Anda di halaman 1dari 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327931070

Psikoedukasi Keluarga dengan Masalah Gangguan Jiwa

Article · September 2018

CITATIONS READS

0 689

1 author:

Dedi Kurniawan
STIKes Kepanjen
5 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

thesis research: Length of stay patient with STEMI View project

Keperawatan Jiwa (Mental Health Nursing) View project

All content following this page was uploaded by Dedi Kurniawan on 28 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PSIKOEDUKASI KELUARGA
Dedi Kurniawan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa merupakan penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling
produktif, yakni antara 15 - 44 tahun. Dampak sosial berupa penolakan, pengucilan, dan
diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari
nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan
yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat (Susanto, 2013).

Salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah kurangnya
penguetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan
jiwa penyakit yang memalukan dan membawa dampak negatif bagi keluarga. Penilaian
masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat dari dilanggarnya larangan, guna-guna,
santet, kutukan dan sejenisnya berdasarkan kepercayaan supranatural. Dampak dari
kepercayaan mayarakat dan keluarga, upaya pengobatan pasien gangguan jiwa dibawa
berobat ke dukun atau paranormal. Kondisi ini diperberat dengan sikap keluarga yang
cenderung memperlakukan pasien dengan disembunyikan, diisolasi, dikucilkan bahkan
sampai ada yang dipasung (Hawari, 2003).

Keluarga adalah unit sosial sekaligus support system yang paling dekat dengan klien,
yang merupakan orang-orang yang terkena dampak langsung dari hadirnya masalah
gangguan kejiwaan dalam sistem mereka. Kehadiran anggota keluarga dengan masalah
gangguan kejiwaan dirasakan keluarga sebagai suatu beban finansial serta emosional yang
berat dan berkepanjangan, selain itu stigma masyarakat tentang keluarga yang memiliki
anggota keluarga dengan masalah gangguan kejiwaan akan menambah beban emosional dan
stressor tersendiri bagi keluarga sebab masalah gangguan kejiwaan merupakan gangguan
yang dapat berlangsung seumur hidup, sehingga keluarga (Friedman, 2010; Gunarsa, 2012).

Keluarga seharusnya mampu memberikan dukungan, perhatian serta perawatan yang


maksimal bagi penderita masalah gangguan kejiwaan, namun pada kenyataannya yang dapat
kita amati bersama saat ini bahwa keluarga yang merupakan support system bagi klien belum
mampu memberikan dukungan, perhatian serta perawatan secara penuh, sebaliknya
menganggap kehadiran masalah gangguan kejiwaan sebagai beban bagi keluarga. Keluarga
sebagai sistem yang paling dekat dengan individu, dituntut menjadi tempat individu untuk
belajar, mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Agar keluarga memberikan
dampak terhadap individu yang menjadi anggota keluarga tersebut, maka diharapkan anggota
keluarga dapat berfungsi dan berperan secara kondusif sebagaimana fungsinya (Gyamfi et al,
2009).

Berdasarkan hal tersebut diharapkan keluarga yang merupakan faktor yang sangat
penting dalam proses kesembuhan klien yang mengalami gangguan jiwa sebagai pemberi
perawatan lanjutan tidak mengalami stress bahkan depresi karena kehadiran klien dengan
masalah gangguan kejiwaan dalam keluarga. Oleh karena itu kondisi keluarga yang
terapeutik dan mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan memperpanjang
kekambuhan.

Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam
menjalankan peran tersebut dengan optimal yang sedang tren saat ini yaitu dengan terapi
psikoedukasi keluarga. Berdasarkan evidance based practice psikoedukasi keluarga adalah
terapi yang digunakan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan
ketrampilan mereka dalam merawat anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan
jiwa, sehingga diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap stress dan
beban yang dialaminya (Goldenberg & Goldengerg, 2004).

Pendapat lain menjelaskan bahwa Psikoedukasi keluarga adalah pemberian pendidikan


kepada seseorang yang mendukung treatment dan rehabilitasi. Berdasarkan penelitian
psikoedukasi keluarga terbukti efektif pada keluarga klien masalah gangguan kejiwaan
keluarga klien ketergantungan napza, keluarga klien dengan bipolar disorder dan keluarga
klien dengan depresi (Soeparman, 2010). Disamping pendampingan oleh perawat kepada
keluarga hal lain yang harus diperhatikan menurut Flores (2001) Kepedulian masyarakat akan
kesehatan khususnya kesehatan jiwa akan meningkatkan peran serta mereka untuk
bertanggung jawab terhadap program pelayanan kesehatan jiwa masyarakat.

Keberhasilan pelayanan pada pasien masalah gangguan kejiwaan tergantung dari


kerjasama tim kesehatan jiwa di masyarakat (dokter, perawat, pekerja sosial) dengan pasien
dan keluarganya (Falloun, 1990). Anggota keluarga diperlukan memberikan perawatan di
rumah khususnya pencegahan tersier pada masalah gangguan kejiwaan (Gyamfi et al, 2009),
serta melakukan fungsinya. Penggunaan sumberdaya yang tersedia di masyarakat dapat
memberdayakan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sehingga kesehatan jiwa
menjadi tanggung jawab masyarakat bukan hanya tanggung jawab para profesional (Leff,
2001).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti memfokuskan penelitian pada pemberian


psikoedukasi pada keluarga klien dengan masalah gangguan kejiwaan, dengan demikian
diharapkan kluarga tidak menganggap bahwa kehadiran masalah gangguan kejiwaan dalam
keluarga sebagai beban dan stressor yang dapat memicu depresi bagi keluarga sehingga
menyebakan pemberian perawatan pada klien tidak maksimal, mengingat bahwa keluarga
merupakan pemberi perawatan utama yang dekat dan sering berinteraksi dengan klien.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum


a. Untuk memberikan gambaran secara umum bagaimana psikoedukasi pada keluarga
dengan anggota keluarga yang mengalami masalah gangguan jiwa.

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Untuk menjelaskan bagaimana proses psikoedukasi pada keluarga dengan anggota
keluarga yang mengalami masalah gangguan jiwa.
b. Untuk menjelaskan pengaruh pemberian terapi psikoedukasi pada keluarga dengan
anggota keluarga yang mengalami masalah gangguan jiwa berdasarkan evidence
based.
BAB II
TERAPI PSIKOEDUKASI PADA KELUARGA

2.1 Definisi
Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa
keluarga dengan cara pemberian informasi , edukasi melalui komunikasi yang terapeutik.
Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatic (Stuart &
Laraia,2008).
Psikoedukasi keluarga adalah suatu metoda berdasarkan pada penemuan klinis untuk
melatih keluarga – keluarga dan bekerja sama dengan para professional kesehatan jiwa
sebagai bagian dari perawatan menyeluruh secara klinis yang direncanakan untuk anggota
keluarga.
Terapi Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif karena dalam
terapi mengandung unsure untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit,
mengajarkan tehnik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala–gejala
penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri.
2.2 Tujuan Terapi
Tujuan utama dari terapi psikoedukasi keluarga adalah saling bertukar informasi
tentang perawatan kesehatan mental akibat penyakit fisik yang dialami, membantu anggota
keluarga mengerti tentang penyakit anggota kelurganya seperti gejala, pengobatan yang
dibutuhkan untuk menurunkan gejala dan lainnya (Varcaloris, 2006).
Pendidikan kelompok keluarga membantu anggota keluarga membantu aggota keluarga
mengerti tentang penyakit anggota keluarganya seperti gejala, pengobatan yang dibutuhkan
untuk menurunkan gejala dan lainnya. Pertemuan psikoedukasi keluarga atau beberapa
beberapa keluarga memberikan perasaan saling berbagi dan strategi untuk bersama – sama
membagi perasaan yang dirasakan. Kelompok psikoedukasi keluarga sangat bermanfaat
untuk masalah mental dan sama manfaatnya untuk penyakit medis atau bedah
(Varcarolis,2006).
Tujuan umum dari psikoedukasi keluarga adalah menurunkan intensitas emosi dalam
keluarga sampai pada tingkat yang rendah. Tujuan khusus antara lain (Varcarolis,2006)
a. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan.
b. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan atau
serangan berulang pada penyakit yang diderita.
c. Mengembalikan fungsi pasien dan keluarga.
d. Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar
anggota keluarga dan orang lain.
e. Melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang perkembangan keluarga.
Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan pencapaian pengetahuan keluarga
tentang penyakit, mengajarkan keluarga teknik pengajaran untuk keluarga dalam membantu
mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala – gejala perilaku dan mendukung
kekuatan keluarga ( Stuart& Laraia, 2008). Program ini juga bertujuan untuk memberikan
support keluarga.Keluarga dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah
keuangan, sosial dan psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota
keluarganya. Walaupun focus dari terapi ini adalah kelompok psikoedukasi keluarga, tapi
pada prinsipnya tujuan dari terapi ini adalah untuk memberikan perasaan sejahtera atau
kesehatan mental pada keluarga.
2.3 Indikasi
Menurut Carson (2000), situasi yang tepat dalam pemberian terapi psikoedukasi
adalah
a. Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga seperti latihan
ketrampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif
b. Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stres dan kritis, seperti
kelompok pendukung keluarga dengan penyakit alzheimer
c. Pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga sebelum
terjadi krisis
d. Keluarga dengan anggota keluarga dengan masalah psikososial dan gangguan jiwa.
2.4 Prosedur Pelaksanaan Terapi
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap sesi dilakukan
selama 45-60 menit. Adapun urutan dari terapi ini adalah sebagai berikut:
2.1 Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga
Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah
yang timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan
seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama
caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan
dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan pasangan. Pengkajian dibuat
terpisah antara masalah yang dirasakan oleh caregiver dan anggota keluarga yang lain.
Pengkajian berfokus pada masalah dalam merawat klien sakit dan masalah yang muncul pada
diri karena merawat klien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada saat mengkaji
masalah ini adalah sebagai berikut (Saunders, 1997 dalam Stuart, 2009):
- Situasi bagaimana yang membuat stress pada keluarga anda?
- Bagaimana perasaan anda mengenai ketergantungan, interaksi sosial atau respon
terhadap tindakan pada anggota keluarga yang sakit?
- Seberapa besar dukungan yang anda dapatkan dari profesional kesehatan mental,
komunitas atau keluarga besar anda?
2.1.1 Tujuan sesi I:
1. Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga
2. Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga
3. Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam merawat
klien dengan gangguan jiwa (masalah dalam merawat dan masalah pribadi yang
dirasakan karena merawat)
4. Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program
psikoedukasi keluarga
2.1.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalamposisi yang nyaman
2.1.3 Alat dan bahan
Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
2.1.4 Metode
Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab
2.1.5 Langkah-langkah:
1. Persiapan
a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Pelaksanaan Fase Orientasi:
a. Salam terapeutik: salam dari terapis
b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis
c. Menanyakan nama dan panggilan peserta
d. Validasi:
Menanyakan bagaimana perasaan peserta dalam mengikuti program psikoedukasi
keluarga saat ini
e. Kontrak:
Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan membantu
keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa
f. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut:
1) Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi
2) Lama kegiatan 45 – 60 menit
3) Keluarga mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti Fase Kerja :
a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan
gangguan jiwa yang dialami salah satu anggota keluarga
1) Masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga sendiri
2) Masalah dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
3) Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga
4) Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri
5) Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan adanya
salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (Setiapanggota
keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan perubahan-perubahan yang
dialami dalam keluarga)
b. Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi
keluarga
c. Memberikan kesempatan keluarga untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan
hasil diskusi yang sudah dilakukan Fase Terminasi:
a. Evaluasi:
1. Menyimpulkan hasil diskusi sesi I
2. Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai sesi I
3. Memberikan umpan balik positif atas kerjasama dan kemampuan keluarga
dalam menyampaikan apa yang dirasakan
b. Tindak lanjut:
Menganjurkan keluarga untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada anggota
keluarga yang lain tentang masalah yang dihadapi keluarga dan perubahan-
perubahan yang terjadi pada keluarga dengan gangguan jiwa

c. Kontrak:
1. Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang gangguan jiwa dan cara
merawat klien gangguan jiwa
2. Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya
2.1.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan.
Format Evaluasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian Masalah Keluarga
Tanggal :
Anggota
No Kegiatan keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0
1 Hadir dalam terapi
2 Menyepakati kontrak kegiatan
3 Menyampaikan masalah yang dialami
(masalah pribadi yang dirasakan anggota
keluarga dan perubahan yang dialami
dalam keluarga)
4 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi Kemampuan
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh
keluarga yaitu masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan masalah yang dialami
selama merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa dan perubahan– perubahan yang
terjadi dalam keluarga.
Format Dokumentasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga(caregiver)
Masalah pribadi dalam Masalah yang muncul
Keinginan
No merawat karena anggota keluarga
Harapan
sakit
1.
2.
3.

Format Dokumentasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga (anggota keluarga lain)

Tanggal:
Nama anggota Masalah yang
keluarga Masalah pribadi muncul karena Keinginan
No
dalam merawat anggota keluarga Harapan
sakit
1.
2.
3.

2.2 Sesi II: Perawatan Klien Gangguan Jiwa


Sesi II ini berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi
yang diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnosa keperawatan
yang dialami klien. Edukasi pada sesi II ini disesuaikan dengan SAK keluarga yang telah
dikembangkan pada untuk intervensi generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini
didasarkan dengan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien.
Bellack dan Mueser (1993 dalam Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa intervensi
dengan memberikan edukasi pada keluarga dapat membantu keluarga menghadapi stressor
karena klien sakit, yang berefek positif pada kondisi klien. Townsend (2009) menyatakan
dampak positif program psikoedukasional secara tidak langsung pada klien yaitu bahwa
dengan memberikan informasi mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran
mengenai koping yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan
menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga
yang lain.
2.2.1 Tujuan sesi II:
A. Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien
B. Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi dan
terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa
C. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah
D. Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di
rumah
2.2.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalamposisi yang nyaman
2.2.3 Alat
Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
2.2.4 Metoda
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
2.2.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam dari terapis.
b. Evaluasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah keluarga
mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang masalah yang
dialami oleh anggota keluarga yang lain.
c. Kontrak: menyepakati waktu dan lama sesi.
3. Fase Kerja
a. Mendiskusikan tentang gangguan jiwa yang dialami oleh salah satu anggota keluarga
(misalnya: perilaku kekerasan, halusinasi).
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalamannya selama ini
2) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi pendapat
b. Menyampaikan tentang konsep gangguan jiwa meliputi pengertian, penyebab, tanda,
prognosis, intervensi dan terapi.
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
2) Memberi kesempatan kepada keluarga untuk bertanya
c. Mendiskusikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa yang selama ini dilakukan
oleh keluarga.
d. Mendemonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya klien
dengan halusinasi atau perilaku kekerasan.
1) Meminta keluarga untuk mendemonstrasikan kembali salah satu cara merawat
klien dengan gangguan jiwa, misalnya halusinasi.
2) Memberi masukan terhadap hal–hal yang perlu ditingkatkan oleh keluarga.
3) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memperagakan cara merawat
klien dengan gangguan jiwa di rumah.
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi II selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang materi
gangguan jiwa yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain
c. Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan
berikutnya
2.2.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
Format Evaluasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga:Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Kegiatan Anggota keluarga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi
2 Menyebutkan pengertian gangguan
jiwa
3 Menjelaskan gangguan jiwa yang
dialami anggota keluarga
4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan
cara merawat klien
5 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh
keluarga yaitu tentang gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarga.
Format Dokumentasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
No Masalah yg dialami klien Cara mengatasi masalah
1
2
3

2.3 Sesi III: Manajemen Stress Keluarga


Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan
keinginan individu dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya
untuk menghadapi keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2009). Stressor adalah
keinginan dari lingkungan internal atau eksternal individu yang meningkatkan respon
fisiologis dan/atau psikologis seseorang. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat
menjadi stressor tersendiri bagi keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki
kemampuan koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik,
diperlukan manajemen stress yang tepat.Manajemen stress adalah berbagai metode yang
digunakan oleh seseorang untuk mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain terhadap
stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau
teknik teknik lain yang berhasil pada individu tersebut.
Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing
individu keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada
caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, terapis mengajarkan
cara-cara memanajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver.

2.3.1 Tujuan sesi III:


1. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang
stres yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa
dalam keluarga
2. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami
akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga
3. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres
4. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres
2.3.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalamposisi yang nyaman.
2.3.3 Alat
Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi), alat bantu disesuaikan dengan teknik manajemen stress yang dipilih.
2.3.4 Metode
Ceramah, diskusi, curah pendapat, role play (bermain peran) dan tanya jawab.
2.3.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam dari terapis
b. Validasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah
keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, yaitu tentang
materi gangguan jiwa dan cara merawat klien di rumah
c. Kontrak: menyepakati lama waktu terapi (sesi) serta materi yang
akan disampaikan
Fase Kerja
Menanyakan pada keluarga terkait stres yang mereka alami dengan adanya klien
gangguan jiwa.
a. Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
b. Memberikan pujian/penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/perasaannya
c. Menjelaskan tentang stres yang dialami keluarga akibat salah satu anggota
mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan leaflet
d. Meminta anggota keluarga mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara
mengurangi stres sesuai dengan penjelasan terapis
e. Mendemontrasikan cara mengurangi stres yang dialami oleh anggota
keluarga
f. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan kembali cara
mengurangi stres yang telah diajarkan Fase Terminasi a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi III selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk berlatih cara mengurangi stres.
c. Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk
pertemuan berikutnya.
2.3.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.

Format Evaluasi
Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi
2 Menyebutkan tanda-tanda stres yang
dialami keluarga
3 Menyebutkan cara mengatasi stress
dalam merawat klien gangguan jiwa
4 Memperagakan cara mengatasi stres
yang telah diajarkan
5 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga, yaitu cara mengatasi stres dalam merawat anggota keluarga dengan
gangguan jiwa.
Format Dokumentasi
Sesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga (caregiver)

Tanda-tanda stres yang dialami Cara mengatasi stres yang


No
caregiver dapat digunakan
1
2
3
Format Dokumentasi
Sesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga (anggota
keluarga lain)

