Disusun oleh:
DAFTAR ISI
SAMPUL
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN: APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?
MENGAPA HARUS BELAJAR ETIKA KEFARMASIAN?
ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME,
HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM
SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS?
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN BERBEDA DI SETIAP NEGARA?
BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS?
ETIKA
MORAL
ETIKA Vs MORAL
ETIKET
PERBEDAAN ETIKA & ETIKET
ETIKA PROFESI
SISTEM PENILAIAN ETIKA
PENGERTIAN PROFESI
PROFESI, PROFESIONAL, CIRI-CIRI PROFESI
PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI, SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI
KODE ETIK PROFESI
PERKEMBANGAN KODE ETIK, TUJUAN KODE ETIK PROFESI
FUNGSI, TUNTUTAN DAN KARAKTERISTIK KODE ETIK PROFESI
PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK, SANKSI PELANGGARAN
PRAKTIK PELAKSANAAN KODE ETIK
SUMPAH APOTEKER
JENIS PELANGGARAN KEGIATAN DI APOTEK
KOMPILASI KASUS RUMAH SAKIT
CONTOH PELANGGARAN ETIKA
KASUS PRODUKSI
KASUS PENGADAAN
KASUS DISTRIBUSI
KASUS PELAYANAN
KASUS MARKETING
APOTEKER DALAM DILEMA
PENDIRIAN APOTEK
UU KESEHATAN NO.36/2009 DIGUGAT!
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN JABARAN IMPLEMENTASINYA
IMPLEMENTASI SIKAP APOTEKER BERDASARKAN KODE ETIK ???
KODE ETIK PEMASARAN USAHA FARMASI INDONESIA
SUPLEMEN
PENDAHULUAN
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?
Perhatikan kaus-kasus berikut ini, yang sangat mungkin terjadi hampir di semua negara:
Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut menimbulkan
pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan apoteker bukan dari segi ilmiah ataupun
teknis seperti bagaimana menangani resep atau produksi obat ataupun bagaimana melakukan
penelitian yangsesuai dengan ethical clearence, namun pertanyaan yang muncul adalah mengenai
nilai, hak-hak, dan tanggung jawab. Apoteker akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini
sesering dia menghadapi pertanyaan ilmiah maupun teknis. Di dalam praktek kedokteran, tidak
peduli apakah spesialisasinya maupun tempat kerjanya, beberapa pertanyaan lebih mudah dijawab
dibandingkan pertanyaan lain. Jadi apakah sebenarnya etika itu dan bagaimanakah etika dapat
menolong apoteker berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu?
Secara sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral
secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa
lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan
tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’, ’tanggung
jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan ’salah’,
’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya
(knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan keduanya
adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan
keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain. Karena etika
berhubungan dengan semua aspek dari tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia maka
etika merupakan bidang kajian yang sangat luas dan kompleks dengan berbagai cabang dan
subdevisi.
Sebagian, hanya sebagian saja, yang valid. Secara bertahap sekolah-sekolah pendidikan
apoteker di dunia mulai menyadari bahwa mereka perlu membekali mahasiswanya dengan sumber
dan waktu yang cukup untuk belajar etika. Etika merupakan dan akan selalu menjadi komponen
yang penting dalam praktek pengobatan. Prinsip-prinsip etika seperti menghargai orang, tujuan
yang jelas dan kerahasiaan merupakan dasar dalam hubungan apoteker-pasien. Walaupun begitu,
penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam situasi khusus sering problematis, karena dokter,
apoteker, pasien, keluarga mereka, dan profesi kesehatan lain mungkin tidak setuju dengan
tindakan yang sebenarnya benar dilakukan dalam situasi tersebut. Belajar etika akan menyiapkan
mahasiswa kefarmasian untuk mengenali situasi-situasi yang sulit dan melaluinya dengan cara
yang benar sesuai prinsip dan rasional. Etika juga penting dalam hubungan apoteker dengan
masyarakat dan kolega mereka dan dalam melakukan penelitian kedokteran. Sangat
sering, bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang
etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan
yang tidak etis.
Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya sejak masa
Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang dianggap sebagai pelopor etika kedokteran
pada abad ke-5 SM. Dari Hippocrates muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli
pengobatan membuat janji di depan masyarakat bahwa mereka akan menempatkan kepentingan
pasien mereka di atas kepentingan mereka sendiri. Saat ini etika kedokteran telah banyak
dipengaruhi oleh perkembangan dalam hak asasi manusia.
Di dalam dunia yang multikultural dan pluralis, dengan berbagai tradisi moral yang
berbeda, persetujuan hak asasi manusia internasional utama dapat memberikan dasar bagi etika
kefarmasian yang dapat diterima melampaui batas negara dan kultural. Lebih dari pada itu,
apoteker sering harus berhubungan dengan masalah-masalah medis dan obat karena pelanggaran
hak asasi manusia, seperti migrasi paksa, penyiksaan, dan sangat dipengaruhi oleh perdebatan
apakah pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia karena jawaban dari pertanyaan ini di
beberapa negara tertentu akan menentukan siapakah yang memiliki hak untuk mendapatkan
perawatan medis.
Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di semua negara ada
hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan
masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan memberikan ijin
praktek apoteker di setiap negara bisa dan memang menghukum apoteker yang melanggar etika.
Namun etika dan hukum tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi
dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang
menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis. Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara
sedangkan etika dapat diterapkan tanpa melihat batas negara. Namun pengobatan ilmiah memiliki
keterbatasan terutama jika berhubungna dengan manusia secara individual, budaya, agama,
kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni pengobatan melibatkan aplikasi ilmu dan
teknologi pengobatan terhadap pasien secara individual, keluarga, dan masyarakat sehingga
keduanya tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari perbedaan individu, keluarga, dan
masyarakat bukanlah non-fisiologis namun dalam mengenali dan berhadapan dengan perbedaan-
perbedaan ini di mana seni, kemanusiaan, dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki
peranan yang penting. Bahkan etika sendiri diperkaya oleh disiplin ilmu yang lain, sebagai contoh,
presentasi dilema klinis secara teatrikal dapat menjadi stimulus yang lebih baik dalam refleksi dan
analisis etis dibanding deskripsi kasus sederhana.
Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan prinsip etika profesi dengan
derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain. Prinsip etika profesi itu meliputi belas kasih,
kompeten, dan otonomi.
Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang lain, merupakan hal yang pokok
dalam praktek pengobatan. Agar dapat mengatasi masalah pasien, apoteker harus memberikan
perhatian terhadapkeluhan/gejala yang dialami pasien dan memberikan nasehat yang meredakan
gejala tersebut dengan pengobatan dan harus bersedia membantu pasien mendapatkan
pertolongan. Pasien akan merespon dengan lebih baik jika dia merasa bahwa apotekernya
menghargai masalah mereka dan tidak hanya sebatas melakukan pengobatan terhadap penyakit
mereka.
Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh apoteker. Kurang kompeten dapat
menyebabkan kematian atau morbiditas pasien yang serius. Apoteker harus menjalani pelatihan
yang lama agar tercapai kompetensinya. Cepatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi di
bidang kefarmasian dan kedokteran, merupakan tantangan tersendiri bagi apoteker agar selalu
menjaga kompetensinya. Terlebih lagi tidak hanya pengetahuan ilmiah dan ketrampilan teknis
yang harus dijaga namun juga pengetahuan etis, ketrampilan, dan tingkah laku. Masalah etis akan
muncul sejalan dengan perubahan dalam praktek kefarmasian, lingkungan sosial dan politik.
Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari pengobatan yang berubah dalam tahun-
tahun terakhir ini. Apoteker secara pribadi telah lama menikmati otonomi pengobatan yang tinggi
dalam menetukan bagaimana menangani pasien mereka. Apoteker secara kolektif (profesi
kesehatan) bebas dalam menentukan standar pendidikan farmasi dan praktek pengobatan. Masih
ada ditemukan (walaupun sedikit), apoteker yang menghargai otonomi profesional dan klinik
mereka, dan mencoba untuk tetap menjaganya sebanyak mungkin. Pada saat yang sama, juga
terjadi penerimaan oleh apoteker di penjuru dunia untuk menerima otonomi dari pasien, yang
berarti pasien seharusnya menjadi pembuat keputusan tertinggi dalam masalah yang menyangkut
diri mereka sendiri.
Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika kefarmasian berbeda dengan etika
secara umum yang dapat diterapkan terhadap setiap orang. Etika kefarmasian masih terikat dengan
Sumpah dan Kode Etik Apoteker. Sumpah dan kode etik beragam di setiap negara bahkan dalam
satu negara, namun ada persamaan, termasuk janji bahwa apoteker akan mempertimbangkan
kepentingan pasien diatas kepentingannya sendiri, tidak akan melakukan deskriminasi terhadap
pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan menjaga kerahasiaan informasi
pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat terhadap siapapun yang membutuhkan.
Etika bersifat pluralistik. Setiap orang memiliki perbedaan terhadap penilaian benar atau
salah bahkan jika ada persamaan bisa saja hal tersebut berbeda dalam alasannya. Di beberapa
masyarakat, perbedaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal dan ada kebebasan besar
bagi seseorang untuk melakukan apa yang dia mau, sejauh tidak melanggar hak orang lain. Namun
di dalam masyarakat yang lebih tradisional, ada persamaan dan persetujuan pada etika dan ada
tekanan sosial yang lebih besar, kadang bahkan didukung oleh hukum, dalam bertindak
berdasarkan ketentuan tertentu. Dalam masyarakat tersebut budaya dan agama sering memainkan
peran yang dominan dalam menentukan perilaku yang etis.
Jawaban terhadap pertanyaan, ”siapakah yang menentukan sesuatu itu etis untuk seseorang
secara umum?” karena itu bervariasi dari satu masyarakat dibanding masyarakat yang lain dan
bahkan dalam satu masyarakat sendiri. Dalam masyarakat liberal, setiap individu memiliki
kebebasan yang besar dalam menentukan bagi dirinya sendiri apakah yang etis, walaupun
sepertinya mereka akan sangat dipengaruhi oleh keluarga, teman, agama, media, dan
sumbersumber eksternal lain yang mereka dapat. Dalam masyarakat yang lebih tradisional,
keluarga dan garis keturunan, pemimpin agama, dan tokoh politik biasanya memiliki peran lebih
besar dalam menentukan apa yang etis dan tidak etis bagi seseorang. Terlepas dari perbedaan ini,
sepertinya sebagian besar manusia setuju dengan beberapa prinsip fundamental dari etika, sebut
saja, hak asasi manusia yang dinyatakan dalam United Nations Universal Declaration of Human
Rights serta dokumen lain yang telah diterima dan tertulis secara resmi. Hak-hak asasi manusia
yang terutama penting dalam etika kefarmasian adalah hak untuk hidup, bebas dari deskriminasi,
bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak pantas,
bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di suatu negara,
dan pelayanan kefarmasian.
Bagi apoteker, pertanyaan ”siapakah yang menentukan sesuatu etis atau tidak?” sampai
saat ini memiliki jawaban yang berbeda-beda. Selama berabad-abad profesi kesehatan telah
mengembangkan standar perilakunya sendiri untuk anggotanya, yang tercermin dalam kode etik
dan dokumen kebijakan yang terkait. Dalam tingkatan yang global, IPF (International Pharmachist
Federation) telah menetapkan pernyataan etis yang sangat luas yang mengatur perilaku yang
diharuskan dimiliki oleh apoteker tanpa memandang dimana dan kapan dia berada dan melakukan
praktek. Banyak ikatan apoteker di suatu negara (jika tidak sebagian besar) bertanggung jawab
terhadap pengembangan dan pelaksanaan standar etis yang aplikatif. Standar tersebut mungkin
memiliki status legal, tergantung pendekatan negara tersebut terhadap hukum praktek medis.
Meskipun demikian, kehormatan profesi kefarmasian tidaklah bersifat absolut. Sebagai contoh:
Apoteker akan selalu dihadapkan pada hukum yang berlaku dimana dia berada dan kadang dihukum
karena melanggar hukum.
Beberapa organisasi kesehatan sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran agama, yang mengakibatkan
adanya kewajiban tambahan terhadap anggotanya selain kewajiban apoteker secara umum.
Di banyak negara organisasi yang menetapkan standar bagi perilaku apoteker dan memonitor
kepatuhan, mereka memiliki anggota yang berpengaruh yang bukan apoteker.
Instruksi etis resmi dari organisasi profesi apoteker secara umum sama, mereka tidak selalu
dapat diterapkan di setiap situasi yang mungkin dihadapi apoteker dalam praktek kefarmasian
mereka. Di dalam kebanyakan situasi, apoteker harus memutuskan untuk dirinya sendiri apakah
yang benar untuk dilakukan, namun dalam mengambil keputusan tersebut, akan sangat membantu
jika mereka mengetahui apa yang dilakukan apoteker lain dalam situasi yang sama. Kode etik
apoteker dan kebijakan yang berlaku merupakan konsensus umum bagaimana seorang apoteker
harus bertindak dan harus diikuti kecuali ada alasan yang lebih baik mengapa harus melanggarnya.
Sampai saat ini apoteker memiliki hak dan tugas untuk memutuskan bagaimana pasien
harus diberi obat dan tidak ada keharusan mendapatkan ijin tertulis pasien. Namun sejak
Declaration on the Right of the Patient tahun 1995 dimulai dengan kalimat: “Hubungan antara
dokter, pasien mereka, dan masyarakat yang lebih luas telah mengalami perubahan yang nyata saat
ini. Walaupun seorang dokter harus selalu bertindak benar menurut pemikirannya, dan selalu
berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, usaha yang sama juga harus tetap dilakukan dalam
menjamin otonomi dan keadilan pasien”. Saat ini orang-orang mulai berfikir bahwa diri mereka
sendiri merupakan penyedia kesehatan utama bagi mereka sendiri dan bahwa peran tenaga
kesehatan adalah bertindak sebagai konsultan dan instruktur. Walaupun penekanan terhadap
perawatan sendiri ini jauh dari keumuman, namun sepertinya terus menyebar dan menggejala
dalam perkembangan hubungan pasien-dokter-tenaga kesehatan lainnya yang memunculkan
kewajiban etik yang berbeda bagi apoteker dibanding sebelumnya. Hingga akhir-akhir ini apoteker
menganggap diri mereka sendiri bertanggung jawab terhadap diri sendiri, kepada kolega profesi
kesehatan mereka, dan terhadap agama yang dianut, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat ini, mereka
memiliki tanggung jawab tambahan – terhadap pasien mereka, kepada pihak ketiga seperti rumah
sakit, organisasi yang mengambil keputusan medis terhadap pasien, kepada pemegang kebijakan
dan perijinan praktek, dan bahkan sering kepada pengadilan. Berbagai tanggung jawab yang
berbeda ini dapat saling bertentangan satu sama lain, yang akan terlihat dalam bahasan loyalitas
ganda.
Etika kefarmasian juga telah berubah dengan cara yang lain. Ontoh keterlibatan dalam
aborsi dilarang dalam kode etik dokter sampai beberapa saat yang lalu, namun sekarang dapat
ditoleransi dalam kondisi tertentu oleh profesi kesehatan di beberapa negara. Sedangkan dalam
etika kedokteran tradisional dokter hanya bertanggung jawab terhadap pasien mereka secara
pribadi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis memunculkan masalah etis baru yang
tidak dapat dijawab oleh etika kefarmasian tradisional. Reproduksi buatan, genetika, informatika
kesehatan serta teknologi perbaikan kehidupan dan teknologi untuk memperpanjang kehidupan,
kesemuanya memerlukan keterlibatan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, sangat berpotensi
menguntungkan pasien namun juga sangat berpotensi merugikan pasien tergantung bagaimana
menerapkannya. Untuk membantu bagaimana memutuskan dan dalam kondisi apa apoteker dapat
melakukan hal tersebut, organisasi profesi apoteker harus menggunakan metode analisis yang
berbeda tidak hanya berdasarkan kode etik yang telah ada. Selain perubahan dalam etika
kefarmasian yang jelas memang terjadi, sudah ada persetujuan diantara apoteker atau ornagisasi
profesi bahwa nilai fundamental dan prinsip-prinsip etis tidaklah berubah, karena tidak bisa
dihindari bahwa manusia akan selalu memiliki masalah kesehatan sehingga mereka akan terus
memerlukan tenaga kesehatan yang otonom, kompeten, dan berbelas kasih untuk merawat mereka.
Dalam merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medis dan nilai-nilai
sosial, maka etika kefarmasian bervariasi dari satu negara dengan negara yang lain tergantung
faktot-faktor tersebut. Suatu contoh pada kasus euthanasia, terdapat perbedaan yang nyata terhadap
opini dari ikatan dokter di setiap negara. Beberapa organisasi mengutuknya, sedangkan Ikatan
Dokter Kerajaan Belanda memperbolehkannya dalam kondisi tertentu. Demikian juga yang
berhubungan dengan kesempatan memperoleh pelayanan medis, beberapa ikatan dokter disuatu
negara mendukung persamaan hak untuk semua warga negara, sedangkan di negara lain
mentoleransi ketidaksamaan hak memperoleh pelayanan kesehatan bagi warganya. Di beberapa
negara ada ketertarikan yang besar terhadap masalah-masalah etik yang muncul karena adanya
kemajuan teknologi pengobatan sedangkan di negara yang tidak memiliki akses terhadap teknologi
tersebut, masalah-masalah etik tentu tidak muncul. Apoteker di beberapa negara cukup yakin
bahwa mereka tidak akan ditekan oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu yang tidak etis namun
di negara lain mungkin akan sulit bagi mereka memenuhi kewajiban etis, seperti menjaga
kerahasiaan pasien jika berhadapan dengan polisi atau permintaan angkatan bersenjata untuk
melaporkan adanya jejak/luka yang mencurigakan pada seorang pasien
Walaupun perbedaan ini terlihat sangat nyata, persamaan yang ada jauh lebih besar lagi.
Apoteker di seluruh dunia memiliki banyak persamaan, dan ketika mereka berhimpun bersama
dalam suatu organisasi seperti IPF akan mencapai suatu kesepakatan mengenai masalah-masalah
etik yang kontroversial, walaupun kadang harus melewati debat yang panjang. Nilai pokok dari
etika kefarmasian, seperti belas kasih, kompetensi, dan otonomi, bersamaan dengan pengalaman
dan ketrampilan di semua bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh apoteker
memberikan dasar dalam menganalisa masalah masalah etik dalam pengobatan dan memunculkan
suatu solusi yang berdasarkan kepentingan terbaik bagi pasien secara pribadi dan warga negara
serta kesehatan masyarakat secara umum.
Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mengambil keputusan etis dan
dalam mengimplementasikannya. Bagi apoteker secara pribadi dan mahasiswa farmasi, etika
kefarmasian tidak hanya terbatas pada rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh IPF atau
organisasi kesehatan yang lain karena rekomendasi tersebut sifatnya sangat umum dan setiap orang
harus memutuskan apakah hal itu dapat diterapkan pada situasi yang sedang dihadapi atau tidak
dan terlebih lagi banyak masalah etika yang muncul dalam praktek kefarmasian yang belum ada
petunjuk bagi ikatan apoteker. Ada berbagai cara berbeda dalam pendekatan masalah-masalah
etika seperti dalam contoh kasus pada bagian awal tulisan ini. Secara kasar cara pendekatan
penyelesaian masalah etika dapat dibagi menjadi dua kategori rasional dan non-rasional. Penting
untuk mengingat bahwa non-rasional bukan berarti irrasional namun hanya dibedakan dari
sistematika, dan alasan yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan.
1. Pendekatan-pendekatan non-rasional:
Kepatuhan merupakan cara yang umum dalam membuat keputusan etis, terutama oleh anak-anak
dan mereka yang bekerja dalam struktur kepangkatan (militer, kipolisian, beberapa organisasi
keagamaan, berbagai corak bisnis). Moralitas hanya mengikuti aturan atau perintah dari penguasa
tidak memandang apakah anda setuju atau tidak.
Imitasi serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap benar dan
salah dan mengambil penilaian orang lain sebagai acuan karena dia adalah panutan. Moralitas
hanya mengikuti contoh yang diberikan oleh orang yang menjadi panutan. Ini mungkin cara yang
paling umum mempelajari etika kedokteran, dengan panutannya adalah konsultan senior dan cara
belajar dengan cara mengobservasi dan melakukan asimilasi dari nilai-nilai yang digambarkan.
Perasaan atau kehendak merupakan pendekatan subjektif terhadap keputusan dan perilaku moral
yang diambil. Yang dianggap benar adalah apa yang dirasakan benar atau dapat memuaskan
kehendak seseorang sedangkan apa yang salah adalah yang dirasakan salah atau tidak sesuai
dengan kehendak seseorang. Ukuran moralitas harus ditemukan di dalam setiap individu dan tentu
saja akan sangat beragam dari satu orang ke orang lain, bahkan dalam individu itu sendiri dari
waktu ke waktu.
Intuisi merupakan persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai bagaimana bertindak di dalam
sebuah situasi tertentu. Intuisi serupa dengan kehendak dimana sifatnya sangat subjektif, namun
berbeda karena intuisi terletak pada pemikiran dibanding keinginan. Karena itu intuisi lebih dekat
kepada bentuk rasional dari keputusan etis yang diambil dari pada kepatuhan, imitasi, perasaan,
dan kehendak. Meskipun begitu, intuisi sistematis ataupun penuh pemikiran namun hanya sebatas
mengarahkan keputusan berdasarkan apa yang terbersit dalam pikiran saat itu. Seperti halnya
perasaan dan kehendak, intuisi dapat bervariasi dari setiap individu, dan bahkan dari individu itu
sendiri.
Kebiasaan merupakan metode yang sangat efisien dalam mengambil keputusan moral karena tidak
diperlukan adanya pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis setiap masalah
moran muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi. Meskipun begitu ada kebiasaan
yang buruk (seperti berbohong) dan juga kebiasaan baik (seperti mengatakan dengan jujur) terlebih
lagi ada berbagai keadaan yang sepertinya serupa namun tetap membutuhkan keputusan yang
sangat berbeda. Walaupun kebiasaan ini sangat berguna, namun kita tidak boleh terlalu
mengandalkannya.
2. Pendekatan rasional:
Deontologi melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk dengan baik yang dapat dijadikan
sebagai dasar dalam pembuatan keputusan moral seperti ”perlakukan manusia secara sama”.
Dasarnya dapat saja agama (seperti kepercayaan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah
sama) atau juga non-religius (seperti manusia memiliki gen-gen yang hampir sama). Sekali aturan
ini terbangun maka hal tersebut harus diterapkan dalam situasi ilmiah, dan akan sangat mungkin
terjadi perbedaan aturan mana yang diperlukan (seperti apakah aturan bahwa tidak boleh
membunuh orang lain atau hukuman yang menjadi dasar larangan aborsi).
Konsekuensialisme mendasari keputusan etis yang diambil karena merupakan cara analisis
bagaimana konsekuensi atau hasil yang akan didapatkan dari berbagai pilihan dan tindakan.
Tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan hasil yang terbaik. Tentunya ada berbagai
perbedaan mengenai batasan hasil yang terbaik. Salah satu bentuk konsekuensialisme yang sangat
dikenal adalah utilitarianisme, menggunakan ’utility’ untuk mengukur dan menentukan mana
yang memberikan hasil yang paling baik diantara semua pilihan yang ada. Ukuran-ukuran outcome
yang digunakan dalam pembuatan keputusan medis antara lain cost-effectiveness dan kualitas
hidup diukur sebagai QALYs (quality-adjusted life-years) atau DALYs (disablility-adjusted life-
years). Pendukung teori ini umumnya tidak banyak menggunakan prinsip-prinsip karena sangat
sulit mengidentifikasi, menentukan prioritas dan menerapkannya dan dalam suatu kasus mereka
tidak mempertimbangkan apakah yang sebenarnya penting dalam pengambilan keputusan moral
seperti hasil yang ingin dicapai. Karena mengesampingkan prinsip-prinsip maka
konsekuensialisme sangat memungkinkan timbulnya pernyataan bahwa ”hasil yang didapat akan
membenarkan cara yang ditempuh” seperti hak manusia dapat dikorbankan untuk mencapai tujuan
sosial.
Prinsiplisme, seperti yang tersirat dari namanya, mempergunakan prinsip-prinsip etik sebagai dasar
dalam membuat keputusan moral. Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam kasus-kasus atau
keadaan tertentu untuk menentukan hal yang benar yang harus dilakukan, dengan tetap
mempertimbangkan aturan dan konsekuensi yang mungkin timbul. Prinsiplisme sangat
berpengaruh dalam debat-debat etika baru-baru ini terutama di Amerika. Keempat prinsip dasar,
penghargaan otonomi, berbuat baik berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, tidak melakukan
tindakan yang dapat menyakiti pasien serta keadilan merupakan prinsip dasar yang digunakan
dalam pengambilan keputusan etik di dalam praktek. Prinsip-prinsip tersebut jelas memiliki peran
yang penting dalam pengambilaan keputusan rasional walaupun pilihan terhadap keempat prinsip
tersebut dan terutama prioritas untuk menghargai otonomi di atas yang lain merupakan refleksi
budaya liberal dari Barat dan tidak selalu universal. Terlebih lagi keempat prinsip tersebut sering
kali saling bergesekan di dalam situasi tertentu sehingga diperlukan beberapa kriteria dan proses
untuk memecahkan konflik tersebut.
Etika budi pekerti kurang berfokus kepada pembuatan keputusan tetapi lebih kepada karakter dari
si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya. Nilai merupakan bentuk moral unggul.
Seperti disebutkan di atas, satu nilai yang sangat penting untuk apoteker adalah belas kasih,
termasuk kejujuran, bijak, dan dedikasi. Apoteker dengan nilai-nilai tersebut akan lebih dapat
membuat keputusan yang baik dan mengimplementasikannya dengan cara yang baik juga. Namun
demikian, ada orang yang berbudi tersebut sering merasa tidak yakin bagaimana bertindak dalam
keadaan tertentu dan tidak terbebas dari kemungkinan mengambil keputusan yang salah.
Tidak satupun dari empat pendekatan ini, ataupun pendekatan yang lain dapat mencapai
persetujuan yang universal. Setiap orang berbeda dalam memilih pendekatan rasional yang akan
dipilih dalam mengambil keputusan etik. Seperti juga orang yang memilih pendekatan yang non-
rasional. Hal ini dikarenakan setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Mungkin dengan mengkombinasikan keempat pendekatan tersebut maka akan didapatkan
keputusan etis yang rasional. Harus diperhatikan aturan dan prinsip-prinsip dengan cara
mengidentifikasi pendekatan mana yang paling sesuai untuk situasi yang baru dihadapi dan
mengimplementasikan sebaik mungkin. Harus dipikirkan juga konsekuensi dari keputusan
alternatif dan konsekuensi mana yang akan diambil. Yang terakhir adalah mencoba memastikan
bahwa perilaku si pembuat keputusan tersebut dalam membuat dan mengimplementasikan
keputusan yang sudah diambil juga baik. Proses yang dapat ditempuh adalah:
1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.
2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan kebijakan ikatan apoteker
serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana apoteker biasanya berhadapan dengan masalah
tersebut.
3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang dipegang serta konsekuensinya.
4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan berpengaruh.
5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan orang lain yang terpengaruh.
6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak berbeda pada kesempatan yang
lain.
ETIKA
PENGERTIAN ETIKA
Etika merupakan studi tentang nilai dengan pendekatan kebenaran. Kata etik (atau
etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau
adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu
ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah
atau benar, buruk atau baik. Kata etika sering disebut dengan istilah etik atau ethics (bahasa
Inggris) atau ethicus (bahasa Latin) yang berarti kebiasaan. Maka secara etimologi, yang
dikatakan baik adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Namun dalam
perkembangannya, pengertian etka tersebut telah mengalami perubahan yang jauh dari
makna awal.
Etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang berhubungan dengan nilai
kebenaran dan ketidakbenaran yang didasarkan atas kodrat manusia serta manifestasinya di
dalam kehendak dan perilaku manusia. Pelanggaran etika belum tentu melanggar UU, namun
hanya melanggar sumpah (etika). Sedang pelanggaran UU pasti melanggar etika juga.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak
lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang,
tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang
tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat
kita.
Menurut para ahli, etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang baik dan mana yang buruk. Perkataan
etika atau lazim juga disebut etik, yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan
ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Drs. O.P. SIMORANGKIR merumuskan
etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang
baik. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat menjelaskan bahwa etika adalah teori
tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang
dapat ditentukan oleh akal. Drs. H. Burhanudin Salam menyebut etika adalah cabang filsafat
yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam
hidupnya.
Dalam perkembangannya, etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara
tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil
keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama
bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian
etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan
manusianya.
Menurut Sonny Keraf, etika dapat dibagi menjadi :
1) Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan
khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
2) Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai prilaku saya dan orang
lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan
atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
Ada dua macam etika yang harus kita pahami dalam menentukan baik dan buruknya
perilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional
sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai
sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk
mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola
perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai
dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
MORAL
Moral merupakan kualitas perbuatan manusia sesuai atau tidak dengan hati nuraninya.
Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Menurut
etimologi, moral berasal dari kata mores (Bahasa Latin) yang diartikan sebagai aturan
kesusilaan. Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Di sisi
lain banyak para ahli menyatakan bahwa moral dikaitkan dengan sejumlah kewajiban-
kewajiban susila, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang
baik. Kata susila berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kata su yang berarti lebih baik dan
sila yang berarti dasar-dasar, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan. Jadi susila berarti
peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah atau
larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat dimana manusia itu berada. Dalam
perkembangannya, kata moral ini menjadi ”moralis – moralitas”. Moralitas dipergunakan untuk
menyebut perbutan yang memiliki makna lebih abstrak, dimana apabila dinyatakan moralitas
suatu perbuatan berarti menunjuk baik buruknya suatu perbuatan. Bermoral atau tidaknya
suatu perbuatan tergantung dari kesadaran dan kebebasan kehendak si pelaku (manusia itu
sendiri).
Kesadaran dan kebebasan kehendak itu ada alam hati manusia, sedangkan makhluk primata
lainnya tidak memiliki hal tersebut.
Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi untuk berperilaku benar atau salah,
baik atau buruk dan perbuatan yang demikian itu dikehendaki atau tidak (obyektif) serta
perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nuraninya (subyektif).
ETIKA = / MORAL
ETIKET
2. Tdk tergantung ada/tidak ada orang 2. Berlaku dalam pergaulan,tp orang lain
lain tidak ada etiket
4. Memandang manusia dari sisi batiniah 4. Hanya memandang manusia dari sisi
lahiriah
Bertens, 2005
ETIKA PROFESI
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as
the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan
memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di
dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni
pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang
secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat
yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan
yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan
demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu
sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan
berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan
berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu
hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi
dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di
sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan
kehlian (Wignjosoebroto, 1999). Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi
hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit
profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka
ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika
profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh
terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun
tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-
adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional
ini.
Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat,
susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya
atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya
dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi
pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-
cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata. Burhanuddin Salam, Drs.
menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat :
1. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana
dalam hati, niat.
2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.
3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA PROFESI merupakan bidang
etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa
juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang akan
direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang
terjadi :
a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.
b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik.
c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.
d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.
PENGERTIAN PROFESI
Profesi adalah kelompok terbatas dari orang-orang yang mempunyai keahlian khusus
yang diperoleh dari pendidikan tinggi atau pengalaman yang khusus dan dengan keahlian itu
mereka dapat berfungsi dalam masyarakat untuk berperilaku atau pelayanan yang lebih baik
dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan
dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang
yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan
kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang
mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran,
guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup pula bidang seperti
manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris dan sebagainya. Sejalan dengan itu,
menurut DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri,
sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena banyak
orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam pengertian profesi. Berikut
pengertian profesi dan profesional menurut DE GEORGE :
PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan
hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau
dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain
melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi
waktu luang. Profesional adalah bekerja dengan tujuan mulia untuk membuat orang lain
menjadi sejahtera.
Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan
“PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :
PROFESI:
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
PROFESIONAL:
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya.
CIRI-CIRI PROFESI:
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat
pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan,
kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih
dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-
rata.
CIRI-CIRI PROFESI:
Pekerjaan yang dapat kita sebut dengan profesi adalah yang mempunyai karakter sebagai
berikut;
bekerja penuh waktu,
orientasi kerja lebih untuk melayani daripada sekedar mencari nafkah (komitmen untuk
membantu orang lain, bahkan di luar waktu kerja),
bekerja berdasar ilmu dan keterampilan yang didapat dari pendidikan khusus,
bekerja secara otonom (berdasar keputusannya sendiri),
bekerja berdasarkan etika,
mempunyai tanda atau simbol identitas
terorganisir dalam asosiasi profesi
(Latham, 2002).
Etika pokok profesional kesehatan adalah:
primum non nocere (Latin)
▪ first, do no harm
▪ primary rule, was to do no harm.
Tenaga kesehatan yang profesional mengacu prima-facie, yaitu:
autonomy,
beneficence,
non-maleficence
justice
(Monagle & Thomasma, 1998).
Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja,
tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga
sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan
mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan
dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena
adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan
diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para
anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya
mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di
daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda
yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita,
keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan
peraturan yang sistematis.
Kode etik; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai
landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik: susunan
moral yang normatif yang disebut etika/susila yang dirumuskan.
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan
kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah
terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan
profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik.
Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik;
seperti kode ituberasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan
kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam
praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam
kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan
teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas
antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik
profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi
di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus
memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan
lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika
profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk
yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika
profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis
secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar
dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
profesional.
Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi.
Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional,
misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM Indonesia,
Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga
puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.
Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta
cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu
etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut
dinilai positif.
SUMPAH APOTEKER
DI RUMAH SAKIT:
1. Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari beberapa obat (oplosan).
DI INDUSTRI:
1. Klaim, saling mengklaim suatu produkmelanggar etika.
2. Kebohongan publikmenginfokan tentang khasiat suatu obat yang tidak benar.
KASUS PRODUKSI
KASUS I:
Kasus Ia
Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah 90-100%
efedrin anhydrat.
Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk efedrin
anhydrat dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.
Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga barang
tersebut diluluskan.
Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.
Hasil ini terjadi berulang-ulang.
Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.
Kasus Ib
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi sediaan
Tablet Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia edisi IV, syarat
kadar Captopril tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000 tablet Captopril 25 mg,
Apoteker S menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata 96,00%. Obat dapat
diproduksi dan secara peraturan perundang-undangan memenuhi syarat kadar. Apoteker S
dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat bonus besar karena produksi Captopril tablet
menghasilkan laba yang banyak.
KASUS II:
Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1- 3 kali harga obat generiknya. Seorang
apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di suatu industri farmasi mendapati bahwa
harga bahan baku glibenclamide naik sehingga setelah diproduksi menjadi tablet glibenclamide
juga harga tinggi
Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami kerugian. Diketahui bahwa
pabrik farmasi yang memproduksi glibenclamide tablet hanya oleh beberapa pabrik farmasi.
Tetap memproduksi Glibenclamide tablet karena sangat diperlukan oleh masyarakat. Tapi
gemana mengatasi kerugian perusahaan? So:
Melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.
Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan tambahan yang lebih murah tapi
tidak mengubah kualitas.
Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi) dengan pemerintah
terkait regulasi.
KASUS III:
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT
mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO
tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).
Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK
MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan
pendaftaran obat tradisional)
Pasal 3
1. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport
terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:
a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.
b. Usaha jamu racikan.
c. Usaha jamu gendong.
Pasal 6
1. Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.
Pasal 7
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari
lingkungan”.
Pasal 8
“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang
apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.
Pasal 9
1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman
cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).
2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang
melalui pemeriksaan setempat.
Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
a. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia .
b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan
yang ditetapkan.
c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai
obat.
d. Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab”.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
apoteker sebagai penanggung jawab”.
KASUS PENGADAAN
Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.
KASUS DISTRIBUSI
KASUS I:
Apotek panel melanggar UU.
Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual harga murah
walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengan diskon,
sehingga mampu bersaing.
KASUS II:
Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?
Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas
sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2 Untuk
nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak sama
dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi index
misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.
KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama sejawat
tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan. Yang penting ada
SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang penting
ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan,
namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No. 35/2009:
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan
Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP
Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan yang
ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang memuat :
1. Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
2. Tempat dan tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
4. Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan
petunjuk pemakaian)
5. Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
6. Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
7. Nama penderita
Secara Teknis
Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada
kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan dan per
Undang-Undangan yang berlaku.
Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker
Faktanya
Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan (Zunilda,
1998).
Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).
Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter, alamat dokter, tanggal
penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama obat, dosis,
jumlah yang diminta, aturan pakai.
Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi (ulangan),
ditulis dengan nama pasien tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri, alamat pasien
dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa, 2000).
Skrining Resep
Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan pasien,
nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian yang jelas.
Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan, apoteker harus
mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan maksud dari
kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui (Scott, 2000).
Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan resep, misalnya masih
banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang kata signa
yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap (Zairina dan Himawati, 2003).
Pelayanan Resep
Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak
tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
(Anief, M., 2000).
Kesimpulan
Resep tidak memenuhi persyaratan/ tidak sesuai dengan kaidah hukum dan teori yang berlaku.
Resep tersebut dikonfirmasi dan didiskusikan lebih lanjut kepada dokter penulis resep
Bila terdapat resep yang tidak memenuhi aturan-aturan diatas, resep tidak dapat dilayani, begitu
pula resep narkotika yang telah diambil sebagian oleh pasien diapotek lain.
MASUK FORMULARIUM
Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap dimasukkan ke dalam formularium karena
menjadi sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau sebaliknya kualitas baik tetapi tidak
dicantumkan kedalam formularium, karena tidak memberikan untung misalnya bonus atau
penawaran menarik lainnya.
PERALATAN PENDUKUNG
Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC & OWA) melengkapi dirinya
dengan statoskop, tensi meter, alat tes gula darah dll. So???
Kontennya:
1. Kita harus tau tugas, tanggung jawab dan kewenangan profesi.
2. Tau kompetensi kita
3. Alat itu batasannya untuk apa dulu kita gunakan. Bukan untuk diagnosa, namun untuk
mendukung swamedikasi pasien dan monitoring obat/hasil terapi serta hanya
memberikan “warning” kepada pasien.
Tindakan:
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada ahlinya, jika tidak
baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun langsung untuk
mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa profesi/memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan.
KASUS II:
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar
oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek
untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan
apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan
keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga kejangnya
mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit terdekat.
Identifikasi Masalah:
UU No. 5 tahun 1997
Pasal 33
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang
berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
kepada Menteri secara berkala.
Pasal 14
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan, puskesmas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
Pasal 14
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
<=""
src="file:///C:/DOCUME%7E1/user/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif"
u1:p="" height="44" width="29"> border=0 u2:shapes="Object_x0020_1"
v:shapes="_x0000_i1025">
Apoteker menyerahkan valisanbe (diazepam)
di apotek kepada pasien tanpa R/ dokter
6. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam
hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
7. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh
dari apotek.
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia
serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan
dan keputusan seorang apoteker indonesia
2. Bimlamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung jawab
profesional, maka dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus memilih resiko
yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan
masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan pasien
khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam kondisi lemah.
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan terutama dalam
bidang Kesehatan;
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
keilmuan saya sebagai Apoteker;
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya
untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian;
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguhsungguh
supaya tidak terpengaruh oleh pertimbagnan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial;
6. Saya ikrarkan Sumpah/Janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsyafan
Apoteker menyerahkan psikotropika tanpa resep dokter pada keadaan darurat sebagai upaya life saving.
Tindakan apoteker dapat dibenarkan mengingat pemberian obat golongan psikotropika tanpa resep
dokter tersebut bertujuan sebagai pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien dapat
terselamatkan.
Analisis Kasus:
Lafal Sumpah Apoteker no. 1 : “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan, terutam dalam bidang kesehatan”.
Pasal 5 :
Ayat 1 : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau.
Ayat 3 : Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 9 :
Pasal 1 : Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pasal 2 : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 12 :
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 32 :
Ayat 1 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan
terlebih dahulu.
Ayat 2 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang
menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 53 :
Ayat 1 : Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan dan keluarga.
Ayat 3 : Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang
muka terlebih dahulu.
Pasal 102
Ayat 1 : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c:
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan:
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c,
tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian
karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam yang termasuk dalam
golongan psikotropika.
Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah kerena keadaan anak tersebut
dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32 ayat
1 dan pasal 53 ayat 3).
Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan kemanusiaan serta
dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya.
Akankah kepentingan Aturan megalahkan kepentingan Nyawa??
RESEP RACIK
Apotek C adalah apotek yang cukup ramai, termasuk omzet dari penjulan resep. Resep yang
masuk selain obat generic, banyak pula obat-obat paten dan racikan. Apotek C menerima sebuah
resep racikan dari seorang dokter kulit, sebagai berikut:
R/ Acid salisil 0.5
Resorcin 0.5
Miconazole cr 5
Garamycin oint 5
m.f.la. ungt.da in pot tube I
S 2 dd u e
Keterangan:
Acid salisil tersedia dalam bentuk serbuk ( HNA+PPn = Rp 300,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 195
Resorcin tersedia dalam bentuk serbuk (HNA+PPn = Rp1500,- per gram) jadi biaya yg harus
dibayarkan Rp 975
Miconazole cr tersedia dalam bentuk tube 10 g (HNA+ PPn= Rp 4500,- per tube ) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 2.925
Garamycin oint tersedia dalam bentuk tube 10g ( HNA +PPn= Rp 90.000,- per tube) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 58.500
Pot salep 10 g (HNA+PPn= Rp 200,- per pot)
Jadi, total yang harus dibayarkan seharusnya adalah
= Rp 195 + Rp 975 + Rp 2.925 + Rp 58.500 + Rp 260 + Rp 200 + Rp 2500
= Rp 65.555
Index resep racikan adalah 1,3 dengan tuslah 1 R/ racikan adalah Rp 2500,-
Harga yang dibayar oleh pasien adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
Acid salisil = Rp 195,- (dinaikkan)
Resorcin = Rp 975,- (dinaikkan)
Miconazole cr = Rp 5.850,- (dinaikkan)
Garamycin oint = Rp 117.000,- (dinaikkan)
Pot = Rp 260,- (dinaikkan)
Plastik = Rp 200,-
Tuslah = Rp 2.500,- +
Rp 126.980,- 127.000 (semua harga didongkrak)
Penyelesaian:
Apoteker C telah merugikan pasien karena pasien harus membayar obat lebih mahal dari yang
diterimanya.
Disini emang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube. Jika dibayar Cuma
setengah, kita rugi dunk. Kalau dibayar 1 tube, padahal resep minta hanya setengah tube.
So, solusi:
Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep dibuat sekian tapi harga
tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau ada resep serupa bawa aja lagi tubenya jadi ntar
gag perlu bayar lagi dengan catatan penyimpanannya benar dan belum ED. Cara menghitung ED
obat campuran racik lihat ED obat paling pendek trus ED campuran adalah ½ dari ED terpendek
tadi. Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara pasti soalnya. Biasanya si kalau salep steril
ED kira-kira 2 bulan setelah dibuka, kalua tetes mata steril githu sekitar 1 bulan setelah dibuka.
So, Solusi:
Tambah aja numero resep asal dalam rentang aman.
Atau subsidi silang aja terhadap keuntungan kita yang lain jadi anggap sedekah githu.
Pasal 1
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi. Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan
perundang-undangan yang beriaku.
BAB VI Pelayanan
Pasal 14
(1) Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
(2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggungjawab Apoteker Pengelola
Apotik.
Pelanggaran undang-undang:
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
Pelanggaran Etika:
Pasal 1:
Sumpah/janji : Setiap Apoteker/ Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati, dan
mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis.
Pasal 5:
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
UU Pidana terkait kasus:
BAB XXV Tentang Perbuatan Curang
Pasal 382 bis
Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan
khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat enimbulkan kerugian bagi
konkuren-konkurennya atau konguren-konkuren orang lain, karena persaingan curang, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu
lima ratus rupiah.
Pasal 383
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat
curang terhadap pembeli:
1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;
2. mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.
Kesimpulan
Apoteker di apotek C melanggar undang-undang perlindungan konsumen, sumpah dan kode etik
profesi apoteker.
Solusi
• Apoteker harus menjalankan tugasnya sbg “decission maker” dalam hal ini harus bs memberikan
alternatif sediaan yg efisien dan efektif.
• Apoteker menjalankan tugasnya tidak hanya azas mencari keuntungan pribadi tetapi memahami
dan mengimplementasikan lafal sumpah dalam amanahnya,,,
GANTI OBAT/MEREK
KASUS I:
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta dalam resep tidak dapat dilayani. Setelah
di cek ternyata IFRS mempunyai obat Y yang kandungannya sama dari pabrik lain. Harga obat
pengganti memang lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera dapat dilayani,
tidak ada pasien yang membeli obat di luar RS dan efisiensi perputaran stok di IFRS, Apoteker
segera memberikan obat Y tersebut. Setelah menerima obatnya, pasien yang bersangkutan minta
dibuatkan kopi resep, namun Apoteker keberatan karena resep sudah ditebus semua. Namun
karena pasien terus mendesak akhirnya Apoteker membuatkan kopi resep dan menuliskan obat
Y, sesuai obat yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.
Apoteker mengganti merek obat dengan harga yang lebih mahal tanpa konfirmasi kepada
pasien tidak boleh. Harusnya sampaikan kepada pasien alasan dan rekomendasi bahwa beda
tapi sama isinya.
Apoteker ganti obat dengan harga lebih mahal tanpa konfirmasi Salah, harusnya konfirmasi dulu
ke pasien.
Sebaiknya Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter penulis resep dan menghimbau untuk
mematuhi formularium rumah sakit.
Apoteker tidak bersedia membuat kopi resep salah (copi resep adalah hak pasien).
Apoteker tidak mengikuti kaidah penulisan kopi resep (pcc). Harusnya:
R/ Obat xxx
S 3 dd 1 det
Da Obat Y
KASUS II:
Dalam PP 51/2009 ada pernyataan:
Pasal 24
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat:
(b). mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek
dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
Ganti obat/merek:
Pemerintah Daerah Kab “S” mensyaratkan bahwa dlm pendirian apotek harus telah ditunjuk
apoteker pendamping agar proses pelayanan kefarmasian selalu dilakkan apoteker.
Guna penuhi syarat tsb APA buka lowongan aping dan banyak yg melamar.
Salah satu pelamar digunakan utk syarat pendirian apotek sbg apoteker pendamping tanpa
konfirmasi aptk ybs.
Surat pernyataan kesediaan jadi aping dibuat dan ditandatangani calon APA. Semua persyaratan
administrasi terpenuhi
Terjadi pemalsuan .
Membuat dokumen palsu .
Merugikan sejawat calon aping.
Di pinggiran Bantul ada sebuah apotek B, milik seorang Apoteker, yang selamat dari bencana.
Dalam kondisi tersebut, Apotek B berusaha membantu masyarakat dengan buka 24 jam, sehingga
masyarakat dapat mendapatkan pelayanan kapan saja. Dengan pertimbangan keterbatasan
persediaan, sulitnya supply obat dari distributor, permintaan konsumen yang meningkat dan untuk
menutupi biaya lembur karyawan, Apoteker B mengambil kebijakan untuk menaikkan harga
semua item obat 25%, masyarakat tidak mempermasalahkan berapapun harga obat tersebut yang
penting mendapatkan obat-obatan yang diperlukan.
Apoteker B tidak mengikuti himbauan pemerintah dan ISFI untuk menjadi relawan, padahal pada
kondisi tersebut apoteker sangat dibutuhkan untuk mencegah masyarakat dari obat-obat yang tidak
bermutu. Kondisi apotek kan aman, jadi sebaiknya prioritaskan daerah bencana di Kota. Nanti
banyak korban yang salah minum obat karena minimnya apoteker yang menjadi relawan. Jika mau
buka atur shift aja.
Apoteker B mementingkan keuntungan pribadi, menaikkan harga obat tidak wajar pada kondisi
masyarakat perlu dibantu.
PROMOSI TERSELUBUNG
Apotek menjadi alat promosi, ditawari bonus kaos yang berlogo merek obat tertentu dan harus
dipakai saat pelayanan.
“ Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Apotek Kami tetap buka 24 jam, harga tetap sama”
Semua promosi terselubung tidak baik (tidak boleh) karena mendominasi, membuat persaingan
antar apotek menjadi tidak sehat.
Promosi dibawah ini boleh dilakukan, karena kata-katanya lebih halus dan tidak menyinggung.
atau:
atau:
KASUS MARKETING
KASUS I:
Untuk meningkatkan penjualan, seorang Apoteker yang menjadi Manajer Marketing divisi OTC
pada suatu pabrik farmasi merencanakan untuk melakukan promosi aktif kepada outlet apotek.
Apotek yang dapat menjual produk A dengan target tertentu akan mendapatkan reward berupa
bonus/marketing fee/diskon yang cukup besar. Adapun ketentuan yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
1. Perhitungan pencapaian target berdasarkan jumlah pembelian produk A ke PBF yang telah
ditentukan, dibuktikan dengan foto kopi faktur pembelian.
2. Outlet bersedia mendisplay produk A pada tempat yang strategis.
3. Petugas outlet bersedia menggunakan atribut berupa kaos produk A dan selalu aktif
menawarkan produk kepada konsumen.
4. Outlet tidak menyediakan produk competitor.
5. Menjamin ketersediaan produk A pada outlet selama 6 bulan berturut-turut.
Manajer marketing tidak selayaknya membuat ketentuan seperti initidak fair.
Ketentuan no 3 dan 4 yang dibuat untuk meningkatkan penjualan akan mendorong terjadinya
pelanggaran kode etik apotek akan menjadi alat promosi dari pabrik tertentu dan apotek hanya
menyediakan/menjual obat-obatan dari industri farmasi tertentu saja.
Promosi produk A sebaiknya dilakukan sendiri oleh pabrik tanpa melibatkan apotek mencegah
persaingan yang tidak sehat antara pabrik farmasi di apotek.
KASUS II:
Apoteker AN bekerja sebagai medical representativ (Medref) disalah satu Industri Farmasi PMA.
Sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian dokter dalam mempromosikan produk obatnya,
maka Apoteker AN bersedia menanggung biaya dan memfasilitasi dokter tersebut untuk mengikuti
simposium ilmiah di luar negeri, yang sudah disetujui juga oleh industri tempat Apoteker tersebut
bekerja.
Kode Etik
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Pasal 5
Hadiah Dan Alat Medis
5.1. Prinsip Umum
Tidak diperbolehkan menawarkan hadiah/penghargaan, insentif, donasi, keuangan, dan
sejenisnya kepada profesi kesehatan dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran
penggunaan obat/produk suatu perusahaan.
5.3. Donasi
5.3.1. Donasi hanya boleh diberikan kepada institusi, dan dilarang keras untuk diberikan secara
langsung kepada profesi kesehatan.
BAB V
Pemberian Dan Donasi
Pasal 8
(1) Pemberian dan donasi tidak dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat
yang bersangkutan.
(2) Pemberian dan donasi hanya diperbolehkan untuk diberikan kepada institusi, tidak
kepada pribadi profesi kesehatan.
BAB VI
Kegiatan Yang Dilarang
Pasal 9
Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi dilarang :
a. Kerjasama dengan Apotik dan Penulis Resep.
b. Kerjasama dalam peresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis Resep dalam
suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu.
c. Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank-draft, pinjaman, voucher, ticket),
dan/atau barang kepada Penulis Resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau
yang didistribusikannya.
Kesimpulan
Pada kasus ini hubungan kerjasama seperti ini yang dikenal sebagai kolusi, menyebabkan harga
obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal
melebihi harga obat diluar negeri, dan secara tidak langsung akan merugikan pasien sebagai
pihak konsumen. Oleh karena itu, secara de facto, dokterlah yang menjadi konsumen obat. Yang
boleh : Akomodasi, Transportasi, Registrasi.
Pelangaran yang terjadi:
1. Apoteker
Etika Profesi Apoteker Pasal 3, 5, dan 6
Undang – undang Kesehatan no 36 Tahun 2009 pasal 24
2. Perusahaan Farmasi
Kesepakatan bersama etika promosi obat
Kode etik IPMG (Internasional Pharmaceutical Manufacturers Group)
Keputusan Kepala BPOM Nomor Hk.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi Obat.
IKLAN
Iklan jangan provokatif.
Iklan tidak boleh melanggar kode etik profesi.
Membuat plang nama berlebihan.
Strategi Promosi: Ucapkan selamat aja kepada seseorang, atau ucapkan selamat telah
dibuka Apotek X, dari Keluarga Besar kita sendiri.
Memberikan “Gimmick_pen ada nama obat” kepada pasien.
Kopi resep, kemasan dari pabrik tertentu.
Panel di RS.
Kode-kode pada resep.
Formulasi khusus.
Pembatasan info.
Keseimbangan promosi dan supply.
Memproduksi produk obat dengan kualitas rendah.
Menjual produk reject.
Tidak menyediakan tempat pelayanan info produk.
Membedakan harga antara profesi kesehatan.
Permasalahan:
1. Apoteker M bekerja sebagai staf pengajar di Perguruan Tinggi Farmasi di propinsi Y
2. Apoteker tsb juga bekerja sebagai APA di Apotek berbeda propinsi dengan tempat mengajarnya.
Peraturan yang berkenaan dengan kasus:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang
Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 18
SIPA dan SIKA hanya diberikan 1 tempat fasilitas kefarmasian.
Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 21
(1). Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(2). Penyerahan dan Pelayanan Obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
Pasal 19
(1). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek,
Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk apoteker pendamping.
(2). Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal2 tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker Pengganti.
(3). Penunjukan dimaksud (1) dan (2) harus kepada Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota dengan
tembusan kepada Kepala Kesehatan Propinsi setempat dengan
menggunakan contoh Formulir Model APT-9
(4). Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi persyaratan dimaksud
dalam Pasal 5.
(5). Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara
terus menerus, Surat Ijin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.
Kesimpulan:
Pada Kasus ini, Apoteker M melanggar peraturan Kode Etik sebagai Apoteker, bilamana
APA berhalangan hadir di Apotek selama 3 bulan secara terus menerus, maka APA harus segera
mencarikan Apoteker Pengganti dengan syarat memiliki SIPA dan tidak sedang bekerja sebagai
APA di apotek lain.
APA M melanggar peraturan KepMenKes, karena dalam hal ini kemungkinan Apoteker
Pendamping bekerja di Apotek di setiap waktu selama APA tidak berada ditempat dalam waktu
yang tidak menentu juga, sedangkan Aping hanya bekerja pada waktu2 tertentu setiap jam buka
apotek.
PENDIRIAN APOTEK
KASUS:
Apoteker H, seorang apoteker baru yang belum lama disumpah menjadi apoteker di salah satu
perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta. Ia ditawari beberapa pemilik sarana apotek untuk
mendirikan apotek di suatu tempat yang strategis namun berdekatan dengan beberapa apotek yang
telah ada. Apoteker H segera menerima tawaran tersebut tanpa berkonsultasi dengan sejawat
lainnya ataupun organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia).
Analisis Kasus:
• Kode etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Jabaran Kode Etik
BAB I_pasal 5:
“Didalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian”.
Pasal 11:
“Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-
ketentuan kode etik”.
Pasal 12:
“Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerja sama
yang baik sesama apoteker didalam memelihara keluhuran martabat, jabatan kefarmasian, serta
mempertebal rasa saling mempercayai didalam menunaikan tugasnya”.
Jarak apotek perlu (biasa diatur perda/IAI kecuali apotek yang dibuka dirumah pribadi, karna UU
sekarang tidak lagi mengatur jarak, dulu jalan lurus 500 m) agar tidak konflik.
Apoteker harus menghindarkan diri dari konflik yang dapat merusak pekerjaan profesi.
Perjanjian APA-PSA ttd perjanjian PSA-APA di depan IAI.
Hubungan antara Apoteker Junior vs Senior.
Pergantian Apoteker jangan ditawari langsung masuk aja. Pastikan dulu siapa APA sebelumnya
. Biasanya pindah APA karna sepihak. Terus bagi APA yang diapoteknya tidak enak jangan
bilang disini ‘enak’ biar dia cepat pindah. Kan kasian juniornya kejebak ntar.
Persaingan harga.
CATATAN PENTING...