Oleh:
NIM. 1702101020117
1.2 Tujuan
Untuk mendiagnosa penyakit infeksi leptospirosis berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium sehingga dapat
diberikan penanganan yang tepat sesuai dengan etiologinya.
1.3 Manfaat
Mahasiswa dapat mengidentifikasi penyakit leptospirosis dari etiologi
sampai dengan penanganan dan pencegahannya serta untuk pengobatan penyakit
infeksi leptospirosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,
tipis, lentur dengan panjang 10-20 cm serta memiliki dua lapis membran. Kedua
ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik . Bergerak aktif maju
mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya . Bentuk dan gerakannya
dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras.
Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri
lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis.
Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal,
serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang
terletak diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut
flagela periplasmik.
Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal
pada setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap leptospira peka terhadap asam dan dapat
hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut,
air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Fatne, 1982).
Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae,
genus Leptospira . Leptospira dapat tumbuh di dalam media dasar yang diperkaya
dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan garam
amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob.
Sistem penggolongan Leptospira yang tradisional genus Leptospira dibagi
menjadi dua yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa yang nonpatogen. L.
interrogans dibagi menjadi serogrup dan serovar berdasarkan antigen. Klasifikasi
terbaru dari Leptospira yaitu L. interrogans dibagi menjadi 7 spesies yaitu L.
interrogans, L. weilii, L. santarosai, L . noguchii, L. borgpetersenii, L. inadai, L.
kirschneri dan 5 spesies yang tidak bertitel yaitu spesies 1, 2, 3, 4, dan 5
(LEVETT, 2001) .
Gambar L. interrogans
2.6 Diagnosa
Diagnosa terhadap leptospirosis hanya berdasarkan gejala klinis,
hematologi maupun kimiawi darah. Pemeriksaan hanya akan memperoleh
gambaran adanya gangguan hati dan ginjal. Gambaran pemeriksaan darah terdapat
adanya peningkatan PCV akibat dehidrasi, leukositosis, trombositopenia, BUN
dan kreatinin yang tinggi, peningkatan enzim hati (SGOT, SGOP, ALP),
proteinuria, isothenuria. Sedangkan diagnosa terhadap agen penyebab dapat
dilakukan melalui pemeriksaan laboratoris yaitu PCR (Retha, 2015).
Diagnosa terhadap leptospirosis tidak cukup hanya berdasarkan tanda
klinis, hematologi, dan kimiawi darah. Ada dua uji serologi yang biasa digunakan
yaitu Microscopic Aglutination Test (MAT) dan Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA). MAT merupakan uji serologi yang paling banyak digunakan pada
anjing (Sykes et al., 2011; Senthil et al., 2013). Uji MAT dianggap sebagai baku
emas untuk mendiagnosis leptospirosis (Dutta et al., 2005).
Keberadaan Leptospira di dalam darah dan susu dari hewan yang
memperlihatkan gejala klinis, menunjukkan leptospirosis akut. Mengisolasi
Leptospira dari darah sering tidak berhasil karena fase bakteremia telah lewat atau
darah diambil setelah pasien diobati dengan antibiotika (Kusmiyati, 2005).
2.7 Terapi
Terapi yang dapat dilakukan pada penderita leptospira yaitu terapi cairan
untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat demam dan anoreksia. Jika urin
sedikit atau tidak ada urin dapat dilakukan terapi diuresis yang tidak memberatkan
ginjal. Terapi antibiotika yang tepat yaitu amphicillin setiap 8 jam secara
intravena dan untuk mengeliminasi leptospira dari jaringan interstitial ginjal dapat
menggunakan antibitik doxycycline selama 3 minggu (Retha, 2015).
2.8 Pencegahan
Vaksinasi adalah salah satu cara untuk memproteksi hewan dari infeksi
Leptospira. Selain itu juga sanitasi lingkungan memegang peranan penting
terhadap penularan seperti sanitasi kandang, pengendalian hewan pengerat,
pembatasan aktifitas ke daerah yang basah atau air tergenang dan alam liar. Jika
hewan yang sudah terkontaminasi segera pisahkan dengan hewan sehat sampai
terapi selesai (Retha, 2015).
BAB III
PEMBAHASAN
Gejala Klinis :
b
c
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
i. Uji ALT/GPT : 62 U/I (N=10-70)
ii. WBC : 25,7 (standarnya: 6.0-17.0)
iii. Limfosit : 3,3 (standarnya: 0,9-5,0)
iv. Monosit : 2,3 (standarnya: 0,3-1,5)
v. Granulosit :20,1 (standarnya: 3,5-12,0)
vi. Hemoglobin : 10,3 (standarnya: 12,0-18,0)
vii. Hematokrit : 28,8 (standarnya: 37,0-55,0)
viii. Eritrosit : 4,80 (standarnya: 5,50-8,50)
ix. MCV : 60,0 (standarnya: 60,0-72,0)
x. MCHC : 35,7 (standarnya: 32,0-38,5)
xi. RDW : 17,8 (standarnya: 12,0-17,5)
xii. PLT : 47 (standarnya: 200-500)
TERAPI
Terapi cairan (Asering 500 ml/hari) untuk menangani dehidrasi yang
terjadi akibat demam dan anoreksia.
Neurobion injeksi ke dalam cairan infus
Curcuma plus
PENCEGAHAN
Vaksinasi
Sanitasi lingkungan seperti sanitasi kandang, pengendalian hewan
pengerat, pembatasan aktifitas ke daerah yang basah atau air tergenang dan
alam liar.
Jika hewan sudah terkontaminasi segera pisahkan dengan hewan sehat
sampai terapi selesai
PROGNOSIS
Prognosis leptospirosis ditentukan dengan adanya keterlibatan kerusakan
organ, misalnya gagal ginjal dan perdarahan pulmonal. Penyakit Weil’s memiliki
tingkat mortalitas hingga 40%. Prognosis lebih buruk ditemukan pada penderita
dengan usia tua, kadar kreatinin yang meningkat, oliguria dan trombositopenia.
Leptospirosis umumnya tidak menimbulkan sequelae yang permanen, namun
apabila terjadi gagal ginjal maka diperlukan monitor ketat untuk menilai fungsi
ginjal setelah fase akut terlewati.
DAFTAR PUSTAKA