Anda di halaman 1dari 17

Leptospirosis pada Anjing

Oleh:

Moma Silvia, S.KH

NIM. 1702101020117

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh spiroketa dari


genus Leptospira. Leptospirosis memiliki penyebaran yang merata hampir di
seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik pada negara dengan iklim tropis.
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling sering terjadi.
Penyakit ini menyebar melalui kontak, baik langsung ataupun tidak langsung,
antara mukosa atau kulit manusia yang mengalami luka dengan hewan yang
terinfeksi seperti tikus, anjing, kucing, dan hewan rumahan lain (Shleh dkk.,
2006).
Di Indonesia, penyebaran leptospirosis ditemui di pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Bali hingga Sulawesi (Shakinah, 2015). Bentuk berat dari
leptospirosis, Penyakit Weil’s, muncul sebagai bentuk stadium ikterik dari
leptospirosis. Penyakit Weil’s merupakan suatu bentuk leptospirosis berat yang
melibatkan kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal (Mcphee, 2009).
Tampilan leptospirosis bervariasi dari gejala klinis ringan yang
menyerupai penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah yakni
penyakit Weil’s. Bentuk berat dari leptospirosis atau penyakit Weil’s, muncul
sebagai bentuk stadium ikterik dari leptospirosis dan memiliki tingkat mortalitas
hingga 40%. Penegakkan diagnosis dilakukan dengan penemuan organisme, tes
serologis, dan deteksi DNA spesifik. Prognosis ditentukan oleh usia dan
keterlibatan kerusakan organ dalam tahapan penyakit (Shakinah, 2015).
Penularan leptospirosis terjadi secara kontak langsung dengan hewan
terinfeksi leptospira atau secara tidak langsung melalui genangan air yang
terkontaminasi urin yang terinfeksi leptospira . Bakteri ini masuk ke dalam tubuh
melalui kulit yang luka atau membran mukosa. Gejala penyakit ini sangat
bervariasi mulai dari dernam, ikterus, hemoglobinuria, pada hewan yang bunting
dapat terjadi abortus dan janin lahir mati, bahkan dapat menyebabkan kematian
penderitanya. Tingkat keganasan serangan leptospirosis tergantung dari serovar
Leptospira dan spesies hewan yang terinfeksi pada daerah tertentu (Kusmiyati,
2005).
Titik sentral penyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi leptospira
yang mencemari lingkungan. Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari
ringan hingga berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya. Gejala
klinis yang tidak spesifik memerlukan uji laboratorium untuk mendukung
penentuan diagnosanya. Upaya mengisolasi dan mengidentifikasi leptospira
sangat memakan waktu. Diagnosis leptospirosis yang utama dilakukan secara
serologis. Uji serologis merupakan uji standar untuk konfirmasi diagnosis,
menentukan prevalensi dan studi epidemiologi. Vaksinasi pada hewan merupakan
salah satu cara pengendalian leptospirosis .

1.2 Tujuan
Untuk mendiagnosa penyakit infeksi leptospirosis berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium sehingga dapat
diberikan penanganan yang tepat sesuai dengan etiologinya.

1.3 Manfaat
Mahasiswa dapat mengidentifikasi penyakit leptospirosis dari etiologi
sampai dengan penanganan dan pencegahannya serta untuk pengobatan penyakit
infeksi leptospirosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Leptospirosis


Leptospirosis merupakan penyakit bakterial yang menular dan zoonosis yang
menyebabkan kegagalan ginjal akut dan penyakit hati. Resovar yang sering dipakai di
dalam vaksin Leptospira adalah L. Canicola dan L. Icterohaemorrhagica.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia yang merupakan penyakit zoonosis yang
sangat diperhatikan.
Terdapat dua serotipe dari Leptopira yang penting pada anjing yaitu;
1)Serotipe Canicola yang berhubungan erat dengan kejadian nefritis interstisialis akut
dan 2)Serotipe icterohaemorrhagie yang berhubungan dengan kejadian jaundice dan
hemoragi. Perbedaan antara kedua serotipe ini disimpulkan bahwa serotipe canicola
berhubungan dengan penyakit ginjal dan icterohaemorrhagie berhubungan dengan
jaundice dan serotipe. Leptospirosis pada anjing selalu berkaitan dengan gagal ginjal
akut dan penyakit hati yang disertai dengan jaundice (Retha, 2015).

2.2 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,
tipis, lentur dengan panjang 10-20 cm serta memiliki dua lapis membran. Kedua
ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik . Bergerak aktif maju
mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya . Bentuk dan gerakannya
dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras.
Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri
lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis.
Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal,
serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang
terletak diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut
flagela periplasmik.
Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal
pada setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap leptospira peka terhadap asam dan dapat
hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut,
air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Fatne, 1982).
Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae,
genus Leptospira . Leptospira dapat tumbuh di dalam media dasar yang diperkaya
dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan garam
amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob.
Sistem penggolongan Leptospira yang tradisional genus Leptospira dibagi
menjadi dua yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa yang nonpatogen. L.
interrogans dibagi menjadi serogrup dan serovar berdasarkan antigen. Klasifikasi
terbaru dari Leptospira yaitu L. interrogans dibagi menjadi 7 spesies yaitu L.
interrogans, L. weilii, L. santarosai, L . noguchii, L. borgpetersenii, L. inadai, L.
kirschneri dan 5 spesies yang tidak bertitel yaitu spesies 1, 2, 3, 4, dan 5
(LEVETT, 2001) .

Gambar L. interrogans

Gambar Bakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop elektron tipe scanning


Leptospirosis pada anjing dapat disebabkan oleh infeksi dari berbagai
serovar leptospira interrogans antara lain L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L.
batislava, L. bataviae, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. pomona, L.
tarassovi, L. Icterohaemorrhagica. Perpindahan leptospira ke hewan atau individu
lainnya dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung (Mutawadiah dkk.,
2015).

2.3 Penularan Penyakit


Perpindahan Leptospira ke hewan lainnya dapat melalui kontak langsung
dan tidak langsung (Mutawadiah dkk., 2015). Penularan dapat melalui kontak
langsung terhadap urin, abortusan, cairan sperma penderita. Secara tidak langsung
dapat melalui paparan terhadap lingkungan yang terkontaminasi seperti tanaman,
tanah, makanan, air. Leptospira yang dikeluarkan akan berenang bebas di air dan
akan menginfeksi melalui luka dikulit, luka gigitan dan melalui mukosa mata,
mulut, alat kelamin dan mukosa lainnya. Penularan banyak terjadi saat musim
hujan atau dalam keadaan lembab (Retha, 2015).

2.4 Patogenesa Penyakit


Leptospira masuk ke dalam tubuh hewan melalui kulit yang luka atau
membran mukosa kemudian masuk ke pembuluh darah. Bakteremia ini dapat
merusak pembuluh darah dan melisiskan darah. Leptospira memiliki enzim lipase
yang akan merusak membran sel darah dan sel endotel hal inilah yang
menyebabkan terjadinya pendarahan multi organ.
Lisisnya sel darah merah membuat limpa meningkatkan kerjanya untuk
melakukan destruksi sel darah merah yang menyebabkan terjadinya peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi dalam darah yang menyebabkan terjadinya ikhterus.
Selain ikhterus pre hepatik, leptospirosis juga menyebabkan ikhterus hepatik
karena rusaknya sel-sel hati dan ikhterus post-hepatik karena tersumbatnya duktus
choledukus oleh bakteri tersebut dan reruntuhan sel dinding duktus. Bakteri ini
tersebar di beberapa organ tubuh penting antara lain ginjal, hati, SSP, limpa, mata,
dan organ reproduksi.
Tubuh dapat bereaksi terhadap infeksi leptospira dengan memproduksi
antibodi. Umumnya leptospira dapat dieliminasi dari sebagian besar organ oleh
antibodi yang diproduksi tubuh. Namun keberadaan leptospira di ginjal sulit
dieliminasi, karena ginjal khususnya daerah glomerulus merupakan daerah yang
jarang ditemukan antibodi karena ukuran antibodi yang tidak dapat melewati
filtrat glomerulus.
Berdasarkan anamnese,dikatakan bahwa anjing telah menjalani vaksinasi
terhadap leptospira. Munculnya leptospirosis pada hewan yang telah divaksinasi
dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya kegagalan vaksinasi, kegagalan
tubuh membentuk antibodi karena imunosupresif ataupun anjing terinfeksi
leptospira dari serevoar lain. Pada kondisi ini, leptospira dapat keluar bersama
urin selama beberapa bulan hingga tahunan. Keparahan lesio organ tergantung
pada virulensi agen dan kerentanan hewan sebagai induk semang (Retha, 2015).

2.5 Gejala Klinis


Pada kejadian akut hewan akan mengalami demam, kedinginan, dan otot
menjadi lemah, muntah dan dehidrasi. Beberapa kasus anjing akan mengalami
suhu tubuh rendah (hipotermia) dan dapat terjadi kematian sebelum kerusakan
pada hati dan ginjal terlihat. Pada infeksi subakut, gejala yang terlihat antara lain,
demam, muntah, nafsu makan menurun, dehidrasi, dan rasa haus yang meningkat.
Anjing akan menjadi kurang aktif karena rasa sakit pada otot dan ginjal.
Gangguan pada organ hati akan menimbulkan warna kuning pada kulit dan
selaput lendir (ikterus). Gangguan pada hati dan ginjal akan terlihat setelah infeksi
berjalan selama 2-3 minggu (Retha, 2015).
Pada anjing, tanda klinis akan muncul setelah masa inkubasi yang
berlangsung selama 5-15 hari (rata-rata 1 minggu). Hewan yang menderita per-
akut akan menunjukkan gejala berupa anoreksia (hilangnya nafsu makan), lesu,
hiperestesi otot-otot perifer, pernafasan yang dangkal, muntah, demam, mukosa
pucat dan detak jantung cepat. Kerusakan sel-sel trombosit akan mengakibatkan
koagulasi perivaskuler yang luas sehingga terjadi ptechie dan acchymoses di kulit,
epistaksis dan melena. Tanda klinis lain yang cukup khas adalah jaundice
(kekuningan) pada membran mukosa (Mutawadiah dkk., 2015). Pada anjing yang
mengalami infeksi kronik atau tanpa gejala (subklinik) tidak memperlihatkan
gejala yang signifikan. Bakteri akan berada dalam urin selama berbulan-bulan
bahkan sampai tahunan (Retha, 2015).

2.6 Diagnosa
Diagnosa terhadap leptospirosis hanya berdasarkan gejala klinis,
hematologi maupun kimiawi darah. Pemeriksaan hanya akan memperoleh
gambaran adanya gangguan hati dan ginjal. Gambaran pemeriksaan darah terdapat
adanya peningkatan PCV akibat dehidrasi, leukositosis, trombositopenia, BUN
dan kreatinin yang tinggi, peningkatan enzim hati (SGOT, SGOP, ALP),
proteinuria, isothenuria. Sedangkan diagnosa terhadap agen penyebab dapat
dilakukan melalui pemeriksaan laboratoris yaitu PCR (Retha, 2015).
Diagnosa terhadap leptospirosis tidak cukup hanya berdasarkan tanda
klinis, hematologi, dan kimiawi darah. Ada dua uji serologi yang biasa digunakan
yaitu Microscopic Aglutination Test (MAT) dan Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA). MAT merupakan uji serologi yang paling banyak digunakan pada
anjing (Sykes et al., 2011; Senthil et al., 2013). Uji MAT dianggap sebagai baku
emas untuk mendiagnosis leptospirosis (Dutta et al., 2005).
Keberadaan Leptospira di dalam darah dan susu dari hewan yang
memperlihatkan gejala klinis, menunjukkan leptospirosis akut. Mengisolasi
Leptospira dari darah sering tidak berhasil karena fase bakteremia telah lewat atau
darah diambil setelah pasien diobati dengan antibiotika (Kusmiyati, 2005).

2.7 Terapi
Terapi yang dapat dilakukan pada penderita leptospira yaitu terapi cairan
untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat demam dan anoreksia. Jika urin
sedikit atau tidak ada urin dapat dilakukan terapi diuresis yang tidak memberatkan
ginjal. Terapi antibiotika yang tepat yaitu amphicillin setiap 8 jam secara
intravena dan untuk mengeliminasi leptospira dari jaringan interstitial ginjal dapat
menggunakan antibitik doxycycline selama 3 minggu (Retha, 2015).
2.8 Pencegahan
Vaksinasi adalah salah satu cara untuk memproteksi hewan dari infeksi
Leptospira. Selain itu juga sanitasi lingkungan memegang peranan penting
terhadap penularan seperti sanitasi kandang, pengendalian hewan pengerat,
pembatasan aktifitas ke daerah yang basah atau air tergenang dan alam liar. Jika
hewan yang sudah terkontaminasi segera pisahkan dengan hewan sehat sampai
terapi selesai (Retha, 2015).
BAB III
PEMBAHASAN

Jenis/ Nama Hewan : Anjing (Bonek)


Asal Hewan : Padang
Nama Klien : Edi
Alamat Klien : Padang
Sinyalemen : Jenis kelamin : Jantan
Ras : Siberian Husky
Ciri khusus : Putih semua
Status Present : Gizi : Baik
Tempramen : Jinak
Habitus : Normal

Gejala Klinis :

b
c

(a.Telinga kuning, b. Mata kuning, c. Mukosa mulut kuning)

Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
i. Uji ALT/GPT : 62 U/I (N=10-70)
ii. WBC : 25,7 (standarnya: 6.0-17.0)
iii. Limfosit : 3,3 (standarnya: 0,9-5,0)
iv. Monosit : 2,3 (standarnya: 0,3-1,5)
v. Granulosit :20,1 (standarnya: 3,5-12,0)
vi. Hemoglobin : 10,3 (standarnya: 12,0-18,0)
vii. Hematokrit : 28,8 (standarnya: 37,0-55,0)
viii. Eritrosit : 4,80 (standarnya: 5,50-8,50)
ix. MCV : 60,0 (standarnya: 60,0-72,0)
x. MCHC : 35,7 (standarnya: 32,0-38,5)
xi. RDW : 17,8 (standarnya: 12,0-17,5)
xii. PLT : 47 (standarnya: 200-500)

b. Ektoparasit / Kerokan Kulit


i. Caplak : Ada

Diagnosa Penyakit : Leptospirosis


Pencegahan : Vaksinasi
Pengobatan : Terapi cairan

Gambaran klinis infeksi Leptospira bervariasi dari gejala klinis ringan


yang menyerupai penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah
yakni penyakit Weil’s. Pada fase leptospiremia, organisme Leptospira dapat
dikultur dari darah dan memberikan gejala sistemik seperti demam, sakit kepala,
mialgia.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya infeksi konjungtiva
(dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa adanya sekret), eritema faring, nyeri
otot terutama nyeri pada otot gastrocnemius, ditemukannya rhonchi atau pekak
pada pemeriksaan toraks apabila terjadi perdarahan pada paru-paru, jaundice,
maupun hiporefleksia terutama pada kaki (Vinetz, 2012). Gambaran pemeriksaan
darah terdapat adanya peningkatan PCV akibat dehidrasi, leukositosis,
trombositopenia, BUN dan kreatinin yang tinggi, peningkatan enzim hati (SGOT,
SGOP, ALP), proteinuria, isothenuria. Sedangkan diagnosa terhadap agen
penyebab dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratoris yaitu PCR (Retha,
2015).
Gejala klinis infeksi Leptospira pada manusia dan anjing sangat bervariasi,
mulai gejala ringan atau tidak ada tanda-tanda penyakit, sampai menunjukkan
gejala penyakit parah atau kematian (Van de Maele et al., 2008; Saleem et al.,
2012). Acute Kidney Injury (AKI) adalah penyakit yang paling umum dikenal
pada anjing, terhitung lebih dari 90% kasus yang dilaporkan adalah leptospirosis.
Sebanyak 10-20% penyakit hati pada anjing terjadi secara bersamaan dengan
AKI, tetapi juga dapat terjadi secara independen.
Anoreksia, lesu, muntah, poliuria, dan polidipsia adalah tanda-tanda
umum. Ikterus, demam, sakit perut, nyeri otot dan kekakuan, uveitis, dispnoea dan
koagulopati terjadi juga tapi frekuensinya sedikit (Greene, 2008). Anjing bisa
menjadi pembawa Leptospira asimtomatik setelah pulih dari infeksi akut. Anjing
maupun manusia dapat terinfeksi dengan anggota serogrup yang sama, dengan
demikian ada kemungkinan bahwa anjing berfungsi sebagai sumber infeksi bagi
manusia (Koizumi et al., 2008).
Penyakit Weil’s ditandai dengan adanya kombinasi dari jaundice, gagal
ginjal akut (acute kidney injury), hipotensi dan perdarahan (pada umumnya pada
paru). Keterlibatan organ lain seperti adanya aseptik meningitis, uveitis,
kolesistitis, pankreatitis, dan akut abdomen juga dapat terjadi meskipun jarang.
Pada jantung, dapat ditemukan perubahan segmen ST maupun gelombang T serta
right-bundle-branchblock (RBBB) yang menggambarkan terjadinya miokarditis.
Kelainan kulit pada pasien Leptospira umumnya menggambarkan adanya
kelainan di darah, seperti petechiae dan ekimosis. Pemeriksaan fisis pada
abdomen dapat ditemukan adanya hepatomegali dan nyeri tekan akibat kolesistitis
maupun hepatitis. Gagal ginjal akut ditandai dengan adanya fase oliguria dengan
gangguan kadar elektrolit darah yang menggambarkan disfungsi tubulus renal
proksimal. Hipotensi berhubungan dengan nekrosis tubulus akut yang
membutuhkan resusitasi cairan segera serta hemodialisa (Vinetz, 2012).
Diagnosis leptospirosis secara laboratorium masih terbatas positif negatif
Leptospirosis, belum menemukan sumber penularan atau serovar maupun
lingkungan yang potensial untuk tempat perkembangbiakan bakteri leptospira.
Microscopic Aglutination Test (MAT) adalah tes untuk menentukan antibody
aglutinasidi dalam serum penderita leptospirosis dan merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk survei epidemiologi, karena metode ini dapat juga
digunakan untuk mendeteksi serum dari spesies binatang, dan banyaknya antigen
serovar yang digunakan dapat ditambah atau dikurangi tergantung kebutuhan
(Ristiyanto, 2007).
Cara melakukan tes adalah serum penderita direaksikan dengan suspensi
antigen serovar leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi reaksi antigen-
antibodi diperiksa dibawah mikroskop lapang gelap untuk melihat aglutinasi.
Batas akhir pengenceran yang dipakai adalah pengenceran serum tertinggi yang
memperlihatkan 50% aglutinasi (I Made Setiawan 2008).
Pemeriksaan uji imunoserologi sangat penting untuk diagnosis
leptospirosis. Pada umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-
10. Titernya akan meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3
atau ke-4 masa sakit. Uji imunoserologi yang biasa digunakan : (Levett,2003.
Tansupaseri,2005),.1. MAT (Microscopic Agglutination Test) 2. IgM dot ELISA
dipstick test. Hasil penelitian terbaru (Tahiliani, 2005) menyebutkan adanya
antigen spesifik leptospira, yaitu lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold
standard diagnosis leptospirosis.
BAB IV
PENUTUP

TERAPI
 Terapi cairan (Asering 500 ml/hari) untuk menangani dehidrasi yang
terjadi akibat demam dan anoreksia.
 Neurobion injeksi ke dalam cairan infus
 Curcuma plus

PENCEGAHAN
 Vaksinasi
 Sanitasi lingkungan seperti sanitasi kandang, pengendalian hewan
pengerat, pembatasan aktifitas ke daerah yang basah atau air tergenang dan
alam liar.
 Jika hewan sudah terkontaminasi segera pisahkan dengan hewan sehat
sampai terapi selesai

PROGNOSIS
Prognosis leptospirosis ditentukan dengan adanya keterlibatan kerusakan
organ, misalnya gagal ginjal dan perdarahan pulmonal. Penyakit Weil’s memiliki
tingkat mortalitas hingga 40%. Prognosis lebih buruk ditemukan pada penderita
dengan usia tua, kadar kreatinin yang meningkat, oliguria dan trombositopenia.
Leptospirosis umumnya tidak menimbulkan sequelae yang permanen, namun
apabila terjadi gagal ginjal maka diperlukan monitor ketat untuk menilai fungsi
ginjal setelah fase akut terlewati.
DAFTAR PUSTAKA

Dutta Tk, Chistopher M. 2005. Leptospirosis – an Overview. J Assoc Physicians


India 2005. 53: 545-551.
Faine, S . 1982 . Guidelines for The Control Of Leptospirosis. World Health
Organization, Geneva. 171 P.
Greene Gc, Sykes Je, Brown Ca, Hartmann K. 2008. Leptospirosis. Dalam Greene
Ce Editor. Infection Disease Of Dogs And Cats. Missouri: Sounders
Elsevier. Hlm. 402-417.
I Made Setiawan. 2008. Klasifikasi dan Tehnik Klasifikasi Bakteri Leptospira
(Kajian), Jurnal Media Litbang Kesehatan. Volume Xviii Nomor 2 Tahun
2008, Page 98 — 106.
Kusmiyati. Susan M.Noor dan Supar. 2005. Leptospirosis Pada Hewan dan
Manusia Di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Hal. 213-230.
Koizumi N, Muto M, Akachi S, Okano S, Yamamoto S, Horikawa K, Harada S,
Funatsumaru S, Ohnishi M. 2013. Molecular and Serological Investigation
of Leptospira and Leptospirosis in Dogs. Japan J Med. Microbiol 62: 630-
636.
Levett, P .N. 2001 . Leptospirosis. Clinical Microbiol . Review. 14(2):2%-326 .
Levett Pn. 2003. Usefulness of Serologic Analysis as A Prediction of the Infection
Serovar in Patients with Severe Leptospirosis. Clin Infect Dis.
Mcphee Sj, Papadakis Ma. Spirochetal Infection. In: Mcphee Sj, Papadakis Ma,
Editors. 2009. Current Medical Diagnosis And Treatment. 48 Ed. San
Fransisco: Mcgraw Hill.
Retha, M. 2015. Leptospirosis pada Anjing. Artikel 006 - Vitapet Animal Clinic.
Jakarta Utara.
Ristiyanto, Farida, Gambiro, Sri Wahyuni. 2006. Spot Survei Reservoir
Leptopsirosis di Desa Bakung Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten,
Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 34. Nomor 3. 105-110.
Saleem Mh, Khan Ms, Khan Ma, Ijaz M, Hassan A, Mehmood K. 2013.
Serosurveillance Of Canine Leptospirosis Under Different Climatic
Conditions In And Around Lahore, Pakistan. Pak Vet J 33: 241-243.
Senthil Nr, Palanivel Km, Rishikesavan R. 2013. Sereoprevalence of Leptospiral
Antibodies in Canine Population in and Around Namakkal. J Vet Med.
Article Id 971810:4.
Shakinah, S. 2015. Leptospira Dan Penyakit Weil’s. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran. Kalimantan Utara.
Shieh W-J, Edwards C, Levett Pn, Zaki Sr. Leptospirosis. In: Guerrant Rl, Walker
Dh, Weller Pf, Editors.2006. Tropical Infectious Disease: Principles,
Pathogens, And Practice. 2 Ed. Philadelphia: Elsevier. P. 511-6.
Speelman P.2008. Leptospirosis. Harrison’s Principles Of Internal Medical, 17th
Ed, Mc Graw-Hill, New York.
Sykes Je, Hartmann K, Lunn Kf, Moore Ge, Stoddard Ra, Goldstein Re. 2011.
Acvim Small Animal Consensus Statement On Leptospirosis: Diagnosis,
Epidemiology, Treatment, And Prevention. J Vet Intern Med. 25: 1-13.
Tahiliani P, Kumar M Mohan, Chandu D, Kumar A, Nagaraj C, Nandi D. Gel
Purified Lipl32: A Prospective Antigen For Detection Of Leptospirosis.
Journ Post Med, 2005. Tansuphaseri U, Deepradit S, Philsuksonbati D. A
Test Strip Igm Dot-Elisa Assay Using Leptospiral Antigen Of Endemicn
Strains For Serodiagnosis Of Acute Leptospirosis. Journal Medical Assoc
Thai.
Tk D, M C.2005. Leptospirosis - An Overview. Japi.;53:545-51.
Van De Maele I, Claus A, Haesebrouck F, Daminet D. 2008. Leptospirosis In
Dogs: A Review With Emphasis On Clinical Aspects. Vet Rec 163: 409-
413.
Vinetz Jm. Leptospirosis. In: Longo Dl, Fauci As, Kasper Dl, Hauser Sl, Jameson
Jl, Loscalzo J, Editors.2012. Harrison's Principle Of Internal Medicine. 1. 18
Ed. New York: Mcgraw Hill. P.1392 - 6.

Anda mungkin juga menyukai