Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

Anestesi Umum pada Pasien SNNT

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Anestesi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:

dr. Michael Budi Aviantoro, Sp.An

Disusun Oleh:

Ghifari Sya’bani

20184010007

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD TIDAR KOTA MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang
Pekerjaan : Tidak ada data
Masuk RS : 14 Juli 2018
Diagnosis : SNNT

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Datang dari rumah menuju RSUD Tidar Kota Magelang kurang lebih pukul 17.30
dengan terdapat benjolan di leher sebelah kanan kurang lebih sudah 3 tahun dan terasa
nyeri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien SNNT dengan benjolan di leher kanan dan nyeri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada data

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
TD = 100/80 mmHg
N = 80 x/menit

1
RR =-
T = 36 0C
Status Generalisata
a. Kulit
Tidak tampak ikterik, tidak tampak pucat, tidak hipo atau hiper pigmentasi, tidak
tampak tanda peradangan.
b. Kepala
Bentuk kepala : mesochepal, simetris, tidak ditemukan deformitas.
Muka : tidak terdapat luka maupun jejas.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Mulut : bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering, gigi lengkap.
Leher : JVP tidak meningkat, teraba benjolan terfiksasi di leher kanan
c. Thorax
Pulmo

INSPEKSI PARU DEPAN PARU BELAKANG


Simetris Simetris
Barrel chest (-) Barrel chest (-)
ICS melebar (-) ICS melebar (-)

PALPASI
Simetris (+/+), Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-), Nyeri tekan (-/-),

PERKUSI
 KANAN Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
 KIRI Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
AUSKULTASI PARU DEPAN PARU BELAKANG
Vesikuler Vesikuler

Cor:

2
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
• Batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra.
• Batas pinggang jantung : ICS III parasternalis sinistra.
• Batas kanan bawah jantung : ICS V sternalis dextra.
• Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2 cm ke arah medial midclavicula
kiri.
- Auskultasi :
• Suara jantung murni: SI, SII (normal) reguler
• Suara jantung tambahan bising diastolik (-)
d. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Bentuk normal anatomis, deformitas (-), edem (-).
Ekstremitas bawah : Palmar eritem (-), odem (-), akral dingin (-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hemoglobin : 13,8 g/dl (11.5 – 16.5)
Leukosit : 18.2. 103 / µL (4 - 11)
Eosinofil :1% (1 – 6)
Basofil :0% (0 - 1.00)
Netrofil : 69 % (40 - 75)
Limfosit : 26 % (20 - 45)
Monosit :4% (2 - 10)
Hematokrit : 41.4 (37 - 47)
Eritrosit : 5.2. 106/ µL (3.8 - 5.8)
Trombosit : 366. 103 / µ (150 - 450)
MCV : 79.6 fL (76 - 96)
MCH : 26.5 pg (27.5 - 32)
MCHC : 33.3 g/dl (30 - 35)
CT : 5’ 00’’ (1 - 10)
BT : 2’ 30’’ (2 - 7)
GDS : 83 mg/dL (70 – 140)
Creatinin : 0.53 mg/dL (0.51 – 0.95)

3
HbSAg : negatif negatif
T4 : 87.1 (60.0 – 120.0)
TSH : 0.80 (0.4 – 5.5)

E. DIAGNOSIS KERJA
 SNNT dengan ASA II
 Rencana anestesi umum

F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak menggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Diagnosis Pra Bedah : SNNT
3. Diagnosis pasca Bedah : Post OP SNNT
4. Jenis Anestesi : Anestesi umum
5. Teknik : Semi closed
6. Mulai Anestesi : 16 Juli 2018, pukul 10.30
7. Mulai Operasi : 16 Juli 2018, pukul 10.35
8. Premedikasi : Sotatic 10 mg, tramus 20 mg
9. Induksi : Recofol 140 mg, sevoflurane 8 %
10. Pemeliharaan : O2 3 liter per menit, N2O 3 liter per menit, isoflurane
0,8 %
11. Jenis Cairan : Asering
12. Kebutuhan cairan selama Operasi
Maintenance Operasi : 2cc/kgBB/jam 2 x 63 = 126 cc
Pengganti Puasa : 8 x maintenance  8 x 126 = 1.008 cc
Stress Operasi : operasi berat 8cc/kgBB/jam  8 x 63 = 504 cc
Keb. Cairan jam I : (50% kebutuhan puasa) + MO + SO
(50% x 1.008) + 126 + 504 = 1.134 cc
13. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi

4
 Pasien dilakukan anestesi pada tanggal 16 Juli 2018 pada jam 10.30 dan operasi
dimulai jam 10.35
 Pasien dipasang alat pantau untuk mengawasi tanda vital dan saturasi oksigen.
 Dilakukan premedikasi dengan memasukkan Sotatic 10 mg dan tramus 20 mg.
 Maintenance diberikan O2 3 lpm dan N2O kemudian dilakukan kontrol pada
tanda vital dan saturasi oksigen setiap 3 menit, juga diberikan isoflurane 0,8 %.
 Selama anastesi berlangsung TD berkisar 120/70 mmHg – 140/80 mmHg dan
nadi berkisar 76 - 89 kali/menit.
 Selama operasi cairan masuk asering 500 ml
 Lama anestesi 45 menit
 Lama operasi 40 menit.
14. Selesai operasi : 11.15 WIB
15. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Asering 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Deksketoprofen 100 mg, tramadol 50 mg
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-), coba minum
makan perlahan.
G. POST OPERASI
1. Asering dengan dexketoprofen 100 mg dan tramadol 50 mg 20 tpm
2. Pengawasan KU dan VS menggunakan monitor

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Struma
a. Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
b. Anatomi
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki
dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbentuk
lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-
20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan
bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini
memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah.
c. Patofisiologi
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).

6
d. Klasifikasi
1. Berdasarkan Fisiologi
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter
atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat
mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi
atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop
atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap
udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi,
kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan
atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka
udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-
debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare,
haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
2. Berdasarkan Klinis
a. Struma Toksik

7
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas
ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan
(struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme
karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah
diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH
beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon
tersebut sebagai hasil pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan
antibodi tetapi bukan mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala
hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan
terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual,
muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat
meninggal.
b. Strum Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non
toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut
sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang

8
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan
keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat
ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin.
Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir
sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok
yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10
%-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.
B. Anestesia Umum
a. Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan
cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan,
enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara
intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan
molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.
ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi
berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:
a. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
b. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.

9
c. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
d. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
e. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani
dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam
anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,
midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi
diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan
b. Tahapan Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu;
 Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian
agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi
dan defekasi.
 Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia
urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
 Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe
pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-

10
gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan
respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot
mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi
regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
 Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan
gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal.
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan
diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman
dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin terjadi. Tahap
ini dikenal juga sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat
penekananan korteks serebri.
Kekacauan mental, eksitasi, atau
delirium dapat terjadi. Waktu induksi
singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya
dilakukan pada tahap ini
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi.
Pernapasan hilang dan terjadi kolaps
sirkular. Perlu diberikan bantuan
ventilasi.

c. Sifat-sifat Anestesi Umum


Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
a. bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,
b. cepat mencapai anestesi yang dalam,
c. batas keamanan lebar;
d. tidak bersifat toksis.

11
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai
kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP
(obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan
cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.
d. Anestesi Cair yang Menguap
1. Halotan
a. Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem
konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah
jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap
aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya
hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi,
yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti
fenileprin.
2) Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan
menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi
yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk
mengurangi spasme bronkus.
3) Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan
intrakranial menurun.
4) Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan
oleh curah jantung yang menurun.
5) Hati
Aliran darah ke hati menurun.
6) Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi
kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta).
b. Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui
metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat.

12
c. Keuntungan dan Kerugian
Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi
jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan
kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard
terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral
menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
d. Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena
ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus
yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit
intrakranial.
e. Efek Samping
 Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang
mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda
lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan
nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom
ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran.
 Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis
metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati
dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari
retikulum sarkoplasmik.
2. Isoflurane
a. Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis,
sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat
vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap katekolamin,
dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada
stenosis dengan aliran yang berlebihan.
2) Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi,
bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas.

13
3) Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah
disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun.
4) Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik
serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf.
b. Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan
pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas.
c. Keuntungan dan Kerugian
Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan
ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah
Iritasi jalan napas sedang.
3. Sevoflurane
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat,
dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi
klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk
pemeliharaan umum.
e. Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat
melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu
anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium
anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan.
Obat Waktu Induksi Pertimbangan Pemakaian
Natrium Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk
Tiopental induksi cepat pada anestesi umum.
Membuat pasien tetap hangat, karena
dapat terjadi tremor. Dapat menekan
pusat pernapasan dan mungkin
diperlukan bantuan ventilas
Natrium Tiamilal Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan
anestesi untuk terapi elektrosyok
Droperidol Sedang-cepat Sering digunakan bersama anaestesi

14
umum. Dapat juga dipaki sebagai obat
preanestetik
Ketamin Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka
Hidroklorida singkat atau untuk induksi
pembedahan. Obat ini meningkatkan
salivasi, tekanan darah, dan denyut
jantung

f. Anestesi Gas
Obat Waktu Induksi Pertimbangan Pemakaian
Nitrous Oksida Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai efek
yang minimal pada kardiovaskular.
Harus diberikan bersama-sama
oksigen. Potensi rendah
Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan meledak.
Jarang digunakan

g. Penggolongan Muscle Relaxant


Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang
mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot
(misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan
durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot
depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi
menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh
otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat
pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot
fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.
1. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps
tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-

15
kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh
kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat
anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat
ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang
pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi,
sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi
suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari
dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular junction. Duration of
action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,
seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal
ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.
b. Ciri Kelumpuhan
(1) Ada fasikulasi otot.
(2) Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
(3) Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non
depolarisasi dan asidosis.
(4) Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal maupun tetanik.
(5) Belum diatasi dengan obat spesifik
2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti
penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi
dalam aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali
pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh

16
anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan
oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi'
atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma
yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat
diberikan sebagai injeksi cepat intravena.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Ciri kelumpuhan otot:
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi
(eter, halotan, enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau
tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
h. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan
oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas
usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai
0,2-0,3 mg pada dewasa).

17
i. Analgesik
Obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti
nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala,
nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten
(narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk
meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan
toleransi. Setengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa
juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik.
a. Jenis-jenis Analgesik
Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi
kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika.
Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan
untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker.
b. Mekanisme Kerja Obat
1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting
yaitu :
a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi
b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan
awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase
sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan. Terdapat dua
tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan
enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah
platlet darah. Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga
homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di
mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat
sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi.
Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu
interleukin-1 (IL1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan
faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting
dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai

18
fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan
jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1,
menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos.
Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular
melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit,
vasodilatasi dan efek anti-proliferatif.
2. Obat Anti Inflamasi Steroid
a. Analgesik Opioid Kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak
terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan
jelas dan bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral
banyak digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral
merupakan obat terpilih pada perawatan terminal.
Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek
sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi
pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat
stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas
menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan
oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga
menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan
aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan
konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan
histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami
metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat
untuk membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-
glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin itu sendiri,
terutama bila diberi intratekal.
Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada
morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara
suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih
kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak
digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat.

19
Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat
diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang
menyakitkan.
Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif
dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi
rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah
penggunaan obat intravena.
b. Analgesik Opioid Lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang.
Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung
disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik untuk pencandu
karena tidak memberikan efek yang hebat.
Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai
afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat
mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung
jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi)
membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih
ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan
antidiare.

20
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien dengan diagnosis SNNT dilakukan anestesi umum. Sebelum dilakukan
pembedahan pasien diberikan premedikasi sotatic 10 mg yang berfungsi sebagai antiemesis
dan tramus 20 mg sebagai muscle relaxant.
Setelah diberikan premedikasi, pasien dilakukan induksi anestesi umum injeksi intravena
dengan recofol 140 mg dan inhalasi sevoflurane 8%. Diberikan rumatan selama operasi
dengan menggunakan isoflurane 0,8%, serta semua tanda- tanda vital dipantau mulai dari
tekanan darah, saturasi O2, dan nadi. Pembedahan berlangsung kurang lebih 40 menit, tanda
vital dan saturasi baik selama operasi. Sebelum dan selama pembedahan pasien dilakukan
pemantauan kebutuhan cairan. Cairan yang digunakan adalah Asering.
Pada saat pasien sudah berada di recovery room (RR) oksigenasi dengan O2 tetap
diberikan, kemudian dilakukan pemantauan fungsi vital. Tekanan darah 115/76 mmHg, nadi
91x/menit, O2 3L/menit dengan saturasi 100 %.

21
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien SNNT usia 37 tahun datang ke RSUD Tidar Kota Magelang. Dilakukan
tindakan isthmolobectomi pada tanggal 16 Juli 2018 di kamar operasi RSUD Tidar Kota
Magelang. Teknik anestesi menggunakan anestesi umum yang merupakan teknik anestesi
yang dipilih karena pertimbangan anatomi dari letak organ yang akan di operasi.
Diberikan sotatic 10 mg sebagai antiemesis dan tramus 20 mg sebagai muscle
relaxant dalam premedikasi. Anestesi dengan menggunakan recofol 140 mg dan sevoflurane
8 %, untuk maintenance dengan oksigen 3 liter/ menit, isoflurane 0,8 %, dan N2O 3
liter/menit. Perawatan post operatif dilakukan di bangsal dan dengan diawasi vital sign dan
tanda- tanda perdarahan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi
Intensif Edisi 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Mangku G, dkk. 2010. Buku ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan pertama.
Jakarta: Universitas Udayana Indeks.
3. SNNT diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20013/Chapter%20II.pdf?sequen
ce=4
4. Anestesi Umum diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41148/4/Chapter%20II.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai