Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

PINGUEKULA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat


Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang

Diajukan kepada :
dr. Esti Mahanani, Sp.M

Disusun oleh :
Lutfiana Arifah
2018 4010034

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
I. Identitas Pasien

Nama : Tn. M
Usia : 21
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Santri
Agama : Islam
Alamat : Grabag, Magelang
II. Anamnesis
 Keluhan Utama
Mata kiri ada benjolan.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kesehatan Mata RSUD Tidar Magelang
dengan keluhan mata kiri ada benjolan kecil sejak satu minggu yang lalu,
pasien juga merasa matanya berwarna merah. Keluhan dirasakan pagi hari
setelah pasien bangun tidur. Pasien tidak merasa matanya terkena debu atau
benda asing sebelumnya, pasien juga tidak melakukan aktivitas yang
beresiko terhadap mata. Tiga hari setelahnya, pasien merasakan sakit di
mata kirinya. Rasa sakit hanya terjadi dalam 30 menit dan setelah itu rasa
sakitnya hilang.
Pasien tidak mengeluhkan pandangan kabur, mata kering, gatal,
maupun keluar air terus menerus dari mata. Sebelumnya pasien belum
pernah berobat ke dokter. Pasien merupakan seorang santri di salah satu
pesantren di Magelang dengan lingkungan pesantre tidak banyak iritan
mata. Santri yang lain tidak ada yang mengeluhkan sakit serupa.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan serupa : disangkal
Riwayat HT : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan sama : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

III. Status Generalis


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik

IV. Pemeriksaan Subjektif


Pemeriksaan Oculli dextra (OD) Oculli sinistra (OS)
Visus Jauh 6/6 6/6
Refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Visus Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proyeksi sinar Dapat membedakan arah Dapat membedakan arah
sinar sinar

V. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan OD OS Penilaian
1. Sekitar mata Kedudukan alis Kedudukan alis Simetris, scar (-)
(supersilia) baik, scar (-) baik, scar (-)
Kelopak mata
- Pasangan N N Simetris
- Gerakan N N Ptosis (-) spasme
(-)
- Lebar rima 10 mm 10 mm Normal 9-13 mm
- Kulit N N Hiperemis (-)
tumor (-)
- Tepi kelopak N N entropion (-)
ekstropion(-)
2. Apparatus Lakrimalis
- Sekitar glandula N N Dakriodenitis (-)
lakrimalis
- Sekitar sacus N N Dakriosistitis (-)
lakrimalis
- Uji flurosensi - - -
- Uji regurgitasi N N Cairan keluar
dari punctum
lakrimalis (-)
- Tes Anel - - -
3. Bola Mata
- Pasangan N N Simetris
- Gerakan N N Saraf dan otot
penggerak mata
normal
- Ukuran N N exophtalmus (-)
mikroftalmus (-)
4. TIO
Palpasi N N Tekanan normal
5. Konjungtiva
- Palpebra superior N N Hiperemis (-)
hordeolum (-)
- Forniks Cekung, dalam Cekung, dalam Cekung, dalam
- Palpebra inferior N N Hiperemis (-)
hordeolum(-)
- Bulbi Hiperemis (-) Hiperemis (+), Hiperemis (+),
benjolan benjolan
berwarna merah berwarna merah
kekuningan di kekuningan di
bagian lateral uk bagian lateral uk
2 mm 2 mm
6. Sklera Ikterik (-), Ikterik (-), Ikterik (-),
perdarahan (-) pelebaran pelebaran
pembuluh darah pembuluh darah
(-) (-)
7. Kornea
- Ukuran Ø 12 mm Ø 12 mm
- Kecembungan N N Lebih cembung
dari sklera
- Permukaan N N Permukaan licin,
defek (-)
- Uji Flurosensi - - -
- Placido - - -
- Arcus senilis - - -

8. Camera oculi anterior


- Ukuran N N Dbn
- Isi Jernih, fler (-), keruh, fler (-), Keruh, hazzy
hifema (-), hifema (-), appearance,
hipopion (-) hipopion (-) hipopion (-)
10.Iris
- Warna Coklat Coklat Coklat
- Bentuk Bulat Tidak terlihat Tidak terlihat
jelas jelas
11. Pupil
- Ukuran Ø 4 mm Ø 4 mm Normal 3-5 mm
- Bentuk Bulat Bulat Bulat
- Tempat Sentral Sentral Sentral
- Tepi Reguler Reguler Reguler
- Reflek direct + + +
- Reflek indirect + + +
12. Lensa
- Ada/tidak Ada Ada dbn
- Kejernihan Jernih Jenih Jernih

- Letak Sentral, belakang Sentral, belakang Sentral, belakang


iris iris iris

Kesimpulan Pemeriksaan

OD OS

- Visus 6/6 - Visus 6/6


- Mata tenang - Konjungtiva bulbi hiperemis (+),
benjolan berwarna merah kekuningan
di bagian lateral uk 2 mm

VI. Diagnosis
Diagnosis banding
OS : Pterigium

Diagnosis kerja
OS : Pinguekulitis
VII. Terapi
Cendo Polidex 0,6 ml 6xOS
VIII. Prognosis

ad Visum : bonam
ad Sanam : bonam
ad Vitam : bonam
ad Comesticam : dubia et bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelompak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior
sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambung dengan kulit pada tepi palpebra
(suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.

Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior
kelopak mata dan melekat erat
ke tarsus. Di tepi superior dan
inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada
forniks superior dan inferior)
dan membungkus jaringan
episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke septum
orbital di forniks dan meipat
berkali-kali. Adanya lipatan-
lipatan ini memungkinkan bola mata bergerakdan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul tendon dan sklera di
bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul tendon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3
mm).
Lapisan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica
semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk kelopak mata
dalam pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid kecil semacam daging
(caruncula) menempel secara superficial ke bagian dalam plica semilunaris dan
merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran mukosa.

Histologi

Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris
bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-
sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat
atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke
tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel
basak berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi
menjadi satu lapisan adenoid
(superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan
adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat
dapat mengandung struktur
semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3
bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus.
Kelenjar lakrimalis aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring) yang struktur dan
fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
Krause berada di forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di
tepi atas tarsus atas.

Perdarahan, Limfatik, dan Persarafan


Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan -bersama banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya- membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva
yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial
dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan serabut nyeri
yang relatif sedikit.

II. ANATOMI SKLERA


Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir
seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta berbatasan
dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus di posterior. Pita-pita
kolagen dan jaringan elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior,
membentuk lamina cribrosa, yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus.
Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus,
episklera, yang mengandung banyak pembuluh darah yang mendarahi sklera. Lapisan
berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina fusca, yang membentuk
lapisan luar ruang suprakoroid.
Secara histologis, sklera terdiri atas banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan kolagen teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 mikrometer dan
lebar 100-140 mikrometer. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

III. PINGUEKULA
1. Definisi
Pinguekula adalah benjolan yang merupakan degenerasi hialin jaringan
submukosa konjungtiva pada konjungtiva bulbi. Letak bercak ini di daerah celah
kelopak mata, baik bagian temporal maupun nasal, terutama di bagian nasal.
Pinguekula dapat ditemukan pada orang tua, namun juga bisa pada orang dewasa dan
akan-anak, baik laki-laki maupun perempuan .
Pingekuela terlihat sebagai penonjolan berwarna putih hingga kuning keabu-
buan, berupa hipertrofi atau penebalan selaput lendir . Pinguekulitis merupakan
peradangan dan pembengkakan pinguekula .Pembuluh darah tidak masuk ke dalam
pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi (penguekulitis), maka sekitar
bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar.

2. Epidemiologi
Pinguekula tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370
Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah
dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang.
Insiden Pinguekula cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu
13,1%.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi Pinguekula. Prevalensi pinguekula
meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada
umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah.

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya pinguecula adalah lingkungan
dengan paparan ultraviolet yang tinggi, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herditer.
a. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pinguecula
adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel proliferasi sel. Paparan sinar ultraviolet ini dapat
menyebabkan efek mutagenik pada sel. Respon biologis pada sinar ini berefek
akut dan kronis. Paparan ultraviolet tertinggi terdapat biasanya pada daerah
khatulistiwa dan pada dataran tinggi. Efek ultraviolet ini menyebabkan mutasi gen
p53 (suppressor tumor gen) sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan tumor
pada konjungtiva.

b. Iritasi kronik
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area konjungtiva merupakan
pendukung terjadinya pinguecula. Iritasi yang disebabkan oleh debu
mengakibatkan lisisnya lapisan lipid pada film air mata dan prosesnya
berlangsung terus menerus dan berlangsung lama sehingga memepengaruhi
permukaan konjungtiva. Kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, turut berperan mempengaruhi kelembaban konjungtiva yang
akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya pinguecula.