Nama Tanda-tanda stres yang Cara mengatasi stres


No anggota dialami anggota keluarga yang dapat digunakan
keluarga
1
2
3

2.4 Sesi IV: Manajemen Beban Keluarga


Pada sesi IV ini terapis bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga,
membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari
pemecahan masalah bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari
seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.
Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum penyakit
dan mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga. Pengaruh dari adanya
anggota keluarga dengan gangguan mental sering disebut dengan beban keluarga
(Stuart, 2009). Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga menunjukkan bahwa
beban yang paling besar dirasakan adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya
konsentrasi, terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang
dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih karena
perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006 dalam Stuart, 2009).
Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan
perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan,
dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani
yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan
bagian dari beban objektif. Dengan mengkaji beban keluarga perawat dapat bekerja
sama dengan keluarga untuk mengidentifikasi dalam hal mana keluarga memerlukan
bantuan (Stuart, 2009).
2.4.1 Tujuan Sesi IV:
1. Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga
akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
2. Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya
anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
3. Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh
terapis.
4. Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan
perannya masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.
2.4.2 Setting
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalamposisi yang nyaman
2.4.3 Alat
Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi)
2.4.4 Metode
Ceramah, diskusi, curah pendapat, roleplay dan tanya jawab
2.4.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam dari terapis.
b. Evaluasi: menanyakan penerapan cara mengatasi stres yang sudah
dilakukan keluarga di rumah sesuai dengan yang diajarkan pada sesi
sebelumnya dan hasil yang dirasakan.
c. Kontrak: menyepakati kontrak waktu dan topik yang akan
disampaikan yaitu tentang beban keluarga.
Fase Kerja
a. Menanyakan apa yang dirasakan anggota keluarga tentang beban objektif maupun
subjektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa.
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
2) Memberikan kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi
tanggapan
3) Memberikan pujian dan penghargaan atas kemampuan anggota
keluarga menyampaikan pendapat/perasaannya
b. Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang
sudah dilakukan dengan adanya anggota keluarga yang menderita
gangguan jiwa.
c. Menjelaskan macam-macam beban keluarga dan cara mengatasi beban yang
dialami keluarga karena adanya anggota keluarga yang menderita
gangguan jiwa dengan menggunakan leaflet.
d. Meminta anggota keluarga untuk mengulangi menyebutkan macam-macam
beban keluarga dan cara mengatasi beban yang dirasakan keluarga akibat
adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sesuai dengan
penjelasan terapis.
e. Terapis mendemonstrasikan satu cara untuk mengatasi beban yang dipilih
oleh keluarga.
f. Memberi kesempatan anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.
g. Memberikan pujian atas partisipasi anggota keluarga selama pelaksanaan
terapi.
Fase Terminasi a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi IV selesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama keluarga
b.Tindak lanjut
1) Menganjurkan keluarga untuk menerapkan cara mengatasi beban yang telah diajarkan.
c. Kontrak: menyepakati waktu, tempat dan topik pertemuan berikutnya
2.4.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
Format Evaluasi
Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi
2 Menyebutkan tanda-tanda dan cara
mengatasi beban dalam merawat klien
gangguan jiwa
3 Memperagakan cara untuk mengatasi
beban keluarga dalam merawat klien
gangguan jiwa
4 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh
keluarga, yaitu cara mengatasi beban keluarga serta demonstrasi cara mengatasi beban
keluarga.
Format Dokumentasi
Sesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga

Nama anggota Cara mengatasi beban


No Beban keluarga
keluarga
1
2
3

2.5 Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga


Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga,
yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan jiwa.
Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa
dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya
ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan
gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit
menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari beban subjektif
dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga seperti ini memerlukan
bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart, 2009).
Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien
dengan gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran
pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan
dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan
kesehatan mental.
2.5.1 Tujuan Sesi V:
1. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di
rumah.
2. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga
kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.
3. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem
rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk
pembentukan Self Help Group.
2.5.2 Setting
Peserta (keluarga), terapis dan tenaga kesehatan dari puskesmas duduk berhadapan
dengan posisi melingkar.
2.5.3 Alat
Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan
dokumentasi).
2.5.4 Metoda
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
2.5.5 Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. Pelaksanaan Fase Orientasi
a. Salam terapeutik: salam terapeutik dari terapis
b. Evaluasi: mengevaluasi hasil keluarga dalam menerapkan cara untuk mengatasi
bebanpada keluarga
c. Kontrak: menyampaikan topik pada sesi ini yaitu tentang pemberdayaan komunitas.
Fase Kerja
a. Menanyakan hambatan yang dirasakan selama merawat klien gangguan jiwa di rumah
1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
b. Menanyakan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan selama ini
1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
c. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana seharusnya hubungan keluarga dengan tenaga
kesehatan
d. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan
e. Memberi kesempatan keluarga untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari
Puskesmas (atau yang mewakili) tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak klien
gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan Self Help Group.
1) Masing – masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
2) Memberikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya
3) Memfasilitasi dialog antara keluarga dengan pihak Puskesmas
4) Menyimpulkan hasil diskusi
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi Vselesai
2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan keluarga untuk tetap menerapkan apa yang telah dilakukan selama
terapi yaitu merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah, menyarankan keluarga
untuk memanfaatkan sistem rujukan yang telah ada, menjalankan kelompok
swabantu yang akan difasilitasi oleh pihak puskesmas dan disepakati oleh keluarga
c. Terminasi akhir yaitu menyerahkan kelompok pada pihak puskesmas
2.5.6 Evaluasi dan dokumentasi
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan
keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan
Format Evaluasi
Sesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas Membantu Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi
2 Menyampaikan
hambatan yang dialami
dalam merawat
klien gangguan jiwa
3 Menyampaikan
hambatan yang dialami
dalam berhubungan
dengan tenaga kesehatan
4 Menyebutkan cara
mengatasi hambatan
dalam merawat klien
gangguan jiwa dan
dalam berhubungan
dengan tenaga
kesehatan
5 Mengetahui sistem
rujukan
6 Menyepakati adanya
kelompok swabantu
yang
akan difasilitasi oleh
Puskesmas
7 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga, yaitu hambatan yang dialami dalam merawat klien dan dalam berhubungan
dengantenaga kesehatan, menyebutkan cara mengatasi hambatan dan kesepakatan keluarga
untuk pembentukan Self Help Group yang akan difasilitasi oleh Puskesmas.
Format Dokumentasi
Sesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas
Membantu Keluarga

Nama Hambatan dalam merawat klien & Menyebutkan cara


No Keluarga dalam berhubungan dengan tenaga mengatasi
kesehatan hambatan
1
2
3
4
5
6
7
BAB III
ANALISA

Terapi yang digunakan dalam keperawatan jiwa bermacam-macam dan bersifat


komprehensif. Hal ini dapat terlihat dari jenis terapi yang tidak hanya melibatkan klien, tetapi
juga keluarga. Terapi yang melibatkan keluarga antara lain terapi keluarga, konsultasi
keluarga, psikoedukasi keluarga, pendidikan keluarga, grup support psikoedukasi, grup
dukungan keluarga dan advokasi (Lefley, 2009). Terapi-terapi tersebut memiliki tujuan serta
karakteristik tertentu. Salah satu terapi yang sering digunakan dalam keperawatan jiwa adalah
psikoedukasi. Psikoedukasi (FPE) merupakan pendekatan yang digunakan sebagai treatment
bagi penderita gangguan jiwa berat yang melibatkan pasien dan keluarga pasien. FPE berbeda
dengan terapi keluarga, terapi ini lebih menekankan pada pendekatan penyakit sebagai
metode pengobatan, bukan pada keluarga. Sehingga tujuan akhir dari terapi ini yaitu
kerjasama antara perawat, pasien dan keluarga sebagai dukungan pada proses pemulihan
(Fisher, 2009). Pemberdayaan masyarakat seperti keterlibatan kader menjadi hal yang sangat
penting. Keikutsertaan kader sebagai bagian dari masyarakat akan memberikan banyak
manfaat dalam pelaksanaan terapi berbasis masyarakat (Kurniawan, 2018). FPE dapat diikuti
oleh keluarga, baik dengan atau tanpa pasien, dan secara keluarga tunggal atau kelompok.
Terapi ini berisi tentang pendidikan, dukungan, manajemen penyakit, serta pemecahan
masalah (Lefley, 2009).
Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai psikoedukasi. Pada dasarnya terapi ini
memiliki dampak yang positif terhadap perkembangan pasien. Hal ini dikarenakan, terapi
dilakukan secara bertahap, sehingga pembahasan akan lebih spesifik pada tiap sesi. Sesi
pemberian psikoedukasi dijelaskan dalam beberapa jurnal yaitu sekitar 7 – 21. Namun,
implikasi yang terjadi yaitu 7 – 8 sesi tergantung dari kemampuan pasien dan keluarga.
Walaupun beberapa jurnal menyebutkan dampak positif dari terapi FPE, beberapa jurnal juga
menyebutkan bahwa FPE berdampak tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan jumlah sesi
yang terlalu panjang atau terlalu pendek. Selain jumlah sesi, pengaruh ketidakefektifan
psikoedukasi adalah lamanya follow up (Gumus, Buzlu, & Cakir, 2015). Penelitian Gumus et
al., (2015), FPE dengan 4 kali sesi dan 12 bulan follow up tidak cukup efektif untuk
menurunkan relaps. Walaupun demikian nilai relaps, episode multiple mood, dan
hospitalisasi lebih kecil dibandingkan dengan grup kontrol pada pasien bipolar. Selain itu
episode terhadap depresi lebih panjang dibandingkan grup kontrol.
Berdasarkan Fisher, (2009), terdapat 3 fase di dalam FPE yaitu mengikuti sesi,
workshop edukasi, dan mengikuti FPE secara terus-menerus. Tahap (1) mengikuti sesi,
merupakan pertemuan perawat dan pengguna (pasien dan keluarga) dan mereka menghargai
keluarga dalam pertemuan perkenalan. Tujuan sesi ini adalah untuk belajar tentang
pengalaman mereka mengenai gangguan jiwa, kekuatan dan sumber, serta tujuan pengobatan.
Pada tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam FPE, karena hubungan saling
percaya dibangun pada fase ini. Tahap (2) yaitu workshop edukasi, merupakan tawaran
perawat mengenai program “satu hari workshop edukasi”. Workshop ini berisi tentang
standar kurikulum edukasi yang akan diberikan kepada keluarga. Tahap (3) adalah mengikuti
sesi secara terus menerus. Tahap ini merupakan tindakan nyata dari FPE. Di dalam tahap ini
akan terjalin hubungan sosial dan support antar keluarga dalam merawat anggota keluarga
dengan gangguan jiwa.
Namun menurut Al-yahya (2014) terdapat 3 fase yaitu fase perkembangan,
implementasi, dan evaluasi. (1) Fase perkembangan, berisi tentang pengkajian lengkap
selama 6 bulan. Selain itu pendidikan serta guideline tentang psikosis diberikan selama 1
bulan dengan 10 sesi. Selain itu tentang medikasi yang diberikan selama 10 sesi serta
pembagian brosur penyakit. (2) Fase implementasi, fase ini lebih menekankan pada
pengajaran yang dilakukan selama 4 bulan. Materi yang diberikan yaitu guideline rencana
pendidikan psikosis (diskusi, demonstrasi tindakan pencegahan penyakit, dan penjelasan). (3)
Fase evaluasi merupakan aplikasi dari pendidikan kesehatan dan evaluasi dari pendidikan
yang diberikan.
Sedangkan, prinsip-prinsip yang harus ada dalam FPE yaitu pengguna (pasien)
memahami yang dimaksud dengan keluarga, hubungan perawat – pasien – keluarga adalah
hal yang penting, pendidikan dan sumber bantuan terhadap dukungan keluarga adalah tujuan
akhir dari pemulihan, pasien dan keluarga yang mengikuti FPE diharapkan mampu
mengontrol gangguan jiwa, pemecahan masalah dapat membantu pasien serta keluarga dalam
memahami isu terkini; dan pengalaman dukungan sosial serta emosi dan memfasilitasi
pemecahan masalah. (1) Pengguna (pasien) memahami yang dimaksud dengan keluarga;
pasien harus memahami dan mengidentifikasi orang yang memberi dukungan dan seseorang
yang bersedia mengikuti program FPE. Pasien harus mampu memilih partner termasuk
teman, kolega, atasan, konselor, atau dukungan lain. (2) Hubungan perawat – pasien –
keluarga adalah hal yang penting; FPE memberikan pengenalan, kekuatan, pengalaman, dan
keahlian saat hidup dengan klien gangguan jiwa. Selain itu, program ini juga berdasar pada
keeratan perawat – pasien – keluarga. Sehingga perawat harus menguatkan pada keluarga dan
pasien bahwa perawat merupakan sumber dukungan. (3) Pendidikan dan sumber bantuan
terhadap dukungan keluarga adalah tujuan akhir dari pemulihan. Hal ini berarti bahwa
keluarga dan pasien mampu memahami mengenai gejala, tanda-tanda relaps, tujuan akhir
terapi, dan promosi pemulihan, serta waktu-waktu episode krisis atau akut. (4) Pasien dan
keluarga yang mengikuti FPE diharapkan mampu mengontrol gangguan jiwa. Hal ini
diartikan bahwa keluarga dan pasien mampu mengontrol gejala terhadap setiap stressor yang
terjadi. Belajar mengenai tehnik dalam mengurangi stress dan meningkatkan komunikasi
serta mekanisme koping. (5) Pemecahan masalah dapat membantu pasien serta keluarga
dalam memahami isu terkini. Hal ini dapat diartikan bahwa pasien dan keluarga mampu
menggunakan struktur pendekatan pemecahan masalah mengenai isu terkini dan step-step
dalam memanajemen masalah tersebut. (6) Pengalaman dukungan sosial serta emosi dan
memfasilitasi pemecahan masalah. Program FPE memberikan konsumen dan keluarga untuk
membagi pengalaman dan perasaan. Sedangkan sosial dan emosi mampu memberikan
dukungan bahwa mereka tidak sendiri. Mereka juga mampu mendiskusikan tentang
pemecahan masalah tentang isu terkini (Fisher, 2009).
Pada dasarnya sesi dari FPE yang dilakukan oleh Gumus et al., (2015), sudah
mencakup dari aturan serta prinsip pada FPE. FPE ini dilakukan dalam 4 sesi yaitu (1)
pengenalan tentang penyakit; (2) tanda, pencegahan relaps, dan perkembangan rencana
emergency; (3) meningkatkan informasi tentang efek medikasi; (4) meningkatkan informasi
mengenai pentingnya komunikasi dan pemecahan masalah. Namun, penelitian tersebut tidak
menyebutkan beberapa hal seperti cara klien dan keluarga dalam mengelola emosi dan
mencari sumber dukungan. Pemberdayaan sosial atau komunitas kurang tergali. Padahal jika
dilihat dari tujuan FPE yaitu dapat memanfaatkan dukungan sosial dan emosi sebagai sarana
pemulihan klien dengan gangguan jiwa (Fisher, 2009). Sehingga ketidakefektifan terapi juga
dapat disebabkan oleh hal ini.
Sedangkan berdasarkan Workshop Keperawatan Jiwa ke-IX (2015) terdapat 5 sesi
dalam FPE yaitu (1) pengkajian masalah keluarga; (2) perawatan klien gangguan jiwa; (3)
manajemen stress; (4) manajemen beban keluarga; dan (5) pemberdayaan komunitas untuk
membantu keluarga. sesi yang dikembangkan oleh Universitas Indonesia sudah mencakup
garis besar dari prinsip-prinsip pada FPE. Selain itu evaluasi dari masing-masing sesi juga
sudah dapat dilihat. Menurut ketetapan ini, disebutkan jika keluarga dan klien belum mampu
melampaui sesi, maka sesi dapat diulang. Jadi walaupun di dalam modul disebutkan ada 5
sesi, implementasi dari terapi dapat lebih dari itu. Berdasarkan paparan di atas, dapat
dikatakan bahwa FPE merupakan terapi yang masih dapat dikembangkan berdasarkan budaya
serta masalah yang dihadapi klien. Saat ini pengembangan FPE pada kasus bipolar, depresi
mayor, obsessive compulsive disorder (OCD), gangguan borderline personality (Fisher,
2009), dan gangguan psikosis (Al-yahya, 2014).

