Anda di halaman 1dari 160

TIM PENYUSUN

Pengarah : Dr. Mohammad Subuh, MPPM;


Dr. Sigit Priohutomo, MPH

Penangung Jawab : Dr. Christina Widaningrum, M.Kes

Editor cetakan 2014 : Dr. Triya Novita Dinihari;


Dr. Vanda Siagian

Kontributor:

Dr. Anna Uyainah, Sp.PD,KP, MARS, FINASIM; Dr. Priyanti,Sp.P(K);


Dr. Arto Yuwono,SpPD(K); Dr. Purwantyastuti,MSc,Ph.D;
Dr. Arifin Nawas,SpP(K); Dr. Ratih Pahlesia;
Bawa Wuryaningtyas, SKM, MM; Dr. Regina Loprang;
Dr. Bey Sonata; Regina Tambunan, SKM;
Budiarti Setyaningsih, SKM, M.Kes Dr. Retno Kusumadewi;
Dr. Darmawan BS,SpA(K); Dr. Reviono,SpP;
Drg. Devi Yuliastanti; Rony Candra, M.Biomed;
Dr. Dyah Armi Riana, MARS Rudy E. Hutagalung, BSc
Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH Saida N. Debataradja, SKM;
Dr. Eka Sulistiany; Dr. Servas Pareira, MPH;
Dr. Endang Lukitosari, MPH; Dr. Setiawan Jatilaksono;
Dr. Erlina Burhan,SpP(K); Drg. Siti Nur Anisah, MPH;
Drg. Erwinas; Dr. Sity Kunarisasi, MARS;
Dr. Fainal Wirawan; Sophia T. Patty, SKM;
Hardini Utami, SKM, MKM; Dr. Sri Prihatini B, SpP;
Dr. Hari Basuki, MPPM, DTMH; Prof. Dr.Sudijanto Kamso,MPH,PhD;
Dr. Harini A.Janiar,Sp.PK; Sulistiyo,SKM,MEpid;
Dr. Irfan Ediyanto; Surjana,SKM;
Dr. Jan Voskens,MPH; Suwandi, SKM, M.Epid;
Dr. Joan Tanumiharja; Prof. Dr.Tjandra Yoga Aditama,SpP(K);
Dra. Lesmaria Simamora Tiar Salman, ST, MM;
Mikyal Faralina, SKM; Totok Haryanto, SKM, M.Kes;
Munziarti,SKM,MM; Dr. Triya Novita Dinihari;
Dr. Nastiti Rahayu,SpA(K); Dr. Tutik Kusumastuti, Sp.P
Dr. Novayanti; Dr. Vanda Siagian;
Nurul Badriyah, SKM; Yusuf Said,SH;

TIM PENYUSUN
i
ii
DAFTAR ISI
Tim Penyusun i
Daftar Isi iii
Kata Pengantar vii
Daftar Singkatan ix

BAB I Pendahuluan 1
A. Epidemiologi dan Permasalahan TB Dunia 1
B. Patogenesis dan Penularan TB 2
C. Upaya Pengendalian TB 4

BAB II Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia 6


A. Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB di Indonesia 6
B. Besaran Masalah TB di Indonesia 7
C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia 9
D. Visi dan Misi 10
E. Tujuan dan Target 10
F. Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia 2010-2014 10
G. Kegiatan 11
H. Organisasi Pelaksana 11

BAB III Tatalaksana Pasien Tuberkulosis 13
A. Penemuan Pasien Tuberkulosis 13
B. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa 15
C. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB 17
D. Pengobatan Pasien TB 20

BAB IV Tatalaksana TB Pada Anak 38
A. Epidemiologi 38
B. Diagnosis TB Pada Anak 38
C. Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosis TB Anak 40
D. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Pada Anak 44
E. Pengobatan TB Pada Anak 45
F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak 48
G. Efek Samping pengobatan TB Pada Anak 49
H. Tatalaksana Pasien TB Anak Yang Berobat Tidak Teratur 49
I. Hasil pengobatan TB Pada Anak 49
J. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH) 49

DAFTAR ISI
iii
BAB V Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis 51
Resistan Obat (MTPTRO)
A. Defenisi TB Resistan Obat 51
B. Tujuan dan Kebijakan MTPTRO 51
C. Pengorganisasian MTPTRO 52
D. Diagnosis TB Resistan Obat 54
E. Pengobatan TB MDR 57
F. Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR 59
G. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap 60
H. Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak 60

BAB VI Kegiatan Kolaborasi TB-HIV 62


1. Latar Belakang 62
2. Tujuan Dan Kebijakan Dalam Kegiatan Kolaborasi TB-HIV 62
3. Pengorganisasian 64
4. Diagnosis TB Pada ODHA 64
5. Diagnosis HIV Pada Pasien TB 69
6. Pengobatan TB Pada ODHA dan Inisiasi ART Secara Dini 69
7. Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Isoniazid (PP INH) 70
8. Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Kotrimoksasol (PPK) 70
9. Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV 71

BAB VII Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis 72


Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi 72

BAB VIII Public - Private Mix DOTS Dalam Pengendalian Tuberkulosis 76
A. Tujuan 76
B. Prinsip dan Strategi PPM 76
C. Penerapan PPM 77
D. Langkah-Langkah Pemantapan PPM 80
E. Indikator Pelaksanaan PPM 81

BAB IX Manajemen Laboratorium Tuberkulosis 82


A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB 82
B. Manajemen Laboratorium TB 87
C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB 90

BAB X Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis 91


A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis 91
B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis 95

iv
DAFTAR ISI
BAB XI Pengembangan Sumber Daya Manusia Program
Pengendalian Tuberkulosis 104
A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB 104
B. Peran SDM Dalam Pengendalian TB 106
C. Pelatihan Program Pengendalian TB 108
D. Evaluasi Paska Pelatihan (EPP) Program Pengendalian TB 111

BAB XII Keterlibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan
Dalam Pengendalian Tuberkulosis 114
A. Bentuk-Bentuk Organisasi Kemasyarakatan 114
B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam
Pengendalian TB 114
C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam
Pengendalian TB 115
D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan
Dalam Pengendalian TB 115
E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi
Kemasyarakat Dalam Pengendalian TB 116
F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan
dalam Pengendalian TB 116
G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program
Pengendalian TB 116

BAB XIII Sistim Informasi Strategis Program Pengendalian Tuberkulosis 118


A. Surveilans Tuberkulosis 119
B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB 120
C. Penelitian Program Pengendalian Tuberkulosis 138

BAB XIV Perencanaan dan Penganggaran Program Pengendalian
Tuberkulosis 141
A. Konsep Perencanaan dan penganggaran 141
B. Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran/Sumber
Pembiayaan P2TB 142
C. Sistim Pelayanan Kesehatan Untuk Pengendalian TB 144
D. Pembagian Peran dan Wewenang Dalam Pengendalian TB 146

DAFTAR ISI
v
vi
KATA PENGANTAR

Beberapa tahun terakhir, upaya Pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan


yang cukup pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya indikator penting
dalam Program Pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses
pelayanan kesehatan yang semakin baik, adanya pendanaan dan dukungan pemerintah
pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat, semakin
berkembangnya teknologi pengendalian TB, serta banyak kegiatan terobosan yang
diinisiasi baik dalam skala Global maupun Nasional.

Seiring dengan penemuan baru ilmu dan teknologi serta perkembangan program
pengendalian TB di lapangan, maka buku Pedoman Nasional Pengendalian TB ini
harus mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut, untuk itu pada cetakan ini,
dilakukan beberapa perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dilapangan,
seperti perubahan definisi, terminologi, sistematika dan kebijakan operasional.
Beberapa perubahan baru seperti yang dituangkan pada buku pedoman pengobatan
yang diterbitkan WHO juga diakomodir dengan tetap mempertimbangkan situasi spesifik
program TB di Indonesia, seperti perubahan pada teknis tatalaksana pasien TB, baik TB
pada dewasa maupun TB pada anak. Perubahan itu dilakukan untuk mengakomodasi
kewaspadaan terhadap terjadinya TB resistan obat, masalah koinfeksi TB-HIV, Upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan lain-lain. Demikian pula perluasan strategi
penemuan pasien TB yang bukan hanya bertumpu pada penemuan secara pasif tetapi
pada situasi yang menguntungkan program perlu juga dilakukan penemuan secara aktif.

Akhir kata dengan terbitnya buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis


cetakan tahun 2014 ini, diharapkan dapat merangkum dan mengakomodir perubahan
dan perkembangan yang dibutuhkan di lapangan, terutama untuk pengguna baik dari
kalangan pegiat program maupun pelaksana program dilapangan.

Jakarta, November 2014


Direktur Jenderal PPdanPL,
Kementerian Kesehatan RI

Dr. H.M. Subuh, MPPM

KATA PENGANTAR
vii
viii
DAFTAR SINGKATAN
AIDS = Acquired Immune Deficiency Syndrome
AKMS = Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
APBN/D = Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara/Daerah
AP = Akhir Pengobatan
ARTI = Annual Risk of TB Infection
ART = Anti Retroviral Therapy
ARV = Anti Retroviral Viral (obat)
Bapelkes = Balai Pelatihan Kesehatan
BCG = Bacillus Calmette et Guerin
BLK = Balai Laboratorium Kesehatan
BLN = Bantuan Luar Negeri
BTA = Basil Tahan Asam
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BUMN = Badan Usaha Milik Negara
CDR = Case Detection Rate
Cm = Capreomycin
CNR = Case Notification Rate
Cs = Cycloserine
Ditjen. PPdanPL = Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit &
Penyehatan Lingkungan
Ditjen. Binfar dan Alkes = Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Ditjen. BUK = Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
DIP = Daftar Isian Proyek
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPR (D) = Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah)
DPM = Prakter Dokter Mandiri
DST = Drug Sensitivity Testing
E = Etambutol
EQAS = External Quality Assurance System
Eto = Ethionamide
FDC = Fixed Dose Combination
FEFO = First Expired First Out
Gerdunas -TB = Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis
GFK = Gudang Farmasi Kabupaten/ Kota
H = Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide)
HIV = Human Immunodeficiency Virus
IAKMI = Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
IBI = Ikatan Bidan Indonesia

DAFTAR SINGKATAN
ix
IDAI = Ikatan Dokter Anak Indonesia
IDI = Ikatan Dokter Indonesia
IUATLD = International Union Against TB and Lung Diseases
KBNP = Kesalahan besar negatif palsu
KBPP = Kesalahan besar positif palsu
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KG = Kesalahan Gradasi
KKNP = Kesalahan kecil negatif palsu
KKPP = Kesalahan kecil positif palsu
Km = Kanamycin
KPP = Kelompok Puskesmas Pelaksana
Lapas = Lembaga Pemasyarakatan
Lfx = Levofloxacin
LP = Lapang Pandang
LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
LPLPO = Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
MDG = Millenium Development Goals
MDR / XDR = Multi Drugs Resistance / extensively Drugs Resistance
Mfx = Moxifloxacin
MOTT = Mycobactrium Other Than Tuberculosis
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
Ofl = Ofloxacin
PAPDI = Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia
PCR = Poly Chain Reaction
PDPI = Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PME = Pemantapan Mutu Eksternal
PMI = Pemantapan Mutu Internal
PMO = Pengawasan Minum Obat
POA = Plan of Action
POGI = Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
POM = Pengawasan Obat dan Makanan
PPM = Puskesmas Pelaksana Mandiri
PPM = Public Private Mix
PPNI = Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia
PPTI = Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
PRM = Puskesmas Rujukan Mikroskopis
PS = Puskesmas Satelit
PSDM = Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pto = Prothionamide
Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat

x
DAFTAR SINGKATAN
Pustu = Puskesmas Pembantu
R = Rifampisin
RSP = Rumah Sakit Paru
RTL = Rencana Tindak Lanjut
Rutan = Rumah tahanan
S = Streptomisin
SDM = Sumber Daya Manusia
SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
SGPT = Serum Pyruric Oxaloacetic Transaminase
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
SPS = Sewaktu-Pagi-Sewaktu
TB = Tuberkulosis
TNA = Training Need Assessment
UPK = Unit Pelayanan Kesehatan
WHO = World Health Organization
Z = Pirazinamid
ZN = Ziehl Neelsen

DAFTAR SINGKATAN
xi
xii
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi dan Permasalahan TB Dunia.

TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak
negara sejak tahun 1995.

Dalam laporan WHO tahun 2013:


• Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%)
diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada
di wilayah Afrika.
• Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan
170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
• Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka
kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta
kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 kasus
termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang
dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.
• Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara
global mencapai 6% (530.000 pasien TB anak/ tahun). Sedangkan kematian anak (dengan
status HIV negatif) yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun, atau sekitar 8%
dari total kematian yang disebabkan TB.
• Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang
sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan
dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil
dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012),
angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya
3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:


 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar, sehingga
masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang buruk.
 Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat
pendidikan yang, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat pada
kerentanan masyarakat terhadap TB.
 Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya,
tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan
sebagainya).
o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
o Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas
secara merata.
 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan.
 Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB
seperti gizi buruk, merokok, diabetes.
 Dampak pandemi HIV.
Pandemi HIV/AIDS di dunia akan menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV
akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan.
 Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug
resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi
TB yang sulit ditangani. ( ¹¹ )

B. Patogenesis dan Penularan TB.


1. Kuman Penyebab TB.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok
Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis.
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum,
M. bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok
bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan
TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap
Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.
Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah sebagai
berikut :
• Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
• Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.
• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
• Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah
mikroskop.
• Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu
lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C .
• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
• Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam
waktu beberapa menit.
• Dalam dahak pada suhu antara 30 – 37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu.
• Kuman dapat bersifat dormant (”tidur” / tidak berkembang)
BAB I
2 2
PENDAHULUAN
2. Cara Penularan TB.
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi
oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc
dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.

3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.


Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap
paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Perjalanan alamiah TB

a. Paparan
Peluang  Jumlah kasus menular di masyarakat
peningkatan  Peluang kontak dengan kasus menular
paparan  Tingkat daya tular dahak sumber penularan
terkait dengan:  Intensitas batuk sumber penularan
 Kedekatan kontak dengan sumber penularan
 Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
 Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra
violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan
konsentrasi)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah
terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja,
menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi
 Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung
reaksi antigen – antibody.
 Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)

 Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
 Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi

BAB I
PENDAHULUAN
3 3
c. Sakit TB
Faktor risiko  Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
untuk menjadi  Lamanya waktu sejak terinfeksi
sakit TB adalah  Usia seseorang yang terinfeksi
tergantung dari :  Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB
umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau
getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru).
Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko  Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena  Pengobatan tidak adekuat
TB:  Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat
pada pasien dengan HIV positif.

C. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB


sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi
cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan
strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

BAB I
4 4
PENDAHULUAN
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut
diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian

Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus
TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB
(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk
dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)

Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB
secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan
disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan
TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata
kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak
determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasi-
inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.
BAB I
PENDAHULUAN
5 5
BAB II
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

A. Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB di Indonesia.

Upaya pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum


kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20 balai pengobatan
dan 15 sanatorium yang pada umumnya berada di pulau Jawa.
Setelah perang kemerdekaan, diagnosis ditegakkan TB berdasarkan foto toraks dan
pengobatan pasien dilakukan secara rawat inap. Pada era tersebut sebenarnya World
Health Organization (WHO) telah merekomendasikan upaya diagnosis melalui pemeriksaan
dahak langsung dan pengobatan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang baru
saja diketemukan yaitu: INH, PAS dan Streptomisin, serta metode pengobatan pasien
dengan pola rawat jalan. Era tahun 1960-1970 menandai diawalinya upaya pengendalian
TB secara modern dengan dibentuknya Subdit TB pada tahun 1967 dan disusunnya suatu
pedoman nasional pengendalian TB. Pada era awal tersebut penatalaksanaan dilakukan
melalui Puskesmas dengan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan untuk penatalaksanaan
kasus kasus sulit. Pada tahun 1977 mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6
bulan) dengan menggunakan paduan OAT yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol.
Beberapa kegiatan uji pendahuluan yang dilaksanakan menunjukkan hasil kesembuhan
yang cukup tinggi. Pada tahun 1994 Departemen Kesehatan RI melakukan uji coba
penerapan Strategi DOTS di satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan satu Kabupaten di
Provinsi Jambi.
Atas dasar keberhasilan uji coba yang ada, mulai tahun 1995 secara nasional Strategi
DOTS diterapkan bertahap melalui Puskesmas.
Perjalanan waktu membuktikan bahwa upaya pengendalian TB telah memberikan hasil
yang bermakna sampai dengan saat ini. Evaluasi yang dilakukan melalui Joint External TB
Monitoring Mission (JEMM) ( ⁸ ) pada tanggal 11-22 Februari 2013, dilaporkan bahwa
Indonesia telah banyak mencapai kemajuan dalam upaya pengendalian TB di Indonesia
sebagai berikut:
• Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB
menjadi setengahnya di tahun 2015 jika dibandingkan dengan data tahun 1990. Angka
prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 443 per 100.000 penduduk, pada tahun
2015 ditargetkan menjadi 222 per 100.000 penduduk. Pencapaian indikator MDG’s untuk
TB di Indonesia saat ini sudah sesuai jalurnya dan diperkirakan semua indikator dapat
dicapai sebelum waktu yang ditentukan.
• Selama periode 2011-2013, Program Nasional Pengendalian TB telah menunjukkan
keberhasilan dalam berbagai bidang, diantaranya dalam peningkatan jumlah temuan
kasus dan keberhasilan pengobatan di Puskesmas. Rendahnya angka kekebalan obat di
antara kasus TB baru berdasrkan hasil survei yang ada, menunjukkan kinerja program
pengendalian TB di Indonesia sudah berjalan dengan baik.
• Masuknya standar pengobatan TB sebagai salah satu komponen akreditasi rumah
sakitmerupakan salah satu terobosan tpenting dari program Nasional TB untuk menjamin
seluruh pasien TB dapat mengakses pelayanan TB yang sesuai standar di seluruh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan menghindarkan pasien dari TB MDR maupun TB
XDR.

7
BAB II
6
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
• Komponen diagnosis TB juga mengalami kemajuan, dengan ditunjuknya 3 Laboratorium
Rujukan TB Nasional yaitu BLK Jawa Barat (pemeriksaan Mikroskopis), BBLK (Balai
Besar Laboratorium Kesehatan) Surabaya (Biakan dan Uji kepekaan OAT) dan
Departemen Mikrobiologi FK UI (Riset Operasional dan Molekuler). Selain itu juga
pemanfaatan alat diagnosis cepat yaitu GenXpert MTB/RIF dan LPA (HAIN test), untuk
pemeriksaan penapisan TB MDR dan TB HIV. Dengan upaya tersebut maka pasien TB
dapat didiagnosis dengan cepat dan dapat segera mendapat pengobatan, supaya tidak
menjadi sumber penularan di masyarakat.
• Upaya pengendalian TB Resistan Obat elah dimulai sejak 2009 dan telah dibuat suatu
rencana pengembangan layanan ke semua propinsi di Indonesia.
• Keberhasilan dalam upaya kolaborasi TB HIV adalah diterbitkannya beberapa buku
pedoman tentang tatalaksana klinis koinfeksi TB HIV, buku manajemen kolaborasi TB
HIV dan yang terpenting adalah upaya untuk perbaikan surveilens TB HIV dengan
melakukan monitoring dan evaluasi terpadu TB HIV di tingkat provinsi.
• Program pengendalian TB bersama dengan Program AIDS Nasional dan Program
Malaria Nasional telah berhasil menyusun dan menerbitkan Pedoman Exit Strategi Dana
Hibah GF ATM, yang bertujuan untuk menyiapkan keberlanjutan pendanaan program
pada saat Dana Hibah sudah tidak ada lagi, dan mendorong kemandirian program di
semua tingkatan dalam hal pembiayaan.

B. Besaran Masalah TB di Indonesia.

Indonesia telah mencapai kemajuan yang bermakna dalam upaya pengendalian TB di


Indonesia bahkan beberapa target MDGs telah tercapai jauh sebelum waktunya, namun
perlu diwaspadai karena masih ada beberapa tantangan utama yang harus dihadapi agar
tidak menghambat laju pencapaian target program selanjutnya. Salah satu tantangan
terbesar yang harus dihadapi adalah masih banyaknya kasus TB yang “hilang” atau tidak
terlaporkan ke program. Pada tahun 2012 diperkirakan ada sekitar 130.000 kasus TB yang
diperkirakan ada tetapi belum terlaporkan.

Beberapa tantangan internal yang masih dialami program pengendalian TB Nasional antara
lain:
1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Faskes yang ada belum seluruhnya terlibat sepenuhnya dalam program pengendalian
TB. Bersumber data dasar provinsi pada tahun 2012, sudah 100% BKPM/BBKPM/RS
Paru dan 98% dari jumlah Puskesmas yang ada telah menerapkan strategi DOTS.
Namun, baru sekitar 38% RS (Pemerintah, BUMN, TNI, Polri dan Swasta) yang
menerapkan pelayanan dengan menggunakan strategi DOTS.

2. Ketenagaan
Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di
rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber
daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi. Tantangan baru yang
harus dihadapi oleh program TB adalah meningkatnya kebutuhan akan pelatihan untuk
pendekatan baru seperti TB resistan obat, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatihan dasar
tentang TB tetap dibutuhkan mengingat ekspansi program serta berbagai inovasi baru
untuk memperkuat pelaksanaan program,misalnya pengenalan alat diagnostikbaru,

8
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
7
sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial),
manajemen logistik.

3. OAT
Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya
sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada
dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem
manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara
terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.

4. Pembiayaan
Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB
sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan
terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan
masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk
pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.
Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan
advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk
pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat
ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif
sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat
kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga
memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.

5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap


Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB nasional,
namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum
sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil
dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak
adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan
upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam bentuk
aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional
Praktek Kedokteran Tatalaksana TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan
penyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di
faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia
layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi
dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya
tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien
tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar.

Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi
kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan
mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:

9
BAB II
8
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
1. Sistem Jaminan Kesehatan
Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial.
Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh
warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB
menjadi tidak optimal.

2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas.


Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban
permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan, pendidikan,
pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak
memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya
penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang
akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan.

3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain.


Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program
TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok,
angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu
beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti
penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak.

C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia.


1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang
meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka
dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB
Strategy).
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
pengendalian TB.
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah
Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik
Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan
tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL
dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara
sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan
Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu dan akses layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan
dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya.
10
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
9
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan
lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB.

D. Visi dan Misi


Visi
” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”

Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.

E. Tujuan dan target


Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000
penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014
akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target
pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015
dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada
tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2%
per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar
20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.

F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014 ( ¹¹ )


Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan
dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-

11
BAB II
10
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan
TB (International Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program
pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan


pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi
baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar.

G. Kegiatan
1. Tatalaksana TB Paripurna
a. Promosi Tuberkulosis
b. Pencegahan Tuberkulosis
c. Penemuan pasien Tuberkulosis
d. Pengobatan pasien Tuberkulosis
e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis

2. Manajemen Program TB
a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.

3. Pengendalian TB Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
b. Public-Private Mix Tuberkulosis;
c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
d. Kolaborasi TB-HIV;
e. TB Anak;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);
h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
i. Penelitian tuberkulosis.

H. Organisasi Pelaksana
1. Aspek Manajemen Program TB
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah
koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis
upaya pengendalian TB.

12
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
11
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat
Tuberkulosis.

b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan
Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.

c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan kabupaten / kota.

Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh


DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\

2. Aspek Tatalaksana pasien TB


Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas,
DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM.
Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM).
FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis
dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut
sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).

b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)


FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan
layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan
paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa
ditegakkan diagnosisnya di FKTP.
Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS
Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan


terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama dalam
kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun
eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.

13
BAB II
12
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
BAB III
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

A. Penemuan Pasien Tuberkulosis

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan


mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratoris,
menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehinga dapat
dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan
gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang
kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Keikutsertaan pasien
merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB.

1. Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak
TB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif,
sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan; didukung dengan
promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan
mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1) kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien
dengan HIV, Diabetes mellitus dan malnutrisi.
2) kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya
penularan TB, seperti: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah
kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.
3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan tanda
yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical
Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen
terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di
faskes, mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu
layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:
 Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
15
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
13
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.

b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.
Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality
Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan
jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan
resistan obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,
Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan
(laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.

16
BAB III
14
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
B. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

1. Diagnosis TB paru:
• Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang
dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung,
biakan dan tes cepat.
• Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan
penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan
oleh dokter yang telah terlatih TB.
• Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan
perbaikan klinis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga
dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:


• Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu – Pagi –
Sewaktu):
• Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif.

2. Diagnosis TB ekstra paru:


• Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
• Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh
yang terkena.
• Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang
sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.

17
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
15
Gambar 1.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa
(tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)

(dimodifikasi dari :
Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)
18
BAB III
16
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Keterangan :
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi
pasien dalam rekam medis.
Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap
dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan
hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk golongan Kuinolon.
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling)
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment
lanjutan oleh dokter untuk faktor2 yg bisa mengarah ke TB

Catatan :
1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat merugikan pasien
serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan
memberikan pengobatan didasarkan pada :
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada Meningitis TB, TB
milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb
c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan persetujuan tertulis
pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed consent).
2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan risiko penularan

C. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien
TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien
harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan
riwayat pengobatan
5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam
maupun antar kabupaten / kota, provinsi, nasional dan global.

Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB.

19
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
17
1. Definisi Pasien TB:
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:


Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi pasien TB:


Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
20

BAB III
18
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari
28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional). 21

d. Klasifikasi
BAB III pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksiPASIEN
TATALAKSANA TB/HIV): adalah pasien19TB
TUBERKULOSIS
dengan:
• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB
dengan:
• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:


• Hasil tes HIV negatif sebelumnya,
atau
• Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif,
pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV
positif.

3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan.

Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

D. Pengobatan Pasien TB

1. Tujuan Pengobatan TB adalah:


a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat

2. Prinsip Pengobatan TB:


Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
• Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
• Diberikan dalam dosis yang tepat
• Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan
• Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

22

BAB III
20
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

26
BAB III
24
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Dosis per hari / kali Jumlah


Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/
Tahap Lama
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol kali
Pengobatan Pengobatan
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr menelan
obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks ) + 5 tab Etambutol

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lama Streptomi hari/kali
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet @ Tablet @
Pengobatan Pengobatan sin injeksi menelan
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr 250 mgr 400 mgr
obat
Tahap
Awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)
Tahap
Lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
semggu)

27
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
25
Catatan:
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan
pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶ )


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak
tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan
harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal,
tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien
TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan
selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk


memantau kemajuan hasil pengobatan:
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
• Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
• Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5
dan Akhir Pengobatan)

2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :

Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :


• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

28
BAB III
26
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
• Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
• Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan


OAT kategori 2):
• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
• Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
• Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

3) Pada bulan ke 5 atau lebih :


• Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
• Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan
gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
• Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan
semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk
ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap
upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )

29
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
27
BAB III
28
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
29
** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan
pengobatan paduan OAT kategori 2.
*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan
pengobatan paduan OAT.

c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ )

Hasil Definisi
pengobatan
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada
Sembuh awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
Pengobatan dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
lengkap hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
Gagal laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
Putus Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
berobat pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
(loss to
follow-up)

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.


Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
Tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
dievaluasi

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ )


Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan
sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk
tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh
obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang
PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan
tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan
kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan. 33
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
BABkesehatan
III yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
30
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat TATALAKSANA
lainnya atau PASIEN
anggotaTUBERKULOSIS
keluarga.

3) Tugas seorang PMO


a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.

1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO


a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil


obat dari unit pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada


pasien dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.

e. Pengobatan TB pada keadaan khusus


1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya

34

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
31
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada
trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )

2) Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

3) Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.

4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ )


a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
• Pembawa virus hepatitis
• Riwayat penyakit hepatitis akut
• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
• 2 obat yang hepatotoksik
 2 HRSE / 6 HR
 9 HRE
• 1 obat yang hepatotoksik
 2 HES / 10 HE
• Tanpa obat yang hepatotoksik
 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).

35
BAB III
32
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
 Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
 Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
 Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.

5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal


Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis
pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15
mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali
pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ )
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek
samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada


penyakit ginjal kronis.

Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)


1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran
kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur
2 KK (60 – 90 ml/menit)
3 KK (30 – 60 ml/menit)
4 KK (15 – 30 ml/menit)
5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan


penyakit ginjal kronis.

OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5


Diberikan 3x/minggu
Isoniasid 300 mg/hari
Dosis 300 mg/setiap pemberian
<50 kg: 450 mg/hari <50 kg: 450 mg/hari
Rifampisin
≥50 kg: 600 mg/hari ≥50 kg: 600 mg/hari
<50 kg: 1,5 g/hari 25-30 mg/kgBB/hari,
Pirasinamid
≥50 kg: 2 g/hari Diberikan 3x/minggu
15-25 mg/kgBB/hari,
Etambutol 15 mg/kgBB/hari
Diberikan 3x/minggu
36
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
33
6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan

7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing
(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
• Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).

8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
a) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

37

BAB III
34
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²⁶ )
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat.
Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi
klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera
diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak
diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil
obat.
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.

Tabel 13. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
Tidak ada nafsu makan, sedikit makanan
H, R, Z
mual, sakit perut Apabila keluhan semakin hebat disertai
muntah, waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.
Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti
Nyeri Sendi Z
radang non steroid
Kesemutan s/d rasa ter-
Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per
bakar di telapak kaki H
hari
atau tangan
Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi
Warna kemerahan pada
R obat penawar tapi perlu penjelasan kepada
air seni (urine)
pasien.
Flu sindrom (demam,
R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi
menggigil, lemas, sakit
intermiten setiap hari
kepala, nyeri tulang)

38
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
35
Tabel 14. Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Bercak kemerahan kulit (rash) Ikuti petunjuk
H, R, Z, S
dengan atau tanpa rasa gatal penatalaksanaan dibawah*
Gangguan pendengaran (tanpa
S S dihentikan
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan S S dihentikan
Semua OAT dihentikan
Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z
sampai ikterus menghilang.
Bingung, mual muntah Semua OAT dihentikan,
Semua jenis
(dicurigai terjadi gangguan fungsi segera lakukan pemeriksaan
OAT
hati apabia disertai ikterus) fungsi hati.
Gangguan penglihatan E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal
R R dihentikan.
ginjal akut
Penurunan produksi urine S S dihentikan.

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²⁶ )


Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes
rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes
rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya
reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:
• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R
) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT
lagi.
• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.

** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²⁶ )


Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan
pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam
uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.

OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
39
BAB III
36
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB
tergantung dari:
• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
• Berat ringannya gangguan fungsi hati
• Berat ringannya TB
• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat

Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:


1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,
pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang
diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila
fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap,
selanjutnya Isoniasid secara bertahap.
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat
diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT
dari golongan fluorokuinolon.
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali
normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan
kembali.
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu
sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati
sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan
pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat
diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai
kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali
muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang
ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan
dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang
pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H
dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.
7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.
Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.
Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total
lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.
Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik
terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24
bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal
dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk
menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan
tahap lanjutan.
9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan
(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
40
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
37
BAB
BAB IV
IV
TATALAKSANA
TATALAKSANATB
TB PADA
PADA ANAK
ANAK (( 16
¹⁶ ))

A. Epidemiologi

TB pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Cara Penularan TB pada anak adalah:
• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
• Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang disekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
• Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
• Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
Toraks positif adalah 17%.
• Beban kasus TB Anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang
“child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak.
• Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang
tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan
peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
• Data TB Anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus
TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari
1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat
bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4
tahun dan 5-14 tahun, dengan data jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang
lebih tingi dari kelompok umur 0-4 tahun. Sesuai dengan epidemiologinya, seharusnya
jumlah kasus TB pada kelompok umur 0-4 tahun lebih tinggi dari kelompok umur 5-14
tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB
anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

B. Diagnosis TB pada anak


1. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada:
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB
yang hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB
dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam
pembahasan pada bagian selanjutnya tentang profilaksis TB pada anak.
b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau
41
BAB IV
38
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

2. Gejala TB pada anak


Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
nak c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
an, d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
iko thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
akit f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
an diare.
oto
Gejala klinis spesifik terkait organ
ng Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai
ng berikut:
an a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
sus dan kadang saling melekat atau konfluens.
2% b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
ari • Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
gat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
0-4 • Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
ng c. Tuberkulosis sistem skeletal:
nya • Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
14 • Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
TB daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
e. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
ng • Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
TB f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
TB ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
am disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

ng
au
41 42
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
39
C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain
adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis
pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak
direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal
BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik
sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil
berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang
khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan
di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

1. Perkembangan terkini Diagnosis TB


Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat
yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic
Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa
laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun
2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu
menunjukkan anak tidak sakit TB.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan


diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB
menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber
penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita
TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara
klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka
anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.
Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya

43
BAB IV
40
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian
ng dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
ain
sis Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
psi adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji
ari tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
tuk Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
TB, gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
dak Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
ral mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
an
gik 2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
mbil Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
ut, dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
ah menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem
ng skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli
an yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
. satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas
kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
an diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
pat
eic Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
pa • Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
asi • Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
un pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
sis
alu

an
an
TB
ber
TB
ksi
dak
au
rita
tuk
ara
un
aka
gis.
nya

43 44
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
41
Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak

Anak 0 – 14 th

Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)

Suspek TB Anak

Sistem Skoring

Skor = 6 Skor< 6
Skor> 6

Infeksi laten TB
Didapat dari
parameter uji Didapat dari
tuberkulin (+) parameter uji
atau kontak tuberkulin (+)
dengan gejala dan kontak; Pertimbangan Bukan
klinis lain tanpa gejala dokter (**) TB
klinis lain

TB ANAK

Evaluasi 2 bulan terapi


Umur ≥ 5 Umur< 5 th
th

Perbaikan Tidak ada


perbaikan PP INH

HIV pos HIV neg

Lanjutkan Evaluasi, rujuk


terapi bila perlu
PP INH Observasi

Keterangan :
(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila 46
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin

45
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
43
3. Penegakan Diagnosis
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas
kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas
dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan
diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
b. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
c. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi
INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.
d. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak BTA (+) atau uji tuberkulin dengan
ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai pasien TB Anak.
e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
f. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
faskes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
g. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
h. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
i. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
j. Untuk daerah dengan fasilitas kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan/atau
foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥6 dari total skor 13.
k. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien
dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan
rujukan tingkat lanjut (FKRTL):
a. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura, milier atau kavitas
b. Gibbus, koksitis
c. Tanda bahaya:
1) Kejang, kaku kuduk
2) Penurunan kesadaran
3) Kegawatan lain, misalnya sesak napas

D. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Pada Anak

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB pada anak sesuai dengan pembahasan pada bab III.

47
BAB IV
44
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
E. Pengobatan TB Pada Anak

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis


(pengobatan pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang
terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
1. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
2. Pemberian gizi yang adekuat.
3. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

1. Paduan OAT Anak


Prinsip pengobatan TB ada anak:
a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
b. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan
c. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
• Tahap Awal, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
• Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap awal dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.
d. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik paru maupun ekstraparu seperti
TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan
tindak lanjut.
e. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison)
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.

f. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
 Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
g. Pada kasus TB Anak dengan kondisi tertentu dapat diberikan paduan Kategori Anak
dengan 4 macam obatpada tahap awal yaitu: 2HRZE(S)/4-10HR.
h. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
i. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
48
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
45
Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya
Dosis harian Dosis
Nama Obat (mg/kgBB/hari) maksimal Efek samping
(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
tabel berikut ini:

Tabel 17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya


OAT Tahap OAT Tahap Lama
Jenis TB Prednison
Awal Lanjutan Pengobatan
TB Ringan -
2 mgg dosis penuh,
2HRZ 4HR
Efusi Pleura TB kemudian tappering 6 bulan
off.
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan tanda-
tanda kerusakan luas: 4 mgg dosis penuh,
 TB milier 7-10HR kemudian tappering 9-12 bulan
 TB+destroyed off.
lung
4 mgg dosis penuh,
Meningitis TB kemudian tappering
2HRZ+E atau off.
S 2 mgg dosis penuh,
Peritonitis TB kemudian tappering
10HR off. 12 bulan
2 mgg dosis penuh,
Perikardistis TB kemudian tappering
off.
-
Skeletal TB

49
BAB IV
46
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
2. Combination)
OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
Combination)
2. paduan
OAT OAT disediakan
Kategori
Untuk mempermudah Anak kemasan dalam Kombinasi
pemberian bentuk paket
OAT sehingga KDT/
dosis FDC.(KDT)
tetap
meningkatkan Satu keteraturan
paket(FDC=Fixed
OAT dibuatminum
untukDosesatu
obat,
pasien untuk
Combination) satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu anak berisi obat fase intensif,
yaitu
pasienrifampisin
Untuk mempermudah
untuk satu (R) masa
75mg, INH (H)OAT
pemberian
pengobatan. 50 mg, dan
sehingga
Paket KDTpirazinamid
meningkatkan
untuk anak (Z) berisi
150 mg,
keteraturan
obatserta obat
minum
fase fase
obat,
intensif,
lanjutan,
paduan yaitu R
OAT disediakan
yaitu rifampisin 75 mg
(R) 75mg,dalamdan H
INH (H)50 mg
bentuk
50 mg,dalam
paket satu
danKDT/ paket.
FDC. Satu
pirazinamid Dosis yang
paket
(Z) 150 mg, dianjurkan
dibuat
sertauntuk dapat
satu
obat fase
dilihat
pasien
lanjutan, pada
untuk
yaitutabel
R berikut.
satu 75masamg danpengobatan.
H 50 mg Paket dalamKDT satu untuk
paket.anakDosisberisi
yangobat fase intensif,
dianjurkan dapat
yaitu
dilihatrifampisin
pada tabel(R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
berikut.
Tabel
lanjutan, 18:yaitu
Dosis R kombinasi
75 mg danOAT H 50TBmg padadalamanak satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat Berat
pada badan
tabel berikut.
Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak 2 bulan 4 bulan
(kg)
Berat badan RHZ (75/50/150)
2 bulan (RH (75/50)
4 bulan
Tabel 18: Dosis 5-7
(kg) kombinasi OAT TB 1
padatablet
anak
RHZ (75/50/150) 1 tablet
(RH (75/50)
Berat 8-11
5-7badan 2
1 tablet
bulan
tablet 2
1 tablet
4 bulan
tablet
12-16
(kg)
8-11 RHZ 3 tablet
(75/50/150)
2 tablet (RH3 tablet
(75/50)
2 tablet
17-22
5-7
12-16 4
1 tablet
3 tablet 4
1 tablet
3 tablet
23-30
8-11
17-22 5
4 tablet
2 tablet 5
4 tablet
2 tablet
Keterangan: BB
12-16
23-30 >30 kg diberikan 6 tablet
3 atau
tablet
5 tablet menggunakan KDT dewasa.
3
5 tablet
tablet
Keterangan: 17-22
BB >30 kg diberikan 6 tablet 4 tablet
atau menggunakan KDT dewasa. 4 tablet
Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid;
23-30 5 tablet Z = Pirazinamid 5 tablet
Bayi
•Keterangan:
Keterangan:BB di bawah
R =>30 5 kg pemberian
kg diberikan
Rifampisin; OAT
H = 6Isoniasid; secara
tablet atau terpisah, tidak
Z =menggunakan
Pirazinamid KDTdalam bentuk kombinasi
dewasa.
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
• Apabila
Keterangan:
dosis tetap,ada =kenaikan
Rdan Rifampisin;
sebaiknya BBH maka dosis/jumlah
= Isoniasid;
dirujuk ke RS Z tablet yang diberikan, menyesuaikan
= Pirazinamid
rujukan
berat
•• Bayi
Apabilabadan
di bawah saat
ada kenaikan itu
5 kg pemberian
BB makaOAT secara terpisah,
dosis/jumlah tablet yangtidak diberikan,
dalam bentuk kombinasi
menyesuaikan
• Untuk
dosis anak dan
tetap,
berat badan obesitas,
saat sebaiknya
itu dosis KDT ke
dirujuk menggunakan
RS rujukan Berat Badan ideal (sesuai umur).
•• Tabel
Untuk Berat
Apabila adaBadan
anak kenaikan
obesitas, berdasarkan
BB maka
dosis KDT umur dapat dilihat
dosis/jumlah
menggunakan di
tablet lampiran
Berat yang diberikan,
Badan menyesuaikan
ideal (sesuai umur).
• OAT berat KDT
badan harus
saat diberikan
itu secara utuh (tidak
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
•• Obat
Untuk
OAT KDT dapat
anak diberikan
obesitas,
harus dengan
diberikandosis KDT
secara cara ditelan
(tidak utuh,
menggunakan
utuh boleh dikunyah/dikulum
Berat Badan
dibelah, ideal(chewable),
dan tidak (sesuai
boleh atau
umur).
digerus)
dimasukkan
Tabel Berat air
Badan dalam sendok
berdasarkan (dispersable).
umur dapat dilihat di lampiran
• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
• ObatOAT diberikan
KDT
dimasukkan air pada
harus saat
diberikan
dalam perut
secara
sendok kosong, atau boleh
utuh (tidak
(dispersable). palingdibelah,
cepat 1 danjam tidak
setelah makan
boleh digerus)
•• Apabila
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan boleh
Obat OAT
dapat lepas
diberikan diberikan
dengan dalam
cara bentuk
ditelan puyer,
utuh, maka semua
dikunyah/dikulum obat tidak
(chewable), atau
digerus
dimasukkan bersama
air dan
dalam dicampur
sendok dalam satu
(dispersable). puyer
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
• Obat
digerusdiberikan
bersama padadansaat perut kosong,
dicampur dalam satu atau paling cepat 1 jam setelah makan
puyer
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
3. Pengobatan
digerus bersamaulang TB danpada anakdalam satu puyer
dicampur
Anak yang pernah
3. Pengobatan ulang TB pada anak mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi
Anak yang pernah mendapat pengobatan apakah anak tersebut
TB, apabila benar-benar menderita
datang kembali TB. Evaluasi
dengan keluhan
dapat
3. gejala dilakukan
Pengobatan
TB, perlu dengan
ulang cara
TB padaapakah
dievaluasi pemeriksaan dahak atau sistem skoring.
anak anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi Evaluasi dengan
sistem
Anak skoring
yang pernah harus lebih
mendapat cermat
pengobatandan dilakukan
TB, apabila di fasilitas
datang
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan rujukan.
kembali Apabila
dengan hasil
keluhan
pemeriksaan
gejala TB, dahak
perlu menunjukkan
dievaluasi apakah hasil
anakpositif, maka
tersebut anak diklasifikasikan
benar-benar
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil menderita sebagai
TB. kasus
Evaluasi
Kambuh.
pemeriksaan Pada
dapat dilakukan pasien
dengan
dahak TBcara
anak
menunjukkan yang pernah
pemeriksaan
hasil mendapat
dahak
positif, maka atauanakpengobatan
sistem TB,Evaluasi
skoring.
diklasifikasikan tidak dianjurkan
sebagai dengan
kasus
untuk
Kambuh.dilakukan
sistem skoring uji
Pada pasien tuberkulin
harus TB lebih ulang.
cermat
anak dan dilakukan
yang pernah mendapat di pengobatan
fasilitas rujukan.
TB, tidakApabila hasil
dianjurkan
pemeriksaan
untuk dilakukan dahak menunjukkan
uji tuberkulin ulang.hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50
BAB IV 50
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
47
50
• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB anak

Pemantauan pengobatan pasien TB anak


Pada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi
50
dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis yang terdapat pada awal diagnosis
berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang,
dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan
sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik
maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil
pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi
baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen dada. Pemeriksaan
tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan,
karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun
gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan
selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai
dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

G. Efek Samping pengobatan TB pada anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg
tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan
diberikan pada:
1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif,
2. Pasien gizi buruk,
3. Anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman
Nasional Pengendalian TB.

H. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur

BAB IV
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
48
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensifTATALAKSANA
atau >2 bulan di fase lanjutan dan
TB PADA ANAK (16)
menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai
dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

G. Efek Samping pengobatan TB pada anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg
tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan
diberikan pada:
1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif,
2. Pasien gizi buruk,
3. Anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman
Nasional Pengendalian TB.

H. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur


nsi
an.
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
on
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di fase lanjutan dan
sis
menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
ng,
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan
an
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
aik
bih
asil Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB
resistan obat.

51
asi I. Hasil pengobatan TB pada anak
an Hasil pengobatan TB pada anak merujuk pada hasil pengobatan TB dewasa pada bab III
an,
un
pai J. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)
an
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak
itif, positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.
uai Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB
milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak


sin
mg Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana
an Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis
> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis
> 5 th (+) Sehat INH profilaksis
> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi
an > 5 th (-) Sehat Observasi

Keterangan
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
• SetiapBAB IV (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
bulan 49
an gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan keTATALAKSANA
2, ke 3, keTB4,PADA
ke 5ANAK
atau(16ke
) 6, maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
an segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.
Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB
milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak

Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana


Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis
> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis
> 5 th (+) Sehat INH profilaksis Pa
> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi tah
> 5 th (-) Sehat Observasi me

Keterangan Ind
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) ber
setiap hari selama 6 bulan. pen
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya Be
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka 13/
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus Pe
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan. A.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
PP- INH selesai diberikan.

52

B.

BAB IV
50
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
BAB V
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
RESISTAN OBAT (MTPTRO)

Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru TB MDR di Indonesia setiap
tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB pengobatan ulang
merupakan kasus TB MDR.

Indonesia telah memulai program MTPTRO sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara
bertahap ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh pasien TB MDR dapat mengakses
penatalaksanaan TB MDR yang terstandar dan cepat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
13/MENKES/PER/II/2013 program MTPTRO merupakan bagian integral dari Program
Pengendalian TB Nasional.

A. Defenisi TB Resistan Obat.

TB Resistan Obat adalah keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi
dibunuh dengan obat anti TB (OAT).

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:


1. Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
2. Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H)
dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol
(RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin
(RES).
3. Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau
tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.
4. Extensively Drug Resistance (XDR):
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan
salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
5. TB Resistan Rifampisin (TB RR).
Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT
lainnya.

B. Tujuan dan Kebijakan MTPTRO.

1. Tujuan.
Tujuan program MTPTRO adalah mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TB
MDR dan memutus rantai penularannya di masyarakat dengan cara menemukan dan
mengobati sampai sembuh semua pasien TB MDR.

BAB V 53
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
51
2. Kebijakan.
a. Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana
Pengendalian TB yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring
diantara fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Penerapan MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi
DOTS, untuk saat ini upaya penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB
Resistan Rifampisin dan TB MDR.
c. Penguatan MTPTRO dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB XDR.
d. Pengembangan wilayah disesuaikan dengan rencana pengembangan MTPTRO yang
ada dalam Stranas TB dan Rencana Aksi Nasional (RAN) PMDT, dilakukan secara
bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat mempunyai akses terhadap
pelayanan TB resistan obat yang bermutu.
e. Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam diagnosis dan evaluasi
penatalaksanaan pasien TB resistan obat sehingga kemampuan dan mutu
laboratorium harus sesuai standar internasional dan selalu dipertahankan kualitasnya
untuk biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis.
f. Pemerintah menyediakan OAT lini kedua yang berkualitas dan logistik lainnya untuk
pasien TB resistan obat.
g. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
h. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi pasien TB MDR.
i. Pencatatan dan pelaporan MTPTRO menggunakan gabungan “paper based” dan
“web based” menggunakan eTB manager.
j. Pemantauan dan evaluasi MTPTRO dilakukan secara berkala menggunakan indikator
baku.

C. Pengorganisasian MTPTRO.

1. Organisasi Pelaksana
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) merupakan bagian dari
upaya Pengendalian TB Nasional. Organisasi pelaksana MTPTRO di tingkat Nasional,
Provinsi, Kabupaten/Kota dilaksanakan mengikuti kerangka kerja pengendalian TB
nasional yang sudah berjalan selama ini.

2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Terdapat 3 jenjang fasyankes pelaksana MTPTRO dengan fungsi dan tanggung jawab
masing-masing yang melekat pada sistem yang sudah berlaku pada Program TB
Nasional.

BAB V 54
52
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
na
ng

egi
TB

utu
pu

ng
ara
ap

asi
utu
nya

tuk

dai

an

tor

ari
nal,
TB

ab
TB

54 BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
53
D. DIAGNOSIS TB RESISTAN OBAT Ga

a. Kriteria Terduga TB Resistan Obat

Terduga TB resistanobat adalah pasien yang mempunyai gejala TB yang memenuhi


satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:

1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2


2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan MtbS
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT

b. ALUR DIAGNOSIS TB RESISTAN OBAT


Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M.
Tuberkulosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tes
cepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes cepat yang
dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk Rifampisin) dan
LPA (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoniasid).Sedangkan metode konvensional
yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT.

Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan metode cepat, maka
alur diagnosis TB Resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

TB Res
RR), ob

BAB V
54
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
GambarGambar
Alur Diagnosis TB Resistan
Alur Diagnosis Obat Obat
TB Resistan

Terduga TB Resistan
Terduga Obat Obat
TB Resistan
uhi

Tes Cepat dengan


Tes Cepat Gene Gene
dengan XpertXpert
an

rta
MtbSensitifRifampisin
MtbSensitifRifampisin Mtb Resistan
Mtb Resistan Rifampisin
Rifampisin Mtb Mtb Negatif
Negatif

n.
Biakan dan identifikasi kuman Mtb
Biakan dan identifikasi kuman Mtb

Mtb tumbuh Mtb Tidak tumbuh


Mtb tumbuh Mtb Tidak tumbuh
M.
tes
ng TB MDR (Jika ada tambahan resistensi
dan Ujikepekaan TB MDR (Jika ada
terhadap tambahan
INH), resistensi
lanjutkan pengobatan
nal Ujikepekaan
OAT Lini-1 dan terhadap INH), lanjutkan pengobatan
OAT MDR standar.
lini-2
OAT Lini-1 dan OAT MDR standar.
lini-2
aka
Pre XDR (jika ada tambahan resistensi
: terhadap Ofloxsasin atauresistensi
Pre XDR (jika ada tambahan
terhadap Ofloxsasin atau sesuaikan paduan
Kanamisin/Amikasin,
OAT MDR
Kanamisin/Amikasin, sesuaikan paduan
TB Resistan Rifampisin (TB OAT MDR
RR), obati dengan OAT MDR
TB Resistan Rifampisin (TB
standar TB XDR (jika ada tambahan resistensi
RR), obati dengan OAT MDR
terhadap Ofloxsasin dan
standar TB XDR (jika ada tambahan ganti
resistensi
Kanamisin/Amikasin), dengan
terhadap Ofloxsasin
paduan OAT XDR dan
Kanamisin/Amikasin), ganti dengan
paduan OAT XDR

BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
55
Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:
a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)
spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2
spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum
BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan
lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai.
Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat
terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan
GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas
pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana
pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB
MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan
dan identifikasi kuman Mtb.
e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb
tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus.
Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2,
maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium
rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji
kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi
hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.
f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji
kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan
diagnosis.
g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan
adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan
pengobatan TB MDR-nya.
h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan
menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan
paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan
pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.

Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB
Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi
pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat
perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan
untuk tindak lanjut berikutnya.

BAB V
56
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR.
11. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR, sesuaikan paduan
pengobatan pasien. Catat sebagai pasien TB XDR.

E. Pengobatan TB MDR.
tu)
2 1. Prinsip Pengobatan TB MDR
um Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB MDR mengacu kepada strategi
DOTS.
an a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang 58
sai. mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.
b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
uat
tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.
an c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan
tas dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan dari
ng tim terapeutik.
d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan
na mempertimbangkan kondisi klinis awal.
ya.
Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus
TB
dieksklusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus
an diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien
dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati,
Mtb epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.
us.
-2, Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan
um beberapa pemeriksaan penunjang.
uji
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:
asi a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan
. kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis,
uji diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai
an gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.
b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran.
c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan.
an
d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
an pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual)
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk memastikan
an alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui
an kerjasama jejaring eksternal.
an
Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi:
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah:
• Faal ginjal: ureum, kreatinin
TB
ngi • Faal hati: SGOT, SGPT.
pat • Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida)
an • Asam Urat
• Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks.
f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
g. Pemeriksaan
BAB V EKG
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui) 57
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
59
• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida)
• Asam Urat
• Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks.
f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
g. Pemeriksaan EKG
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
59
2. Paduan OAT MDR di Indonesia
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang
pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:


1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR
secara laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap F.
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama
paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan
adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis


MTPTRO (Permenkes 13/2013).

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR


Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.
BAB V
58 60
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

59 Tabel 22: Pemantauan pengobatan TB MDR 60

ng Bulan pengobatan
DR. Pemantauan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan dahak dan biakan
√ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan
dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis (termasuk BB) Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi
ah Foto toraks √ √ √ √
Ureum, Kreatinin √ 1-3 minggu sekali selama
suntikan
Elektrolit (Na, Kalium, Cl) √ √ √ √ √ √ √
EKG √ Setiap 3 bulan sekali
dar Thyroid stimulating hormon √ √ √ √
(TSH)
Enzim hepar (SGOT, SGPT) √ Evaluasi secara periodik
Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap √ Berdasarkan indikasi
DR) Audiometri √ Berdasarkan indikasi
Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi
Asam Urat √ Berdasarkan indikasi
Test HIV √ dengan atau tanpa faktor risiko

DR

ap F. Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR.


ma
an 1. Sembuh
a. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR
an. tanpa bukti terdapat kegagalan, dan
b. Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan
minimal 30 hari selama fase lanjutan.
nis
2. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR
tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.
ons
ak, 3. Meninggal
ma Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR.
an.
rak

an

BAB V
60
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
5961
4. Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB
MDR yaitu ≥ 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di
bawah ini yaitu :
a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.
b. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi).
c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan kuinolon atau
obat injeksi lini kedua.
d. Terjadi efek samping obat yang berat.

5. Lost to Follow-up
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.

6. Tidak di Evaluasi
Pasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir pengobatan TB MDR termasuk
pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah lain dan hasil akhir pengobatan TB
MDR nya tidak diketahui.

G. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap

Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan
yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks,
dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB.

H. Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak

1. Diagnosis TB Resistan Obat pada Anak


TB resistan obat pada anak dan remaja umumnya terjadi sebagai akibat dari adanya
Pen
kontak dengan orang dewasa yang menderita TB resistan obat, sehingga sebagian besar
dari mereka menderita TB resistan primer. Tidak mudah untuk melakukan uji kepekaan
obat pada anak karena umumnya jumlah kuman yang sedikit (paucy-bacillary) dan
ketidakmampuan untuk mengeluarkan dahak sehingga perlu upaya khusus untuk
mendapatkan contoh uji seperti induksi sputum dan bilas lambung. Pilihan metode
diagnosis pada anak yang diduga TB resistan obatadalah menggunakan tes cepat. Pada
anak dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (kambuh, lost to follow up, gagal, tidak
ada perbaikan klinis) atau anak dengangejala klinis yang sangat mendukung TB serta
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR harus dilakukan tes cepat, pengobatan
yang diberikan adalah pengobatan standar TB RR/ MDR atau merujuk pada hasil uji
kepekaan dari sumber penularan (bila diketahui sumbernya).

Penggunaan OAT lini kedua bukan merupakan kontra indikasi dan pada umumnya
toleransi anak kepada obat lebih baik dibandingkan orang dewasa. Diagnosis TBMDR
pada anak tidak mudah dan perlu kecermatan. Alur diagnosis dihalaman berikut dapat
digunakan sebagai sarana bantu untuk skrining faktor risiko TBMDR pada anak yang
diduga atau sudah terdiagnosis sebagai pasien
62

BAB V
60
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
Gambar:
TB Kriteria terduga TB RR/ MDR Anak:
di 1. Memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya (> 1 bulan)
a. Kambuh: pernah diobati sampai selesai (lengkap/ sembuh) datang lagi dengan
keluhan dan gejala TB.
b. Putus berobat (lost to follow up)
au c. Gagal: tidak menunjukkan respon klinis yang memadai setelah menjalani
pengobatan TB secara teratur lebih dari 2-3 bulan termasuk BTA/ Biakan tetap
positif, menetapnya gejala-gejala dan kegagalan untuk menaikkan berat
badan.
2. Memiliki kontak erat dengan pasien yang telah diketahui menderita TB RR/ TB
MDR.
3. Kontak erat dengan terduga TB resistan yang memiliki probablitas tinggi sebagai
pasien TB RR/ MDR yaitu: Pasien gagal K2, Pasien gagal K1 dan Pasien kambuh.
suk
TB
Penilaian klinis dan diagnosis TB RR/ MDR
dengan tes cepat
(sesuai pedoman MTPTRO)

an
an
ks, Konfirmasi TB Konfirmasi TB saja Tidak ada konfirmasi
RR/MDR bakteriologis TB/ TB Resistan

Terapi RR/MDR Terapi OAT Penegakan diagnosis secara


Kategori Anak klinis bila secara klinis tetap
mengarah ke TB Anak
nya
Pengobatan TB Resistan Obat pada Anak
sar
an
Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa
an
pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis
tuk
disesuaikan dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua
de
tidak child-friendly.
da
Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip pengobatan
dak
pada dewasa. Yang meliputi:
rta
a. Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang masih sensitif; terdiri dari satu
an
darigolonganinjectable, satu golongan fluorokuinolon ditambah dua golongan
uji
bakteriostatik lini kedua.
b. Etambutol dan PZA sebaiknya diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat baru.
c. Gunakan high-end dosing bila memungkinkan.
nya
d. Pemberian obat harus dalam pengawasan seorang PMO.
DR
e. Obat diminum setiap hari, Durasi pengobatan harus 18-24 bulan.
pat
f. Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa
ng
dengan TB MDR.

62 63

BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
61
BAB VI
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV ( ¹⁵ )
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV ( 15 )

1. LATAR BELAKANG

Koinfeksi TB sering terjadi pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Orang dengan HIV
mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan
orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB.
Di tahun 2012, sekitar 320,000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB (Global
Report 2013).

Sebagai upaya menghadapi perkembangan global menuju 3 zeroes (zero new infection,
zero deaths, zero stigma discrimination) Kementerian Kesehatan RI melalui Permenkes
No.21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS menyusun strategi penanggulangan
HIV/AIDS secara menyeluruh dan terpadu. Pasal 24 pada Permenkes tersebut
menyebutkan bahwa setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau
patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis
dan IMS ditawarkan untuk pemeriksaan HIV melalui KTS atau TIPK. Manajemen koinfeksi
TB-HIV tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan, baik dari manajemen penyakit
maupun operasional, oleh karena itu kegiatan kolaborasi TB-HIV perlu diperkuat di semua
tingkatan manajemen dan layanan kesehatan.

2. TUJUAN DAN KEBIJAKAN DALAM KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV

Tujuan:
Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat TB dan HIV di masyarakat.

Kebijakan dan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV:

Kegiatan:
Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:

Tabel Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia


A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS
A.1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua
tingkatan
A.2. Melaksanakan surveilans TB-HIV
A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-
HIV
A.4. Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV
A.5. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV

BAB VI
62
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi
kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas
B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART
B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk
Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk
HIV Pengguna NAPZA)
an C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
TB. C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
bal
C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB
C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV
on, C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan
kes HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV
an
but C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV
tas
au
sis Kebijakan:
ksi 1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian
akit TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
ua fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan
melibatkan lintas sektoral.

3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan
an HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.

4. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan


kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masing-
masing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan
evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan
5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang
dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik
dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA
untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.

6. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa


melihat faktor resiko.

7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai
jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.

8. Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan


kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.

BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
63
9. KIE tentang TB-HIV merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses inisiasi tes
HIV pada pasien TB dan perawatan pasien TB-HIV.

10. Penemuan kasus TB secara intensif pada ODHA dilakukan dengan melakukan kaji
status TB secara rutin pada tiap kunjungan.

11. Diagnosis TB pada ODHA memanfaatkan tes cepat TB. Alat tes cepat TB yang saat ini
tersedia di Indonesia adalah Xpert MTB/Rif.

12. Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) hanya diberikan pada ODHA yang
tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi.

13. Pelayanan TB-HIV harus menjamin penerapan prinsip-prinsip pencegahan dan


pengendalian infeksi TB dan HIV.

14. Kegiatan monitoring dan evaluasi melibatkan kolaborasi kedua program dengan sistem
kesehatan secara umum, pengembangan jejaring rujukan diantara pelayanan
kesehatan dan institusi yang berbeda serta supervisi yang dilakukan bersama sama
oleh kedua program. Dalam pelaksanaannya harus diintegrasikan dengan sistem
monitoring dan evaluasi yang sudah ada serta harus menjamin kerahasiaan.

3. PENGORGANISASIAN
Keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV sangat tergantung pada kerjasama antar
komponen TB dan HIV dengan membangun kemitraan pada semua tingkatan. Pada tingkat
pengambil keputusan, kolaborasi TB-HIV lebih ditekankan pada komitmen dan koordinasi
tingkat sektoral (lintas bagian/UPF) sedangkan pada tingkat pelaksana layanan lebih
ditekankan pada penyediaan layanan yang menyeluruh dan terpadu. Untuk menjamin
pelayanan TB-HIV yang berkualitas secepat dan sedekat mungkin maka terdapat beberapa
model layanan TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu:
1. Model layanan terintegrasi
Pelayanan TB-HIV yang diharapkan adalah layanan TB dan HIV terintegrasi pada satu
fasyankes (one stop service) di lokasi dan waktu yang sama, yaitu pasien TB-HIV
mendapatkan akses layanan untuk TB dan HIV sekaligus dalam satu unit dalam satu
fasyankes.

2. Model layanan paralel:


a. Layanan TB-HIV dua unit dalam satu fasyankes.
b. Layanan TB-HIV berdiri sendiri-sendiri di fasyankes yang berbeda

Pemilihan model layanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Namun model
yang dianjurkan adalah model layanan terintegrasi untuk mencegah hilangnya kesempatan
penemuan dan pengobatan pasien TB-HIV.

4. DIAGNOSIS TB PADA ODHA

Gejala TB pada ODHA


Gejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan
adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%) dan gejala

BAB VI
64
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
tes ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,
TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.

kaji Diagnosis TB pada ODHA


Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV
negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan
ini mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA
negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya
sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan
ng atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

an • Pemeriksaan mikroskopis langsung


Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya
em positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.
an
ma • Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
em Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga
penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu
dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya
resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa
lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu
tar yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.
kat
asi • Pemeriksaan biakan dahak
bih Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat
min dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu
pa untuk konfirmasi diagnosis TB.

• Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi


atu
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
HIV
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
atu
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik
tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi
bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan
respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat
del
tersebut.
an
• Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB
pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks
pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.
an
ala

BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
65
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/Akses Tes Ke
Cepat TB

BAB VI
66
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
Tes Keterangan :
(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur
diagnosis

(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

(3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan
tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up,
namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat
(4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB yang
menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera
mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.

(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:
- Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil tes
cepat
- Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan terapi
TB
- Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab
lain

BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
67
Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan Tes
Cepat TB

5. D

6. P

BAB VI
68
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
Keterangan :
Tes (1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur
diagnosa.
(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya
(3) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks mendukung TB :
diberikan terapi TB terlebih dahulu
(4) Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap
rifampisin
(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks tidak mendukung TB
dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan
diagnosis TB.

5. DIAGNOSIS HIV PADA PASIEN TB

• Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada pasien
TB. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat
menjadi pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan pelayanan HIV
sehingga dengan demikian pasien tersebut mendapatkan pelayanan yang komprehensif.

• Tes dan konseling HIV bagi pasien TB dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu:
Tes HIV Atas Inisiasi Petugas Kesehatan dan Konseling (TIPK) dan Konseling dan Tes
Sukarela (KTS)

• Merujuk pada Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,
semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK sebagai bagian dari
standar pelayanan oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan HIV.

• Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan klinis
dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan
tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian terapi ARV.

• Langkah-langkah untuk pelaksanaan TIPK pada pasien TB akan dijelaskan lebih lengkap
dalam Petunjuk Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.

6. PENGOBATAN TB PADA ODHA DAN INISIASI ART SECARA DINI

• Diantara pasien TB yang mendapatkan pengobatan, angka kematian pasien TB dengan


HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka kematian lebih
tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra paru oleh
karena pada umumnya pasien tersebut lebih imunosupresi dibandingkan ODHA dengan
TB yang BTA positif. (²⁶)
Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita hamil prinsipnya adalah sama
seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV,
dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian.
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
69
Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah 9. P
dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik . (²⁶)

• Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut
sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV,
sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I),
rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

• Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau RS
rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.

• Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu dalam
melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.

• Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana
komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk
pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di .
dalam unit PDP.

• Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi atau
efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke
Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan
oleh unit HIV.

• Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV
sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV
agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.

• Pengobatan bersama TB-HIV akan dijelaskan lebih rinci dalam Buku Petunjuk Teknis
Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV.

7. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID (PP INH)

Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB aktif pada
ODHA, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA . Jika pada ODHA tidak terbukti
TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PP INH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis
300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 7 bulan.

8. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN KOTRIMOKSASOL (PPK)

Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka


kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan
pencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan
Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.

BAB VI
70
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
ah 9. PERAWATAN, DUKUNGAN DAN PENGOBATAN HIV

• Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinya


but dilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan
RV, memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan
I), komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya
seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan
rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spritual
RS individu termasuk perawatan paliatif.

• Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses
am layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari
kelompok sebaya.

na
tuk
di .

au
ke
an

RV
RV

nis

da
ukti
sis

gka
an
an

BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
71
BAB VII
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)


tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.

Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.

Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.

A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.


Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah
yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum
sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.

Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri

PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada


rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan
ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.

1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.

Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
74
BAB VII
72
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran,
sarana dan prasarana) yang dibutuhkan
f. Monitoring dan Evaluasi
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait PPI
TB

2. Pengendalian Administratif.
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman m.
tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan
menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur
pelayanan.

Upaya ini mencakup:


a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara
tepat)
b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang
benar.
d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE.
e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.

Pengendalian administratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penjaringan,


diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi
penularan TB secara efektif.

Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan.
Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan
TB Resistan Obat yang belum teridentifikasi.

Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis,
dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.

75
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
73
Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:
a. Temukan pasien secepatnya.
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk
ke laboratorium.

b. Pisahkan secara aman.


Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.
Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam
antrian (prioritas).

c. Obati secara tepat.


Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB
kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati
sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.

Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:


a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.

4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.


Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan
sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.

Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.


Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat
melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu
digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.

76
BAB VII
74
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.

Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi
seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan
dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari).
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

77
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
75
BAB VIII
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE
PUBLIC PRIVATE MIX
MIX DOTS DOTS PENGENDALIAN
DALAM DALAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS

Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan.

Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.

PPM (Public Private Mix) meliputi:


• Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja,
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
• Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik
pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.
• Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan
LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan
apotik swasta.

Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai
Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan
dilakukan di FKRTL.

A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.

B. Prinsip dan Strategi PPM.


1. Prinsip PPM
Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.
b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan
menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program
pengendalian TB di setiap tingkat.

78
BAB VIII
76
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.

C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
3. Tingkat Kabupaten/Kota

1. Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan,
pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat
nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI),
organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.

2. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.

3. Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar
pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan
dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan
dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.

a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .


Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK
berkaitan dengan Pilar ini antara lain:

79
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
77
1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA),
misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang
bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).
2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.
3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu
pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang
mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan
sesak.
4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:
• Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
• Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB
di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes
TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.
6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang
lain, contohnya:
• Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.
• Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.
• Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian
perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social
Responsibility).
• Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
• Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus
TB ke faskes DOTS dasar.
7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.

b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta


Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi
Rumah Sakit 2012.
2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.
3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,
contohnya:
• Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.
• Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.
• Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.
• Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:
 Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
 Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
 Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).

c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis


Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatan-
pendekatan sebagai berikut:

80
BAB VIII
78
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan
dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh
Indonesia.
2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB
IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter
yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan
dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan
merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang
mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB
IDI.
3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat
Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes
berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman
Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah
disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.

d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.


Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan
Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:
1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan
mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB
(Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).
2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab
TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi
dan Laboratorium rujukan intermediate.
3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan OAT lini 1 dan 2.
4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).
5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan
mutunya.
e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.
Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen
Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:
1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”.
2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.
3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji
kualitas OAT.
4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.
5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.

f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.


Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:

81
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
79
1) Membantu mengadvokasi membangun komitmen termasuk pendanaan.
2) Membangun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan layanan DOTS yang
berkualitas
3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam memantau kualitas layanan TB yang
diberikan faskes.
4) Memberdayakan masyarakat peduli TB dalam pemberian dukungan psikososial
pada pasien TB.
5) Integrasi layanan TB kedalam upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM).

D. Langkah-langkah Pemantapan PPM.

Langkah-langkah pemantapan PPM dilakukan antara lain sebagai berikut:


1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan mapping kesiapan atau
permasalahan penerapan pelayanan TB di fasyankes yang telah atau akan dilibatkan.
2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan stakeholders (organisasi profesi, NGO,
CSR, dll) baik swasta maupun pemerintah dalam rangka melaksanakan PPM.
3. Memastikan pelayanan TB berjalan di tiap fasyankes primer sesuai kemampuan,dengan
mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
a. Ada tidaknya Tim DOTS atau pelaksana pelayanan TB terlatih di fasyankes
b. Keberadaan Unit DOTS di fasyankes sebagai tempat koordinasi dan pelayanan
pasien TB secara komprehensif dan terpadu.
c. Kesiapan akses pelayanan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak
sesuai standar di fasyankes atau merujuk ke lab TB yang lain.
d. KelengkapanTenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, petugas
administrasi, farmasi (apotek) yang terlatih.
e. Biaya operasional.
f. Ketersediaan SOP baik dalam jejaring internal maupun jejaring eksternal.
g. Berjalannya surveilans TB dan penggunan format pencatatan dan pelaporan sesuai
kegiatan pelaksanaan program TB nasional
h. Menentukan fasyankes yang perlu di supervisi dan yang terlibat dalam pertemuan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan program TB.
i. Menginformasikan/umpan balik, menyebarluaskan hasil pencapaian fasyankes sampai
ke pimpinan fasyankes.

Fungsi Dinas Kesehatan dalam jejaring PPM, sebagai berikut:


1. Penanggung jawab PPM.
2. Menunjuk koordinator PPM.
3. Membuat surat keputusan tentang pembentukan tim PPM.
4. Bersama fasyankes menyusun protap jejaring layanan pasien TB, dan memastikan
protap dijalankan.
5. Mengesahkan protap jejaring layanan TB.
6. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penerapan DOTS dan kegiatan program TB lainnya
di fasyankes.
7. Memastikan sistem surveilans TB (pencatatan dan pelaporan) berjalan.

82
BAB VIII
80
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Keberhasilan pendekatan PPM sangat tergantung dalam membentuk sistim jejaring
dengan berbagai sector oleh karena itu perlu adanya Koordinator PPM yang mempunyai
tugas sebagai berikut
1. Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut diatas berjalan dengan baik.
2. Memfasilitasi rujukan antar fasyankes dan antar prov/kab/kota
3. Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke fasyankes yang dituju dan
menyelesaikan pengobatannya.
4. Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindak lanjuti
5. Memastikan terlaksananya kegiatan validasi data, supervisi, monitoring dan evaluasi
pasien di fasyankes.
6. Menyusun laporan kegiatan PPM kepada penanggung jawab PPM (Dinas kesehatan
setempat).

E. Indikator Pelaksanaan PPM

Pemantapan PPM perlu dilakukan diantaranya dengan mempertahankan mutu program


pengendalian tuberkulosis agar memperoleh hasil yang efektif, efisien dan bermutu. Oleh
karena itu dalam dalam pemantapan PPM di Kabupaten/Kota perlu dilakukan pemantauan
yang berkesinambungan, agar tetap berjalan dalam jalurnya, maka Indikator untuk
memantau kegiatan PPM adalah:
1. Proporsi faskes terlibat PPM diantara jumlah faskes yang ada.
2. Kontribusi terhadap angka penemuan TB (CNR).
3. Angka keberhasilan pengobatan di masing-masing faskes PPM.
4. Angka keberhasilan rujukan di faskes PPM.

83
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
81
BAB IX
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas
(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .
Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.

Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium


TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB,
keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.

A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.


Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan,
Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan
kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium
yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu
pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir
seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.
Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring
laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran,
tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.

Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium


mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.
1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.
a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes
Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan
kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:
• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah
FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan
dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan
teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti
pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di
wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.
• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan
laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan
kemudian merujuk ke FKTP-RM.
Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan
termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan
pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM
dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.

BAB IX
82
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1
Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota
dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas
kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1
dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.

Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi:


1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA.
2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah
kerjanya.
3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya.
4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah
kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).
5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayahnya.

c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2


Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila
provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi
berperan sebagai lab RUS.
Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi
kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi:
1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance)
mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1
2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring
laboratorium TB di wilayahnya
4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah
kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).
5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS,
supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional.

d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi
Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan
Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas
pokok sebagai berikut:
1) Peran:
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
mikroskopis TB
2) TanggungJawab:
Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium
mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
83
c. Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai
Laboratorium rujukan biakan provinsi

d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan


Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT
sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/
atau 2
2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan
pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai
laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah
laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan
Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.
4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.

e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya
sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang
pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:

1) Peran
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.

2) Tugas Pokok
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan
dan uji kepekaan TB
d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal
(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB
e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
85
Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok
sebagai berikut:

1) Peran
a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,
b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi
dan MOTT.

2) Tugas Pokok
a) Melaksanakan penelitian operasional TB
b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru
f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.

3) Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.

B. Manajemen Laboratorium TB.


1. Manajemen Logistik Laboratorium TB.
Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan
logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB

2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.


Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring
laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)

a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)


PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan
laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.
Tujuan PMI:
1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,
penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji,
pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.
2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan
cepat dan tepat.
3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.

Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap pra-
analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
87
Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:
1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan
laboratorium, misalnya :
a) Protap pengambilan dahak
b) Protap pembuatan contoh uji dahak
c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen
d) Protap pemeriksaan Mikroskopis
e) Protap pembuatan media
f) Protap inokulasi
g) Protap identifikasi
h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.
2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan
laboratorium TB
3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas
4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.

b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)


PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali
membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan
PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan.
Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium
rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi
secara baik, berkala dan berkesinambungan.
1) Perencanaan PME
a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan
wilayah kerja jejaring laboratorium TB
b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara
c) Menentukan jenis kegiatan PME
d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja
laboratorium penyelenggara.
e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME
f) Penilaian dan umpan balik.

2) Kegiatan PME
Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:

a) PME Mikroskopis
• Uji silang sediaan dahak mikroskopis
Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan
pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di
fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan
metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan
diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis
dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga
alur dan peran komponen PME dapat berubah.

BAB IX
88
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Alur uji silang mikroskopis TB

• Uji profisiensi/ tes panel sediaan dahak mikroskopis,


Kegiatan ini untuk menilai kinerja petugas laboratorium TB tetapi hanya
dilaksanakan apabila uji silang dan supervisi belum berjalan dengan
memadai.

b) PME Uji Kepekaan OAT


Secara berkala dan berkesinambungan dilakukan Tes Panel dari laboratorium
rujukan nasional melalui pengiriman isolat-isolat yang kemudian harus diperiksa
dengan biakan dan diuji kepekaan terhadap OAT di laboratorium pelaksana
pelayanan biakan dan uji kepekaan TB.

c) Bimbingan teknis Laboratorium TB.


Kegiatan ini dilaksanakan untuk menindaklanjuti umpan balik PME dan
menjamin kualitas pemeriksaan laboratorium TB.

c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)


Kegiatan ini dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari PMI dan PME, dengan membuat
tolok ukur dan perencanaan peningkatan mutu, meliputi:
1) Tenaga: pelatihan, penyegaran, mutasi, penetapan kriteria/kualifikasi tenaga
laboratorium TB pada semua jenjang
2) Sarana dan prasarana: standarisasi,pemeliharaan, pengadaan, uji fungsi
3) Metode Pemeriksaan: revisi protap, pengembangan metode pemeriksaan

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
89
3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB
Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh
kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu
Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB
Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.

C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB


Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan
keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan
pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang
memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB
yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan
kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus
diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar
terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan
Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di
laboratorium TB.

BAB IX
90
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
BAB X
BAB X
PENGELOLAAN
PENGELOLAAN LOGISTIK
LOGISTIK PROGRAMPROGRAM
PENGENDALIAN
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS

Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang


penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,
baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga
ketersediaan dan kualitasnya terjamin.

A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.


1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.
Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan
untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang
digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.

2. Jenis-jenis Logistik P2TB.


Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non
OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di
Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan
memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.

Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:


• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S).
• Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino
Salicylic (PAS).

1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan


Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian
TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket
individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis

94
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
91
kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose
Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.

Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya
telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan
pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan
4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.
Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan
dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.
Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya
dikemas dalam bentuk blister.

Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
• Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
• Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
• Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
• Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
• Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR

2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR


Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional
Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk
paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT
lini pertama yang masih sensitif.

Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan
OAT RR/MDR yang disediakan adalah:

Nama OAT Dosis Bentuk


Kanamycin (Km) 1000 mg vial
Capreomycin (Cm) 1000 mg vial
Levofloxacin (Lfx) 250 mg tablet
Moxifloxacin (Mfx) 400 mg tablet
Ethionamide (Eto) 400 mg tablet
Cycloserin (Cs) 250 mg kapsul
Para Amino Salicylic (PAS) 2g sachet
Pirasinamid (Z) 500 mg tablet
Etambutol (E) 400 mg tablet

95
BAB X
92
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
b. Logistik Non OAT
Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik
Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun
pasien TB resistan obat.
1) Logistik Non OAT Non Resistan
Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu
barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:
 Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca
sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,
Kertas saring, Kertas lensa, dll.
 Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13
b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:
 Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu
spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll
 Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-
lain.

2) Logistik Non OAT Resistan Obat


Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua
kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:
 Cartridge GeneXpert
 Masker bedah
 Respirator N95
 Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:
 Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,
Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide),
Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet,
Lemari/rak penyimpanan OAT, dll
 Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-
lain.

3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.


Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program
pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota
sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes
lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.

96
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
93
Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah
seperti gambar dibawah ini:

Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.

Dinkes Provinsi Instalasi Farmasi Provinsi


(IFP)
permintaan distribusi

Instalasi Farmasi
Dinkes Kab/kota
Kab/Kota(IFK)

permintaan distribusi

Fasyankes

Dokter Praktik Mandiri Klinik Swasta


(DPM)

Keterangan:
Alur distribusi OAT
Alur permintaan dan pelaporan OAT

Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui
Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.

Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun


Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:

97
BAB X
94
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat

Instalasi Farmasi
Pusat Nasional

Instalasi Farmasi
Dinkes Provinsi
Provinsi (IFP)

Faskes Rujukan Instalasi Farmasi


Faskes Rujukan

Faskes Sub Rujukan Faskes Satelit

Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT

Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.

B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.


Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan
dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik
P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini
dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.

98
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
95
Gambar 12: Siklus Manajemen Logistik P2TB

1. Perencanaan Logistik P2TB.


Perencanaan adalah kegiatan pertama dalam siklus pengelolaan logistik.
Kegiatan ini meliputi proses penilaian kebutuhan, menentukan sasaran,
menetapkan tujuan dan target, menentukan strategi dan sumber daya yang akan
digunakan.

Hal-hal yang diperhatikan dalam melakukan perencanaan logistik P2TB adalah:


a. Menyiapkan data yang dibutuhkan dalam merencanakan logistik P2TB, antara
lain: data pasien TB yang diobati dan jumlah logistik yang digunakan tahun
sebelumnya, data fasilitas pelayanan kesehatan, stok logistik yang masih bisa
dipakai dan sumber dana.
b. Menentukan jenis logistik yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi yang
ditetapkan. Untuk logistik OAT dan Non OAT yang berhubungan dengan
kegiatan teknis program TB seperti lab suplies, formulir pencatatan
pelaporan,dll harus sesuai dengan spesifikasi Program TB Nasional.
c. Perencanaan logistik dihitung sesuai dengan kebutuhan dengan
memperhitungkan sisa stok logistic P2TB yang masih ada dan masih dapat
dipergunakan (belum Kadaluarsa atau rusak).
d. Perencanaan logistik berdasarkan kebutuhan program (program oriented)
bukan budget oriented.
e. Perencanaan logistik P2TB dilakukan oleh/diserahkan kepada tim perencanaan
terpadu yang sudah ada.
99
BAB X
96
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal
penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,
Provinsi dan Pusat.

a. Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,
sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan
berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai
dengan target yang direncanakan.

Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua


pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap
jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan
memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang
ada dan masa tunggu (lead time).

1) Perencanaan OAT Tidak Resistan


Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”
mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya
diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.

2) Perencanaan OAT Resistan Obat


Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum
tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara
terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai
dengan target penemuan kasus.

b. Perencanaan Non OAT


Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan
memperhatikan:
1) Jenis logistik
2) Spesifikasi
3) Jumlah kebutuhannya.
4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan
5) Unit pengguna

Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian


TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan
memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.

100
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
97
2. Pengadaan Logistik P2TB.
Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan
pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat
memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu
sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus
mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah:


a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang
tepat.
b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang
wajar.

Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:


a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD
Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri.
b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan
yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti
Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor.
d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI,
Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.
e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang
bersangkutan.
f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

a. Pengadaan OAT
OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE)
sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana
APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana
bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya
dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT
resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah:


1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang
minimal 24 (dua puluh empat) bulan.

101
BAB X
98
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang
tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu
OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh
industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.
5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets
masing-masing produk.
6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.

b. Pengadaan Non OAT


Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam
mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non
OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT
untuk TB regular maupun TB resistan obat.
Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari
Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun
alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan
Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun
Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada.

Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:
1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program
Nasional Pengendalian TB.
2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan
untuk setiap jenis logistik.

3. Penyimpanan Logistik P2TB.


Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara
yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang),
barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik
dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari
penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin
ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan.

Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program
Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes
Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT
disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten
Kota dan Fasyankes.

102
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
99
Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan
baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.

4. Distribusi Logistik P2TB.


Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan
pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke
tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif
maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga
kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan
aspek keamanan, mutu dan manfaat.

Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:


a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana
(jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang
cukup.
b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian

Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk


memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program
penanggulangan TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:


a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan
Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan
Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan
Fasyankes.
b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat
yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang
dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.
c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima
(BAST).
d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang
bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi
atau pengiriman logistik tersebut.
e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi
pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya
yang dikirim.
f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.
g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain
anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan
sarana yang ada.

103
BAB X
100
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
5. Penggunaan Logistik P2TB.
Penggunaan logistik P2TB adalah kegiatan/proses penggunaan logistik P2TB,
baik OAT maupun Non OAT sesuai dengan peruntukannya dan aturan pakainya.
a. Penggunaan Logistik OAT
Penggunaan logistik dapat dilihat dan mengacu pada tatalaksana pengobatan
TB baik TB yang tidak resistan maupun TB yang resistan.

b. Penggunaan Logistik Non OAT


Untuk penggunaan logistik non OAT seperti bahan dan alat laboratorium
mengacu pada buku-buku panduan maupun juknis laboratorium TB. Demikian
juga dengan formulir dan buku pencatatan pelaporan penggunaannya
mengacu pada bab pencatatan dan pelaporan TB.

6. Manajemen Pendukung
Pengelolaan logistik program TB dilakukan di setiap tingkat pelaksana, mulai dari
tingkat pusat hingga kabupaten/kota maupun Sarana Pelayanan Kesehatan
(SPK). Sehingga diperlukan suatu manajemen pengelolaan dan koordinasi yang
baik antara setiap tingkat pelaksana tersebut.

a. Pengorganisasian
Organisasi pengelolaan logistik P2TB dilakukan disetiap tingkat pelaksana,
mulai dari tingkat Pusat sampai dengan Fasyankes. Organisasi pengelolaan ini
dapat digambarkan di bawah ini:

KEMENTERIAN KESEHATAN

DITJEN PP&PL DITJEN BINFAR


INSTALASI FARMASI
PUSAT NASIONAL

DINAS KESEHATAN
PROVINSI INSTALASI FARMASI
PROVINSI (IFP)
PROVINSI

DINAS KESEHATAN
KAB/KOTA
INSTALASI FARMASI
KAB/KOTA KAB/KOTA (IFK)

FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN

104
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
101
b. Pembiayaan Logistik P2TB
Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan.
Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber
lainnya yang sah sesuai kebutuhan.
Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran
pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber
dana dapat dimobilisasi.

c. Sistim Informasi Logistik P2TB


Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem
informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat,
dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan
logistik P2TB yaitu:
1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu
(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun
2011.
2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer,
yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.

d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB


Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi
Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk
terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di
setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensi-
nya, sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi
sesuai tupoksi dan beban kerjanya.
Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga
pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata
lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB,
dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan
program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan
pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain
yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM
yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam
penanggulangan TB.

e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB


Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya
baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat
digunakan.

105
BAB X
102
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Pengawasan Mutu OAT
Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk
OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market,
yaitu:
a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.
b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring
efek samping.

Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan


kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan
secara organoleptik dan laboratorium.

2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT


Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan
jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya.
Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi
dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya.
Contoh:
Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara
laboratorium.

106

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
103
BAB XI
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti
HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi
di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber
daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga
yang terampil.

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis


(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin
ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang
terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen
yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.

Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.

Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.

A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.


Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan
kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.
Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik
dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.
1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Puskesmas
1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan
minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1
tenaga laboratorium.

105
BAB XI
104
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter
dan 1 perawat/petugas TB
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2
dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,
dan 1 tenaga laboratorium
5) RS swasta: menyesuaikan.
c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.

2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota


Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10
fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat
memiliki lebih dari seorang supervisor.

Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:


a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.

3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.


Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20
kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah
lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari
seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,
d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1
orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)

106
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
105
Masyarakat Anggota keluarga, kader, • Identifikasi dan rujuk terduga TB ke
tenaga kesehatan, LSM fasyankes.
• Pengawas Menelan Obat (PMO)
• Kunjungan rumah
• Melacak yang mangkir
• Catatan sederhana

Laboratorium Staf Peran/ tugas utama

Lab TB nasional Ahli Biomolekuler, Spesialis Pemeriksaan dan penelitian


Patologi klinik, spesialis biomolekuler, pemeriksaan non
Patologi Anatomi, Spesialis konvensional lainnya, uji silang ke dua
mikrobiologi klinik, Ahli untuk pemeriksaan biakan
Mikrobiologi, Analis.

Lab TB rujukan regional Spesialis Patologi klinik, Ahli Kultur, identifikasi dan uji kepekaan
Mikrobiologi, Analis dan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan
analis media. lain

Lab TB rujukan provinsi Spesialis Patologi Klinik, Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji
Analis. silang mikroskopis final

Laboratorium rujukan Petugas laboratorium dan Uji silang pertama (Laboratory Quality
Uji silang (Intermediate analis Assurance)
TB Laboratory)

Pusat Mikroskopis TB: Analis Pembuatan contoh uji apusan dahak,


PRM fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan
PPM skala IUATLD dan interpretasi
Laboratorium RS
Laboratorium swasta

Pusat Fiksasi contoh uji Petugas lab Pembuatan contoh uji apusan dahak
TB (Puskesmas satelit) dan fiksasi

C. Pelatihan Program Pengendalian TB


Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan
petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini
dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh
(LJJ)/distance learning.

Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak


pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai
pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga
dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.

109
BAB XI
108
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XI
110
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
c. Evaluasi bersifat korektif
• Menemukan masalah
(in effisien dan in effektif / under target )
• Menemukan sebab-sebab masalah,
• Mengajukan saran perbaikan

2. Kerangka Konsep EPP P2TB

Gambar 14: Kerangka konsep evaluasi paska pelatihan TB

Evaluasi paska pelatihan (EPP) adalah:


a. Bagian dari evaluasi yang difokuskan pada tingkat perubahan yang terjadi pada
mantan peserta latih setelah menyelesaikan suatu pelatihan.
b. Penerapan pengetahuan, sikap dan perilaku hasil intervensi pelatihan oleh mantan
peserta latih di tempat kerja,
c. Perubahan dapat dilihat dari kinerja individu, tim, organisasi dan program,
d. Outcome evaluation (Kinerja individu),
e. Evaluasi ini dilakukan 3-6 bulan setelah pelatihan,
f. Pelaksana EPP adalah Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) dan atau Pengelola Program
TB
g. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam EPP:
1) Penyiapan daftar tilik/instrument evaluasi paska pelatihan
2) Perencanaan EPP: menetapkan sasaran, lokasi, petugas pelaksana, jadwal,
menyiapkan surat ke lokasi EPP
3) Pelaksanaan EPP sesuai perencanaan yang telah ditetapkan
4) Penyusunan laporan hasil kegiatan EPP
113
BAB XI
112
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:
a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan
balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan
b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang
dinilai yaitu:
1) Kognitif/Pengetahuan
2) Afektif/Sikap
3) Psikomotor/Perilaku
c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu
d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di
wiilayahnya

4. Metode EPP Program Pengendalian TB


Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data. Metode
pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan
peserta latih di tempat kerjanya.

Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP


NO RANAH YANG AKAN DICAPAI METODE YANG DIGUNAKAN
1 KOGNITIF Test tertulis
Studi kasus
Wawancara
Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah
2 AFEKTIF Studi kasus
Wawancara dengan pihak ketiga
Kuestioner
3 PSIKOMOTOR Observasi
Cek dokumen

114

BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
113
BAB XII
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.

Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga
kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.

A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.


Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
• Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional
• Organisasi berbasis komunitas
• Organisasi berbasis agama
• Organisasi pasien dan mantan pasien
• Organisasi profesi
• dan lain-lain.

B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.


Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:
1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan
pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena
dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,
meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).
2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program
pengendalian TB
114

BAB XII
114
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi
kemasyarakatan.
4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program
Pengendalian TB.
5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana
hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.

C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB


Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam Program
pengendalian TB, antara lain:
1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi kemasyarakatan
lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat
membantu dalam program pengendalian TB.
2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami
situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.
3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan
populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu narkoba,
penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas
layanan kesehatan.
4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan kesehatan
yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung
5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang
TB kepada masyarakat
6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan
TB dan membantu dalam sosial ekonomi
7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah
setempat.
8. Dan lain-lain.

D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam


Pengendalian TB
Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:
1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta
karakteristik masing-masing,
2. Saling menguntungkan,
3. Keterbukaan,
4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi dari
organisasi kemasyarakatan itu sendiri,
5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada di
Program Pengendalian TB.

115
BAB XII
115
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam
Pengendalian TB
Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:
1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan yang tercatat.

2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau


organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan yang tercatat.

F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian


TB
Beberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
pengendalian TB berbasis komunitas antara lain:

Peran Kegiatan
Pencegahan TB. Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.
Deteksi dini terduga TB. Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,
pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.
Melakukan rujukan. Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke
Fasyankes, dukungan transport.
Dukungan/motivasi keteraturan Pengawas Menelan Obat (PMO).
berobat pasien TB.
Dukungan sosial ekonomi. Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan
sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan
pasien TB guna meningkatkan penghasilan,
menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan
pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.
Advokasi. Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu
memberikan masukan kepada pemerintah.
Mengurangi stigma. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk
kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.

G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB.


Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB berbasis
komunitas yaitu:
1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).
Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan untuk terlibat
dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang

116
BAB XII
116
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi
kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
2. Memperluas (Expand).
a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang
sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi
khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja
seksual.
b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam
program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan
terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
3. Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan
TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi
dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan
yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi
kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
4. Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB
berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem
pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan terhadap program


pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:

No Kegiatan Pusat Provinsi Kab/Kota


1 Analisis situasi V V V
2 Menciptakan lingkungan yang kondusif V V V
3 Pedoman dan Juknis V - -
4 Identifikasi tugas V V V
5 Monitoring and evaluation V V V
6 Peningkatan kapasitas V V V

117
BAB XII
117
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIII
BAB XIII
SISTIM INFORMASI
SISTIM INFORMASI PROGRAM PROGRAM
PENGENDALIAN
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS

Sistim informasi program pengendalian TB merupakan bagian dari sistem informasi kesehatan.
Sistem informasi kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi,
indikator, prosedur, perangkat, teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang saling
berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung pembangunan Nasional.

Informasi kesehatan adalah data kesehatan yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk
yang mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dalam
mendukung pembangunan kesehatan.

Informasi kesehatan untuk program pengendalian TB adalah informasi dan pengetahuan yang
memandu dalam melakukan penentuan strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi program TB. Secara garis besar informasi strategis TB meliputi tiga elemen pokok
yaitu sistem surveilans, sistem monitoring dan evaluasi (monev) program, dan penelitian
operasional.

Gambar 15: Sistim Informasi Program Pengendalian TB.

Sistem Surveilans Sistem Monitoring & Penelitian TB


TB Evaluasi program TB

Surveilans Monitoring Penelitian


Program Operasional
Rutin
(indikator)

Surveilans
Penelitian
Pengelolaan Data
Non Rutin ilmiah (dasar)
(Survei: Periodik
dan Sentinel)

Penyajian
Data

Estimasi dan Pemecahan masalah,


Proyeksi Tindak lanjut,
Perencanaan

118
BAB XIII
118
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola
perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan
dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai
kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan
menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi
sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.

A. Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit
secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis
didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.

Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),
dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).

1. Surveilans Rutin.
Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan
pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)
untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya
bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang
menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini
interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan
baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari
surveilans periodik atau surveilans sentinel.

2. Surveilans Non Rutin.


a. Surveilans non rutin khusus
Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel yang
bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan
data rutin.
Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang
dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang
mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk
mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.
Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien TB,
survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude
Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lain-
lain.

119
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
119
Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah
tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB
secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.

b. Surveilans non rutin luar biasa


Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara
Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan
TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah
besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian penyakit
tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu
wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang
cepat.
Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan
berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans
yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku “Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada
Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji”, Kemenkes 2013).

B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB


Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan
target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya
setiap 6 bulan s/d 1 tahun.

Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana


program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh
kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses,
maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.

Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator
dan hasil dari supervisi.

1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB


Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,
dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,
disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:

120
BAB XIII
120
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
b. Data sesuai dengan indikator program
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim
informasi kesehatan yang generik.

PENTING !!
TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang
memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang
ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang
ditentukan.

Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB.


Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem
informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi
elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di
wilayah tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB
Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan
secara Nasional.

Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan


pelaksana, sebagai berikut:
a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan
FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:
1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).
2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).
5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)
6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
8) Register Laboratorium TB (TB.04).
9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)

b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota


Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:
1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03)
2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)
3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)
4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)

121
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
121
5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)

c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat
Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.

2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
 Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
 Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut
di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru
diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/
MDR yang ada.

122
BAB XIII
122
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji
kepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.

b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang
mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
9)
c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini

Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:

123
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
123
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
disebabkan:
Penjaringan
•Angka ini sekitar terduga
5-15%.TB terlalu longgar.iniBanyak
Bila angka terlalu orang
kecil yang
(<5%) tidak memenuhi
kemungkinan
Penjaringan
• kriteria
disebabkan: terduga terduga
TB, atau TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria
•• Ada terduga
masalah
Penjaringan TB, atau
dalam
terduga pemeriksaan laboratorium
TB terlalu longgar. Banyak (negatif
orangpalsu).
yang tidak memenuhi
Ada masalah
• kriteria dalam
terduga TB, atau pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Bila
• Ada angka ini terlalu
masalah dalambesar (>15%) kemungkinan
pemeriksaan laboratoriumdisebabkan :
(negatif palsu).
•BilaPenjaringan
angka ini terlalu
terlalubesar
ketat(>15%)
atau kemungkinan disebabkan :
BilaPenjaringan
• Ada masalah
angka terlalu
dalam
ini terlalu ketat
besar atau kemungkinan
pemeriksaan
(>15%) laboratoriumdisebabkan
(positif palsu)
:
Ada masalahterlalu
•• Penjaringan dalamketatpemeriksaan
atau laboratorium (positif palsu)
2) Proporsi
• Ada masalah PasiendalamTB Paru Terkonfirmasi
pemeriksaan Bakteriologis
laboratorium diantara Semua Pasien
(positif palsu)
2) TBProporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien
Paru Tercatat/diobati
2) TB Paruprosentase
Adalah
Proporsi Tercatat/diobati
Pasien TBpasien Tuberkulosis paru
Paru Terkonfirmasi terkonfirmasi
Bakteriologis bakteriologis
diantara Semuadiantara
Pasien
Adalah
semua prosentase
pasien pasien
Tuberkulosis
TB Paru Tercatat/diobati Tuberkulosis
paru tercatat paru terkonfirmasi
(bakteriologis dan bakteriologis
klinis). diantara
Indikator ini
semua pasien
menggambarkan Tuberkulosis
prioritas paru
penemuan tercatat
pasien(bakteriologis
Tuberkulosis
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara dan
yang klinis).
menularIndikator ini
diantara
menggambarkan
seluruh
semua pasien prioritas
pasien Tuberkulosis
Tuberkulosisyangpenemuan
parudiobati. pasien Tuberkulosis yang menular
tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini diantara
seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.
menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara
Rumus:
seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.
Rumus: Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
x 100%
Rumus: Jumlah pasien Jumlah TBseluruh
Paru Terkonfirmasi
pasien TB Paru Bakteriologis
Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi x 100%
Jumlah pasien Jumlah TB seluruh
Paru pasien TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis Bakteriologis
x 100% x 100%
Angka ini minimalJumlah 70%.
Jumlah Bila angka
seluruh
seluruh ini jauh
pasien
pasien TBTB lebih
ParuParurendah, berarti diagnosis kurang
Angka ini minimal
memberikan 70%.
prioritas Bilamenemukan
untuk angka ini jauh lebih
pasien yangrendah, berarti diagnosis kurang
menular.
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.
Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang
3) Proporsi
memberikan pasien TB Anak
prioritas untuk diantara
menemukan seluruh
pasienpasien
yang TBmenular.
3) Proporsi pasien TB Anak diantara
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang seluruh pasien TB diobati diantara seluruh
3) Adalah TB
pasien
Proporsi prosentase TBpasien
yang diobati.
pasien TB anakseluruh
Anak diantara (0-14 tahun)
pasien yangTB diobati diantara seluruh
pasien TB yang diobati.
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh
Rumus:
pasien TB yang diobati. Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)
Rumus: Jumlah pasien TB yangAnak
diobati (0 - 14 thn) yg diobatix 100%
x 100%
Rumus: Jumlah pasien
Jumlah
Jumlah TB
seluruh
seluruh Anak
pasien TB
pasien (0 - 14
yang
TB thn)
diobati
yg yg diobati
diobati
x 100%
Jumlah Jumlah
pasien seluruh
TB Anakpasien (0 - TB yg diobati
14 thn) yg diobati
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai x 100%
Jumlah seluruh pasien TB yg diobati aspek. Angka indikator ini
Angka ini dianalisis
diharapkan berkisar dengan
8 – 12% memperhatikan
pada wilayahberbagai dimana aspek.
seluruhAngka kasusindikator
TB Anak ini
diharapkan
ternotifikasi. berkisar
Pada 8
kondisi – 12%
dimana pada wilayah
pencatatan dan dimana seluruh
pelaporan
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini kasus
berjalan TB
dengan Anak
baik,
ternotifikasi.
angka
diharapkan Pada kondisi
ini menggambarkan
berkisar 8 – dimana pencatatan
overpada
12% under dan
atau wilayah pelaporan
diagnosis,
dimana serta
seluruhberjalan dengan
rendahnya
kasus baik,
TB angka
Anak
angka
penularan ini menggambarkan
TB pada anak. Bilaover
angka atau under
indikator diagnosis,
ini kurang serta
atau
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, rendahnya
melebihi kisaran angka
yang
penularan
diharapkan,
angka ini TB padaperlu
maka anak.diperiksa
menggambarkan Bilaover
angka indikator
prosedur
atau inidiagnosis,
kurang
diagnosis
under TBatau
Anak
sertamelebihi kisaranangka
di rendahnya
fasyankes. yang
diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak
penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang di fasyankes.
4) Angka Penemuan
diharapkan, Kasus
maka perlu (Case Detection
diperiksa Rate = CDR)
prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.
4) Angka Penemuan
Adalah prosentaseKasus jumlah(Case Detection
pasien baru TB RateParu= CDR)
BTA positif yang ditemukan
4) Adalah Penemuan
dibanding
Angka prosentase
jumlah pasien jumlah
Kasus barupasien
(Case baruBTA
TBDetection
Paru TB Paru
positif
Rate BTA diperkirakan
yang
= CDR) positif yang ada ditemukan
dalam
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif
Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan yang diperkirakan ada dalam
126
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 126
126
BAB XIII
126
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
usaha yang
Proporsi lebih detail dalam upayaTB pencegahan.
pasien TByang untuk tinggi dari
kepentingan pasiensurveilans.yangHal mengetahui status HIVnya
ini juga menjadi menyajikan
dasar untuk bentuk
estimasi yang cukup kuat tentang
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan. angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
7) Proporsi
pasien TBpasien
untuk TB yang dites
kepentingan HIV dan hasil
surveilans. Hal initesnya Positif dasar untuk bentuk
juga menjadi
Adalah
usaha persentase
yang pasien
lebih detail dalamTB yang
upaya di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV pencegahan.
dan hasil tesnya Positif
menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
7) Proporsi pasien besarnya
menggambarkan TB yang dites HIV dan hasil
permasalahan HIV ditesnya
antaraPositif
pasien TB.
Rumus:
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
Jumlah pasien
menggambarkan TB yang
besarnya terdaftar yang
permasalahan HIV mempunyai
di antara pasienhasil tes
TB.
Rumus:
HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes x 100%
Rumus: Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV
HIV Jumlah
positifpasien(sebelum
TB yang dan selama
terdaftar pengobatan TB)
yang mempunyai
Jumlah (sebelum
pasien
tes HIVTB
dan selama pengobatan TB) x 100%
Jumlah hasilpasien TByang
positif yang terdaftar
(sebelum
terdaftar yang
dan selama
yang mempunyai
pengobatan
melakukanTB) xhasil
tes
100%
tes
HIV
Jumlah pasien
HIV positif (sebelumTB yangdanterdaftar yang melakukan
selama pengobatan TB)
(sebelum
tes HIV (sebelumdandanselama pengobatan
selama pengobatan TB) TB) dapat saja menunjukkan
x 100%
Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV nasional
prevalensi HIV diantara(sebelum pasien TB yang
dan proporsi
selama sebenarnya
pengobatan TB)lebih tinggi ada di daerah
Proposi yang relatif tinggi dari rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
tertentu.
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Proposi
tertentu. yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
8) Angka Konversi
prevalensi (Conversion
HIV diantara pasienRate)
TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Angka
tertentu. konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
8) Angka Konversi (Conversion Rate)
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
8) masa
Angka pengobatan
Konversi tahap awal. Rate)
Bakteriologis yang(Conversion
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Program
Angka pengendalian
konversi tahap adalah TB di Indonesia masih
prosentase pasienmenggunakan
baru TB Paru indikator ini karena
Terkonfirmasi
masa pengobatan awal.
berguna untuk
Bakteriologis mengetahui
yang mengalami secara cepat
perubahanmasih hasil pengobatan
menjadi dan untuk
BTA negatifindikator mengetahui
setelah ini
menjalani
Program pengendalian TB di Indonesia menggunakan karena
apakah
masa pengawasan
pengobatan langsung
tahap awal. menelan obat dilakukan dengan benar.
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Program pengendalian
apakah pengawasan TB di Indonesia
langsung menelan obat masih menggunakan
dilakukan indikator ini karena
dengan benar.
Rumus:
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
apakahJumlah pasien langsung baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg
Rumus:pengawasan
Jumlah pasien baru TB
menelan
Paru
obat dilakukan
Terkonfirmasi
dengan benar.
Baketeriologis
hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
Jumlah pasien
yang hasilbaru TB Paru
pemeriksaan BTATerkonfirmasi Bakteriologis
akhir tahap awal negatif x 100% yg yg x 100%
Jumlah
Rumus: hasil pasien
Jumlah baru
pasien baru TBTB ParuTerkonfirmasi
Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
Baketeriologis
pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
Jumlah yangdiobati
diobati x 100%
Jumlah pasien
pasien baru baru TB TB Paru
Paru Terkonfirmasi
Terkonfirmasi Bakteriologis
Bakteriologis yg yg
hasil pemeriksaan BTA akhir
diobati tahap awal negatif
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg dengan cara
mereview seluruh kartu pasien diobati baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
yang
Di hasil pemeriksaan
fasyankes, inidahak negatif,
dihitungsetelah pengobatan tahapyaitu
awal (2 bulan/ 3
mulai berobat indikator
dalam 3-6 dapatsebelumnya,
bulan dari kemudian
kartu pasien TB.01,
dihitung berapadengan cara
diantaranya
bulan).
mereview Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
yang hasil seluruh
pemeriksaan kartu dahakpasiennegatif,
baru TB Parupengobatan
setelah Terkonfirmasi tahapBakteriologis yang
awal (2 bulan/ 3
dihitung
mulai dari laporan
berobat dalam TB.11.
3-6 bulanAngka minimal yang
sebelumnya, harusdihitung
kemudian dicapai adalah
berapa 80%.
diantaranya
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
yang hasil
dihitung pemeriksaan
dari laporan TB.11. dahak negatif,
Angka setelah
minimal yang pengobatan
harus dicapai tahap awal80%.
adalah (2 bulan/ 3
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
128

128

128
BAB XIII
128
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
an
ara 9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)
tuk 9) Angka Kesembuhanadalah
Angka kesembuhan (Cure angka
Rate) yang menunjukkan prosentase pasien baru TB
Angka kesembuhanBakteriologis
Paru Terkonfirmasi adalah angkayang yangsembuh
menunjukkan
setelahprosentase
selesai masa pasien baru TB
pengobatan,
Paru Terkonfirmasi
diantara pasien baruBakteriologis yang sembuh
TB Paru Terkonfirmasi setelah selesai
Bakteriologis masa pengobatan,
yang tercatat.
diantara pasien barukhusus
Untuk kepentingan TB Paru(survailans),
Terkonfirmasi Bakteriologis
angka kesembuhan yang tercatat.
dihitung juga untuk
ini Untuk
pasien kepentingan khusus Bakteriologis
Paru Terkonfirmasi (survailans), pengobatan
angka kesembuhan dihitungdan
ulang (kambuh jugadengan
untuk
pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan: pengobatan ulang (kambuh dan dengan
riwayat
 Untukpengobatan
mengetahui TB seberapa
sebelumnya) dengan
besar tujuan:
kemungkinan kekebalan terhadap obat
 Untuk
terjadi dimengetahui
komunitas, hal seberapa
ini harusbesar kemungkinan
dipastikan kekebalankekebalan
dengan surveilans terhadapobat.
obat
 terjadi
Untuk di komunitas,keputusan
mengambil hal ini harus dipastikan
program dengan
pada surveilans
pengobatan kekebalan obat.
menggunakan obat
 Untuk mengambil keputusan
baris kedua (second-line drugs). program pada pengobatan menggunakan obat
%  baris kedua (second-line
Menunjukkan drugs).
prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
 Menunjukkan
pada pasien denganprevalens
HIV.HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
 pada
Untukpasien dengan HIV.
perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti
 Untuk
sebutanperhitungan,
numerator dan digunakan
denominator rumus yangjumlah
dengan samapasien
dengan cara pengobatan
TB paru mengganti
kan
sebutan
ulang. numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan
ah
ulang.
Rumus:
Rumus: JumlahJumlah
pasienpasien
barubaruTB paru Terkonfirmasi
TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis
Bakteriologis yang sembuh
Jumlah pasien baru TB paru
yang Terkonfirmasi Bakteriologis
sembuh x 100%
asi Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi x 100%
Jumlah pasienBakteriologis
baru TB yang
paru sembuh
Terkonfirmasi Bakteriologis
ani yang diobati x 100%
Jumlah pasien baru TByang parudiobati
Terkonfirmasi Bakteriologis
ena yang diobati
hui Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
Di fasyankes,
mereview indikator
seluruh kartuinipasien
dapat dihitung
baru TBdari kartu
Paru pasien TB.01,
Terkonfirmasi yaitu dengan
Biologis cara
yang mulai
mereview
berobat dalamseluruh
9-12kartu
bulanpasien baru TB
sebelumnya, Paru Terkonfirmasi
kemudian dihitung berapa Biologis yang mulai
diantaranya yang
berobat
sembuh dalam
setelah9-12 bulan
selesai sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang
pengobatan.
sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
% Di tingkat
TB.08. kabupaten,
Angka minimal propinsi dan pusat,
yang harus angka
dicapai ini dapat
adalah 85%. dihitung dari laporan
Angka kesembuhan
TB.08.
digunakan untukminimal
Angka mengetahuiyang harus
hasil dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
pengobatan.
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
ara
Walaupun angka kesembuhan
perlu diperhatikan, yaitu berapa telah mencapai 85%, hasil
pasien dengan pengobatan
hasil pengobatan lainnya tetap
lengkap,
ng
perlu diperhatikan,
meninggal, yaitu
gagal, putus berapa
berobat (lostpasien dengan
to follow-up), danhasil pengobatan lengkap,
tidak dievaluasi.
nya
meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.
/3
pat • Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena
• Angka pasien putus berobat
akan menghasilkan proporsi(lost
kasusto follow-up)
retreatmenttidak boleh
yang lebih
tinggi dari 10%,
dimasa yangkarena
akan
akan
datangmenghasilkan proporsi kasus
yang disebabkan karena retreatment yang tinggidari
ketidak-efektifan dimasa yang akan
pengendalian
datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian
Tuberkulosis.
Tuberkulosis.

128
129
129
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
129
• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan
• Menurunnya
kualitas angka pasien
pengendalian putusmenurunkan
TB akan berobat (lostproporsi
to follow-up)
kasuskarena peningkatan
pengobatan ulang
• Menurunnya
kualitas10-20
antara angka
pengendalian pasien putus berobat
TB akan menurunkan
% dalam beberapa tahun. (lost to follow-up) karena peningkatan
proporsi kasus pengobatan ulang
kualitas pengendalian
antara 10-20 TB akan menurunkan
% dalam beberapa tahun. proporsi kasus pengobatan ulang
antara 10-20 % dalam beberapa tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih
Sedangkan
dari 4% untuk angka gagal
daerah untuk
yang pasien
belum adabaru TB paru
masalah BTA positif
resistensi obat, tidak boleh boleh
dan tidak lebih
Sedangkan
dari 4%
lebih untuk
besar angka gagal
dari daerah
10% untuk untuk
yang pasien
belumyang
daerah baru
adasudah TB
masalah paru BTA
adaresistensi positif tidak boleh
obat, danobat.
masalah resistensi lebih
tidak boleh
dari
lebih4% untuk
besar dari daerah
10% untuk yang belumyang
daerah adasudah
masalah adaresistensi obat, danobat.
masalah resistensi tidak boleh
10)lebih besarKeberhasilan
Angka dari 10% untuk daerah yangTB
Pengobatan sudah ada masalah
(Treatment Successresistensi
Rate =obat.
TSR)
10) Angka
Angka Keberhasilan
KeberhasilanPengobatan
Pengobatanadalah TB (Treatment Success
angka yang menunjukkan Rate = TSR)
prosentase
10) pasien
Angka Keberhasilan
Angka Keberhasilan Pengobatan
Pengobatan TB (Treatment
adalah angka Success
yang
baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan Rate
menunjukkan = TSR)
prosentase
Angka
pasien Keberhasilan
baru TB Pengobatan
Paru adalah
Terkonfirmasi angka yang
Bakteriologis
pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasienmenunjukkan
yang prosentase
menyelesaikan
pasien
pengobatan
baru baru(baik
TB paru TB yangParusembuh
Terkonfirmasi Terkonfirmasi
maupun yang
Bakteriologis Bakteriologis
pengobatan yang demikian
tercatat.lengkap)
Dengan menyelesaikan
diantara pasien
angka
pengobatan
baru
ini (baik yang
TB paru Terkonfirmasi
merupakan sembuh maupun
penjumlahanBakteriologis
dari angka yang pengobatan lengkap)
tercatat. Dengan
kesembuhan dan angka diantara
demikian pasien
angka
pengobatan
baru
ini TB paru
merupakan
lengkap. Terkonfirmasi
penjumlahan Bakteriologis
dari angka yang tercatat.
kesembuhan Dengan
dan angkademikian angka
pengobatan
ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan
lengkap.
lengkap.
Rumus:
Rumus:Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis
Rumus: Jumlah Jumlahpasien
pasienbaru
TB + TB
Paru Paru Terkonfirmasi
Terkonfirmasi Biologis Biologis
(sembuh
(sembuh
pengobatan
+ pengobatan
lengkap)
Jumlah pasien(sembuh baru+ TB Paru lengkap)
pengobatan Terkonfirmasi
lengkap) Biologis
x 100%yang x 100%
JumlahJumlah
pasien baruTBTB
pasien Paru
Paru Terkonfirmasi
Terkonfirmasi BiologisBiologis x 100%
(sembuh
Jumlah pasien baru yang + pengobatan
TB Paru lengkap)
Terkonfirmasi Biologis yang
diobati
diobati x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang
diobati
diobati
11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak
11) Adalah
Angka Keberhasilan
persentase TBPengobatan TB Anak sembuh dan Pengobatan Lengkap
Anak yang dinyatakan
11) (PL)
Angka
Adalah Keberhasilan
persentase TB Pengobatan
Anak
diantara seluruh pasien TB Anakyang TByang
Anak
dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap
diobati.
Adalah
(PL) persentase
diantara seluruh TBpasien
Anak yang
TB Anakdinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap
yang diobati.
(PL)
Rumus: diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.
Rumus:Jumlah pasien
Jumlah TB TB
pasien Anak
Anakyg sembuh
yang sembuhdan dan Pengobatan
Rumus:Jumlah pasienPengobatan TB Anak yg sembuh dan Pengobatan
Lengkap x 100%
Lengkap x 100%
Jumlah Jumlah
pasienpasien
TB Anak yg sembuh
TBLengkap
Anak dan Pengobatan
yang diobati x 100%
Jumlah pasien TB Anak yg diobati
Lengkap
Jumlah pasien TB Anak yg diobati x 100%
Jumlah pasien TB Anak yg diobati
Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program
Nasional. Angka indikator ini kualitas
Angka ini menggambarkan diharapkantatalaksana
sebesar TB 85%.Anak dalam
Apabila program
kurang dari
Angka
Nasional. ini menggambarkan
Angka indikator ini kualitas
diharapkantatalaksana
sebesar TB
85%.
angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan Anak dalam
Apabila program
kurang dari
Nasional.
angka yang Angka indikator
diharapkan
kasus TB Anak di suatu wilayah.maka ini diharapkan
perlu dilakukan sebesar
evaluasi 85%. Apabila
pemantauan kurang dari
pengobatan
angka TB
kasus yang diharapkan
Anak di suatu maka
wilayah. perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan
kasus TB Anak
12) Proporsi AnakdiyangsuatuMenyelesaikan
wilayah. PP INH Diantara Seluruh Anak yang
12) Mendapatkan
Proporsi AnakPPyang INH Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
12) Mendapatkan
Proporsi AnakPP yang
INH Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara
Mendapatkan
Adalah
seluruh persentase
anak yangPP INH Anak yang menyelesaikan
mendapatkan PP INH. PP INH selama 6 bulan diantara
Adalah persentase Anak yang
seluruh anak yang mendapatkan PP INH. menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

130
130
130
BAB XIII
130
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Rumus:
Rumus: Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan
Rumus: x 100%
Jumlah Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH6 bulan
Rumus:Jumlah Anak Anak yg
yg menyelesaikan
menyelesaikan
Jumlah anak yang menyelesaikan PP
PP INH
INH selama
selama 6 bulan x
x 100%
100%
JumlahJumlahAnak yg
Jumlah Anak
PP yang
yang mendapatkan
menyelesaikan
INH selama
Anak PP
PP INH
6 bulanPP INH selama
mendapatkan 6 bulan
x 100%
INH
Angka ini menggambarkan
Jumlah anak yang proporsi
mendapatkan anakPPyang
INH PP x 100%
terlindungi dari kejadian sakit TB
Jumlah Anak yang mendapatkan INH
dari
Angka anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
Angka ini
ini menggambarkan
menggambarkan proporsi proporsi anakanak yang
yang terlindungi
terlindungi dari
dari kejadian
kejadian sakit
sakit TB
TB
Angka
dari indikator
anak yang ini diharapkan
terpapar dan sebesar
terinfeksi 100%.
TB Apabila
termasuk kurang
anak dari
dengan angka
HIV yang
Positif.
Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. dari kejadian sakit TB
diharapkan
Angka makainiperlu
indikator dilakukan evaluasi kepatuhan PPkurang
INH. dari angka yang
dari
Angka anak
indikator ini diharapkan
yang terpapar diharapkan sebesar
dan terinfeksi
sebesar TB 100%.
100%. Apabila
termasuk
Apabilaanak dengan
kurang HIV Positif.
dari angka yang
diharapkan
Angka
diharapkan maka
makainiperlu
indikator dilakukan
diharapkan
perlu dilakukan evaluasi
sebesar
evaluasi kepatuhan
100%. Apabila
kepatuhan PP INH.
PPkurang
INH. dari angka yang
13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
13) Adalah persentase pasien TBHIV dengan status HIV positif yang menerima PPK.
13) Proporsi
Proporsi pasien
pasien TB TB dengan
dengan HIV positif positif yang
yang menerima
menerima PPK PPK
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program
13) Adalah
Adalah persentase
Proporsi pasien TBpasien
persentase dengan
pasien TB
TBHIV dengan
positifstatus
dengan yangHIV
status positif
positif yang
menerima
HIV PPK menerima
yang menerima PPK.PPK.
TB-HIV dalam
Indikator ini pemberian PPKkomitmen kepada pasien TB yang terinfeksi HIV. program
Adalah ini menggambarkan
Indikatorpersentase pasien TBkomitmen
menggambarkan dan
dan kemampuan
dengan status HIV positif pelaksanaan
kemampuan yang menerima
pelaksanaan PPK.
program
TB-HIV
TB-HIV dalam
Indikator pemberian
pemberian PPK
ini menggambarkan
dalam kepada
kepada pasien
PPKkomitmen TB
TB yang
dan kemampuan
pasien yang terinfeksi HIV.
pelaksanaan
terinfeksi HIV. program
Rumus:
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Rumus:
Rumus:
Jumlah selama pengobatan TB menerima PPK x 100%
Jumlah pasien
Rumus: pasien
Jumlah
TB
TB dengan
dengan
pasien TB dengan
HIV
HIV positif
positif
HIV
yang
yang
positif yang menerima PPK
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
Jumlah pasien TBselama
menerima dengan
selama pengobatan
HIVpengobatan TB
positif yang
pengobatan
PPK selama TBTB menerimax 100%PPK
x
x 100%
100%
Jumlah
Jumlah pasien
Jumlah selama
pasien
pasien TB
TB dengan
TBpengobatan
dengan
dengan HIV
HIV
HIV positif positif
TB positif x 100%
14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
14) Adalah persentase pasien TBHIV dengan status HIV positif yang menerima ART.
14) Proporsi pasien TB
Proporsi pasien TB dengan
dengan HIV positif positif yang
yang mendapat
mendapat ART ART
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk
14) Adalah
Adalah persentase
Proporsi pasien TBpasien
persentase dengan
pasien TB
TBHIV dengan
positifstatus
dengan yangHIV
status positif
positif yang
mendapat
HIV ART menerima
yang menerima ART.ART.
memastikan
Indikator ini pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.
Adalah ini menggambarkan
Indikatorpersentase pasien TB dengan
menggambarkan komitmen
komitmen dan
status
dan HIVkemampuan
positif yang
kemampuan layanan
menerima
layanan TB
TB untuk
ART.
untuk
memastikan
Indikator
memastikan ini pasien TB
TB dengan
menggambarkan
pasien HIV
HIV positif
dengan komitmen positif dapat mengakses
mengakses pengobatan
dan kemampuan
dapat layanan TBARV.
pengobatan untuk
ARV.
Rumus:
memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.
Rumus: Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima
Rumus: Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
pengobatan
menerimaARV (baru memulai
pengobatan ARV atauyang
(baru memulai melanjutkan
Rumus:Jumlah
Jumlah pasien
pasien TB
TB dengan
dengan
atau melanjutkan
HIV
HIV positif
positif
pengobatan
menerima
ARV)yang menerima x 100%
pengobatan ARV pengobatan
(baru memulai ARV) atau x 100%
melanjutkan
Jumlah
pengobatan pasien
JumlahARV TB dengan
pasien(baru HIV HIV
memulai
TB dengan positif
atauyang
positif menerima
melanjutkan x
Jumlah pasien TB dengan HIV positif x 100%
100%
pengobatan ARVpengobatan (baru memulai
pengobatan ARV)
ARV) atau melanjutkan
Jumlah x 100%
Jumlah pasien TB
TB dengan
pengobatan
pasien ARV)HIV
dengan HIV positif
positif
15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
15) Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis (Pemantapan Mutu Eksternal)
15) Proporsi
Proporsi Laboratorium
Laboratorium yang yang Mengikuti
Mengikuti PME PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh
15) Uji
Uji Silang
Proporsi untuk
untuk Pemeriksaan
SilangLaboratorium Pemeriksaan Mikroskopis
yang Mengikuti
Mikroskopis PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
laboratorium
Adalah mikroskopis
persentase TB yang
laboratorium ada di seluruhPME
yang wilayah.Silang diantara seluruh
Uji Silang
Adalah untuk Pemeriksaan
persentase yang mengikuti
laboratorium Mikroskopis mengikuti PME Uji Uji Silang diantara seluruh
Laboratorium
laboratorium mikroskopis
mikroskopis TBTB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
Adalah persentase
laboratorium mikroskopis TB yang
laboratorium yang ada
yang di
di seluruh
adamengikuti
seluruhPME wilayah.
Uji Silang diantara seluruh
wilayah.
BBKPM, BLK,mikroskopis
Laboratorium BBLK, dan Laboratorium
TB terdiri dariKlinik Swasta.
laboratorium
Laboratoriummikroskopis
mikroskopisTB TByang
terdiriada di PRM,
dari seluruh
PRM, PPM, Rumah
Rumah Sakit,
wilayah.
PPM, Sakit, BP4/
BP4/ BKPM/
BKPM/
BBKPM, BLK,
Laboratorium BBLK,
mikroskopis dan Laboratorium
TB terdiri
BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta. dariKlinik
PRM, Swasta.
PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
Rumus: Jumlah labdan
mikroskopis yang mengikuti
BBKPM, BLK, BBLK, Laboratorium Klinik Swasta.
Rumus:Jumlah lab mikroskopis PME UjiyangSilangmengikuti PME Uji Silang
x 100%
Rumus: x 100%
Jumlah Jumlah seluruh
Jumlah seluruh lablab mikroskopis
mikroskopis TB TB
Rumus:Jumlah lab lab mikroskopis
mikroskopis yang yang mengikuti
mengikuti PME PME UjiUji Silang
Silang x
Jumlah seluruh lab x 100%
100%
Jumlah lab mikroskopis
Jumlah seluruhyang lab mikroskopis
mengikuti PME
mikroskopis TB
TB Uji Silang
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. x 100%
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Angka minimal 131
Angka minimal yang yang harus
harus dicapai
dicapai adalah
adalah 90%.
90%.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131
131
131
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
131
Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat
dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,
Selain darikerataan,
ketebalan, kinerja pewarnaan,
pembacaan danmikroskopis,
kebersihan.kualitas laboratorium juga dilihat
dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,
ketebalan, kerataan,
Interpretasi dari suatupewarnaan, dan
laboratorium kebersihan.hasil uji silang dinyatakan terdapat
berdasarkan
kesalahan bila:
Interpretasi
 TerdapatdariPPTsuatu
atau laboratorium
NPT berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat
kesalahan bila:
 Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding
Terdapat sebelumnya
 periode PPT atau NPT atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua
Laboratorium
 fasyankes di tersebut menunjukkan
kabupaten/kota tren peningkatan
tersebut, atau bila kesalahan
kesalahan kecil
kecildibanding
terjadi
periode sebelumnya atau kesalahannya
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan. lebih tinggi dari rata-rata semua
fasyankes
 Bila terdapatdi3 kabupaten/kota
NPR. tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
 Bila terdapat
Kinerja setiap 3laboratorium
NPR. harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun
laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian
Kinerja perlu
khusus setiap laboratorium
diberikan harus selalu
apabila ditemukan dimonitor
kondisi secara rutin. Walaupun
seperti berikut:
laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis
 Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode yang baik, perhatian
sebelumnya,
khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut:
 Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di
Terdapat tren peningkatan
 kabupaten/kota tersebut, kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,
Memiliki kesalahan
 Memiliki
 kesalahan kecillebih
beberapatinggi dari rata-rata
kali dalam jumlah yang semua fasyankes di
signifikan
kabupaten/kota tersebut,
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
 Memiliki
hasil kesalahan
interpretasi kecil beberapa
setiap triwulan kali
dandalam jumlah yangkualitas
meningkatkan signifikanpemeriksaan
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
laboratorium.
hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan
17)laboratorium.
Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun
17) Jumlah Laboratorium
dibandingkan dengan
dengan jumlah Frekuensiyang
laboratorium Partisipasi 4 kali
mengikuti PME per
UjiTahun
Silang.
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun
dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.
Rumus:
Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang
Rumus: 4 kali TB
Jumlah lab mikroskopis peryang
tahun mengikuti
Jumlah lab PME Uji SilangTB
mikroskopis 4 kali per tahun
yang mengikuti PME Uji Silang x 100%
Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis xTB
100%
yang
Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB
4 kali per tahun
yang mengikuti
mengikuti PMEPMEUji Uji Silang
SIlang x 100%
Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang
Angka minimal yang mengikuti PMEadalah
harus dicapai Uji Silang
90%.
Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan
Angka minimal
laboratorium yang
dalam harus dicapai
mengikuti adalah 90%.
uji silang.
Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan
18) laboratorium
Proporsi dalam
pasien TBmengikuti
RR/MDRuji silang.
yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus
TB RR/ MDR yang ada
18) Proporsi
Adalah pasien TBpasien
persentase RR/MDRTByang terkonfirmasi
RR/MDR dibanding dibanding
yang terkonfirmasi perkiraan jumlah
kasus
TB RR/ MDR yang ada
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.
Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut. 133

133
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
133
Rumus: Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi
dalam 1 tahun
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasix dalam
100% 1
Jumlah perkiraan kasustahun
TB RR/MDR di wilayah
tersebut dalam 1 tahun x 100%
Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut
dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.


Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan
perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB
Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.


Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB
RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi


pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua
Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus
terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus: Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan


Jumlah pasien TB RR/MDR
pemeriksa yang
uji kepekaan OATdilakukan
lini kedua pemeriksaan
x 100% uji
kepekaan
Jumlah kasus TB RR/MDROAT liniditemukan
yang kedua x 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.


Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur
diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB
XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR


ditemukan atau enrollment rate
Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan
pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:
Jumlahpasien
Jumlah pasien TB
TBRR/MDR
RR/MDR yang diobati
yang diobatix 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan x 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
134
BAB XIII
134
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
Jumlah
TB.06 MDRpasiendanTB RR/MDR
TB.01 MDR.yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.
Angka minimal
Indikator yang harus
ini dihitung dicapai
setiap adalah
triwulan 100%. alat ukur keberhasilan upaya
sebagai
Indikator
memastikan ini semua
dihitung setiap
pasien TBtriwulan
RR/MDRsebagai alat ukurdiobati
yang ditemukan keberhasilan
sehingga upaya
rantai
memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga
penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas rantai
DR. penularan
kegiatan KIE bisa diputus.
yang Pencapaian
dilakukan targetmaupun
di fasyankes ini sangat tergantung pada efektifitas
masyarakat.
an kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.
TB 21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate
21) Angka
Adalah keberhasilan pengobatanTB
Keberhasilan Pengobatan TBRR/MDR
RR/MDRadalah
atau Treatment
angka yangSuccess Rate
menunjukkan
Adalah Keberhasilan
persentase pasien TB Pengobatan
RR/MDR TB yang RR/MDR adalah angka
menyelesaikan yang menunjukkan
pengobatan (baik yang
persentase
sembuh maupun pasien pengobatan
TB RR/MDRlengkap) yang menyelesaikan
diantara pasien pengobatan
TB RR/MDR(baik yang
TB sembuh maupun demikian
diobati. Dengan pengobatan angkalengkap) diantara pasien
ini merupakan TB RR/MDR
penjumlahan yang
dari angka
diobati.
kesembuhanDengan demikian
dan angka angka ini
pengobatan merupakan penjumlahan dari angka
lengkap.
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
asi Rumus:
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR
Jumlah pasien TB RR/MDRyangyang menyelesaikan
menyelesaikan pengobatan
kan
an Jumlah pasien TB (sembuh+pengobatan
RR/MDR
(sembuh
pengobatan yang menyelesaikan
+ pengobatan pengobatan
lengkap)x 100%
lengkap) x 100%
sus (sembuh + pengobatan
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Jumlah pasien TB RR/MDR yang lengkap)
diobati x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis
3. Supervisi
Supervisi Program
TB bertujuanPengendalian
meningkatkanTuberkulosis
kinerja petugas, melalui suatu proses yang
Supervisi
sistematis TB bertujuan
untuk meningkatkan
meningkatkan kinerja petugas,
pengetahuan petugas, melalui suatu proses
meningkatkan yang
ketrampilan
sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas. ketrampilan
aan
an petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:
 Observasi
 Observasi
Diskusi
lur  Diskusi
Bantuan teknis
TB  Bantuan teknis mendiskusikan permasalahan yang ditemukan
Bersama-sama
 Bersama-sama
Mencari pemecahanmendiskusikan
permasalahan permasalahan
bersama-sama, yang ditemukan
dan
 Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan
Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
DR  Memberikan
perbaikan. laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
perbaikan.
Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk
Supervisi merupakan
mempertahankan kegiatanstandar
kompetensi monitoring
melalui langsung
on the jobdantraining.
kegiatan pembinaan
Supervisi untuk
juga dapat
mempertahankan
dimanfaatkan sebagaikompetensi
evaluasistandar
pasca melalui on theuntuk
pelatihan bahan Supervisi
job training. masukan juga dapat
perbaikan
dimanfaatkan
pelatihan yang sebagai
akan datang.evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan
pelatihan yang akan datang.
135
134
34 135
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
135
Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena
dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu
diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.

Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisi


dilakukan, supervisor haruslah mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi
sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan
tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.
Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan
Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.

a. Perencanaan Supervisi
Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,
sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan
didalam perencanaan supervisi adalah:
1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
• Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk
laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
• Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali, dan
• Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:


• Pelatihan baru selesai dilaksanakan.
• Pada tahap awal pelaksanaan program.
• Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.

b. Persiapan supervisi
Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:
1) Penyusunan jadual kegiatan.
2) Pengumpulan informasi pendukung.
3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.
4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
5) Menyusun kerangka laporan.

c. Pelaksanaan supervisi.
Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:
1) Kepribadian supervisor:
• Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.

136
BAB XIII
136
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
• Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang
dikunjungi.
• Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap
masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.
• Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.

2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes


• Melakukan review catatan dan buku register
• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
• Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan
• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
• Mengecek penerapan metode LQAS
• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif.
• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut.
• Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat
dilaksanakan

3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota.


• Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan
• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,
• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.
• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,
sederhana dan dapat dilaksanakan

4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi.


• Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan
• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,
• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.
• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,
sederhana dan dapat dilaksanakan

d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisi


Beberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah:

137
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
137
3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.

Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia.


Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa
riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki program
penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah dalam
menetapkan prioritas riset operasional yaitu :
1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan implementasi
kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB;
2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu relevan
dengan objektif program Pengendalian TB;
3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat untuk
menginformasikan pada pengambil keputusan;
4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau
menambahkan fakta baru;
5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak
terlalu besar;
6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas nasional
baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang.

Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan
Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk:
1. Memperbaiki kualitas program:
a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV
b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan
TB.
c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program
kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular-Diabetes Melitus.
d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB,
e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.
2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll).
a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk
komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.
b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.
3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan
a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat.
b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.
4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun
masyarakat rentan.
a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan.
b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.
139
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
139
c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.

Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda riset


operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan program
TB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).

140
BAB XIII
140
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIV
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.


Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun
rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang
akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana
adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat
berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari
perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini
saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan
koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.

Perencanaan yang baik adalah:


1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan
program
2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.
3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya
4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja
atau rencana operasional yang lebih rinci.
5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting
yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.

Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka
pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah
ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu
yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.

Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal


berikut:
1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan.
2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target
indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana
aksi di daerah
3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi
untuk menghindari duplikasi anggaran

137
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
141
1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan
untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan
kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB
digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan
lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di
kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB
melalui pelatihan tatalaksana program TB.

b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan
kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat,
c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan
kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai
transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang
mangkir TB, pencarian kontak TB

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan
fungsi dari pemerintah daerah.

3. Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program
yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai
keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan
masih tergantung kepada donor (PHLN).

Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk
program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend)
akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61%
dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh
Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada

139
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
143
Pemerintah juga tetap bertanggung jawab dalam pembiayaan kebutuhan sarana UKP
tertentu misalnya OAT, reagensia dan lain, karena barang-barang tersebut langsung terkait
dengan upaya mempercepat diagnosis dan pengobatan TB. Selain itu tentunya terlalu
riskan dari sisi kualitas dan kuantitas untuk menyerahkan komponen pembiayaan tadi ke
masing-masing UKP. Komponen kegiatan kegiatan UKP lainnya baik di strata 1, strata 2
dan strata 3 akan dibiayai langsung oleh komponen pembiayaan UKP yang sejak tanggal 1
Januari 2014 merupakan tanggung jawab BPJS Kesehatan sebagai Badan pelaksana
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN).

Upaya keseluruhan pada butir-butir yang telah dibahas diatas adalah saling berhubungan
(saling berkaitan, saling berpengaruh, saling bergantung) satu sama lain, diselengarakan
dalam satu daerah (kabupaten/kota merupakan unit management dasar) dalam satu sistem
kesehatan daerah. Keseluruhan stakeholders dalam sistem kesehatan tersebut dapat dilihat
pada bagan di bawah ini.

Gambar 16: Upaya Kesehatan Perorangan/Rumah Sakit dan Berbagai Stakeholder dan L
ingkungan-Strateginya.

141
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
145
D. Pembagian peran dan wewenang dalam pengendalian TB.

Pembagian peran dan wewenang dalam pengendalian TB bertujuan untuk:


1. Meningkatkan komitmen dan kepemilikan program antara pemerintah pusat dan daerah
2. Meningkatkan koordinasi, keterpaduan dan sikronisasi perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan penilaian program
3. Efisiensi, efektifas dan prioritasi program sesuai dengan kebutuhan.
4. Meningkatkan kontribusi pembiayaan program bersumber dari dana pemerintah pusat
dan daerah untuk pembiayaan program secara memadai.

Pembagian peran stakeholders dalam pengendalian TB adalah :


1. Tingkat pusat (Kementerian Kesehatan)
a. Menetapan kebijakan dan strategi program pengendalian TB (NSPK)
b. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan
pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat nasional
c. Memenuhi kebutuhan Obat Anti TB (OAT) lini 1 dan lini 2 (TBMDR),
d. Memenuhi kebutuhan reagen dan penunjang laboratorium untuk penegakan diagnosis
TB
e. Pemantapan mutu obat dan laboratorium TB
f. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB
g. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas
pokok dan fungsi

2. Tingkat Provinsi
a. Menyediakan kebutuhan reagen dan penunjang laboratorium untuk penegakan
diagnosis TB sebagai buffer
b. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan
pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat provinsi
c. Mendorong ketersediaan dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan
pengendalian TB
d. Pemantauan dan quality assurance untuk laboratorium/pemeriksaan diagnostik
e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB
f. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota
g. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas
pokok dan fungsi

3. Tingkat Kabupaten/ Kota


a. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan
pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat kabupaten
b. Membantu penyediaan alat/bahan penunjang pemeriksaan TB di laboratorium (pot
dahak, kaca slide, oil emersi, eter alkohol, lampu spritus dll)
c. Menyediakan bahan media KIE TB

142
BAB XIV
146
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di
fasilitas pelayanan kesehatan
e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB
f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi
g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota

Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang
bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor
dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.

143
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
147
BAB XIV
148
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Anda mungkin juga menyukai