4. Patogenesis
Lesi degeneratif dari konjungtiva bulbar ini terjadi sebagai hasil dari radiasi
sinar ultraviolet (UV), namun sering juga dihubungkan dengan iritasi benda iritan
seperti debu. Sel epithelium yang melapisi pinguekula dapat saja normal, menipis,
atau menebal. Sementara kalsifikasi jarang terjadi.
Pinguekula biasanya terjadi secara bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultra violet, debu dan
kekeringan. Daerah nasal konjungtiva relatif mendapat sinar ultra violet yang lebih
banyak dibandingkan dengan konjungtiva yang lain, karena disamping kontak
langsung, juga dari pantulan hidung. Hal ini mengakibatkan pinguekula lebih
sering terjadi pada daerah nasal konjungtiva.
Pinguekula dianggap terjadi akibat degenerasi atau degradasi serat kolagen
dalam konjungtiva. Degenerasi konjungtiva menciptakan deposit dan
pembengkakan jaringan yang biasanya akan datar.
Pinguekula lebih umum terjadi pada orang paruh baya atau lebih tua. Hal ini
karena seiring bertambahnya usia, kelenjar lakrimalis mulai menurun fungsinya
untuk membasahi mata sehingga mata cenderung kering dan tidak terlindungi.
Namun, mereka bisa muncul lebih awal jika seseorang di bawah sinar matahari
sangat sering. Pinguekula mungkin bertambah parah dari waktu ke waktu dan
tumbuh lebih besar terutama jika perlindungan terhadap matahari tidak digunakan.

5. Manifestasi Klinis
Dalam keadaan iritasi, keluhan biasanya terasa seperti ada benda asing disertai
adanya hiperemi akibat injeksi konjungtiva. Penderita umumnya datang pada dokter
karena adanya peradangan tersebut, atau karena penonjolan yang jelas sehingga
penderita khawatir akan terjadi suatu keganasan, atau karena alasan kosmetik.
Penonjolan berwarna kuning-putih (yellow-white deposits/deposit subepithelial
yang amorf) yang terletak di dekat limbus pada zona interpapebral. Berbeda dengan
pterigium yang berbentuk seperti baji dan merupakan jaringan fibrosis yang tumbuh
ke arah kornea. Pada pinguekula, penonjolan yang merupakan degenerasi hialin
jaringan submukosa konjungtiva hanya akan ada di bagian sklera, tidak mencapai
pada bagian kornea. Pinguekula dapat membesar secara bertahap dalam periode
waktu yang lama. Inflamasi berulang dan iritasi okuli mungkin dijumpai.
Secara histopatologi, jaringan kolagen subepitelial menjadi berfragmen,
bergelombang, dan lebih basofilik dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Jaringan
juga diwarnai dengan pewarna jaringan elastic dan bukan jaringan yang tidak elastic.
Jaringan ini biasanya tidak elastik terhadap terapi dengan elastase yang tidak
mencegah pewarnaan positif untuk elastin. Jenis degenerasi kolagen ini,
sebagaimana karakteristik pewarnaan pada jaringan elastic disebut elastoid atau
degenerasi elastotik atau secara sederhana, elastosis.

Ada 3 karakteristik pinguekula yang konsisten:


a. Degenerasi basofilik kolagen (elastosis).
Perubahan ini bermanifestasi sebagai nodul dari degenerasi basofilik
terfragmentasi (panah berlabel di fotomikrograf mag rendah di bawah dan panah
no. 1). Juga disebut degenerasi kolagen elastotic karena akan merosot noda hitam
dengan Verhoeff-van Gieson noda dan memberikan penampilan serat elastis.
Kontroversi muncul karena beberapa peneliti percaya sudah ada serat elastis yang
terlibat sementara yang lain menunjukkan elastase yang tidak menghilangkan noda
tersebut. Ada juga mungkin degenerasi kolagen urat saraf yang tidak basofilik.
Gambar Histopatologi Pinguekula
Sumber: www.ocularpathology.org

b. Peradangan kronis di substantia propria.


Peradangan biasanya dimediasi oleh limfosit dan sel-sel inflamasi
mononuklear (panah No. 2 di pembesaran tinggi).
c. Peningkatan vaskularisasi (panah No. 2 dan panah No. 3 pada perbesaran tinggi).
Tidak ada dari temuan ini yang khusus, namun mereka hampir tidak berubah.
Selain epitel yang melapisi dikatakan menipis, epitel dapat pula hiperplastik atau
displastik (dalam hal diagnosis utama adalah displasia). Mungkin terdapat pula
fokus keratinisasi.

Gambar Histopatologi Pinguekula


Sumber: www.ocularpathology.com

7. Penatalaksanaan

Pinguekula biasa tidak memerlukan pengobatan dan bila mengganggu


kosmetik kadang-kadang dilakukan eksisi. Namun, apabila terlihat adanya tanda
peradangan atau terjadi pinguekulitis dapat diberi obat anti radang yang akan
mengurangi mata merah. Steroid topikal lemah seperti Prednisolone 0,12% dapat
mempercepat redanya peradangan, dapat juga diberikan anti-inflamasi non-steroid
topikal.

Hendaknya pasien melakukan mengkonsumsi obat secara teratur dan


kembali untuk kontrol pada waktu yang telah ditentukan. Hindari mengucek mata
karena dapat memperparah iritasi. Setelah iritasi sembuh, sebaiknya pasien
melindungi mata dari faktor-faktor penyebab timbulnya iritasi ulang, misalnya
dengan menggunakan kacamata pelindung pada saat keluar rumah.
IV. PTERIGIUM
1. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari


bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan
subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva
bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan
kornea.

2. Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:
a. Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi
kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stocker’s line atau
deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering
asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b. Tipe II
Pterigium tipe II disebut juga pterigium tipe primer advanced atau
pterigium rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm,
dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
c. Tipe III
Pterigium tipe II disebut juga pterigium primer atau rekuren dangan
keterlibatan zona optic. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat.
Keterlibatan zona optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi
mengenai kornea > 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan.
Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium-I : belum mencapai limbus
Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil
Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil
Stadium-IV : melewati tepi pupil

Gambar. Pterigum stadium I. Gambar. Pterigium stadium II.

Gambar. Pterigium stadium III. Gambar. Pterigium stadium IV.

Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi:


- Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah pada lesi < 5
- Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:
- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
- Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi. Tidak terdapat
kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak
pernah hilang.
Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan
harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:
- T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
- T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
- T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.
3. Gambaran Klinis
Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal. Pasien yang
simptomatik datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa gejala sampai
dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi, dan
penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat
kornea pada satu atau kedua mata. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian
kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan
yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium
lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara
perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami
penglihatan ganda atau diplopia.

Pterigium bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Penyakit ini muncul


sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal.
tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat
pada epitel kornea anterior disebut “Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari tiga
bagian :

- Caput
- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),
- Collum (bagian limbal),
- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Gambar. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea
yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang
menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang
vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung.
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang ke RSUD Tidar Magelang dengan keluhan mata kiri ada
benjolan kecil sejak satu minggu yang lalu, pasien juga merasa matanya berwarna
merah. Keluhan dirasakan pagi hari setelah pasien bangun tidur. Pasien tidak merasa
matanya terkena debu atau benda asing sebelumnya, pasien juga tidak melakukan
aktivitas yang beresiko terhadap mata. Tiga hari setelahnya, pasien merasakan sakit
di mata kirinya. Rasa sakit hanya terjadi dalam 30 menit dan setelah itu rasa sakitnya
hilang.
Berdasarkan teori yang dibahas sebelumnya, gejala dan hasil pemeriksaan pada
pasien mengarah pada Pinguekula. Gejala dan tanda yang sesuai berupa benjolan
kecil di konjungtiva bulbi berwarna merah kekuningan dan mata merah. Untuk terapi
pada pasien diberikan tetes mata yang berisi Dexamethasone, Polimiksin B, dan
Neomisin Sulfat (Cendo Polydex minidose 0,6 ml) 6 tetes/hari pada OS.
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien Tn. M terdiagnosis OS pinguekula sesuai dengan hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan visus dan telah dilakukan edukasi dan pemberian terapi
kepada pasien.
Edukasi yang diberikan kepada pasien berupa menghindari mengucek mata,
menghindari faktor resiko seperti iritan dan sinar UV, dan penggunakan pelindung jika
melakukan aktivitas diluar rumah seperti menggunakan kacamata atau topi. Sementara
itu, pasien juga mendapat tetes mata yang berisi steroid seperti Cendo Polydex minidose
0,6 ml (berisi Dexamethasone, Polimiksin B, dan Neomisin Sulfat) 6 tetes/hari pada OS.
DAFTAR PUSTAKA

Bradford C. 2012. Basic Ophtalmology. 8th Edition. San Fransisco-American Academy


of Opthalmology.
Caesarina, IR. 2012. Pinguekula. NTB: Universitas Mataram.
Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With
Premalignant Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178(2):817-27.
Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of Pterigium.
Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.
Ilyas S. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Ilyas S dan Yulianti SR (2012). Ilmu penyakit mata edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.
Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The
Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.
Micha, Munro. 2011. Pinguecula and Pterygium.
http://www.faculty.sfasu.edu/munromicha/spe516/pinguecula_pterygium_simms.doc –
Diakses September 2019
Perdami. 2010. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: Perdami.
Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review. Kerala
Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In Pterigium
Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu.
2004;6(3):149-52.
Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. 2010. Widia Meka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai