Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

Disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian


Stase Ilmu Penyakit Syaraf di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Ardiansyah A.N., M.Kes., Sp.S

Disusun Oleh :
Ghifari Sya’bani 20184010007

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
PRESENTASI KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. W
Usia : 46 tahun
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Buruh Toko Bangunan
Status : Menikah
Agama : Islam
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri pinggang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien datang ke poli saraf mengeluh nyeri pinggang sejak 1 tahun
yang lalu dan semakin memberat beberapa bulan yang terakhir. Rasa nyeri dan
kesemutan berkurang jika pasien meminum obat dari dokter serta melakukan
aktivitas, pasien merasa bertambah berat jika pasien berjalan dan duduk dalam
waktu yang cukup lama. Pasien juga merasakan nyeri kepala. Pasien tidak
merasakan keluhan sesak, nyeri perut, mual, muntah, susah buang air kecil
maupun buang air besar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus, stroke, hipertensi,
penyakit jantung, penyakit ginjal, ataupun riwayat cedera kepala.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien didapatkan keluhan penyakit serupa yaitu ayah pasien.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien tinggal bersama istri dan memiliki satu orang anak perempuan. Pasien
tinggal di lingkungan yang cukup bersih dan aman. Pasien merupakan pekerja
buruh toko bangunan. Jam kerja adalah dari pukul 08.00-16.00. Pasien
mengatakan kerjanya disana adalah membantu untuk memindahkan barang-
barang bangunan. Pasien merokok setengah bungkus per hari, tidak meminum
minuman beralkohol, dan tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 110/80 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 76 x/ menit
c. Frekuensi Nafas : 18 x/ menit
d. Suhu : 36,3 oC
Kepala: Mata: Pupil Isokhor 3 mm, CA-/-, SI -/-
Thorak:
a. Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi (-)
b. Palpasi : Ketertinggalan gerak (-)
c. Perkusi : Paru kanan dan kiri sonor
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
S1-S2 reguler, bising jantung (-)
Abdomen:
a. Inspeksi : Distended (-), Jejas (-), Striae (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Nyeri tekan (-), Supel
Ekstremitas: Akral teraba hangat, edema (-/-), tidak terdapat tremor.
2. Pemeriksaan Fisik Neurologis
Sistem Motorik :
Kekuatan otot
5 5
5 5
Reflek fisiologis
+2 +2
+2 +2
Reflek patologis
- -
- -
Pemeriksaan fisik neurologis tambahan: Lasegue Sign (+)

D. Pemeriksaan Penunjang

Kesan:
 Alignment cenderung kifotic, bone marrow tak tampak defek.
 Kompresi corpus L4-5 dengan stenosis spinalis/protrusio setinggi L4-5 dan L5-
S1.
E. Diagnosis Kerja
Hernia Nukleus Pulposus
F. Tatalaksana
Tab. Kalium diklofenak 50 mg 2x1
Tab. Omeprazole 40 mg 1x1
Tab. Alpentin 100 mg 2x1
Tab. Proneuron 2x1
Konsul Bedah Syaraf
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hernia nukleus pulposus (HNP) adalah komplikasi dari degenerasi diskus pada
orang dewasa berusia kurang dari 50 tahun yang dipicu oleh trauma, deformitas,
ataupun penyakit tulang belakang yang sudah ada sebelumnya, dimana terjadi
herniasi nukleus pulposus ke kanalis vertebralis sehingga dapat menekan saraf
spinalis, radiks saraf spinalis, ataupun medula spinalis yang masing-masing akan
menimbulkan tanda dan gejala sesuai dengan saraf yang tertekan. HNP melalui 4
tahap yaitu degenerasi diskus/protrusi, prolaps, ekstrusi, dan sekuestrasi.
B. Epidemiologi
HNP merupakan salah satu penyebab nyeri punggung bawah yang penting.
Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi dan paling sering (90%) mengenai
diskus intervertebralis L4-L5 dan L5-S1 (HNP lumbalis). Perbandingannya antara
pria dan wanita adalah 5:4. Insiden HNP meningkat pada usia 20-45 tahun.
C. Etiologi
Keadaan patologis dari berkurangnya elastisitas pada anulus fibrosus dan
berkurangnya properti hidrofilik pada nukleus pulposus merupakan kondisi yang
diperlukan untuk terjadinya herniasi. Banyak kasus dengan trauma kecil yang timbul
dari tekanan yang berulang. Pada diskus yang sehat, bila mendapat tekanan maka
nukleus pulposus menyalurkan gaya tekan ke segala arah dengan sama besar.
Penurunan kadar air nukleus mengurangi fungsinya sebagai bantalan, sehingga bila
ada gaya tekan maka akan disalurkan ke annulus secara asimetris akibatnya bisa
terjadi cidera atau robekan pada anulus. Herniasi diskus dapat terjadi perlahan-lahan,
berminggu-minggu, atau berbulan-bulan hingga mencapai titik dimana seseorang
merasa butuh pengobatan. Atau, dapat juga nyeri terjadi tiba-tiba akibat cara
mengangkat sesuatu yang tidak benar.
Faktor resiko timbulnya HNP dibagi menjadi yang tidak dapat diubah dan
dapat diubah.
Faktor resiko yang tidak dapat diubah adalah:
 Umur : insiden tertinggi pada usia 20-45 tahun
 Jenis kelamin: pria:wanita adalah 5:4
 Riwayat cidera punggung atau HNP sebelumnya
Faktor resiko yang dapat diubah:
 Pekerjaan dan aktivitas : terutama tekanan fisik (kombinasi fleksi dan
ekstensi) pada daerah lumbar, contohnya adalah mengangkat beban berat
sambil membungkuk dan pengemudi akibat resonansi 5 Hz dari getaran
kopling yang berasal dari jalanan hingga ke tulang belakang.
 Olahraga yang tidak teratur
 Berat badan berlebihan
 Batuk lama dan berulang: memberikan tekanan pada diskus
 Merokok: dapat menurunkan tekanan oksigen secara dramatis dalam
diskus yang avaskular akibat efek vasokonstriksi.
D. Patofisiologi dan Patogenesis
a. Degenerasi Diskus
Dengan proses penuaan yang normal diskus mengering secara perlahan.
Proses degenerasi diskus ditandai dengan hilangnya proteoglikan secara
bertahap sehingga molekul agrekan terdegradasi dengan fragmen yang lebih
kecil dapat luluh dari jaringan lebih mudah daripada fragmen yang lebih besar.
Hal ini menyebabkan hilangnya glikosaminoglikan sehingga tekanan osmotik
pada diskus matriks berkurang dan mengakibatkan hilangnya hidrasi.
Degenerasi awal pada kolom spinal manusia terjadi pada nukleus pulposus.
Degenerasi ini mulai terjadi pada awal usia dewasa dan berprogres secara
perlahan. Degenerasi ini ditandai dengan hilangnya kondroitin sulfat dan air
secara bertahap sehingga diskus kehilangan turgor, kekenyalan, tinggi yang
sebenarnya atau ketebalannya, dan menjadi lebih banyak mengandung kolagen.
Selain itu, karena kehilangan cairan, nukleus pulposus menjadi
mengental/kering, subtansi dasarnya yang seperti agar-agar kehilangan tekstur
homogennya, dan berubah warna dari putih menjadi kuning-kecoklatan akibat
akumulasi dari produk hasil glikosilasi non-enzimatik. Oleh karena penurunan
kekenyalannya tersebut maka diskus menerima tekanan yang berlebihan.
Seiring bertambahnya usia, anulus fibrosus pun secara bertahap mulai
kehilangan elastisitasnya, terutama di bagian posterior dimana secara
keseluruhan lebih tipis sehingga serat posterior menjadi lebih mudah terpisah
atau terobek, dan melalui bagian lemah inilah nukleus pulposus dapat berprotusi
atau berherniasi.
Bagian terlemah kedua adalah lempeng ujung kartilago yang tipis dimana
melalui itu material nukleus dapat berprotrusi ke dalam tulang trabekular pada
vertebra dan di sana membentuk nodul Schmorl, biasanya terbentuk pada kasus
herniasi kronik yang juga disertai dengan pembentukan osteophyte di sekitar
nodul dimana diskus berprotrusi pada batas vertebra. Nodul ini dapat ditemukan
pada pemeriksaan radiologi tapi memiliki signifikansi klinis yang kecil. Protrusi
nukleus pulposus dan anulus ke kanalis spinalis-lah yang memiliki signifikansi
klinis yang besar. Hal ini terjadi pada individu dewasa muda dimana nukleus
pulposusnya masih dapat dianggap turgor sehingga hal ini jarang terjadi pada
orang berusia lebih dari 50 tahun dimana nukleus pulposusnya telah mengering.
b. Herniasi Diskus Intervertebralis
HNP terjadi sebagai komplikasi dari degenerasi diskus tahap awal. Nukleus
pulposus tidak memiliki inervasi saraf sehingga tidak sensitif, namun saat mulai
berherniasi ke arah posterior, struktur ini akan meregangkan/merobek annulus
fibrosus yang sensitif dan ligamen longitudinal posterior, dan juga menekan
dura sehingga menimbulkan nyeri. Kemudian, serat-serat annulus yang teregang
dan berdegenerasi mulai terpisah dan bagian dari nukleus pun berherniasi. Oleh
karena ligamen longitudinal posterior melapisi annulus di garis tengah, herniasi
cenderung ke arah posterolateral. Herniasi posterolateral dapat menekan atau
meregangkan radiks saraf yang meninggalkan foramen intervertebralis yang
jauh dari diskus sehingga herniasi diskus L4-5 akan mengenai radiks saraf L5,
dimana herniasi diskus L5-S1 akan mengenai radiks saraf S1. Manifestasi klinis
dari iritasi dura yang membungkus radiks saraf tersebut adalah sciatica, yaitu
nyeri pada bokong yang menyebar turun ke paha belakang dan betis sesuai
distribusi saraf sciatic (L4-S3). Tekanan pada radiks itu sendiri menyebabkan
paraesthesia dan/atau mati rasa sesuai distribusi dermatom saraf yang tertekan,
selain itu akan timbul kelemahan dan berkurangnya refleks pada otot yang
dipersarafi oleh radiks yang tertekan. Kadang-kadang, reaksi inflamasi lokal
dengan edema dapat memperburuk gejala. Herniasi yang besar di garis tengah
tulang belakang lumbar dapat menekan cauda equina.
Progresivitas HNP dibagi menjadi 4 tahap, dimulai dari tahap awal yaitu:
 Degenerasi diskus
Diskus intervertebralis baik nukleus pulposus ataupun anulus fibrosus
telah mengalami proses degeneratif. Nukleus pulposus mengalami
penurunan fungsi dimana telah terjadi gangguan pada properti
hidrofilik nukleus. Anulus fibrosus mulai kehilangan keelastisitasannya
karena kolagen berdegenerasi sehingga menjadi rapuh. Pada tahap ini
belum terjadi herniasi.
 Prolaps
bentuk dan posisi diskus berubah karena nukleus pulposus mulai
menekan anulus fibrosus sehingga protrusi terjadi.
 Ekstrusi
nukleus pulposus memecahkan dinding lemah annulus fibrosus
sehingga semakin menonjol keluar tapi masih di dalam diskus karena
ruptur anulus belum komplit.
 Sekuestrasi
nukleus pulposus telah memecahkan annulus fibrosus dimana
rupturnya telah komplit dan keluar dari diskus ke kanalis spinalis atau
foramen intervertebralis.
Sebagian besar HNP terjadi pada L4-5 dan L5-S1, karena:
 Daerah lumbal, khususnya daerah L5-S1 mempunyai tugas yang berat
yaitu menyangga berat badan.
 Mobilitas daerah lumbal terutama untuk gerak fleksi dan ekstensi
sangat tinggi.
 Daerah lumbal terutama L5-S1 merupakan daerah rawan karena
ligamentum longitudinal posterior hanya separuh menutupi permukaan
posterior diskus.
Bagian nukleus pulposus yang berherniasi akan menjadi dehidrasi dan
keras, yang sebelumnya avaskular menjadi tervaskularisasi sehingga reaksinya
bersifat autoimun. Akhirnya, beberapa minggu setelah kejadian, bagian nukleus
yang berherniasi akan mengalami fibrosis, mengkerut, dan membebaskan
tekanan pada radiks saraf. Kadang-kadang, bagian yang berherniasi tersebut
menjadi terpisah atau tersekuestrasi lalu berjalan ke arah proksimal atau distal.
E. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Prolaps diskus akut dapat terjadi pada usia berapapun, tersering pada usia 20-45
tahun dan sangat jarang pada usia sangat muda dan sangat tua oleh karena pada saat
usia masih sangat muda (<20 tahun), diskus masih sehat sedangkan pada usia sangat
tua (>45 tahun), nukleus pulposus sudah tidak turgor atau telah mengering sehingga
tidak akan berprotrusi.
 Herniasi Diskus Servikalis
Temuan gambaran klinis dan pemeriksaan fisik pada herniasi diskus
servikalis sesuai dengan radiks yang tertekan dengan herniasi diskus tersering
pada level C5-6 dan C6-7.
Iritasi radiks servikal akan menyebabkan nyeri pada leher dan bahu yang
menyebar turun ke lengan sesuai dengan distribusi radiks yang terlibat
(brachialgia). Nyeri yang menyebar ini dapat ditemani dengan paresthesia dalam
bentuk mati rasa atau kesemutan. Onset gejala seringnya perlahan tapi dapat
juga akut. Pada pemeriksaan leher yang didapati rasa nyeri akan terdapat
keterbatasan gerakan, terutama fleksi lateral dan terdapat juga sedikit spasme
otot.
Herniasi pada diskus level C4-5 akan menekan radiks C5 sehingga
menimbulkan kelemahan pada otot deltoid untuk gerakan abduksi dan
kehilangan sensoris pada daerah bahu dan pangkal lengan atas.
Herniasi pada diskus level C5-6 akan menekan radiks C6 sehingga
menimbulkan kelemahan otot bisep brachii untuk fleksi siku, absen atau
berkurangnya refleks bisep, dan kehilangan sensoris pada ibu jari tangan.
Herniasi pada diskus C6-7 akan menekan radiks C7 sehingga menimbulkan
kelemahan otot trisep untuk ekstensi siku, absen atau berkurangnya refleks
trisep, dan kehilangan sensoris pada jari telunjuk dan jari tengah.
Herniasi pada diskus C7-8 akan menekan radiks C8 sehingga menimbulkan
kelemahan otot interosseus untuk abduksi jari tangan, kehilangan sensoris pada
jari manis dan kelingking, dan menimbulkan sindrom Horner yaitu ptosis,
miosis, dan anhidrosis unilateral pada wajah.
 Herniasi Diskus Lumbalis
Biasanya awalnya tiba-tiba muncul nyeri punggung bawah yang parah saat
membungkuk atau mengangkat dan tidak bisa meluruskan badan kembali.
Riwayat tersering adalah beberapa hari setelah aktivitas berlebihan atau trauma
ringan, pasien mengalami nyeri punggung bawah (lumbago akut) yang parah
dan menyiksa dengan onset yang tiba-tiba saat bersin, batuk, memutar balik
badan, menggapai sesuatu, atau membungkuk. Bahkan, nyerinya dapat sangat
parah sehingga pada orang yang biasanya tabah pun akan tidak dapat bergerak
dan harus dibantu saat menaiki kasur. Kemudian ataupun dalam waktu 1-2 hari,
akan dirasakan nyeri yang menjalar ke satu sisi bokong, paha belakang, betis,
dan kaki (sciatica akut) sesuai distribusi satu atau lebih radiks dari saraf sciatica.
Nyeri punggung bawah dan sciatica akan diperparah saat batuk atau mengejan.
Lalu dapat juga muncul paraesthesia atau mati rasa pada kaki atau telapak kaki
dan juga kelemahan otot. Apabila terjadi penekanan pada cauda equina dapat
menyebabkan sindrom cauda equina yaitu sciatica dan kelemahan kaki bilateral,
kelemahan tonus sfingter anal dan kehilangan sensasi perianal (“saddle
anaesthesia”), dan paralisis vesica urinaria yang menyebabkan retensi dan
inkontinensia urin.
Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan nyeri tekan pada garis tengah
punggung bawah dan spasme otot paravertebra pada daerah lumbar dengan
hilangnya lordosis lumbar yang normal. Biasanya, pasien akan berdiri dengan
posisi badan bergeser/miring ke salah satu sisi (kiri/kanan) yang disebut sciatic
skoliosis sebagai usaha yang tidak disadari untuk membebaskan tekanan diskus
yang berherniasi pada radiks saraf. Seluruh gerakan punggung menjadi terbatas,
tidak terkecuali fleksi dan ekstensi aktif pada tulang belakang, saat fleksi ke
depan, kemiringan punggung akan meningkat. Kadang-kadang, lutut pada sisi
yang nyeri akan ditahan sedikit fleksi untuk mengurangi tekanan pada saraf
sciatic, meluruskan lutut akan membuat kemiringan punggung menjadi lebih
jelas.
Diagnosis herniasi diskus dengan tekanan pada radiks saraf tergantung pada
demonstrasi klinis dari iritasi radiks dan juga ke batas yang lebih sempit yaitu
kerusakan konduksi radiks. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membuktikan ada/tidaknya iritasi radiks adalah:
 Uji keterbatasan mengangkat lurus kaki ( tanda Laseque)
Dilakukan dengan mengangkat kaki yang berada dalam keadaan
lurus/ektensi hingga mencapai batas maksimal (normalnya adalah 75-90
derajat). Keterbatasan karena nyeri di saat tidak ada kelainan pinggul
mengacu pada iritasi radiks sciatic karena uji ini meningkatkan tekanan
pada saraf sciatic sehingga memperparah nyeri dari lesi apapun, seperti
HNP, yang memang telah meregangkan radiks. Kadang-kadang,
mengangkat sisi kaki yang tidak terkena dampak dapat menyebabkan
sciatica akut pada sisi yang sakit (“crossed sciatic tension”). Namun uji ini
tidak cukup memberikan bukti adanya iritasi radiks.
 Uji Bowstring
Dilakukan dengan cara pada saat kaki telah diangkat lurus (laseque) hingga
mencapai batas maksimal, lutut difleksikan sedikit untuk mengurangi
tekanan pada saraf sciatic, lalu pemeriksa menekan saraf popliteal medial
pasien dengan ibu jarinya sehingga seperti gerakan tali busur atau
“bowstrings” akan melalui fossa popliteal dan meningkatkan tekanan pada
saraf sciatic sehingga akan menimbulkan nyeri (uji bowstring positif)
apabila telah terjadi iritasi radiks sciatic.
 Gerakan membungkuk ke depan dengan posisi lutut tetap lurus akan
terbatas apabila telah terjadi tekanan pada saraf sciatic, spasme otot
longitudinal pada regio lumbar, atau kombinasi keduanya.
Bukti terjadinya kerusakan konduksi radiks akan tampak dengan
berkurangnya sensori pada kulit dan kelemahan otot sesuai distribusi radiks
yang terlibat (dermatom dan miotom). Contohnya, kerusakan konduksi pada
radiks L5 akibat HNP pada L4-5 akan dibuktikan dengan berkurangnya sensori
pada sisi lateral kaki, punggung kaki, dan 3 jari kaki pertama dan kelemahan
fleksi lutut, ekstensi ibu jari kaki, otot dorsifleksi dari pergelangan kaki dan jari
kaki, dan peningkatan refleks quadriceps akibat kelemahan dari antagonisnya
yang dipersarafi oleh L5 dan absen/berkurangnya refleks hamstring medial;
kerusakan konduksi pada radiks S1 akan menimbulkan hilangnya sensoris pada
betis, bagian lateral kaki, tumit, hingga jari kaki terakhir, absen/berkurangnya
refleks Achilles, dan kelemahan eversi telapak kaki dan otot plantarfleksi dari
pergelangan kaki dan jari kaki, dapat juga terjadi atrofi otot gastrocnemius dan
soleus. Lokalisasi akurat dari level herniasi diskus biasanya memungkinkan
hanya dari pemeriksaan klinis saja.
F. Diagnosis Banding
Sindrom yang menonjol membuat jarang terjadinya kesalahan diagnosis, tapi
dengan serangan berulang dan spondilosis lumbar yang datang setelahnya secara
perlahan, tanda dan gejala sering menjadi atipikal, terdapat 4 observasi yang dapat
menunjukkan diagnosis, yaitu:
 Sciatic adalah nyeri alih dan dapat terjadi pada kelainan lumbar lainnya.
 Ruptur diskus mengenai paling banyak 2 level neurologi, apabila melibatkan
lebih atau banyak level neurologi, harus dicurigai kelainan neurologi.
 Pada ruptur diskus, episode nyeri diselingi interval bebas nyeri/normal. Pada
nyeri yang parah dan tidak ada henti-hentinya/terus-menerus harus dicurigai
tumor atau infeksi.
 Orang yang sangat muda dan sangat tua jarang mengalami ruptur akut. Pada
remaja, cari kemungkinan infeksi, tumor jinak, atau spondilolistesis. Pada orang
tua, cari kemungkinan fraktur kompresi atau penyakit keganasan.
Kelainan inflamasi seperti infeksi atau ankylosing spondylitis (AS) akan
menyebabkan kekakuan yang parah, peningkatan laju endap darah, dan perubahan
erosif pada x-ray, seperti gambaran bamboo spine (gambar. 1) pada AS.

Gambar. 2 Osteogenik
Gambar. 1 sarkoma

Tumor vertebra (gambar. 2) akan menyebabkan nyeri yang hebat dan spasme
yang menonjol. Dengan metastasis, pasien akan tampak sakit, laju endap darah
meningkat, dan x-ray akan menunjukkan destruksi tulang atau sklerosis.
Tumor saraf, seperti neurofibroma cauda equina (gambar. 3) dapat
menimbulkan sciatica tapi nyerinya terus-menerus dan pemeriksaan radiologi yang
canggih dapat memastikan diagnosis.

Gambar. 3
Spondilolistesis yang merupakan perpindahan posisi vertebra ke arah anterior
biasanya disebabkan oleh spondilolisis yang sering terjadi karena stress fracture
seperti aktivitas berlebihan atau sering loncat-loncat, spondilolisis ini biasanya tidak
memberikan tanda dan gejala, namun apabila jaringan fibrosa teregang, dapat
menimbulkan nyeri yang persisten berbulan-bulan. Pada pemeriksaan radiologi
spondilolisis dapat ditemukan gambaran collar neck pada scotty dog (gambar. 4).
Pada spondilolistesis, muncul gejala nyeri punggung bawah yang bertahap dan
diperparah saat berdiri, berjalan, dan berlari, dan diperingan saat berbaring. Gejala
kompresi radiks, seperti sciatica jarang muncul.

Gambar. 4

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis HNP adalah dengan
pemeriksaan radiologi yaitu X-ray, CT scan, dan MRI.
 X-ray
Pemeriksaan X-ray membantu tidak untuk melihat ruang diskus yang
abnormal tapi untuk meng-eksklusi penyakit tulang. Setelah beberapa serangan,
ruang diskus dapat menjadi lebih sempit dan muncul osteophyte kecil.
X-ray setelah menyuntikkan kontras larut air, non-ionik, dan radioopak,
seperti metrizamide, iohexol, atau iopamidol, pada ruang subarachnoid
(myelografi/radikulografi) dapat digunakan untuk memastikan protrusi diskus
dan lokasinya, meng-eksklusi tumor intratekal, dan persiapan operasi HNP yang
terdiagnosis secara klinis. Namun, pemeriksaan ini memiliki resiko efek
samping signifikan yang tidak menyenangkan, yaitu sakit kepala (30%), mual,
dan pusing. Selain itu, pemeriksaan ini tidak berguna untuk menunjukkan
protrusi diskus yang jauh di lateral (lateral dari foramen intervertebralis).
 CT Scan dan MRI
CT dan MRI merupakan pemeriksaan yang paling akurat dan tidak
menimbulkan kerugian. Keduanya sekarang dianggap sebagai metode yang
diusulkan untuk pemeriksaan radiologi tulang belakang karena tidak invasif dan
sangat membantu dalam menunjukkan lesi jaringan lunak seperti degenerasi
diskus dan protrusi.

Nodul Schmorl

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan HNP ditujukan untuk menghilangkan
nyeri, membantu pasien mengerti sifat dari penyakitnya, memberikan dukungan
psikologikal, menguatkan otot badan yang lemah, memperbaiki fungsi, dan
rehabilitasi. Tujuan-tujuan ini dapat dicapai dengan perawatan individual dari dokter
bedah ortopedi dengan asistensi dari fisioterapis.
Metode Penatalaksanaan HNP
Panas dan analgesik meringankan dan melatih menguatkan otot; tapi sebenarnya
hanya ada 3 cara mengobati HNP sendiri yaitu 3 R; Rest, Reduction/Removal, dan
Rehabilitation.
1) Pertimbangan Psikologis
Pasien perlu diyakinkan bahwa kondisi punggungnya menggambarkan
berlebihannya proses penuaan yang normal dan dengan metode perawatan non-
operatif, 90% pasien pulih dari nyerinya dalam 6 minggu. Pasien juga harus
dipersiapkan untuk hidup dalam keterbatasan oleh karena kelainan pada
punggungnya.
2) Obat-obatan
Untuk pengobatan simtomatik pada nyeri punggung yang parah atau akut
(lumbago) ataupun sciatica, pasien memerlukan analgesik kuat dalam waktu
singkat, selain itu, penggunaan obat jenis narkotika yang terus-menerus harus
dihindari. Relaxan otot tidak terlalu berguna pada kasus HNP. Oleh karena
reaksi inflamasi terhadap HNP, NSAIDs, seperti enteric-coated aspirin dapat
diberikan. NSAIDs lain seperti naproxen, phenylbutazone, dan indomethacin
harus digunakan dengan hati-hati karena efek sampingnya yang berbahaya.
3) Fisioterapi
Panas lokal dapat memberikan pemulihan sementara saat serangan nyeri
akut terjadi. Tapi fungsi fisioterapi yang paling penting adalah untuk
memperkuat otot tulang belakang dan abdomen setelah serangan akut melalui
latihan punggung bawah secara teratur dalam usaha meningkatkan postur tulang
belakang dan mencegah rekurensi nyeri. Latihan punggung belakang dapat
dilakukan 4-8 minggu setelah nyeri muncul karena latihan tidak dapat
memulihkan nyeri yang sedang muncul malah memperparah nyeri, contoh
latihannya adalah mengangkat kaki dengan posisi badan berbaring telungkup,
sit-up dengan kaki lurus, dan daapt juga melakukan program aerobik seperti
berjalan dan berenang). Latihan ini tidak boleh terlalu diforsir karena dapat
meningkatkan rasa nyeri.
4) Istirahat (Rest)
Pasien dengan serangan akut nyeri punggung (lumbago) atau sciatica
sebaiknya beristirahat di atas kasur yang bermatras keras dan disokong oleh
papan yang keras, dengan pinggul dan lutut sedikit fleksi dan diberikan daya
tarik 10 kg menggunakan sabuk yang dilingkari pada punggung bawah. Periode
bed rest ini sendiri harus dilakukan sedikitnya 2 hari setelah nyeri pulih. Apabila
sciatica ataupun tanda laseque tidak ada perbaikan setelah beberapa minggu,
kemungkinan diperlukan operasi sebagai perawatan.
5) Reduksi (Reduction)
Bed rest yang terus-menerus dan traksi selama 2 minggu mengurangi
herniasi pada lebih dari 90% kasus. Apabila tanda dan gejala tidak menunjukkan
perbaikan yang signifikan, maka injeksi epidural dengan kortikosteroid dan
anestesi lokal mungkin membantu.
Kemonukleolisis adalah penghancuran nukleus pulposus secara enzimatik
dengan injeksi chymopapain secara transkutan intradiskal. Chymopapain sendiri
adalah peptidase yang didapat dari buah pepaya, yang akan mencerna inti
polipeptida dari molekul proteoglikan pada matriks nukleus pulposus. Hidrolisis
dan mengkerutnya nukleus akan memulihkan tekanan oleh diskus
intervertebralis terhadap radiks sehingga memulihkan sciatica. Kemonukleosis
ini menjadi pilihan akhir perawatan non-operatif ketika metode non-operatif lain
telah gagal dan tindakan operasi tampak dapat dihindari. Kemonukleosis,
dikombinasi dengan diskografi dapat dilakukan dengan anestesi lokal; prosedur
yang diperlukan adalah rawat inap jangka pendek bahkan bisa dilakukan rawat
jalan. Komplikasi yang paling serius adalah reaksi anafilaktik terhadap
chymopapain yang untungnya jarang dan sensitivitas terhadap chymopapain
sendiri dapat dideteksi sebelum tindakan dengan tes kulit spesifik. Komplikasi
lainnya kebanyakan adalah akibat masalah teknikal (kecerobohan saat injeksi
chymopapain ke dalam ruang subarachnoid). Dalam sebuah investigasi klinikal
internasional, ditemukan bahwa hasil jangka panjang (10 tahun) dari
kemonukleolisis sedikit di bawah operasi disektomi, oleh karena itu
kemonukleolisis jarang digunakan sekarang.
6) Operasi (Removal)
Sedikitnya 90% pasien dengan penyakit degeneratif diskus dapat pulih
tanpa operasi, oleh karena itu apabila tidak memiliki indikasi operasi, perawatan
awal harus selalu non-operatif. CT scan dengan myelografi dan MRI pun harus
dilakukan sebelum operasi pada pasien yang memang memerlukan operasi
untuk memastikan kehadiran dan lokasi diskus yang prolaps.
Indikasi laminektomi dan pembuangan diskus (disektomi) adalah:
 Adanya sindrom cauda equina yang dibuktikan dengan kehilangan
fungsi usus dan vesika urinaria, “saddle anaesthesia”, bilateral sciatica,
dll yang tidak berhenti setelah 6 jam bed rest dan traksi, merupakan
kedaruratan untuk segera dioperasi.
 Nyeri menetap dan tidak tertahankan yang tidak pulih oleh analgesik
kuat.
 Nyeri yang hebat dan menetap dan terdapat bukti adanya iritasi radiks
yang menetap atau kerusakan konduksi saraf setelah bed rest komplit
dan perawatan konservatif selama 3 minggu.
 Terbukti adanya perubahan neurologis yang bertambah buruk
walaupun pasien masih terbatas di atas kasur dan di bawah perawatan
konservatif.
 Episode nyeri punggung yang membuat pasien tidak berdaya ataupun
sciatica yang berulang.
Ketika hanya diperlukan disektomi, biasanya dilakukan dengan operasi
tradisional yang mengikutsertakan laminektomi/laminotomi dan melibatkan
eksposur operasi yang luas.
Laminektomi parsial adalah prosedur operasi dimana bagian dari lamina
dan ligamentum flavum pada satu sisi dibuang, dan diusahakan agar tidak
merusak sendi faset. Kemudian, dura dan radiks ditarik ke garis tengah secara
perlahan dan lembut dan tonjolan seperti kacang timbul. Tonjolan ini di-insisi
dan material diskus yang lembek dicabut sedikit demi sedikit menggunakan
forsep pituitari. Saraf ditelusuri hingga titik keluarnya untuk menyingkirkan
patologi lain.
Protrusi diskus yang jauh di lateral sangat sulit untuk dilihat oleh
pendekatan standar interlaminar tanpa merusak sendi faset sehingga pendekatan
intertransverse lebih cocok untuk kasus seperti ini.
Sekarang ini dapat dilakukan mikrodisektomi, yaitu laminotomi yang kecil
dan eksisi diskus melalui eksposur operasi yang sangat terbatas yang
dikombinasi dengan penggunaan mikroskop operasi. Prosedur ini memiliki
morbiditas post-operatif yang kecil dan durasi rawat inap yang lebih pendek.
Sekarang ini, mikrodisektomi adalah teknik standar untuk pasien dengan
sciatica yang gagal dengan perawatan non-operatif dan lokasi protrusi diskus
telah dipastikan melalui pemeriksaan radiologi. Hasil mikrodisektomi sangat
baik pada lebih dari 90% pasien. Kelemahan prosedur ini adalah pendarahan
intraoperatif dapat sulit untuk dikendalikan, resiko infeksi ruang diskus lebih
tinggi sehingga antibiotik profilaksis disarankan, dan bila dilakukan oleh
operator yang tidak ahli dan berpengalaman dapat melukai dura atau
meregangkan radiks ataupun melewatkan patologi yang penting.
Prosedur yang lebih baru adalah disektomi per-kutaneus, yang melibatkan
aspirasi material diskus yang berherniasi menggunakan suction yang kuat
melalui probe berkanul yang dimasukkan secara per-kutan ke dalam lokasi yang
tepat dengan berpedoman pada pemeriksaan radiologi 3 dimensi. Namun,
prosedur ini masih diteliti.
Komplikasi intraoperatif yang utama adalah pendarahan dari vena epidural.
Namun hal ini jarang terjadi bila pasien ditempatkan dalam posisi bersujud
karena akan meminimalisir peningkatan tekanan vena. Komplikasi post-operatif
adalah infeksi ruang diskus, tapi untungnya sangat jarang.
Gejala yang menetap pasca operasi dapat disebabkan karena sisa material
diskus di dalam kanal spinalis, prolaps diskus di level lain, atau tekanan pada
radiks akibat sendi faset hipertrofi atau stenosis kanal radiks. Setelah
penyelidikan yang hati-hati, penyebab di atas kemungkinan memerlukan operasi
ulang namun prosedur berulang biasanya tidak memiliki angka kesuksesan yang
tinggi.
Laminotomi Disektomi

7) Rehabilitasi
Setelah pulih dari ruptur diskus yang akut atau 3 minggu pasca disektomi,
pasien akan disarankan melakukan fisioterapi. Awalnya, terapi ditujukan untuk
mengendalikan nyeri dan inflamasi dengan cara stimulasi listrik atau es, dan
disertai dengan pijatan untuk meringankan spasme otot dan nyeri. Setelah itu,
latihan aktif mulai diikutsertakan, yaitu seperti berenang dan berjalan untuk
meningkatkan fungsi kardiovaskular, dan juga latihan isometrik selama 6-8
minggu dan cara bagaimana berbaring, duduk, membungkuk, dan mengangkat
dengan tegangan yang minimal.

I. Prognosis
Prognosis untuk HNP cukup baik karena telah disebutkan sebelumnya bahwa
90% pasien dapat sembuh hanya dengan perawatan konservatif selama 6 minggu.
selain itu, angka kesuksesan operasi HNP cukup tinggi (90%) dengan komplikasi
intra- dan post-operasi yang jarang terjadi dan hanya 5% pasien yang tetap
mengalami kecacatan tulang belakang lumbar setelah menerima perawatan yang
luas. Namun, prognosis akan kurang baik apabila telah terjadi sindrom kauda equina.
DAFTAR PUSTAKA
Salter, MD, Robert B. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System.
Pennsylvania, USA: Lippincott Williams & Wilkins, 1999.
Solomon, Louis. Aple'ys System of Orthopaedics and Fractures. New York, USA: Arnold,
2001.
Netter, MD, Frank H. Atlas of Human Anatomy. Pennsylvania, USA: Saunders Elsevier,
2006.
Snell, Richard S. Clinical Anatomy. Pennsylvania, USA: Lippincott Williams & Wilkins,
2004.
Foster, MD, Mark R. "Herniated Nucleus Pulposus." Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/1263961-overview.

Anda mungkin juga menyukai