Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Endometriosis merupakan suatu kelainan dimana kelenjar endometrium yang
masih berfungsi terletak diluar cavum uteri, yang pada umumnya menyerang
wanita usia produktif yaitu setelah pubertas sampai sebelum datangnya masa
menopause.1 Endometriosis postmenopaus pertama kali dilaporkan pada tahun
1950. Walaupun penyakit ini masih jarang, namun harus dipertimbangkan pada
perempuan yang sudah menopause dan perempuan yang menjalani histerektomi
dengan gejala endometriosis yang khas yaitu nyeri.2 Penyakit ini paling sering
terjadi pada organ-organ pelvis dan peritoneum walaupun bagian-bagian lain dari
tubuh juga biasanya ada seperti paru.3,4
Diperkirakan endometriosis sudah dimulai setelah pubertas sampai mencapai
masa usia menopause, sekitar usia 40 sampai 45 tahun. Ditemukan pula kasus
endometri osis pada wanita postmenopause, kira-kira 5% dari kasus. Kasus
endometriosis pada wanita postmenopause biasanya meskipun tidak semuanya,
berhubungan dengan terapi penggantian hormon. Kasus endometriosis di
Indonesia belum dapat diketahui prevalensinya karena studi epidemiologik untuk
kasus ini sendiri belum ada.5 Penyebab endometriosis sendiri belum diketahui
dengan pasti, namun terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan secara pasti
manifestasi yang muncul sebagai akibat dari penyakit ini.6,7 Klasifikasi dari
endometriosis dapat dengan American Fertility Society (AFS) atau dengan
American Society for Reproductive Medicine (ASRM).8
Gejala yang sering ditimbulkan ialah dismenorea, dispareunia, diskezia,
disuria, dan infertilitas. Dalam penanganan endometriosis ini dapat dibagi atas
pencegahan, pengawasan, terapi hormonal, pembedahan, dan radiasi.6
Untuk itu, melalui makalah ini, kami akan membahas lebih jauh mengenai
endometriosis, yang dimulai dari definisi hingga penatalaksanaannya.

B. TUJUAN

1
1. Untuk mengetahui definisi endometriosis
2. Untuk mengetahui epidemiologi endometriosis
3. Untuk mengetahui etiopatogenesis endometriosis
4. Untuk mengetahui klasifikasi endometriosis
5. Untuk mengetahui gambaran klinis endometriosis
6. Untuk mengetahui cara mendiagnosis endometriosis
7. Untuk mengetahui diagnosis banding endometriosis
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan endometriosis
9. Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis endometriosis
10. Untuk melaksanakan tugas dari dosen mata kuliah reproduksi, dr. Rahmat
S, Sp.OG

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Endometriosis merupakan gangguan kompleks, ditandai dengan suatu
keadaan dimana kelenjar endometrium yang masih berfungsi serta stroma, terletak
di luar cavum uteri atau cavum endometrial. 1 Bagian yang paling sering terkena
dampaknya adalah organ-organ pelvis dan peritoneum walaupun bagian-bagian
lain dari tubuh seperti paru, juga kadang-kadang dapat terkena dampaknya.3,4
B. EPIDEMIOLOGI
Pada wanita dengan usia produktif, diperkirakan 5-10% terkena
endometriosis. Untuk insiden atau prevalensi endometriosis secara pasti, belum
diketahui. Prevalensi endometriasis pada pasien yang menggunakan laparoskopi
untuk nyeri pelvis kronis dan infertilitas, masing-masing meningkat sampai 25
dan 33%. Pada usia 25 sampai 29 tahun endometriosis biasanya sudah
terdiagnosis. Diperkirakan endometriosis sudah dimulai setelah pubertas sampai
mencapai masa usia menopause, sekitar usia 40 sampai 45 tahun. Ditemukan pula
kasus endometriosis pada wanita postmenopause, kira-kira 5% dari kasus. Kasus
endometriosis pada wanita postmenopause biasanya meskipun tidak semuanya,
berhubungan dengan terapi penggantian hormon.1,3
Untuk kasus endometriosis di Indonesia, belum dapat diperkirakan karena
studi epidemiologik untuk endometriosis sendiri belum ada, namun Prof. Dr. dr.
Teuku Zulkifli Jacoeb, SpOG(K) memaparkan angka kejadian endometriosis dari
beberapa rumah sakit di Indonesia yang ditulis dalam artikel kesehatan di Majalah
Farmacia edisi Agustus 2007 halaman 80, sebagai berikut :
 Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah. Dr.Moewardi pada
temuan bedah ginekologi endometriosis berkisar 13,6%
 Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Sutomo kelompok
infertilitas berkisar 37,2%
 Angka kejadian di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangun Kusumo angka kejadian
endometriosis pada kelompok infertilitas berkisar 69,5%
“Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang, maka di
negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada wanita usia
produktif”.5

