Anda di halaman 1dari 19

LONG CASE

Regional Anastesia Dengan Teknik SAB pada Pasien Hemoroid

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Anestesi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:

dr. Michael Budi Aviantoro, Sp.An

Disusun Oleh:

Ghifari Sya’bani

20184010007

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD TIDAR KOTA MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Ng
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang
Pekerjaan : Tidak ada data
Masuk RS : 14 Juli 2018
Diagnosis : Haemorrhoid

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Datang dari rumah menuju RSUD Tidar Kota Magelang kurang lebih pukul 18.00
dengan keluhan BAB berdarah dan nyeri dari 6 bulan sebelumnya dan telah
didiagnosis Haemorrhoid sebelumnya di Poli RSUD Tidar Kota Magelang.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien hemoroid dengan benjolan di anus dan nyeri
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Anemia : ada
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada data

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis

1
Vital Sign
TD = 120/80 mmHg
N = 80 x/menit
RR = 18 x/menit
T = 36,50C
Status Generalisata
a. Kulit
Tidak tampak ikterik, tidak tampak pucat, tidak hipo atau hiper pigmentasi, tidak
tampak tanda peradangan.
b. Kepala
Bentuk kepala : mesochepal, simetris, tidak ditemukan deformitas.
Muka : tidak terdapat luka maupun jejas.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Mulut : bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering, gigi lengkap.
Leher : JVP tidak meningkat, tidak teraba benjolan
c. Thorax
Pulmo

INSPEKSI PARU DEPAN PARU BELAKANG


Simetris Simetris
Barrel chest (-) Barrel chest (-)
ICS melebar (-) ICS melebar (-)

PALPASI
Simetris (+/+), Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-), Nyeri tekan (-/-),

PERKUSI
 KANAN Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
 KIRI Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
AUSKULTASI PARU DEPAN PARU BELAKANG
Vesikuler Vesikuler

2
Cor:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
• Batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra.
• Batas pinggang jantung : ICS III parasternalis sinistra.
• Batas kanan bawah jantung : ICS V sternalis dextra.
• Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2 cm ke arah medial midclavicula
kiri.
- Auskultasi :
• Suara jantung murni: SI, SII (normal) reguler
• Suara jantung tambahan bising diastolik (-)
d. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Bentuk normal anatomis, deformitas (-), edem (-).
Ekstremitas bawah : Palmar eritem (-), odem (-), akral dingin (-).
e. Anus
Terdapat benjolan di sfingter anus externus, darah (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hemoglobin : 15 g/dl (11.5 – 16.5)
Leukosit : 7.7. 103 / µL (4 - 11)
Eosinofil :3% (1 – 6)
Basofil :0% (0 - 1.00)
Netrofil : 31 % (40 - 75)
Limfosit : 58 % (20 - 45)
Monosit :7% (2 - 10)
Hematokrit : 41.6 (37 - 47)
Eritrosit : 5.3. 106/ µL (3.8 - 5.8)
Trombosit : 286. 103 / µ (150 - 450)
MCV : 78 fL (76 - 96)
MCH : 28.2 pg (27.5 - 32)

3
MCHC : 36.1 g/dl (30 - 35)
CT : 6’ 15’’ (1 - 10)
BT : 2’ 20’’ (2 - 7)
GDS : 278 mg/dL (70 – 140)
Creatinin : 0.57 mg/dL (0.51 – 0.95)
HbSAg : negative

E. DIAGNOSIS KERJA
 Haemorroid dengan ASA II
 Rencana Regional anestesi dengan teknik SAB

F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak menggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Diagnosis Pra Bedah : Hemoroid
3. Diagnosis pasca Bedah : Post hemoroid
4. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
5. Teknik : SAB
6. Mulai Anestesi : 16 Juli 2018, pukul 11.25
7. Mulai Operasi : 16 Juli 2018, pukul 11.30
8. Premedikasi : Sotatic 10 mg
9. Induksi : Bupivacain 12,5 mg, Morphine 0,25 mg
10. Pemeliharaan : O2 3 liter per menit
11. Jenis Cairan : Asering
12. Kebutuhan cairan selama Operasi
Maintenance Operasi : 2cc/kgBB/jam 2 x 55 = 110 cc
Pengganti Puasa : 8 x maintenance  8 x 110 = 880 cc
Stress Operasi : operasi berat 8cc/kgBB/jam  8 x 55 = 440 cc
Keb. Cairan jam I : (50% kebutuhan puasa) + MO + SO
(50% x 880) + 110 + 440 = 990 cc

4
13. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi
 Pasien dilakukan anestesi pada tanggal 16 Juli 2018 pada jam 11.25 dan operasi
dimulai jam 11.30
 Pasien dipasang alat pantau untuk mengawasi tanda vital dan saturasi oksigen.
 Dilakukan premedikasi dengan memasukkan Sotatic 10 mg.
 Maintenance diberikan O2 3 lpm kemudian dilakukan kontrol pada tanda vital
dan saturasi oksigen setiap 3 menit.
 Selama anastesi berlangsung TD berkisar 110/60 mmHg – 130/80 mmHg dan
nadi berkisar 80 - 90 kali/menit.
 Selama operasi cairan masuk asering 500 ml
 Lama anestesi 60 menit
 Lama operasi 20 menit.
14. Selesai operasi : 11.50 WIB
15. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Asering 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Deksketoprofen 100 mg, tramadol 50 mg
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-), coba minum
makan perlahan.
G. POST OPERASI
1. Asering dengan dexketoprofen 100 mg dan tramadol 50 mg 20 tpm
2. Pengawasan KU dan VS menggunakan monitor

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hemoroid
a. Definisi
Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak pada mukosa
rektum bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus
vaskular ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya dari “hemoroid adalah
dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior”.
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena
hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena
hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa
pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal.
b. Etiologi
Etiologi hemoroid sampai saat ini belum diketahui secara pasti, beberapa
faktor pendukung yang terlibat diantaranya adalah:
a. Penuaan
b. Kehamilan
c. Hereditas
d. Konstipasi atau diare kronik
e. Penggunaan toilet yang berlama-lama
f. Posisi tubuh, misal duduk dalam waktu yang lama
g. Obesitas.
Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kongesti vaskular dan prolapsus
mukosa. Selain itu dikatakan ada hubungan antara hemoroid dengan penyakit hati
maupun konsumsi alkohol.
c. Patogenesis
Anal canal memiliki lumen triradiate yang dilapisi bantalan (cushion) atau
alas dari jaringan mukosa. Bantalan ini tergantung di anal canal oleh jaringan ikat
yang berasal dari sfingter anal internal dan otot longitudinal. Di dalam tiap
bantalan terdapat plexus vena yang diperdarahi oleh arteriovenosus. Struktur
vaskular tersebut membuat tiap bantalan membesar untuk mencegah terjadinya
inkontinensia.

6
Efek degenerasi akibat penuaan dapat memperlemah jaringan penyokong dan
bersamaan dengan usaha pengeluaran feses yang keras secara berulang serta
mengedan akan meningkatkan tekanan terhadap bantalan tersebut yang akan
mengakibatkan prolapsus. Bantalan yang mengalami prolapsus akan terganggu
aliran balik venanya. Bantalan menjadi semakin membesar dikarenakan
mengedan, konsumsi serat yang tidak adekuat, berlama-lama ketika buang air
besar, serta kondisi seperti kehamilan yang meningkatkan tekanan intra
abdominal. Perdarahan yang timbul dari pembesaran hemoroid disebabkan oleh
trauma mukosa lokal atau inflamasi yang merusak pembuluh darah di bawahnya.
Sel mast memiliki peran multidimensional terhadap patogenesis hemoroid,
melalui mediator dan sitokin yang dikeluarkan oleh granul sel mast. Pada tahap
awal vasokonstriksi terjadi bersamaan dengan peningkatan vasopermeabilitas dan
kontraksi otot polos yang diinduksi oleh histamin dan leukotrin. Ketika vena
submukosal meregang akibat dinding pembuluh darah pada hemoroid melemah,
akan terjadi ekstravasasi sel darah merah dan perdarahan. Sel mast juga
melepaskan platelet-activating factor sehingga terjadi agregasi dan trombosis
yang merupakan komplikasi akut hemoroid.
Pada tahap selanjutnya hemoroid yang mengalami trombosis akan mengalami
rekanalisasi dan resolusi. Proses ini dipengaruhi oleh kandungan granul sel mast.
Termasuk diantaranya tryptase dan chymase untuk degradasi jaringan stroma,
heparin untuk migrasi sel endotel dan sitokin sebagai TNF-α serta interleukin 4
untuk pertumbuhan fibroblas dan proliferasi. Selanjutnya pembentukan jaringan
parut akan dibantu oleh basic fibroblast growth factor dari sel mast.
d. Klasifikasi Hemoroid
Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentate line menjadi
batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:
a. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi
oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan
serabut saraf nyeri somatik
b. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi
mukosa.
c. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan
kulit pada bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri.

7
e. Derajat Hemoroid Internal
Hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan yakni:
a. Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal.
b. Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
c. Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk
kembali secara manual oleh pasien.
d. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canal
meski dimasukkan secara manual.
B. Anestesi Regional
a. Definisi
Anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi di sekitar syaraf sehingga
area yang dipersyarafi teranestesi. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya tetapi pasien masih tetap sadar.
b. Pembagian Anestesi Regional
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok syaraf), misalnya pada blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regional intravena, dan lainnya
c. Anatomi
1. Tulang punggung (kolumna vertebralis) yang terdiri dari
a. 7 vertebra servikal
b. 12 vertebra torakal
c. 5 vertebra lumbal
d. 5 vertebra sakral menyatu pada dewasa
e. 4-5 vertebra koksigeal menyatu pada dewasa
Prosess spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital. Prosesus spinosus C7
menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens.
2. Vertebra lumbal

8
3. Peredaran darah
Medula spinalis diperdarahi oleh a. spinalis anterior dan a. spinalis posterior
4. Lapisan jaringan punggung
Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan menembus:
kulis  subkutis  lig. supraspinosum  lig. interspinosum  lig. flavum 
ruang epidural  duramater  raung subarakhnoid.
5. Medula spinalis
Berada dalam kanalis spinalis yang dikelilingi oleh cairan serebrospinalis.
Dibungkus meningen (duramater, lemak, dan pleksus venosus). Pada dewasa
berakhir setinggi L1, pada anak L2, pada bayi L3, dan sakus duralis berakhir
setinggi S2.
6. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yag berasal dari
pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan ini
jernih tak berwarna mengisi ruang subarakhnoid dengan jumlah total 100-150
ml, sedangkan yang dipunggung sekitar 25-45 ml
7. Ketinggian segmental anatomik
C3-C4 klavikula
T2 ruang interkostal kedua
T4-T5 garis puting susu
T7-T9 arkus subkostalis
T10 umbilikus
L1 daerah inguinal
S1-S4 perineum
8. Ketinggian segmental refleks spinal
T7-T8 epigastrik

9
T9-T12 abdominal
L1-L2 kremaster
L2-L4 lutut
S1-S2 plantar, pergelangan kaki
S4-S5 sfingter anus, refleks kejut
9. Pembedahan Ketinggian kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli prostat T10
Tungkai bawah (dengan manset) T8
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen lain T4
d. Obat Analgetik Lokal dan Regional
Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut:
a. Senyawa ester
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain, benzokain,
kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.
b. Senyawa amida
Senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan prilokain.
c. Absorbsi obat:
1. Absorbsi melewati mukosa, tapi tidak dapat melewati kulit yang utuh, harus
disuntik kejaringan subkutis.
2. Obat vasokonstriktor yang ditambahkan pada larutan analgetik lokal
memperlambat absorbsi sistemik dengan akibat memperpanjang masa kerja
dan mempertinggi dosis maksimum.
3. Mempengaruhi semua sel tubuh, dengan pedileksi khusus memblokir
hantaran saraf sensorik.
4. Kecepatan detoksikasi tergantung jenis obat berlangsung dengan
pertolongan enzim dalam darah dan hati. Sebagian dikeluarkan dalam

10
bentuk bahan-bahan degradasi dan sebagian dalam bentuk asal melalui
ginjal (urin).
5. Untuk daerah yang diperdahari oleh arteri buntu (end artery) seperti jari dan
penis dilarang menambah vasokonstriktor. Penambahan vasokonstriktor
hanya dilakukan untuk daerah tanpa arteri buntu umumnya digunakan
adrenalin dengan konsentrasi 1:200 000.
e. Komplikasi Obat
Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga
untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi
dapat bersifat lokal atau sistemik
a. Komplikasi local
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis
dan antisepsis.
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor
yang disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu.
b. Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan
kardiovaskuler.
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah
berupa perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak
berupa depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan
depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.
f. Persiapan Anestesi Regional
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan GA karena untuk
mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal, perlu
persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh
darah  kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi
terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg anestesi umum.
g. Keuntungan Anestesi Regional
1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untung pasien yg tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.

11
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
h. Kerugian Anestesi Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
i. Blok Sentral
Neuroaksial blok (spinal dan epidural anestesi) akan menyebabkan blok
simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi
dan volume obat anestesi lokal).
Terdapat perbedaan fisiologis dan farmakologis bermakna antara keduanya.
PERBEDAAN SPINAL EPIDURAL
Lokasi Obat Intrathecal/subarachnoid Ruang epidural
Onset Cepat (dalam 5 menit) 10-15 menit
Durasi 60-90 menit 180 menit
Volume Obat 4 cc 15-20 cc
Teknik Lebih mudah Lebih sulit
Blok Motoris Kuat Sedang
Efek Hemodinamik Besar Kecil-sedang

ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis  subkutis  lig. Supraspinosum  lig. Interspinosum  lig. Flavum
 ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid.

12
Adapun indikasi dari anestesi spinal diantaranya:
a. Bedah ekstremitas bawah.
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum-perineum
d. Bedah obstetri ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah

Terdapat kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif dalam


penggunaan anestesi spinal
Kontra indikasi absolut:
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat sampai syok
d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif:


a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis

13
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia
h. Nyeri punggung kronis

Persiapan Anestesi
Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah
disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus
pula dilakukan :
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Peralatan anestesi spinal
1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter
denyut dan EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal

Teknik Analgesia Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan diatas meja operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral
atau duduk dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus
spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat
tusukan misalnya L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau atasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

14
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-
3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.
Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural,
duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabutcairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut.

15
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien dengan diagnosis hemoroid dilakukan anestesi regional dengan teknik SAB.
Sebelum dilakukan pembedahan pasien diberikan premedikasi sotatic 10 mg yang berfungsi
sebagai antiemesis.
Setelah diberikan premedikasi, pasien dilakukan anestesi spinal dengan Bupivacain 12,5
mg dan morfin 0,25 mg pada L 3-4. Selama operasi, semua tanda- tanda vital dipantau mulai
dari tekanan darah, saturasi O2, dan nadi. Pembedahan berlangsung kurang lebih 20 menit,
tanda vital dan saturasi baik selama operasi. Sebelum dan selama pembedahan pasien
dilakukan pemantauan kebutuhan cairan. Cairan yang digunakan adalah Asering.
Pada saat pasien sudah berada di recovery room (RR) oksigenasi dengan O2 tetap
diberikan, kemudian dilakukan pemantauan fungsi vital. Tekanan darah 118/74 mmHg, nadi
86x/menit, O2 3L/menit dengan saturasi 100 %.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien hemoroid usia 41 tahun datang ke RSUD Tidar Kota Magelang. Dilakukan
tindakan hemoroidektomi pada tanggal 16 Juli 2018 di kamar operasi RSUD Tidar Kota
Magelang. Teknik anestesi menggunakan anestesi regional dengan teknik SAB yang
merupakan teknik anestesi yang sederhana dan cukup efektif.
Anestesi dengan menggunakan bupivacaine spinal 12,5 mg dan morfin 0,25 mg,
untuk maintenance dengan oksigen 3 liter/ menit. Diberikan sotatic 10 mg sebagai antiemesis.
Perawatan post operatif dilakukan di bangsal dan dengan diawasi vital sign dan tanda- tanda
perdarahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi
Intensif Edisi 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Hemoroid diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31133/Chapter%20II.pdf?sequen
ce=4&isAllowed=y
3. Mansjoer A., Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). 2007. Kapita Selekta Kedokteran.
Media Aesculapius-FK UI: Cetakan ke 6.
4. Mangku G, dkk. 2010. Buku ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan pertama.
Jakarta: Universitas Udayana Indeks.

18

Anda mungkin juga menyukai