalam seminggu
Number: gejala yang muncul terjadi dalam 3 atau 4 kali per hari
Tatalaksana
Terapi farmakologi merupakan cara terbaik untuk melawan episode depresi dan
hipomanik pada penderita bipolar. Terapi farmakologi diberikan sebelum, saat dan
sesudah episode bipolar. Cognitive behavioural theraphy dapat digunakan sebagai
terapi psikologi supaya penderita dapat mengontrol moodnya (Yatham et al., 2013).
Litium (litium karbonat, litium sitrat atau Eskalith) merupakan salah satu terapi
yang umum digunakan untuk pengobatan bipolar karena litium dapat mengurangi
episode depresi dan hipomanik (Kay and Tasman, 2006; Yatham et al., 2013;
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), 2014; Varcarolis,
2014). Akan tetapi litium memiliki efek toksik yang sangat tinggi sehingga perlu
dilakukan monitoring berkala kepada pengguna litium (Kay and Tasman, 2006;
Varcarolis, 2014). Toksisitas tinggi juga dapat dialami oleh penderita diabetes
melitus sehingga pemberian terapi litium bagi penderita bipolar dan memiliki
diabetes melitus perlu dikaji ulang.
Litium juga tidak efektif untuk penderita bipolar yang mengalami jenis rapid
cycling (episode kambuh ≥ 4 kali dalam 12 bulan) karena pada pasien dengan
kondisi tersebut diperlukan pengobatan selama satu tahun untuk mencapai
keefektifan pengobatan (Yatham et al., 2013; National Institute for Health and
Clinical Excellence (NICE), 2014; Varcarolis, 2014). Sehingga terapi untuk kondisi
tersebut menggunakan antikonvulsan.
Menurut tatalaksana NICE, penggunaan valproat tidak dapat digunakan sebagai lini
pertama (National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), 2014).
Antipsikotik oral yang digunakan adalah risperidone (level 2), olanzapine (level 2)
dan quetiapine (level 3). Apabila pasien menolak pengobatan oral, maka
antipsikotik intramuskular seperti olanzapine (level 2), ziprasidone (level 2) dan
aripiprazole (level 2) atau kombinasi haloperidol intramuskular dan benzodiazepine
(level 2) dapat digunakan. Perlu ditekankan bahwa benzodiazepine tidak dapat
digunakan sebagai monoterapi (Yatham et al., 2013).