Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TOURING ICU

DI SMC RS TELOGOREJO SEMARANG

oleh :

Nama : Wahyuni Haryono


NIM : 1.15.123

PROGAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO
SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu Wataala yang telah

melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktunya dengan judul “ Laporan Touring

Ruang ICU di Semarang Medical Canter Rs.Telogorejo Semarang”. Adapun tujuan penulis

menulis makalah touring ini sebagai panduan bagi mahasiswa keperawatan dalam membantu

menjelaskan dan memberitahu yang kiranya bermanfaat untuk pembaca. Makalah ini dibuat

dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan berbagai pihak untuk membantu

menyelesaikan tantangan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini

oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta keritik yang dapat

membangun penulisan. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk

penyempurna makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan

manfaat bagi kita sekalian.

Semarang, 10 Oktober 2018

Penulis

Wahyuni Haryono
NIM.1.15.123
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
1. Definisi
Intensiv Care Unit (ICU) adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori
pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012).
Pelayanan kesehatan kritis diberikan kepada pasien yang sedang mengalami keadaan
penyakit yang kritis selama masa kedaruratan medis dan masa krisis. Pelayanan
intensif adalah pelayanan spesialis untuk pasien yang sedang mengalami keadaan
yang mengancam jiwanya dan membutuhkan pelayanan yang komprehensif dan
pemantauan terus-menerus. Pelayanan kritis atau intensif biasanya dilakukan pada
Intensive Care Unit atau ICU, untuk anak-anak biasanya disebut Paediatric Intensive
Care Unit atau PICU (Murti, 2009).

Kriteria pasien yang berada di ruang ICU adalah pasien sakit kritis dengan ketidak
stabilan atau kegagalan sistem organ yang memerlukn bantuan alat teknologi canggih
ICU, seperti : bantuan ventilator, multi kompleks infus, monitoring dan obat-obatan
vasoaktif (Avidan, 2008). Pasien yang berada di ICU membutuhkan bantuan alat
ventilator karena pasien dalam kondisi kritis dan mengalami kegagalan pada sistem
pernafasan yang meliputi gangguan mekanisme pertukaran gas di dalam paru-paru
(Mackenzie, 2008).

2. Jenis Pasien di ICU


Adapun pasien yang layak dirawat di ICU antara lain (Kemenkes RI 2011) :
a) Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care
b) Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan terus menerus dan metode terapi titrasi
c) Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Paediatric Intensive Care Unit (PICU) adalah ruangan untuk melakukan perawatan
pada anak dengan penyakit atau cidera serius, termasuk anak-anak dalam fase pemulihan
pasca operasi. PICU memberikan pelayanan kepada anak yang membutuhkan perawatan
dan pemantauan yang intensif, pada pasien dengan keadaan tidak stabil yang
membutuhkan intubasi atau ventilasi, pasien yang membutuhkan bantuan organ tunggal
atau multipel, dan pengawasan medis atau perawatan yang berkelanjutan. PICU juga
memberikan perawatanan terencana rutin pasca operasi atau selama penatalaksanaan
medis (NHS 2013).

Ventilator mekanik merupakan salah satu alat yang berada di ruang ICU. Alat ini
digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk
pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan gagal napas. Ventilator mekanik
merupakan salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien
yang kritis di Intensive Care Unit (ICU), dengan penggunaan di Amerika Serikat
mencapai 1,5 juta per tahun (Nasution, 2010, hlm.39).

Pasien dengan ventilasi mekanik memerlukan pemantauan, dan asuhan keperawatan


yang berulang, sehingga dapat meminimalisir risiko komplikasi seperti : gangguan jalan
napas, infeksi paru, hipoksia, hipoventilasi, penurunan perfusi jaringan akibat penurunan
fungsi jantung, dan beberapa efek psikologis (stres, kegelisahan) (Nasution, 2010,
hlm.42).

Berdasarkan beberapa alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk membuata laporan
touring ICU khususnya mengenai ventilator mekanaik di SMC RS Telogorejo Semarang.

B. RUMUSAN MASALAH
Apa saja yang mampu dipahami dan dipelajari mahasiswa mengenai kegiatan touring
ICU di Semarang Medical Centre Rumah Sakit Telogorejo Semarang ?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengobservasi dan memahami tentang kegiatan di ruang ICU
SMC Rumah Sakit Telogorejo Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi ventilator
mekanik.
b. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi ventilator mekanik.
c. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan indikasi pemasangan ventilator
mekanik.
d. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan sirkuit ventilator mekanik.
e. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan bagian-bagian ventilator.
f. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang mode ventilator
mekanik.
g. Mahasiswa mapu memahami dan menjelaskan tentang setting ventilator mekanik
h. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang monitoring ventilator
mekanik.
i. Mahasiswa mampu memahami dan menjelasskan tentang weaning ventilator
mekanik

D. MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kegiatan touring ICU ini adalah:
1. Bagi Layanan Keperawatan
Touring ICU ini dapat menambah wawasan dan silaturahmi antara perawat ruang
ICU dan mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan semester VII.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil laporan touring ICU dapat dijadikan sebagai referensi dalam menyusun laporan
tentang kegiatan di ruang ICU dan dapat menambah informasi.
3. Bagi Touring Selanjutnya
Sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan touring ICU yang lebih baik lagi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ICU
Intensiv Care Unit (ICU) adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori
pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012).
Pelayanan kesehatan kritis diberikan kepada pasien yang sedang mengalami keadaan
penyakit yang kritis selama masa kedaruratan medis dan masa krisis. Pelayanan
intensif adalah pelayanan spesialis untuk pasien yang sedang mengalami keadaan yang
mengancam jiwanya dan membutuhkan pelayanan yang komprehensif dan pemantauan
terus-menerus. Pelayanan kritis atau intensif biasanya dilakukan pada Intensive Care
Unit atau ICU, untuk anak-anak biasanya disebut Paediatric Intensive Care Unit atau
PICU (Murti, 2009).

Kriteria pasien yang berada di ruang ICU adalah pasien sakit kritis dengan ketidak
stabilan atau kegagalan sistem organ yang memerlukn bantuan alat teknologi canggih
ICU, seperti : bantuan ventilator, multi kompleks infus, monitoring dan obat-obatan
vasoaktif (Avidan, 2008). Pasien yang berada di ICU membutuhkan bantuan alat
ventilator karena pasien dalam kondisi kritis dan mengalami kegagalan pada sistem
pernafasan yang meliputi gangguan mekanisme pertukaran gas di dalam paru-paru
(Mackenzie, 2008).

Intesive Care mempunyai 2 fungsi utama: yang pertama adalah untuk melakukan
perawatan pada pasien - pasien gawat darurat dengan potensi “reversible life threatening
organ dysfunction”, yang kedua adalah untuk mendukung organ vital pada pasien -
pasien yang akan menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur intervensi dan
resiko tinggi untuk fungsi vital.
Beberapa komponen ICU yang spesifik yaitu:
1. Pasien yang dirawat dalam keadaan kritis
2. Desain ruangan dan sarana yang khusus
3. Peralatan berteknologi tinggi dan mahal
4. Pelayanan dilakukan oleh staf yang professional dan berpengalaman dan mampu
mempergunakan peralatan yang canggih dan mahal.
Ruang lingkup pelayanan di ICU meliputi hal - hal sebagai berikut:
1. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit - penyakit akut yang
mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit
sampai beberapa hari
2. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan
penatalaksanaan spesifik problema dasar.
3. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit atau iatrogenik
4. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat
tergantung pada alat/mesin dan orang lain.

Tujuan dari pelayanan intensive care adalah memberikan pelayanan medik tertitrasi dan
berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan pasien sakit kritis, meliputi:
1. Pasien - pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter,
perawat, napas yang terkoordinasi dan berkelanjutan, sehingga memerlukan
perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan titrasi
terapi.
2. Pasien - pasien yang dalam keadaan bahaya mengalami dekompensasi fisiologis
dan karena itu memerlukan pemantauan yang terus menerus dan kemampuan tim
intensive care untuk melakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya
penyulit yang merugikan.
Pelayanan ICU harus dilakukan oleh intensivist, yang terlatih secara formal dan mampu
memerikan pelayanan tersebut, dan yang terbebas dari tugas - tugas lain yang membebani,
seperti kamar operasi, praktik atau tugas - tugas kantor. Intensivist yang bekerja harus
berpartisipasi dalam suatu system yang menjamin kelangsungan pelayanan intensive care 24
jam. Hubungan pelayanan ICU yang terorganisir dengan bagian - bagian pelayanan lain di
rumah sakit harus ada dalam organisasi rumah sakit.

Tingkat pelayanan ICU harus disesuaikan dengan kelas rumah sakit. Tingkat pelayanan ini
ditentukan oleh jumlah staf, fasilitas, pelayanan penunjang, jumlah, dan macam pasien yang
dirawat.
Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
1. Resusitasi jantung paru
2. Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator
sederhana
3. Terapi oksigen
4. Pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus
5. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
6. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan dengan cepat dan menyeluruh
7. Pelaksanaan terapi secara titrasi
8. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien
9. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat - alat portabel selama transportasi
pasien gawat
10. Kemampuan melakukan fisioterapi dada

Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan
pelayanan ICU yang lebih tinggi, maka diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas.
Kepala ICU bertanggungjawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien ICU. Bila
kebutuhan pasien masuk di ICU melebihi tempat tidur yang tersedia, Kepala ICU
menentukan berdasarkan prioritas kondisi medik, pasien mana yang akan dirawat di ICU.
Prosedur untuk melaksanakan kebijkana ini harus dijelaskan secara rinci untuk tiap ICU.

Kriteria pasien keluar dari ICU mempunyai 3 prioritas yaitu :


1. Pasien prioritas 1
Pasien dipindahkan apabila pasien tersebut tidak membutuhkan lagi perawatan
intensif, atau jika terapi mengalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk, sedikit
kemungkinan bila perawatan intensif diteruskan, sebagai contoh : pasien dengan tiga
atau lebih gagal system organ yang tidak berespon terhadapt pengelolaan agresif.
2. Pasien prioritas 2
Pasien dipindahkan apabila hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa perawatan
intensif tidak dibutuhkan dan pemantauan intensif selanjutnya tidak diperlukan lagi.
3. Pasien prioritas 3
Pasien prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak
ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan
kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinyu diketahui kemungkinan
untuk pulih kembali sangat kecil, keuntungan dari terapi intensif selanjutnya sangat
sedikit. Pasien yang tergolong dalam prioritas ini adalah pasien dengan penyakit
lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung atau hepar terminal, karsinoma yang
telah menyebar luas dan lain - lainnya) yang tidak berespon terhadap terapi ICU untuk
penyakit akut lainnya.

Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis oleh kepala ICU
dan atau tim yang merawat pasien, antara lain:
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak
memerlukan terapi atau pemantauan yang intesif lebih lanjut.
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau oemantauan intensif tidak bermanfaat
atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada waktu itu pasien tidak
menggunakan alat bantu mekanis khusus (seperti ventilasi mekanis).
Kriteria pasien yang demikian, antara lain pasien yang menderita penyakit stadium akhir
(misalnya ARDS stadium akhir). Sebelum dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien
diberikan penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU :
1. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa)
2. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja, sedangkan ada pasien lain
yang lebih gawat yang memerlukan terapi dan observasi yang lebih intensif. Pasien
seperti ini hendaknya diusahakan pindah ke ruang yang khusus untuk pemantauan
secara intensif yaitu HCU.

Kriteria Pasien yang Tidak Memerlukan Perawatan di ICU :


1. Pasien prioritas 1
Pasien dipindahkan apabila pasien tersebut tidak membutuhkan lagi perawatan
intensif, atau jika terapi mengalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk, sedikit
kemungkinan untuk pulih kembali, dan sedikit keuntungan bila perawatan intensif
diteruskan.
2. Pasien prioritas 2
Pasien dipindahkan apabila hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa perawatan
intensif tidak dibutuhkan, pemantauan intensif selanjutnya tidak diperlukan lagi.
3. Pasien prioritas 3
Pasien dipindahkan apabila perawatan intensif tidak dibutuhkan lagi, diketahui
kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil, keuntungan dari terapi intensif
selanjutnya sangat sedikit.
B. ALAT DI RUANG ICU

Jumlah dan macam peralatan bervariasi tergantung tipe, ukuran dan fungsi ICU dan
harus sesuai dengan beban kerja ICU, disesuaikan dengan standar yang berlaku. Terdapat
prosedur pemeriksaan berkala untuk keamanan alat. Dan peralatan dasar yang ada di
ruang ICU meliputi :
1. Ventilator
2. Alat ventilasi manual dan alat penunjang jalan nafas
3. Alat hisap atau suction
4. Peralatan monitor invasif dan non invasif
5. Defribilator dan alat pacu jantung
6. Alat pengatur suhu pasien
7. Peralatan drain thorax
8. Pompa infus dan pompa syringe
9. Peralatan portable untuk transportasi
10. Tempat tidur khusus
11. Lampu untuk tindakan
12. Continious Renal Replacement Therapy

Peralatan lain (seperti peralatan hemodialisa dan lain-lain) untuk prosedur diagnostik dan atau
terapi khusus hendaknya tersedia bila secara klinis ada indikasi dan mendukung fungsi ICU.
Protokol dan pelatihan kerja untuk staf medik dan para medik perlu tersedia untuk
penggunaan alat-alat termasuk langkah-langkah untuk mengatasi apabila terjadi malfungsi.

C. ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG ICU


BAB III
KONDISI RUANGAN ICU

A. ALAT VENTILATOR

Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif atau negatif yang
menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. Tujuan
pemasangan ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara
optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolik, memperbaiki hipoksemia, dan
memaksimalkan transpor oksigen.(Nasution, 2010, hlm.150).

Ventilasi mekanik merupakan terapi definitif pada klien kritis yang mengalami
hipoksemia dan hiperkapnia. Terapi dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian
oksigen dalam waktu yang lama (Musliha, 2010, hlm.149).

Tujuan Pemasangan Ventilator :


1. Memberikan kekuatan mekanis pada sistem paru untuk mempertahankan ventilasi
yang fisiologis.
2. Memanipulasi “air way pressure” dan corak ventilasi untuk memperbaiki efisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
3. Mengurangi kerja miokard dengan jalan mengurangi kerja nafas.

B. KLASIFIKASI VENTILASI MEKANIK


Menurut Musliha (2010, hlm.149-150) klasifikasi ventilasi mekanik digolongkan
menjadi 2 yaitu :
1. Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada eksternal.
Penguranagn tekanan intratoraks selama inspirasi memungkinkan udara mengalir
kedalam paru sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan pada
pasien gagal nafas kronik yang berhubungan dengan kondisi neurovaskuler seperti
poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia grafis.
2. Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif mengembungkan paru-paru dengan mengeluarkan tekanan
positif pada jalan nafas dengn demikian mendorong alveoli untuk mengembang saat
inspirasi. Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
Ventilator ini secara luas digunakan pada klien dengan penyakit paru primer.
Ventiltor jenis ini terdapat tiga jenis tekanan positif yaitu tekanan bersiklus, waktu
bersiklus dan volume bersiklus.

C. INDIKASI KLINIK
Indikasi klinik pemasangan ventilator menurut Musliha (2010, hlm.151) antara lain :
1. Kegagalan ventilasi
a. Neuromuskular disease
b. Central nervous system disease
c. Depresi system saraf pusat
d. Musculoscletal disease
e. Ketidakmampuan thoraks untuk ventilasi
2. Kegagalan pertukaran gas
a. Gagal nafas akut
b. Gagal nafas kronik
c. Gagal jantung kiri
d. Penyakit paru gangguan difusi
e. Penyakit paru ventilasi/perfusi mismatch

D. BAGIAN VENTILATOR
Bagian-bagian ventilator menurut Iwan dan Saryono (2010, hlm.50) yaitu :
1. Air compress dan oksigen sebagai sumbergas dari ventilator
2. Humidifier (sebagai pelembab udara yang masuk ke pasien)
3. Circuit patient
4. Test slang
5. Nebelizer
6. Water trap dan bakteri filter gas supply
7. Bakteri filter inhalation (inspirasi dn ekspirasi)
8. Battery unit backup/alarm indikator
9. Grafik display dengan monitor atau pressure graph
10. Oksigen cell dan exhalasi flow sensor
11. Exhalasi valve adapter (inspirasi/ekspirasi)
12. Heater pada exhalasi

E. MODUS OPERASIONAL VENTILASI MEKANIK


Modus operasional ventilasi mekanik menurut Musliha (2010, hlm.152) terdiri dari :
1. Controlled ventilation
Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernapasan. Indikasi untuk pemakaian
ventilator meliputi pasien dengan apnoe. Ventilator tipe ini meningkatkan kerja
pernafasan klien.
2. Assist/Control
Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Pada
klien yang mengalami kegagalan ventilasi, maka ventilator secara otomatis.
Ventilator ini diatur berdasarkan atas frekuensi pernapasan yang spontan dari klien,
biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator.
3. Intermitten mandatory ventilation
Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model kontrol,
klien dengn hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin dan
sewaktu-waktu diambil alih oleh ventilator.
4. Synchronized intermitten mndatory ventilation (simv)
SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak
begitu lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan
biasanya tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal
volume/frekuensi nafas kurang adekuat.
5. Possitive End-Expiratory Pressure
Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan
tujuan untuk mencegah atelektsis. Terbukanya jalan nafas oleh karena tekanan yang
tinggi, atekletasis akan dapat dihindari. Indikasi pada klien yang menderita ARDS
dan gagal jantung kongestif yang massif dan pneumonia difus. Efek samping dapat
menyebabkan venous return menurun, barotrauma dan penurunan curah jantung.
6. Continious Posstive Airway Pressure (CPAP)
Ventilator ini berkemampuan untuk meningkatkan FRC. Biasanya digunakan untuk
penyapihan ventilator.
F. SETTING VENTILASI MEKANIK
Alat-alat yang diperlukan untuk pemasangan ventilasi mekanik anatara lain :
1. Ventilator
2. Spirometer
3. Air viva (ambu bag)
4. Oksigen sentral
5. Perlengkapan untuk mengisap sekresi
6. Kompresor Air
Langkah-langkah pemasangan ventilasi mekanik :
1. Tentukan “Minute Volume” (M.V.) yaitu :
M.V = Tidal Volume (T.V) x Respiratory Rate (R.R)
Normal T.V = 10 – 15 cc/kg BB
Normal R.R = – pada orang dewasa = 10 – 12 x/menit
Pada pasien dengan COPD, T.V lebih kecil, yaitu 6 – 8 cc/kg BB.
Pada Servo Ventilator 900 C :
a. M.V dibawah 4 liter, pakai standar “infant”
b. M.V. diatas 4 liter, pakai standar “adult”
2. Tentukan modus yang akan digunakan
Modus yang akan dipilih ditentukan berdasarkan keadaan klinis pasien. Bila
mempergunakan “IMV”, harus dikombinasikan dengan “PEEP”.
3. PEEP
Pengarturan PEEP ditentukan tergantung dari keadaan klinis pasien.Pada pasien
dengan edema paru, PEEP dimulai dengan 5 mmHg. Pada pasien tidak dengan edema
paru, PEEP dimulai dari nol, tetapi FiO2 dinaikan sampai 50%. Bila FiO2 tidak naik,
baru diberikan PEEP mulai dari 5 mmHg.
Catatan :
a. Selama pemakaian Ventilator, FiO2 diusahakan kurang dari 50 %
b. PEEP dapat dinaikkan secara bertahap 2,5 mmHg, sampai batas maximal 15
mmHg.
4. Pengaturan Alarm :
a. Oksigen :batas terendah : 10 % dibawah yang diset
batas tertinggi : 10 % diatas yang diset
b. Expired M.V : kira-kira 20 % dari M.V yang diset
c. Air Way Pressure : batas tertinggi 10 cm diatas yang diset
G. MONITORING
Monitoring pasien yang terpasang ventilasi mekanik menurut Nasution (2012, hlm.89)
meliputi :
1. Monitoring analisa gas darah tiap 6 jam, kecuali ada perubahan seting, analisa gas
darah diperiksa 20 menit setelah ada perubahan seting.
Nilai standar : PCO2 = 35 – 45 mmHg
Saturasi O2 = 96 – 97 %
PaO2 = 80 – 100 mmHg
Bila PaO2 lebih dari 100 mmHg, maka FiO2 diturunkan bertahap 10 %.
Bila PCO2 lebih besar dari 45 mmHg, maka M.V dinaikkan.
Bila PCO2 lebih kecil dari 35 mmHg, maka M.V diturunkan.
2. Foto thorax
Foto torax dilakukan setiap hari untuk melihat perkembangan klinis, letak ETT dan
komplikasi yang terjadi akibat pemasangan Ventilator.
3. Monitoring kardiovaskuler
Monitoring kardiovaskuler pasien meliputi : denyut jantung, tekanan darah, sianosis,
temperatur.
4. Monitoring paru
Auskultasi paru untuk mengetahui :
a. Letak tube
b. Perkembangan paru-paru yang simetris
c. Panjang tube
5. Periksa keseimbangan cairan setiap hari
6. Periksa elektrolit setiap hari
7. Air Way Pressuretidak boleh lebih dari 40 mmHg
8. Expired Minute Volumediperiksa tiap 2 jam
9. Usahakan selang nasogastrik tetap berfungsi.
10. Perhatikan ada tidaknya “tension pneumothorax” dengan melihat tanda-tanda
sebagai berikut :
a. Gelisah, kesadaran menurun, sianosis
b. Distensi vena leher
c. Trachea terdorong menjauh lokasi “tension pneumothorax”
d. Salah satu dinding torak jadi mengembang
e. Pada perkusi terdapat timpani.
H. PERAWATAN VENTILASI MEKANIK
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika seseorang di pasang ventilator agar tidak
terjadi komplikasi yaitu :
1. Humidifasi dan Suhu
Ventilasi Mekanik yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme
pertahanan tubuh terhadap pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus
ditambahkan pelembab (Humidifier) dengan pengontrol suhu dan diisi air sebatas
level yang sudah ditentukan (system boiling water).

Humidifikasi yang lain yaitu system Heating wire dimana kehangatan udara dialirkan
melalui wire di dalam sirkuit dan tidak terjadi kondensasi air.Pada kasus penggunaan
Ventilasi Mekanik yang singkat tidak lagi menggunakan kedua system diatas, tetapi
humidifasi jenis Moisture echanger yang di pasang pada ujung sirkuit ventilasi
mekanik.
2. Perawatan jalan nafas
Perawatan jalan nafas terjadi dari pelembaban adequate, perubahan posisi dan
penghisapan sekresi penghisapan di lakukan hanya bila perlu, karena tindakan ini
membuat pasien tidak nyaman dan resiko terjadinya infeksi. Selanjutnya selain
terdengar adanya ronkhi (auscultasi) dapat juga dilihat dari adanya peningkatan
tekanan inspirasi (Respiratory rate) yang menandakan adanya penyempitan jalan
nafas oleh sekresi ini indikasi untuk dilakukan pengisapan.

Fisioterapi dada sangat mendukung untuk mengurangi atelektasis dan dapat


mempermudah pengambilan sekresi, bisa dengan cara melakukan clapping, fibrasing
perubahan posisi tiap 2 jam perlu dikerjakan untuk mengurangi pelengketan sekresi.

3. Perawatan selang Endotrakeal


Selang endotrakeal harus dipasang dengan aman untuk mencegah terjadinya migrasi,
kinking dan terekstubasi, oleh sebab itu fiksasi yang adequate jangan diabaikan.
Penggantian plesterfiksasi minimal 1 hari sekali harus dilakukan karena ini
merupakan kesempatan bagi kita untuk melihat apakah ada tanda-tanda lecet/ iritasi
pada kulit atau pinggir bibir dilokasi pemasangan selang endotrakeal.
Pada pasien yang tidak kooperatif sebaiknya dipasang mayo/gudel sesuai ukuran, ini
gunanya agar selang endotrakeal tidak digigit, dan bisa juga memudahkan untuk
melakukan pengisapan sekresi.Penggunaan pipa penyanggah sirkuit pada Ventilasi
Mekanik dapat mencegah tertariknya selang endotrakeal akibat dari beban sirkuit
yang berat.Bila pasien terpasang ventilasi mekanik dalam waktu yang lama perlu di
pertimbangkan untuk dilakukan pemasangan Trakeostomi yang sebelumnya
kolaborasi dengan dokter dan keluarga pasien.

4. Tekanan cuff endotrakeal


Tekanan cuff harus dimonitor minimal tiap shift untuk mencegah kelebihan inflasi
dan kelebihan tekanan pada dinding trakea.Pada pasien dengan ventilasi mekanik,
tekanan terbaik adalah paling rendah tanpa adanya kebocoran/penurunan tidal
volume.Cuff kalau memungkinkan di kempeskan secara periodik untuk mencegah
terjadinya nekrosis pada trakea.

5. Dukungan Nutrisi
Pada pasien dengan dipasangnya ventilasi mekanik dukungan nutrisi harus
diperhatikan secara dini. Apabila hal ini terabaikan tidak sedikit terjadinya efek
samping yang memperberat kondisi pasien, bahkan bisa menimbulkan komplikasi
paru dan kematian.
Bila saluran gastrointestinal tidak ada gangguan, Nutrisi Enteral dapat diberikan
melalui Nasogastric tube (NGT) yang dimulai dengan melakukan test feeding terlebih
dahulu, terutama pada pasien dengan post laparatomy dengan reseksi usus.
6. Perawatan Mata
Pada pasien dengan pemasangan ventilasi mekanik perawatan mata itu sangat penting
dalam asuhan keperawatan. Pengkajian yang sering dan pemberian tetes mata/zalf
mata bisa menurunkan keringnya kornea. Bila refleks berkedip hilang, kelopak mata
harus di plester untuk mencegah abrasi kornea, kering dan trauma. edema sclera dapat
terjadi pada pasien dengan ventilasi mekanik bila tekanan vena meningkat.

I. WEANING VENTILASI MEKANIK


Penyapihan dari ventilator mekanik dapat didefinisikan sebagai proses pelepasan ventilator
baik secara langsung maupun bertahap. Tindakan ini biasanya mengandung dua hal yang
terpisah tapi memiliki hubungan erat yaitu pemutusan ventilator dan pelepasan jalan nafas
buatan(Iwan&Saryono, 2010, hlm.56).

Indikasi weaning/pelepasan ventilator menurut Iwan dan Saryono (2010, hlm.58) adalah
:
1. Proses penyakit yang menyebabkan pasien membutuhkan ventilator mekanik sudah
tertangani
2. Nilai laboratorium menunjukkan :
a. PaO2/FiO2> 200
b. PEEP < 5
c. FiO2< 0,5
d. pH > 7,25
e. Hb > 8 g%
3. Pasien sadar, dan afebril (suhu tubuh normal)
4. Fungsi jantung stabil:
a. HR < 140
b. Tidak terdapat iskemi otot jantung (myokardial Ischemia)
c. Bebas dari obat-obatan vasopresor atau hanya menggunakan obat-obatan
inotropik dosis rendah
5. Fungsi paru stabil:
a. Kapasitas vital 10-15 cc/kg
b. Volume tidal 4-5 cc/kg
c. Ventilasi menit 6-10l
d. Frekuensi < 20 permenit
6. Kondisi selang ET/TT:
a. Posisi diatas karina pada foto Rontgen
b. Ukuran : diameter 8,5 mm
7. Terbebas dari asidosis respiratorik
8. Nutrisi :
a. Kalori perhari 2000-2500 kal
b. Waktu : 1 jam sebelum makan
9. Jalan Nafas :
a. Sekresi : antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan (suction)
b. Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid
c. Posisi : duduk, semifowler
10. Obat-obatan :
a. Agen sedatif : dihentikan lebih dari 24 jam
b. Agen paralisis: dihentikan lebih dari 24 jam
11. Psikologi pasien
Mempersiapkan kondisi emosi/psikologi pasien untuk tindakan penyapihan

J. KOMPLIKASI VENTILATOR MEKANIK


Komplikasi pemasangan ventilator menurut Iwan dan Saryono (2010, hlm.60) yaitu :
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik vena
akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik dengan
tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal akibat
dari hiperventilasi.
b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan hemodinamik terutama pada penggunaan tekanan tinggi yang dapat
mengurangi venous return, curah jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi
aliran darah ke saluran pencernaan dan ginjal.
6. Barotrauma dan volutrauma
7. Gangguan psikologi
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif atau negatif yang
menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. Tujuan
pemasangan ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara
optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolik, memperbaiki hipoksemia, dan
memaksimalkan transpor oksigen.(Nasution, 2010, hlm.150).
DAFTAR PUSTAKA

Iwan P dan Saryono. (2010). Mengelola Pasien dengan Ventilator Mekanik. Jakarta:
Rekatama.

Morton, Ptricia ; Brbara ; Dorie Fourtane. (2012). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha Medika.

Nasution AH. (2002). Intubasi, Extubasi dan Mekanik ventilasi.Makalah pada Workshop
Asuhan Keparawatan Kritis; Asean Conference on Medical Sciences. Medan, 20-21
Agustus 2002. Nettina SM. (1996). The Lippincott manual of nursing practice. (6 th ed).
Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers. Smeltzer SC, Bare BG. (1996). Brunner &
Suddart’s textbook of medical-surgical nursing. (8th ed). Philadelphia: Lippincott-Raven
Publishers.

Anda mungkin juga menyukai