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Psikoedukasi (FPE) merupakan pendekatan yang digunakan sebagai treatment bagi
penderita gangguan jiwa berat yang melibatkan pasien dan keluarga pasien. FPE berbeda
dengan terapi keluarga, terapi ini lebih menekankan pada pendekatan penyakit sebagai
metode pengobatan pada keluarga.
Program FPE memberikan klien dan keluarga untuk membagi pengalaman dan
perasaan. Sedangkan manfaat aspek sosial dan emosi mampu memberikan dukungan dengan
menunjukkan bahwa masalah yang mereka alami juga dialami orang lain dan terdapan
diskusi serta sharing pengalaman di dalamnya.

4.2 Saran
Program FPE memberikan klien dan keluarga dampak yang positif dalam mengatasi
masalah yang dialami pasien dan keluarga salah satunya masalah dalam melakukan
perawatan pasien di rumah, sehingga dengan manfaat tersebut seharusnya terapi tersebut
menjadi terapi yang dilakukan di ranah komunitas tentunya melalui peran perawat di
puskesmas sebagai fasilitas lini terdepan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-yahya, N. M. (2014). Effects of Psycho Education Intervention in Improving Insight and


Medication Compliance of Schizophrenic Clients , Riyadh , Saudi Arabia. World
Journal of Medical Sciences, 11(3), 289–300.
http://doi.org/10.5829/idosi.wjms.2014.11.3.84256
Carson (2000). Mental Health Nursing. The nurse-patient journey. (2th ed). Phidelphia:W.B.
Sauders Company
Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: Principles for nursing practice.
Australia: Elsevier Australia.
Colucci, E. 2013. Breaking The Chains, Human Right Violations Againts People with Mental
Illness, Thesis, Faculty of Humanities, School of Social Science, Granada Center for
Visual Anthropology, University of Manchester.
Fisher, P. (2009). Building Your Program: Family Psychoeducation. HHS Publication.
Fortinash, K.M & Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric mental health nursing (3rd ed).
St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Friedman, M. (2010). Keperawatan Keluarga teori dan praktek. 5.ed. Jakarta: EGC
Goldenberg, I & Goldengeng, H. (2004). Family Therapy on Overview. United State.
Thomson
Gumus, F., Buzlu, S., & Cakir, S. (2015). Effectiveness of Individual Psychoeducation on
Recurrence in Bipolar Disorder; A Controlled Study. Archives of Psychiatric Nursing,
29(3), 174–179. http://doi.org/10.1016/j.apnu.2015.01.005
Gyamfi et al. (2009). Family Education and Support Services in System of Care. Journal of
Behavioral Disorders. (2010)
Hawari (2003). Psikometri Alat Ukur (Skala) Kesehatan Jiwa. Jakarta: FKUI
Kurniawan, D., Winarni, I., Imavike., F. 2018. Studi Fenomenologi: Pengalaman Kader
Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Bantur
Malang. Thesis. Malang: FKUB. dediiikurniawan@gmail.com
https://scholar.google.com/citations?user=https://scholar.google.co.id/citations?user=K
WBwO-IAAAAJ&hl=id&user=KWBwO-IAAAAJ
Lefley, H. P. (2009). Family Psychoeducation for Serious Mental Illness. Oxford University
Press (Vol. 1). http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
NAMI. www.nami.org. Februari 24, 2012.
NIMH. www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.
Sari, Hasmila. (2009). Modul panduan family psychoeducation therapy. Depok: FIK UI.
Susanto, Gabriel Abdi. 2013. 1 Juta Lebih Penduduk Indonesia Berisiko Alami Gangguan
Jiwa. Tersedia pada: http://health.liputan6.com/read/678786/1-jutalebih-penduduk-
indonesia-berisiko-alami-gangguanjiwa
Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9th ed). St.Louis,
Missouri: Mosby Elsevier.
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6th ed). Philadelphia: F.A.
Davis Company.
Workshop Keperawatan Jiwa ke-IX, U. (2015). Program Studi Ners Spesialis I Keperawatan
Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai