Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI KASUS BANGSAL

Subarachnoid Hemorrhage

Pembimbing :
dr. Hernawan, Sp.S

Disusunoleh :
Dilla Alfinda Risdiana G4A016079

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSTITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
Subarachnoid Hemorrhage

Pada tanggal, April 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Kesehatan Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Dilla Alfinda Risdiana G4A016079

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hernawan, Sp.S

2
I. Pendahuluan

Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya


pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid
(subaraknoid). Prevalensi terjadinya perdarahan subaraknoid dapat
mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat.
Perdarahan subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55
tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan. Lebih sering
dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2.1

Gambar 1. Lapisan Meninges.

3
II. Tinjauan Pustaka

A. DEFINISI

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya


darah pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses
patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya
ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara
lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter)
yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak
(meninges).2

B. ETIOLOGI

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan


subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak
dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa
jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti3 :
1. Aneurisma sakuler (berry)

Gambar 2.1. Aneurisma sakular (berry).

4
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri
intrakranial. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah
arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri
media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis
interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri
komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%).
Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis dengan
menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum ruptur.
Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat
menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf
kranial ketiga (pasien mengalami dipopia)3.
2. Aneurisma fusiformis

Gambar 2.2. Aneurisma fusiformis.

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk


memanjang disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut
umumnya terjadi pada segmen intrakranial arteri karotis interna,
trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris.
Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis
dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri
basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di
dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan
bekuan intra-aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma
ini biasanya tidak dapat ditangani secara pembedahan saraf,
karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang
memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma

5
sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.3

3. Aneurisma mikotik

Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di


otak. Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya
dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma
mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini
jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.3

Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomalia vasuler


yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan
vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri
berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang
menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri,
akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung
menerima aliran darah tambahan yang berasal dari arteri.
Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur
dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.9
MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan
didapat. MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus,
trauma, atau kraniotomi.1

C. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus
GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya
sekitar 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika
penyebabnya adalah MAV (malformasi arteriovenosa) maka
insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.2

6
D. PATOFISIOLOGI

Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri


serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam
sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara
keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans
anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih
besar adalah di bagian atas bifurcartio arteri basilar ke arteri otak
posterior.4

Gambar 2.3. Lokasi aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi


orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan
aneurisma intrakranial dan ruptur tidak dipahami. Namun,
diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu
yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan
sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis
dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan
disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina

7
elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya,
aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen
dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan
aneurisma bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati
dan untuk resiko ruptur menjadi rendah.4
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran
dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal
pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur
cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture.4
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade
keenam kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma berusia antara 15
dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan
dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari, dan
aktivitas berat.4
Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis
pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-
3 minggu sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-
orang ini meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Puncak kejadian
perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada
risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar
20-25% kembali ruptur dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu
pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi terkait
perdarahan kedua hampir 70%.4

E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma
yang besar, meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,

2. Hilangnya kesadaran,

3. Fotofobia,

4. Meningismus,

8
5. Mual dan muntah.

Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang


hebat dan mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan
yang pada umumnya tidak memperoleh perhatian sepenuhnya
oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda
peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau
lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.5

Tanda-tanda peringatan dapat berupa nyeri kepala yang


mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%),
nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%),
dan beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar
petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah)
dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut : defek
medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri
orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.5

Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat


menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau
nyeri kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis
internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan
penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat.
Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus,
bila tidak menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat
menimbulkan sindrom sinus kavernosus. 5

Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan


disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada
bifucartio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius. 5

Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian


dan lokasi perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan
PSA saja atau kombinasi dengan hematom subdural, intraserebral,
atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis dapat
bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai

9
defiist neurologis berat dan koma. Sementara itu, reflek Babinski
positif bilateral. 5

Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai


koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi
pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA
tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya
hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya
demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis
bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada
arteri komunikans anterior. 5

Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a)


kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh
darah yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya
TIK. Nervus optikus seringkali terkena akibat PSA. Pada
penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya
perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk
PSA. 5

Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang


cukup luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak
sebagai akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan dapat
meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat
menekan secara ekstra-aksial. 5

Iskemik otak yang terjadi kemudian merupakan ancaman serta


pada penderita PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau
seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah
akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu
tau lebih lama lagi. 5

10
F. DIAGNOSIS
Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar
antara 23% hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala
akut harus selalu dievaluasi lebih cermat. Anamnesis yang cermat
mengarahkan untuk mendiagnosis PSA. Maka dari itu faktor resiko
terjadinya PSA perlu diperhatikan seperti pada tabel berikut.1
Bisa dimodifikasi Tidak bisa dimodifikasi
Hipertensi Riwayat pernah menderita PSA
Perokok (masih/riwayat) Riwayat keluarga dengan PSA atau
aneurisma
Konsumsi alkohol Penderita atau riwayat keluarga
menderita polikistik renal
Tingkat pendidikan rendah
BMI rendah
Konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya
Bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam
sebelum onset

Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Untuk menunjang diagnosis, dapat dilakukan
pemeriksan1
1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan
lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam
12 jam pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu
setelah serangan. 1

11
Gambar 2.4. CT scan Perdarahan Subarakhnoid

2. Pungsi Lumbal

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah


diagnostik selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan
pungsi lumbal sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung
diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit,
peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia.
Jumlah eritrosit meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL.
xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan
adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin
dan bilirubin di cairan serebrospinal. 1

3. Angiografi

Digital-substraction cerebral angiography merupakan


baku emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT
angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta
sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti
terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena

12
sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto
radiologi yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset
pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan
adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak.1

Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan


untuk intervensi dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt
dan Hess yang bisa digunakan.

Tabel Skala Hunt dan Hess1

Grade Gambaran Klinis


I Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi meningeal.
Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur
II hidupnya), meningismus, defisit saraf kranial (paresis nervus abdusen
sering ditemukan)
III Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
Stupor, defisit neurologis berat (misalnya, hemiparesis),
IV
manifestasi otonom
V Koma, desebrasi

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa


digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan
subarachnoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada
pemeriksaan CT scan.

13
Tabel Skor Fisher1

Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala


1 Tidak terdeteksi adanya darah
Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah ukuran
2
<1 mm, tidak ada jendalan
Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertikal terdapat darah tebal
3
dengan ukuran >1 mm
Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara
4
difus atau tidak ada darah

G. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan
stroke hemoragik akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu4 :
1. Cerebral venous sinus thrombosis
2. Migrain
3. Meningitis
4. Cluster headache

14
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan
subarakhnoid adalah identifikasi sumber perdarahan dengan
kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan
intravasKular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan
pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau
pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah
arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan tekanan
intrakranial, manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati
dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesik dan pasien harus
istirahat total.1
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial
harus diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus
diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat
yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial
seperti6 :
 Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan
intrakranial secara signifikan (50% dalam 30 menit
pemberian).
 Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan
intrakranial
 Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan
tekanan intrakranial masih kontroversial tapi
direkomendasikan oleh beberapa penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan
ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta
manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya. Tekanan
darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-
obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan
obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130
mmHg. Setelah aneurisma dapat diamankan, sebetulnya

15
hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada
kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesik seringkali
diperlukan, obat-obat narkotika dapat diberikan berdasarkan
indikasi. Dua faktor penting yang dihubungkan dengan luaran
buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena itu keduanya
harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis vena
dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan
peralatan kompresif sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan
setlah dilakukan penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium
channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik,
direkomendasikan nimodipin oral. 1,6
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan
bahwa penambahan obat cilostazol oral pada microsurgical
clipping dapat mencegah kejadian vasospasme serebral dengan
menurunkan resiko-resiko yang memperparah kejadian vasospasme
serebral.7

I. KOMPLIKASI

Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling


sering pada perdarahan subarakhnoid. Tanda dan gejala
vasospasme dapat berupa status mental, defisit neurologis fokal.
Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan
dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple
luas. 1

Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk


mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan
aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan
diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi),
labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah
sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien
selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik
harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala

16
vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-
220 mmHg. 1

Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang


dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan
epilepsi.1

J. PROGNOSIS

Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan


40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat
mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada
komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada
intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2
hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2
bulan pertama.5

Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat pada


tabel Sistem Ogilvy dan Carter berikut ini.

Tabel Sistem Ogilvy dan Carter1


Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan Hess > III
1 Skor skala Fisher > 2
1 Ukurn aneurisma > 10 mm
1 Usia pasien > 50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥ 25mm)

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan


Carter, yaitu skor 5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor
0 mempunyai prognosis lebih baik.
Pendapat lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien
PSA tergantung lokasi dan jumlah perdarahan serta ada tidaknya
komplikasi yang menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-

17
gejala yang berat memperburuk prognosis. Seseorang dapat
sembuh sempurna setelah pengobatan tapi beberapa orang juga
meninggal walaupun sudah menjalani treatment.8
Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-
pasien ditangani secara agresif seperti resusitasi preoperative yang
agresif, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan tekanan
intrakranial dan vasospasme yang agresif serta perawatan intensif
perioperative dengan fasilitas dan tenaga medis yang
mendukung.9
Adapun beberapa penanganan yang dapat dilakukan sendiri di
rumah pasca pengobatan, seperti10 :
1. Mengkonsumsi obat secara teratur

2. Rajin memeriksakan tekanan darah

3. Mengkonsumsi makanan yang sehat

4. Minum banyak cairan

5. Menghindari kebiasan merokok.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto, I. 2012. Penatalaksanaan Perdarahan


Subarakhnoid. Continuing Medical Education. Vol. 39(11).
2. Munir, B. 2015. Neurologi Dasar, p.394.

3. Baehr, M.; Frotcsher, M. 2012. Diagnosis Topik Neurologi


DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Jones, R.; Srinivasan, J.; Allam, G.J.; Baker, R.A. 2014.
Subarachnoid Hemorrhage. Netter's Neurology, p. 526-37.
5. PERDOSSI. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta:
Gajah Mada University Pres.
6. Becske, T. 2014. Subarachnoid Hemorrhage Treatment &
Management. Medscape Reference Drugs, Disease &
Procedures.
7. N S, H K, K K, Y O, A F, etc. 2014. Effects of cilotazol on
cerebral vasospasm after aneurysmal subarachnoid
hemorrhage: a multicenter prospective, randomized, open-
label blinded end point trial. journal of Neurosurgery.
8. Jasmine, L. 2013. Subarachnoid Hemorrhage. Medline Plus.

9. Zuccarello, M.; McMahon, N. 2013. Arteriovenous


Malformation (AVM). Mayfield Clinic.
10. Wahjoepurmono, E.J; Junus, J. 2003. Tindakan Pembedahan
pada Penderita Aneurisma Intrakranial. Vol 22(2).
11. Yahya, R.C. 2014. Stroke Hemragik - Defenisi, Penyebaba &
Pengobatan Stroke Perdarahan Otak. Jevuska.

19

Anda mungkin juga menyukai