3
C. ETIOPATOGENESIS6,7
Sampai saat ini penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui,
namun ada beberapa teori dengan bukti-bukti pendukung yang mampu
menjelaskan pathogenesis dari penyakit ini. Walaupun demikian, tak satupun dari
teori-teori ini dapat menjelaskan secara pasti tentang manifestasi yang muncul
sebagai akibat dari penyakit ini.
1. Menstruasi retrograd
Teori yang paling luas diterima adalah endometriosis merupakan
hasil dari menstruasi retrograde (menstruasi yang bergerak mundur).
Dikatakan juga bahwa menstruasi retrograde melalui tuba fallopi dengan
akibat penyebaran dari jaringan endometrium di dalam rongga peritoneal
sehingga dapat menyebabkan endometriosis. Bagian-bagian endometrium
ini akan bergerak mundur dan akhirnya menempel dan menyerang
mesotelium peritoneum dan mendapatkan suplai darah, sehingga jaringan
endometrium yang telah menempel di mesotelium peritoneum dapat
bertahan hidup dan berkembang.
Teori ini sudah diusulkan sejak tahun 1920an dan banyak temuan –
temuan volume yang lebih banyak dari refluks darah dan jaringan
endometrium pada pelvis wanita dengan endometriosis telah mendukung
teori ini. Endometriosis biasanya ditemukan pada wanita-wanita dengan
obstruksi aliran keluar dari traktus genitalia.
2. Penyebaran secara limfogen dan hematogen
Kasus-kasus endometriosis yang dapatterjadi di tempat-tempat jauh
dan ganjil seperti hidung dan tulang punggung dapat dijelaskan dengan
teori ini. Banyak bukti yang mendukung konsep endometriosis berasal dari
jaringan endometrium, yang kemudian menyebar secara limfogen atau
hematogen. Teori ini, mendukung penemuan endometriosis pada lokasi-
lokasi yang tidak umum, seperti perineum dan selangkangan.
Regio retroperitoneal mempunyai aliran limfatik yang banyak,
sehingga pada kasus endometrium dimana tidak ditemukannya implant
pada peritoneum tapi hanya ada lesi retroperitoneal yang terisolasi,
menunjukan adanya penyebaran limfatik. Selain itu, kecenderungan dari
adenokarsinoma endometrial untuk menyebar secara limfogen
menandakan endometrium juga bisa menyebar secara limfogen maupun

4
hematogen. Sampai sekarang sudah banyak penelitian secara
eksperimental yang mengevaluasi penyebaran bentuk endometriosis ini.
3. Coelomic Metaplasia
Teori ini mengatakan bahwa peritoneum parietal adalah sebuah
jaringan pluri potensial yang bisa menjalani perubahan metaplastik ke
jaringan yang secara histology tidak dapat dibedakan dari jaringan
endometrium normal. Karena epithelium coelomic yang merupakan asal
dari ovarium dan jaringan asal dari endometrium, ductus mullerian,
endometriosis ovarium mungkin dapat dijelaskan dengan metaplasia. Teori
ini juga sudah dikembangkan untuk mencakup peritoneum karena
potensial poliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini
mungkin dapat menjelaskan mengapa endometriosis dapat terjadi saat
tidak mentruasi, seperti premenarche dan wanita postmenopausal, dan
pada pria yang diterapi dengan estrogen dan orchiectomy untuk kanker
prostat. Tapi tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal
dari epithelium coelomic melawan teori ini. Sebuah ‘fenomena induksi’
dapat memicu munculnya metaplasia setelah menstimulasi sel-sel
multipotensial .Campuran dari sisa-sisa menstruasi dan pengaruh dari
estrogen dan progresteron mungkin merupakan bahan-bahan induksi.
4. Teori Induksi
Sel-sel yang belum berdiferensiasi mungkin akan berdiferensiasi
menjadi jaringan endometrium bila dipengaruhi oleh faktor hormonal atau
biologi. Substansi-substansi ini mungkin dilepaskan secara langsung dari
endometrium. Penelitian in vitro sudah mendemonstrasikan bahwa sebagai
respons terhadap estrogen, potensial dari permukaan epithelium ovarium
akan mengalami transformasi kebentuk lesi endimetriosis. Walaupun
banyak faktor diduga sudah diidentifikasi kecenderungannya untuk
menyebabkan endometriosis pada beberapa wanita.
5. Hormonal Dependence
Estrogen merupakan salah satu faktor yang sudah pasti
berpengaruh pada perkembangan endometriosis. Walaupun kebanyakan
estrogen diproduksi secara langsung oleh ovarium pada wanita, estrogen
juga dihasilkan melalui aromatisasi ovarium dan androgen adrenal pada
jaringan perifer.

5
Aromatase dan 17-hidroksisteroid dehydrogenase tipe 1, enzim
yang bertanggung jawab untuk mengkonversi androstenedione menjadi
estrone dan estrone menjadi estradiole secara berurutan, dihasilkan oleh
implant endometriosis, tapi implant tersebut mengalami defisiensi17-
hidroksisteroid dehydrogenasetipe 2, yang men nonaktifkan estrogen.
Kedua kombinasi ini memastikan bahwa implant akan terekspos ke
lingkungan estrogenik. Selanjutnya,akan terjadi sebuah proses yang
dikenal dengan intrakrinalogi dimana estrogen yang sudah diproduksi di
dalam lesi endometriotik mungkin menggunakan efek biologinya di dalam
jaringan yang sama dimana mereka diproduksi.
Aromaterase dan peningkatan level 17-hidroksisteroid
dehydrogenase tipe 2 sebagai respon terhadap progresterone tidak
dihasilkan oleh endometrium normal, yang memastikan bahwa sebagai
respon terhadap progresteron efek estrogenic menurun. Hasilnya,
progresterone melawan efek estrogen dalam endometrium normal pada
saat fase luteal dari siklus menstruasi. Endometriosis, bagaimanapun juga,
menunjukan keadaan progesterone-resisten yang relatif, yang mencegah
penurunan stimulasi estrogen di jaringan.
Prostaglandin E2 (PGE2) penginduksi yang paling kuat dari
aktivitas aromaterase dalam sel stroma endometrium, bertindak melalui
sub tipe reseptor prostaglandin EP2 Estradiol diproduksi sebagai respons
terhadap peningkatan aktivitas aromatase setelah itu memperbanyak
produksi PGE2 dengan menstimulasi enzim cyclooxygenase tipe 2 (COX-
2) pada sel endothelial eterus. Hal ini menghasilkan umpan balik positif
dan mengaktifkan efek estrogenic proliferasi dari endometriosis. Konsep
estrogen yang dihasilkan lokal dan aksi estrogen intrakrinalogi dalam
endometriosis menjadi dasar untuk inhibisi farmakologi aktivitas
aromatase dalam kasus endometriosis yang susah disembuhkan dengan
terapi standar.
6. Latrogenic dissemination
Pada wanita yang melahirkan secara sesar sering ditemukan
endometriosis pada dinding anterior abdomen. Hipotesis ini mengatakan
bahwa kelenjar endometrium dan stroma tertanam saat prosedur operasi
dilakukan. Jaringan yang tidak normal ditemukan di lapisan subkutaneus

6
pada saat insisi abdomen. Endometriosis Latrogenic mungkin ditemukan
di luka episiotomy namun jarang
7. Genetic Predisposition
Beberapa penilitian sudah mendokumentasikan faktor predisposisi
yang berhubungan dengan keluarga dengan endometriosis dengan
pengelompokan kasus-kasus endometriosis pada ibu dan anak-anaknya.
Sebuahinvestigasi yang dilakukan Simpson dan rekan-rekannya
mendemonstrasikan peningkatan tujuh kali lipat dari kasus endometriosis
pada saudara dari perempuan dengan endometriosis dibandingkan
kelompok kontrol. Satu dari sepuluh perempuan dengan endometriosis
parah akan mempunyai seorang saudara perempuan atau ibu dengan
manifestasi klinis endometriosis. Perempuan yang memiliki riwayat
keluarga endometriosis kemungkinan besar akan mendapat penyakit ini
pada usia muda dan berkembang lebih cepat dibandingkan wanita tanpa
adanya riwayat keluarga. Penelitian terakhir sudah mengidentifikasikan
delesi dari gen, yang paling spesifik, peningkatan heterogenisitas dari
kromosom 17 dan aneuplodi, pada wanita dengan endometriosis
dibandingkan kelompok control. Ekspresi dari liabilitas genetik ini
kemungkinan besar akan bergantung dengan interaksi dengan faktor
lingkungan.
D. KLASIFIKASI
Metode utama dalam mendiagnosis endometriosis adalah dengan melihat
secara langsung lesi endometriosis melalui laparoskopi, dengan atau tanpa
pemeriksaan histologi. Namun, tingkatan endometriosis sangatlah berbeda pada
masing-masing individu. Untuk itu, telah dilakukan beberapa percobaan untuk
mengembangkan suatu sistem klasifikasi yang standar dan secara objektif dapat
digunakan untuk membagi endometriosis ke dalam beberapa tingkatan. Sistem
klasifikasi tersebut kemudian digunakan sebagai suatu sistem penilaian yang
mampu mendeskripsikan bentuk kelainan patologi dari penyakit.6
Sistem klasifikasi pertama dibuat pada tahun 1979 yang lebih dikenal dengan
American Fertility Society (AFS). Sistem ini membagi endometriosis berdasarkan
temuan bedah, dimana secara subjektif membedakan setiap lesi berdasarkan
ukuran dan kedalamannya.8

7
Kemudian pada tahun 1985, AFS dikaji ulang dan berganti nama menjadi
American Society for Reproductive Medicine (ASRM). ASRM membagi
endometriosis ke dalam 4 tahapan penyakit yakni tahap I (minimal), tahap II
(ringan), tahap III (sedang), dan tahap IV (berat). Baik sistem penggolongan oleh
AFS maupun ASRM, keduanya sama-sama bertujuan untuk memprediksi
kemungkinan kehamilan berdasarkan terapi endometriosis, menurut beratnya
penyakit. ASRM kemudian mengalami revisi kembali pada tahun 1996.
Klasifikasi yang baru ini mendeskripsikan lesi endometriosis berdasarkan
morfologi dan warna lesi yakni putih, merah, dan hitam. Seperti pada sistem
klasifikasi AFS sebelumnya, sistem ini tidak dapat secara pasti memprediksi
kemungkinan terjadinya kehamilan setelah dilakukannya terapi menurut panduan
klasifikasi ASRM. 1,3,6

Berikut adalah gambaran pengelompokan endometriosis menurut revisi


ASRM pada tahun 1996:

8
Gambar 1. Klasifikasi Endometriosis Menurut American Society of Reproductive Medicine.9

E. GAMBARAN KLINIK
Perlu ditekankan bahwa gejala endometriosis dapat berbeda-beda. Satu dari
tiga wanita yang menderita endometriosis mungkin tidak menunjukan gejala.
Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri pada bagian pelvis dan
infertilitas.7
A. Nyeri
Nyeri panggul merupakan gejala utama yang paling sering ditemukan
pada penyakit endometriosis. Nyeri dapat bersifat kronik progresif dengan
pola siklik. Penyebab pasti dari nyeri yang timbul masih belum jelas, namun
dilepaskannya sitokin-proinflamator dan prostaglandin oleh sel-sel
endometriosis pada cairan peritoneum mungkin dapat merupakan salah satu
penyebab.6,7,8
Nyeri dapat timbul pada saat menstruasi (dismenorea), saat berhubungan
seksual (dispareunia), saat berkemih (dysuria), dan saat defekasi khususnya
pada waktu haid.4
a. Dismenorea
Nyeri yang timbul saat haid pada pasien endometriosis sifatnya
semakin lama semakin menghebat. Nyeri tersebut timbul 24-48 jam
setelah darah haid keluar, dan dapat sedikit menghilang dengan obat-
obatan seperti NSAID. Penyebab nyeri belum diketahui dengan pasti.
Namun, beberapa literatur menyebutkan bahwa hal ini terjadi karena
adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada
waktu sebelum dan semasa haid. Selain itu, diduga prostaglandin dan
sitokin merupakan mediator-mediator inflamasi yang juga berperan
dalam timbulnya nyeri.4,6,7
b. Dispareunia
Dispareunia merupakan salah satu gejala pada endometriosis dan
berkaitan erat dengan lesi endometriosis yang terdapat pada
ligamentum uterosakral, implantasi pelvik yang dalam, lesi pada
septum rektovaginal, atau uterus yang retroversi.1
c. Nyeri ketika defekasi (diskezia)

9
Pada waktu haid, pasien akan merasa sakit dan sulit saat
melakukan defekasi. Hal ini disebabkan karena adanya lesi
endometriosis pada dinding rektosigmoid. Dan kadang-kadang dapat
terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut.4
d. Disuria
Walaupun gejalanya jarang ditemukan pada endometriosis,
keluhan nyeri pada kandung kemih dirasakan saat berkemih.
Endometriosis mungkin dicurigai bila gejala ini simultan dengan hasil
kultur urin negatif.6

B. Infertilitas
Gejala umum lain yang menyertai endometriosis adalah infertilitas.
Berdasarkan temuan laparoskopi, lebih dari 30% pasien dengan
endometriosis juga menderita infertilitas. Antara endometriosis dan
infertilitas memiliki hubungan yang nyata. Faktor penting yang dapat
menjadi penyebab dari infertilitas pada endometriosis adalah terganggunya
mobilitas tuba akibat adanya fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitar lesi
endometriosis.1,4
C. Temuan Klinis Lain
Uterus dengan posisi retroversi, nodularitas ligamentum uterosakrum,
dan adneksa yang membesar serta lunak dan nyeri, merupakan temuan klinis
lain yang sering ditemukan.8
F. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis adanya suatu endometriosis dapat dilakukan dengan cara
anamnesis dan juga pemeriksaan fisik, tetapi diagnosis pastinya hanya dapat
ditegakan dengan pemeriksaan laparoskopi dengan visualisasi langsung terhadap
lesi endometriosis dan pemeriksaan patologi terhadap spesimen biopsinya.4,8
 Anamnesis
Dari anamnesis biasanya didapatkan nyeri premenstruasi dan akan
berkurang atau menghilang dengan berakhirnya masa menstruasi. pasien

10
pada umumnya datang dengan keluhan nyeri pada bagian pelvis, selain itu
juga nyeri pada punggung,dyspareunia, nyeri pinggang, dyscezia, dll.
berdasarkan laporan kasus yang dikutip dalam jurnal yang ditulis oleh
Anne L. Mounsey, M.D, dkk dari University of Virginia School of
Medicine, Charlottesville, Virginia bahwa penelitian yang dilakukan pada
wanita-wanita di UK dan USA di pusat penelitian pendidikan
endometriosis ditemukan 70-71% datang dengan nyeri pada pelvis, 71-
76% dengan dismenorea, 44% dengan dyspareunia.3,6,10

 Pemeriksaan Fisik
Secara inspeksi, sering tidak terlihat adanya anda-tanda
abnormalitas atau mungkin juga disertai adanya nodul yang lembek pada
bagian posterior dari fornix vagina, atau adanya suatu massa adenaxal
yang lembek akibat dari endometriosis, ataupun bisa juga endometriosis
disertai suatu scar episitomia jaringan parut bekas pembedahan.
endometriosis jarang sekali berkembang secara spontan ke dalam region
peritoneum ataupun perianal.1,6,7
 Pemeriksaan Penunjang
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa laparoskopi merupakan
gold standard dalam mendiagnosis suatu endometriosis karena dapat
memberikan kepastian diagnosis. Ada juga ultrausound yang dianggap
sangat baik untuk pemeriksaan vaginal karena memiliki resolusi yang
lebih baik. Namun bagaimanapun itu, ultrasound sangat tidak berguna
untuk mendeteksi endometriosis yang implant dan tidak dapat
membedakan endometriosis dengan massa yang lain. Ada juga pendapat
lain yang mengatakan bahwa dibandingkan dengan laparoskopi,
ultrasound trans-vaginal merupakan suatu peralatan yang sangat berguna
untuk mendiagnosis serta dapat juga menyingkirkan endometriomas
karena memiliki resolusi yang lebih baik namun bagi penyakit-penyakit
peritoneal hal ini tidak bermakna. Temuan laparoskopi merupakan suatu
variabel yang dapat mencakup lesi endometriosis diskrit, endometrioma,
serta adhesi formasi. Lesi endometriosis mempunyai tampilan dan bentuk

11
yang bervariasi serta letaknya pun dapat ditemukan diberbagai tempat
pada tubuh, namun umumnya dapat ditemukan pada ovarium, dan dapat
juga ditemukan di luar abdomen (paru, vulva).1,3,4,6,8

Gambar 2. Tindakan laparoskopi terhadap deposit jaringan endometrial pada


ovarium (anak panah)6
Selain itu, biopsi jaringan juga diperlukan untuk mengkonfirmasi
hasil pemeriksaan laparoskopi. Pemeriksaan laboratorium untuk
menegakan diagnosis endometriosis tidak memberikan tanda yang khas,
hanya apabila ditemukannya darah dalam feces atau urin pada waktu haid,
hal ini dapat menjadi petunjuk adanya endometriosis pada rektosigmoid
atau ureter. Selain itu juga dapat dilakukan foto rontgen yang akan
menemukan gambaran filling defect pada rektosigmoid dengan batas-batas
yang jelas dan juga mukosanya masih utuh, dimana hal ini dilakukan
dengan memasukan barium ke dalam kolon. Diagnosis dapat juga
dilakukan dengan ultrasound, MRI, serta pemeriksaan kadar serum CA-

12
125. MRI dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasound, jauh lebih baik
untuk mendeteksi endometriosis yang implant atau dengan kata lain kista
endometriosis walaupun sensitivitas dan spesifitasnya belum terlalu
diperbaiki, namun hal ini tidak pada endometriosis umumnya. Pemeriksaan
kadar CA-125 ada yang beranggapan bahwa CA-125 ini tidak memiliki
nilai apapun sebagai suatu alternatif diagnosis untuk endometriosis yang
ringan sampai berat, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa peningkatan
dari kadar serum CA-125 biasanya terdapat pada pasien-pasien
endometriosis, dan biasanya pada yang stadium lanjut, sehingga dapat
membantu untuk mendiagnosis endometriosis yang sudah stadium
lanjut.1,3,4,6

G. DIAGNOSIS BANDING3,6,10
Pasien sering ke dokter dengan mengeluh:
 Dysmenorea, harus dipertimbangkan: adenomyosis, mioma, infeksi
ataupun terjadinya stenosis servikal
 Dyspareunia, harus dipertimbangkan: gangguan pada gastrointestinal
akibat konstipasi, irritable bowl syndrome, ataupun akibat gangguan
muskuluskeletal yakni relaksasi pelvis, spasme elevator, ataupun produksi
lubrikasi vagina yang berkurang, juga terjadi kongesti vaskular pelvis,
infeksi pada saluran kemih seperti interstisial sistitis, sindrom uretra.
 Nyeri Pelvis, harus dipertimbangkan: neoplasma benigna ataupun
malignan, penyakit-penyakit inflamasi pada pelvis, torsi ovary, adhesi
ovar, dll.
Selain itu adapun kista ovari yang dapat menimbulkan kesukaran untuk
membedakannya dengan endometriosis ovary sedangkan endometriosis
rektosegmoid perlu dibedakan dengan karsinoma.

H. PENATALAKSANAAN
Dalam penanganan endometriosis ini dapat dibagi atas pencegahan,
pengawasan, terapi hormonal, pembedahan, dan radiasi.4,11
1) Pencegahan
Salah satu cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis adalah
kehamilan. Pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium

13
dalam sarang-sarang endometriosis, gejala-gejala endometriosis memang
berkurang atau hilang. Oleh sebab itu, hendaknya perkawinan jangan ditunda
terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat
anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap
demikian itu tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap
endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah
endometriosis timbul. Selain itu pemeriksaan yang kasar atau melakukan
kerokan pada waktu haid jangan dilakukan, karena, dapat menyebabkan
keluarnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.4,9,11
 Observasi dan pemberian analgetik
Pengawasan bisa dilanjutkan sampai menopause pada wanita yang
sudah agak berumur, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang
sendiri. Sama pada wanita yang lebih muda, yang tidak mempunyai
persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang ingin
mempunyai anak, jika setelah ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan,
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap infertilitas dan diambil sikap yang
lebih aktif. Pemeriksaan secara periodik dan teratur harus dilakukan untuk
meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap
ekspektatif. Dalam masa observasi ini untuk mengurangi rasa nyeri dapat
diberi pengobatan berupa analgetik seperti obat anti-inflamasi non-steroid
yang merupakan terapi lini pertama pada wanita yang mengalami
disminore dan nyeri pelvis.4,6,9,11
2) Pengobatan hormonal
 Dasar dan prinsip terapi
Sebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis, ialah bahwa
pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis seperti jaringan
endometrium yang normal, dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Hal ini
didukung oleh data klinik maupun laboratorium. Prinsip pertama
pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan
hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik
mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan
endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Dengan
demikian dapat dihindari timbulnya sarang endometriosis yang baru

14
karena transport retrograd jaringan endometrium yang lepas serta
mencegah pelepasan dan perdarahan jaringan endometriosis yang
menimbulkan rasa nyeri karena rangsangan peritoneum. Prinsip kedua
adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi
progesteron (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan
atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau
tinggi progesteron juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang
asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.4,9
Prinsip beberapa cara pengobatan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Androgen
Pemakaian androgen untuk terapi endometriosis pertama kali
dilaporkan oleh Hirst pada tahun 1947. Preparat yang dipakai adalah
metiltestosteron sublingual dengan dosis 5-10 mg/ hari. Biasanya
diberikan 10 mg/ hari pada bulan pertama dilanjutkan dengan 5 mg/
hari selama 2-3 bulan berikutnya.4,6
b. Estrogen-progesteron
Pil kontrasepsi yang dipilih sebaiknya yang mengandung rendah
estrogen dan mengandung progesteron yang kuat atau yang
mempunyai efek androgenik yang kuat. Norgestrel dianggap sebagai
senyawa progesteron yang poten dan mempunyai efek androgenik
yang paling kuat. Terapi standarnya 0,03 mg etinel estradiol dan 0,3
mg norgestrel/ hari. Bila terjadi breakthrough bleeding, dosis
ditingkatkan menjadi 0,05 mg estradiol dan 0,5 mg norgestrel per-hari
atau maksimal 0,08 mg estradiol dan 0,8 mg norgestrel per-hari.
Pemberian tersebut terus-menerus setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan
ada yang menganjurkan minimal 1 tahun dan bila perlu dilanjutkan
sampai 2-3 tahun.4

Tabel 1. Komposisi hormonal dalam obat


NO NAMA DAGANG ESTROGEN PROGESTERON
1. Noriday, kimia Farma 0,05 mg mestranol 1 mg noretisteron
2. Microgynon 30 Nordette 0,03 mg etinil estradiol 0,015 norgestrel
3. Marvelon 0,03 mg etinil estradiol 0,015 desogestrel
4. Eugynon 0,05 mg etinil estradiol 0,05 norgestrel
c. Progestogen

15
Nama umum semua senyawa progesterone adalah progestogen atau
progestin. Terdapat 3 golongan progesteron, yakni: Pregnan, Estran
dan Gonan.4

Tabel 2. Golongan progestogen


NO Progestogen Estrogenik Progestogenik Androgenik
Pregnan:
MPA (Provera)
1. - ++ -
Didrogesteron
- ++ -
(Duphaston)
Estran:
Linestrenol
2. (Endometril) + ++ +
Norelisteron - ++ +
(Primolut N)
Gonan:
3. Norgestrel - +++ ++
Desogestrel - +++ -(?)

Berbagai jenis progesteron tersebut pernah digunakan sebagai obat


tunggal untuk terapi endometriosis. Dosis yang diberikan adalah
Medroxyprogesteron asetat 30-50mg/hari atau Noretisteron asetat
30mg/hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan MPA 150mg
setiap 3 bulan sampai 150mg setiap bulan. Penghentian terapi
parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga
cara pengobatan ini tidak memunguntungkan bagi mereka yang ingin
segera mempunyai anak. Menurut hasil ringkasan laporan beberapa
peneliti, kehamilan setelah terapi dengan progestogen rata-rata sebesar
26% atau berkisar dari 5-73%.1,4,6,7,9
d. Danazol
Danazol adalah turunan isokzasol dari 17 alfa etiniltestosteron.
Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi dan estrogen
rendah. Dosis yang dianjurkan untuk endometriosis ringan (Stadium
II) atau sedang (Stadium III) adalah 400mg/hari sedangkan untuk
endometriosis berat (Stadium IV) dapat diberikan sampai dengan
800mg/hari. Lama pemberian minimal 6 bulan, dapat pula diberikan
selama 12 minggu sebelum terapi pembedahan konservatif. Akne,
hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan
dan edema merupakan efek samping dari 85% pemakai danazol.1,4,6,9

3) Pengobatan Dengan Pembedahan

16
o Pembedahan Konservatif 3,7,9
- Pembedahan mampu menangani perlengketan panggul dan
endometrioma berukuran besar (> 2cm) dibandingkan secara
medikamentosa.
- Mengangkat atau menghancurkan endometriosis sebanyak
mungkin dan pada saat bersamaan mengembalikan anatomi
normal serta menyisakan sebanyak mungkin jaringan ovarium
normal, itulah tujuan dari pembedahan.
- Rata-rata kehamilan pada wanita dengan endometriosis sedang
sampai berat dapat diperbaiki dengan baik.
o Pembedahan Definitif 4,6,8
- Histerektomi dengan salpingo-oforektomi bilateral merupakan
terapi paling definitif.
- Salah satu atau kedua ovarium dapat dipertahankan dengan
20% risiko akan mengalami operasi lain untuk meredakan
nyeri yang berkepanjangan.
- Setelah operasi jika kedua ovarium diangkat, terapi
penggantian hormon harus dipertimbangkan.
- Nyeri panggul bisa terus berlanjut meskipun pembedahan
definitif telah dilakukan.

I. KOMPLIKASI9
Komplikasi dari endometriosis hanya sedikit. implant dibawah perut atau
uterus mungkin menyebabkan obstruksi dan kerusakan fungsi ginjal yang tidak
terlihat secara langsung. sifat erosis dari lesi pada penyakit yang menyebar secara
agresif dapat menimbulkan banyak gejala, tergantung pada jaringan yang
dirusaki. endometriosis dapat menyebabkan ovarium terpelintir, atau dapat ruptur
dan menjatuhkan isinya kedalam cavum peritoneal, terlihat pada peritonitis
kimiawi. Tindakan eksisi pada endometriosis dapat menyebabkan pneumothorax.

J. PROGNOSIS9
Kebanyakan pasien bisa diberitahukan bahwa sakit atau nyeri pada pelvis
akan berkurang atau menghilang dan pengobatan akan membantu mereka
mencapai kehamilan.
Perhatian jangka panjang harus lebih diperhatikan karena semua terapi saat
ini menawarkan keringanan atau kelegaan tapi tidak menyembuhkan. Bahkan

17
setelah operasi endometriosis mungkn muncul kembali, tapi risikonya sangat kecil
(sekitar 3%). Terapi penggantian estrogen tidak secara signifikan meningkatkan
resiko timbul kembali. Setelah operasi konservatif, dilaporkan angka kekambuhan
biasanya bervariasi tapi biasanya melewati 10% dalam 3 tahun dan 3% dalam 5
tahun.
Meskipun banyak pasien yang khawatir kalau endometriasis akan
berkembang, pengalaman menunjukan bahwa operasi konservatif mencegah
keperluan untuk dilakukannya histerektomi dalam mayoritas kasus. Jalur dari
endometriosis di setiap orang tidak bisa diprediksi sekarang, dan penanganan di
masa yang akan datang harus ditingkatkan dari apa yang ada sekarang.

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Endometriosis merupakan keadaan dimana kelenjar endometrium yang masih
berfungsi serta stroma, terletak di luar cavum uteri atau cavum endometrial dan
biasanya terjadi pada wanita-wanita usia produktif. Etiologi endometriosis ini
sendiri belum diketahui secara pasti namun ada beberapa teori yang telah di duga
menyebakan endometriosis yakni, teori mnstruasi retrograde, teori penyebaran
secara limfogen dan hematogen, teori coelomic metaplasia, teori induksi, teori
hormonal dependence, teori latrogenic dissemination serta teori genetic
predisposisi. Endometriosis gejalah utamanya yakni nyeri panggul sehingga dapat
dipikirkan sebagai dismenorea, disparaneunia,atua nyeri pelvik oleh kkarena itu
untuk lebih memastikan adanya suatu endometriosis dapat dilakukan dengan cara
anamnesis dan juga pemeriksaan fisik, tetapi diagnosis pastinya hanya dapat
ditegakan dengan pemeriksaan laparoskopi dengan visualisasi langsung terhadap
lesi endometriosis dan pemeriksaan patologi terhadap spesimen biopsinya. Untuk
penatalaksanaan endometriosis ini sendiri dapat dilakukan observasi dan
pemberian analgetik , pengobatan hormonal, serta terapi pembedahan sehingga
dapat sedini mungkin mencegah komplikasi. Prognosis dari endometriosis ini pun
tergantung bagaimana penatalaksanaannya serta kapan segera pasien
endometriosis ini diperiksa.

B. SARAN
Oleh karena itu, lewat makalah ini penulis menyarankan agar setiap nyeri
pinggang ataupun dismenorea jangan disepelehkan dan sebaiknya segera diperiksa
karena dismenorea, nyeri pelvis juga dapat memiliki gejalah yang sama dengan
nyeri endometriosis ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ling FW, Duff P. Obstetrics and Gynecology Principles for Practice.


USA: McGraw-Hill Companies; 2001
2. Manero, Manuel dkk. Journal of Medical Case Reports: Endometriosis in
a postmenopausal woman without previous hormonal therapy. Spain:
Biomed Central. 2009
3. Edmonds DK. Obstetrics and Gynaecology. Edisi 7. London: Blackwell
Publishing; 2007
4. Wiknjosastro H, Saifudin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Edisi 2.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009
5. Amril. [online]. [cited 2007]:[1 screen].Available from: URL: http://majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=565
6. Schorge JO. Williams Gynecology. USA: McGraw-Hill Companies; 2008
7. Katz VL. Comprehensive Gynecology. Edisi 5. USA: Elsevier Inc.; 2007
8. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass’ Office Gynecology. Edisi 6.
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006
9. Norwitz E, Schorge J. At a Glance Obstetri dan Ginekologi Edisi
Terjemahan.Edisi 2. Jakarta: Erlangga; 2008
10. Berek JS. Berek and Novak Gynecology. USA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007
11. Decherney AH. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology,
Edisi 10.USA: The McGraw-Hill Companies. 2007

20

Anda mungkin juga menyukai