Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi cacing tanah (Lumbricus rubellus) adalah sebagai berikut

(Arifiyanti, 2009) :

Kerajaan : Animalia

Filum : Annelida

Kelas : Citellata

Bangsa : Haplotaxida

Suku : Lumbricidae

Marga : Lumbricus

Jenis : Lumbricus rubellus Hoffmeister

2.1.2 Deskripsi

Cacing tanah (L.rubellus) tergolong ke dalam kelompok binatang

avertebrata (tidak bertulang belakang) sehingga sering disebut binatang lunak.

Seluruh tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin sehingga

digolongkan dalam filum Annelida. Di setiap segmen terdapat rambut yang keras

dan berukuran pendek yang juga disebut seta. Oleh karena jumlah seta pada tubuh

cacing L. rubellus sangat sedikit maka cacing ini dimasukkan ke dalam kelas

Oligochaeta. Istilah cacing tanah (earthworm) sendiri hanya ditujukan pada

binatang kelas Oligochaeta ini (Purwaningrom, 2010). Cacing tanah hidup di

tempat atau tanah yang terlindung dari sinar matahari, lembap, gembur, dan

6
mengandung banyak serasah. Habitat ini sangat spesifik bagi cacing tanah untuk

tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Marga Lumbricus ini sangat menyukai

bahan organik yang berasal dari kotoran ternak dan sisa-sisa tumbuhan

(Palungkun, 2008). Untuk bergerak, cacing tanah harus menggunakan otot-otot

tubuhnya yang panjang dan tebal yang melingkari tubuhnya. Adanya kelenjar

pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dapat mempermudah

pergerakannya di tempat-tempat yang padat dan kasar (Palungkun, 2008). Cacing

tanah dewasa memiliki klitelium yang merupakan alat untuk membantu

perkembangbiakan. Organ ini merupakan bagian dari tubuh yang menebal dan

warnanya lebih terang dari warna tubuhnya. Pada cacing yang masih muda, organ

ini belum tampak karena hanya terbentuk saat cacing mencapai dewasa, sekitar 2-

3 bulan (Edwards dan Bohlen, 2002). Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi

pada tubuhnya terdapat prostomium. Prostomium ini merupakan organ saraf

perasa dan berbentuk seperti bibir. Prostomium terdapat di bagian depan

tubuhnya. Adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda

benda di sekelilingnya (Edwards dan Bohlen, 2002).

2.1.3 Anatomis dan Morfologis

Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Eriska (2010) menjelaskan bahwa

cacing tanah yang ditemukan hidup di tumpukan sampah dan tanah sekitarnya

mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara beberapa

milimeter sampai 15 cm atau lebih.

7
Gambar morfologi cacing tanah dapat dilihat di bawah ini :

Gambar 2.1. Morfologi cacing tanah

Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun

oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara

integral, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis

dan seta, kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut), bersifat hemaphrodit

(berkelamin ganda) dengan peranti kelamin seadanya pada segmen-segmen

tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak

membentuk klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon

(selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin (kopulasi), telur

akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing

dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian

anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal

membentuk klitelium (Edwards dan Lofty, 2000).

Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang

mengandung coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem

vaskuler tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran

dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi

(pernapasan) terjadi melalui kutikuler (Hanafiah, dkk. 2005).

8
Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya

dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar

air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi

dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah

(Buckman & Brady, 2000). Selanjutnya Wallwork (2002) menjelaskan bahwa

keberadaan dan kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan

oleh faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber

bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan

pertanian turut mempengaruhi keberadaan dan distribusi cacing tanah tersebut.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai

berikut :

1. Kelembaban tanah

Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktifitas pergerakan cacing

tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat

tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan

masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu

hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara

berpindah ketempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terretris

misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70 % dari air tubuhnya.

Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing

tanah. Cacing tanah menyukai kelembaban sekitar 12,5-17,2 % (Agustini,

2006). Rukmana (2000) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang terlalu

tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat

9
dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing

tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya

mati. Kelembaban yang ideal untuk cacing tanah adalah antara 15%-50%,

namun kelembaban optimumnya adalah antara 42%-60%. Kelembaban

tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah

berwarna pucat dan kemudian mati.

2. Suhu (temperatur) tanah

Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang

ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Di samping itu

suhu tanah pada umumnya mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan

metabolism hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu

optimum (Odum, 2001). Suhu tanah pada umumnya dapat mempengaruhi

pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah

memiliki kisaran suhu optimum tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu

optimumnya 15–180 C, L. Terrestris ±100 C, sedangkan kondisi yang sesuai

untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada waktu malam hari

ketika suhu tidak melebihi 10,50 C (Wallwork, 2002).

3. pH Tanah

Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing

tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya.

Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 4,5- 6,6, tetapi dengan

bahan organic tanah yang tinggi mampu berkembang pada pH 3 (Brata,

2009). Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena pH-nya

asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya

10
berkembang biak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur

hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 2000). Di samping itu,

tanah dengan pH asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan

(fermentasi) bahanbahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang

mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah.

Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai

mendekati pH netral (Brata, 2009).Cacing tanah sangat sensitif terhadap

keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam

menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Dari

penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah

menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam

tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan.

Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi

oleh pH tanah (Edwards & Lofty, 2000).

4. Kadar Organik

Suin (2001) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan

kepadatan organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa

tumbuhan, hewan organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun

yang sedang terdekomposisi. Selanjutnya Buckman & Brady (2002)

mengatakan bahwa materi organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu

ada perubahan dengan penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan

penguraian materi organik oleh jasad pengurai. Materi organik mempunyai

pengaruh besar pada sifat tanah karena dapat menyebabkan tanah menjadi

gembur, meningkatkan kemampuan mengikat air, meningkatkan absorpsi

11
kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara. Bahan organik tanah sangat

besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena

bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan

kehidupannya. Bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah

dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi

dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar, 2009).

5. Vegetasi

Suin (2001) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya

rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik

dan sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut

Edwards & Lofty (2000) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas

vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman

spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada

umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan kurang

menyenangi serasah pohon gugur dan daun yang berbentuk jarum.

Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang

tidak mengandung tanin. Jumlah dan distribusi serasah mempengaruhi

kepadatan populasi cacing tanah. Cacing tanah dapat menghancurkan

sejumlah besar serasah tahunan di lantai hutan. Jika tempat tersebut populasi

cacing tanah tinggi menunjukkan jenis serasah tersebut sangat disukai oleh

cacing tanah (Wallwork, 2002).

12
2.2 Tanaman Nilam (Pogostemon cablin benth)

2.2.1 Taksonomi Tanaman Nilam

Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman obat asli Indonesia.

Berdasarkan sifat tumbuhnya, tanaman nilam termasuk kedalam tanaman tahunan.

Tanaman ini merupakan tanaman semak yang tumbuh berkelompok, memiliki

banyak percabangan, berbuku-buku, dan mempunyai aroma yang khas. Nilam

termasuk suku Labiatae yang memiliki sekitar 200 genus, antara lain Pogostemon.

menurut Rukmana (2003) taksonomi tanaman nilam diklasifikasikan sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)

Ordo : Labiatales

Famili : Labiatae

Genus : Pogostemon

Spesies : Pogostemon cablin Benth

Tanaman nilam merupakan tanaman perdu yang tingginyanya bisa

mencapai lebih dari 1 meter. Perakaran tanaman nilam adalah akar serabut yang

wangi dan tumbuhnya menjalar didalam tanah. Akar-akar sekunder tanaman nilam

yang sudah dewasa menyebar sekitar 20-30 cm di bawah permukaan tanah.

Tanaman nilam yang berasal dari perbanyakan vegetatif (stek)biasanya memiliki

akar serabut yang lebih kuat sehingga dapat berdiri tegak dan kuat. (Nainggollan,

2002).

13
Gambar 2.2 a. Tanaman nilam b.(b1) daun, (b2) tangkai daun, (b3) batang.

Batang tanaman nilam yaitu berkayu yang panjangnya kira-kira 20-40 cm

dengan diameter sekitar 10-20 mm. Sistem percabangan tanaman nilam bertingkat

mengelilingi batang, biasanya 3-5 cabang per-tingkat dan cabang berjumlah

banyak. Tinggi tanaman nilam bisa mencapai 1 meter lebih dengan radius

cabang selebar kurang lebih 60 cm jika tanaman sudah berumur 6 bulan.

Daun tanaman nilam berbentuk bulat oval hingga bulat panjang (lonjong)

dan menyerupai jantung. Ukuran daun ini sekitar 5-10 cm. Daun yang berwarna

hijau ini tipis dan tidak kaku. Permukaan daun bagian atas terdapat bulu-bulu dan

kasar. Letak duduk daun saling berhadap-hadapan, bagian ujung daun tumpul dan

urat daun menonjol keluar, sebagian besar daun yang melekat pada ranting

hamper selalu berpasangan satu sama lain. Daun diremas akan tercium bau harum,

dan pada jaman dahulu masyarakat menjadikan daun nilam sebagai pengganti

sabun dan sekaligus untuk memberikan bau wangi. (Mangun, 2008). Tanaman

nilam jarang berbunga, bahkan ketika penanamannya diharapkan tidak mencapai

proses generative karena mengurangi jumlah dari minyak atsisrinya. Bunga

tanaman nilam tumbuh di ujung tangkai, bergerombol dan memiliki karakteristik

warna ungu kemerahan. Tangkai bunga memiliki panjang antara 2 - 8 cm dengan

14
diameter antara 1 - 15 cm dengan mahkota berbentuk pipa berukuran 8 mm

dengan stilus dan dua stigma. Buah atau biji berbentuk menyerupai polong

berjumlah 4 dan berukuran kecil.

2.2.2 Syarat Tumbuh

Syarat tumbuh nilam ada beberapa yaitu tanah, cahaya matahari,

ketinggian,curah hujan, kelembaban. Tanaman nilam dapat tumbuh dimana saja,

baik sawah, galengan, pekarangan rumah atau dihutan yang baru dibuka, namun

untukmendapatkan kualitas nilam yang baik tanaman nilam harus tumbuh pada

tanah yang subur dan gembur, kaya akan humus dan tidak tergenang merupakan

tanah yang sangat sesuai untuk tanaman nilam. Jenis tanah yang paling sesuai

adalah tanah yang subur mempunyai tekstur halus, kaya lumut, dan dapat diolah

seperti andosol atau latosol dengan kemiringan kurang dari 15 derajat (Nuryani,

2006). Keasaman tanahnya (pH) antara 6-7, memiliki daya resapan tanah yang

baik, dan tidak menyebabkan genangan air pada musim hujan (Subroto, 2007).

Tanah yang terlalu asam, makan tanaman nilam akan menjadi kerdil,

kekerdilan ini disebabkan oleh Al yang larut didalamnya. Peningkatan pH tanah

dilakukan dengan pengapuran namun jika tanah terlalu basa maka akan

menyebabkan garam mangan (Mn) tidak dapat diserap tanaman sehingga beuk

daun nilam akan kurus kering (Subroto, 2007). Tanah yang kandungan airnya

tinggi perlu dilakukan drainasi yang baik. Tanaman nilam yang terlalu banyak

kandungan air pada tanahnya menyebabkan mudah terserang penyakit akar busuk

yang disebabkan cendawan phytoptora.

Menurut Nuryani (2005), agar tanaman nilam tumbuh dengan optimal,

tanaman nilam memerlukan intensitas penyinaran cahaya matahari yang banyak

15
berkisar 75%-100%. Daerah yang tertutupi nilam dapat tumbuh dengan baik

namun kadar minyak lebih rendah dari pada tempat dengan intensitas cahaya yang

maksimal. Nilam yang tumbuh pada cahaya rendah berakar lebih kecil, jumlah

terbatas dan tersusun dari sel yang berdinding tipis, hal tersebut berdampak pada

laju fotosintesis yang menurun. Penyebab dari menurunnya laju fotosintesis

karena adanya fotooksidasi klorofil yang berlangsung cepat, sehingga merusak

klorofil. Intensitas cahaya yang optimal kelembaban udara berkurang sehingga

proses tranpirasi berlangsung cepat. Intensitas cahaya yang terlalu rendah akan

membatasi fotosintesis dan menyebabkan cadangan makanan cenderung lebih

banyak dipakai daripada disimpan (Haryanti, 2010).

Intensitas cahaya berpengaruh juga pada warna dan ukuran daun nilam.

Kedaan lingkungan yang tanpa pelindung menyebabkan daun nilam kecil, agak

tebal dan berwarna merah kekuning-kuningan, meskipun demikian kadar dari

minyak daun nilam lebih tinggi. Pengaruh pencahayaan matahari sebagaimana

diuraikan di atas dijelaskan sebagai berikut: (Subroto, 2007). Jenis cahaya yang

dibutuhkan adalah cahaya putih. Cahaya matahari berperan sebagai sumber

energy untuk proses fotosintesis bagi setiap tanaman. Tanaman nilam untuk

produksi minyak lebih cocok ditempatkan pada cahaya matahari yang langsung

menyinari karena dapat meningkatkan kadar minyaknya.

Nilam dapat tumbuh dan berkembang di dataran rendah sampai pada

dataran tinggi yang mempunyai ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut. Nilam

akan tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada ketinggian tempat antara

50-400 m dpl. Dataran rendah kadar minyak lebih tinggi tetapi kadar patchouli

16
alcohol lebih rendah, sebaliknya pada dataran tinggi kadar minyak rendah, kadar

patchouli alkohol (Pa) tinggi (Nuryani, 2005).

Air mempengaruhi pertumbuhan tanaman, diantaranya sebagai pelarut

zat nutrisi, pembentuk gula dan pati, sarana pengangkutan hara dalam tanaman,

pertumbuhan sel, pembentukan enzim, dan menjaga stabilitas suhu. Curah hujan

dibutuhkan tanaman nilam relatiff tinggi, yaitu sekitar 2300-3000 mm per tahun,

dengan penyebaran merata sepanjang tahun (Subroto, 2007).

Reaksi setiap tanaman terhadap kelembapan tergantung pada jenis

tanaman itu sendiri. Tanaman yang tumbuh di dataran yang rendah, pada

umumnya membutuhkan kelembapan yang tidak terlalu tinggi untuk

melangsungkan pertumbuhannya, sebaliknya jika tanaman itu tumbuh di dataran

tinggi, pada umumnya membutuhkan kelembapan yang tinggi. Tanaman nilam

agar dapat tumbuh dengan optimal membutuhkan kelembapan sekitar 60-70%

(Subroto, 2007).

17

Anda mungkin juga menyukai