Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV/AIDS
Di Ruang Poli Penyakit Dalam
RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Nama : Erika Septianovi


Nim : 14.20.054
Prodi : Ners

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2018-2019
2.1 KONSEP HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus), HIV adalah sebuah virus yang
merusak kekebalan tubuh atau imun manusia dan melemahkan sistem imun
serta penyebab timbulnya infeksi opportunistik dan penyakit ganas lainnya .
(Nur’ Ainun et. al, 2016)
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), AIDS adalah suatu
penyakit yang ditimbulkan oleh virus HIV yang dikumpulkan dengan gejala
seperti demam, batuk, diare terus menerus yang dikarenakan lemahnya sistem
kekebalan tubuh dan dibagi menjadi beberapa fase. (Nur’ Ainun et. al, 2016).

2.1.2 Etiologi
HIV merupakan jenis virus yang dapat menyebabkan defisiensi kekebalan
pada manusia. Seperti halnya virus-virus lain, HIV juga hanya dapat hidup
dengan menempel pada sel inang. Infeksi virus HIV akan berlanjut pada
serangan penyakit AIDS. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang
disebabkan sindrom penurunan sistem kekebalan tubuh. Menurunnya sistem
imun atau kekebalan tubuh akan membuat penderita lebih mudah terinfeksi
penyakit lain, dikenal sebagai infeksi oportunistis. Infeksi oportunistik akan
semakin parah, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Berdasarkan gejala yang ditunjukkan, terdapat dua kategori penderita
AIDS, yaitu penderita AIDS positif dan negatif. Penderita AIDS positifi
adalah orang yang terinfeksi virus HIV dan sudah menunjukkan gejala infeksi
oportunistik. Sedangkan penderita AIDS negatif adalah orang yang terinfeksi
virus HIV tetapi belum menunjukkan gejala infeksi oportunistik (Kurniawati,
2014).

2.1.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala HIV sangat bervariasi tergantung dengan tahapan
infeksi yang diderita. Berikut adalah tanda dan gejala HIV :
a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan
timbulnya suatu tanda dan gejala infeksi. Jika ada gejala yang timbul
biasanya seperti flu biasa, bercak kemerahan pada kulit, sakit kepala,
ruam-ruam dan sakit tenggorokan.
b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi
tersebut maka akan timbul tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar
getah bening bengkak, penurunan berat badan, demam, diare dan
batuk.Selain itu juga ada tanda dan gejala yang timbul yaitu mual, muntah
dan sariawan.
c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang khas
dan lebih parah. Gejala yang muncul seperti sariawan yang banyak, bercak
keputihan pada mulut, gejala herpes zooster, ketombe, keputihan yang
parah dan gangguan psiskis. Gejala lain yang muncul adalah tidak bisa
makan candidiasis dan kanker serviks.
d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan,jumlah
virus terus meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga <200 sel/ul.
Pada keadaan ini dinyatakan AIDS.
e. Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi opurtunistik
seperti meningitis, mycobacteruim avium dan penurunan sistem imum.
Jika tidak melakukan pengobatan maka akan terjadi perkembangan
penyakit berat seperti TBC, meningitis kriptokokus, kanker seperti
limfoma dan sarkoma Kaposi.
2.1.4 Klasifikasi
Mengklasifikasikan infeksi HIV dengan mengkombinasikan kondisi klinis
yang ditimbulkan oleh HIV yaitu sebagai berikut :
a. Kategori klinis A
Mencakup satu atau keadaan lebih ini pada usia dewasa atau remaja.
Individu dengan kategori klinis ini adalah HIV positif. Penderita mungkin
tanpa gejala, tapi dengan limpadenopati generalisata yang persisten ataupun
infeksi HIV yang akut.
b. Kategori klinis B
Penderita dikategorikan ke dalam tipe ini adalah yang mengalami
satu atau lebih diantara keadaan klinis yang timbul karena infeksi HIV
ataupun indikasi penurunan sel immunitas medial serta merupakan
komplikasi dari infeksi HIV. Keadaan klinis tersebut seperti : endokarditis
bakterial, meningitis, pneumonia, sepsis, vulvovaginal candidiasis persisten,
orophayrngeal candidiasis (trush), carcinoma, gejala konstitusional seperti
demam, diare selama satu bulan atau lebih.
c. Kategori klinis C
Seseorang diklasifikasikan dalam tipe C bila mengalami satu dari
tanda dan gejala atau penyakit berikut: kandidiasis broncial, trakeal,
pulmonal dan esophageal. kanker serviks invasif, herfes simplek,
imunoblastik limfoma kanker otak.
2.1.5 Patofisiologi
Masuknya virus kedalam tubuh mini dapat melalui beberapa cara

contohnya saja secara horisontal, vertikal, dan transeksual. Virus ini

mengalami masa intubasi sangat panjang ini dapat menimbulkan munculnya

tanda dan gejala AIDS. Umumnya virus ini menghancurkan dan menimbulkan

kerusakan yang sangat parah pada imun tubuh manusia, hal tersebut terjadi

melalui DNA dari CD4 dan Limfosit untuk memecah diri. Dalam perjalannya

diDNA ia menghancurkan cell CD4 dan Limfosit. Saat mencapai dalam

sirkulasi sistemik, sekitar 4 sampai 11 hari setelah terpapar virus HIV dapat

dideteksi dalam darah.

Virinon dapat berkembang sampai 10 milyar lebih dalam sehari yang

membuat secara perlahan limfosit T penderita akan tertekan dan menurun

setiap saat.

Akibat munculnya benjolan dan robekan yang dilakukan oleh virinon

maka terjadi kematian sel secara langsung pada integritas membran plasma.

Dan terjadi gangguan sintesis makromolekul akibat akumulasi DNA virus

ysng tidak berintegrasi dengan nukleus.

Syncytia formation, yaitu proses terjadinya fusi antar membran sel

yang terinveksi virus dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.Yang


bertugas untuk melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus adalah respon

imun humoral dan seluler terhadap HIV, namun respon ini bisa menimbulkan

disfungsi imun akibat eliminasi sel yang normal disekitarnya.

Kematian sel target disebabkan hiperaktivvitas Hsp70, sehingga fungsi

dari pengatur irama dan waktu folding terganggu atau disebutj uga

moissfolding dan denaturasi protein.Dalam perjalanan infeksi HIV ada

beberapa fase yaitu fase akut, fase laten, fase kronis. Dalam fase akut ini virus

mulai menginfeksi sel target dan terjadi proses repliksi sehingga menciptakan

jutaan virus baru (virion). Dari berjuta juta viremia yang terdapat dalam virion

menimbulkan gejala sindrom infeksi akut yang sangat mirip dengan flu dan

infeksi mononukleosa. Dari hasil penelitian sekitar 70% orang yang terinfeksi

virus ini mengalami sindrom tersebut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi.

Gejala yang ditimbulkan seperti demam,faringitis, naoreksia, muntah mual,

diare. Terkadang HIV juga menimbulkan kerusakan sistem saraf meskipun

masih dalam tahap awal.

Fase laten, disini respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus

dalam sel dendrit folikuler (SDF) pada pusat germanivatium dapat

menyebabkan kendali pada virinon. Pada tahap ini sedikit ditemukan virinion

di plasma sehingga membuat jumlah virion diplasma menurun dan jumlah

limfosit T-CD4 menurun hingga 200 cell/mm3. Beberapa gejala yang timbul

pada fase ini adalah herpes simpleks, sinusitas bakteria, herper zooter, dan

pnumonia.

Kelenjar limfe terjadi replikasi dan kerusakan berat, selain itu kematian

SDF juga mengkuti pada fase ini. Karena jumlah imun tidak dapat meredam

jumlah virinon yangh berlebihan maka terjadi peningkatan yang signifikan


pada virinon, sehingga membuat limfosit T-CD4 tertekan dan jumlahnya

semakin menurun sampai < 200 cel/mm3. Fase ini mengarah ke AIDS karena

infeksi sekunder yang selalu menyertaiperkembangang virinon. Gejala yang

timbul seperti toksoplasmosis, tuberkolosis, infeksi herpes, histoplasmosis,

koksidiodomikosis, kanker kelenjar getah bening, dan kanker sarkoma

kaposis.
Pathway
Menyerang T Limfosit,
sel saraf, makrofag, Immunocompromise
Virus HIV Merusak sel
monosit, limfosit B

Invasi kuman patogen Organ target Flora normal patogen


HIV- positif ?

Reaksi psikologis
Manifestasi Manifestasi Gastrointestinal Respiratori Dermatologi Sensori
oral saraf

Isolasi Sosial
Lesi mulut Diare Hepatitis Disfungsi Penyakit
biliari anorektal
Infeksi Gatal, sepsis, Gangguan
Kompleks Ensepalopati nyeri penglihatan
demensia akut dan
pendengaran
Ketidakseimbangan
Nutrisi Nyeri akut
Ketidakefektif Gangguan
Nyeri Hipertemia an bersihan body image
Hambatan Gangguan Sensori
Akut nafas
Kekurangan volume mobilisasi fisik
Cairan

Intoleransi Ketidakefektif
Aktivitas Gangguan an pola nafas
eliminasi

(Perdana, 2013)
Ketidakseimbangan Kekurangan volume
Nutrisi Cairan
2.1.6 Cara Penularan

a. Hubungan seksual dengan penderita HIV


Hubungan seksual yang dilakukan secara oral, anal, maupun vaginal
dengan orang yang terdeteksi positif virus HIV tanpa menggunakan
perlindungan, dapat memberikan virus HIV ke orang lain.
b. Ibu pada bayinya

Penularan ini terjadi saat masa kelahiran bayi, jika ibu positif terinfeksi
virus HIV, dan menggunakan metode kelahiran normal maka kemungkinan
bayi tertular virus sangat besar dikarenakan kontak mukosa bayi dengan darah
ibu secara langsung.
c. Darah dan produk darah yang tercemar virus HIV

Penularan jenis ini termasuk sangat cepat karena langsung masuk pada

peredaran darah sehingga dapat menyebar ke seluruh tubuh. misalnya kita

kontak langsung dengan darah seorang yang terinfeksi, atau menerima donor

darah orang yang terinfeksi.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat kesehatan yang digunakan pada pemeriksaan kehamilan seperti


spekulum, tenakulum dan alat alat kesehatan lain yang sehabis menyentuh
darah, cairan vagina atau cairan sperma yang terinfeksi dan tidak diganti saat
digunakan kembali ke orang lain maka dapat menularkan virus ke orang
tersebut.
e. Alat tatto yang tidak steril

Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, alat tatto yang
terpapar virus dapat menularkan ke orang lain bila tidak di sterilkan.
d. Menggunakan jarum suntik secara bergantian

Jarum suntik yang digunakan petugas kesehatan maupun jarum suntik


milik pengguna narkoba dapat menularkan virus HIV, jika pemakaian lebih
dari 1 kali. (Nursalam & kurniawati, 2013)
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1
dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays
atau enzyme – linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes
serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect
immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil
reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas
sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T-
limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose
HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
- ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi
HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan
sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan
Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays).
Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi
lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji
virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi
pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan
antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari
infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom
retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang
telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer
maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu
yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada
seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui
uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
- Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA
tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan
semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot
atau IFA.
- Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi
rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot
menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1
spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya
sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid
tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif
ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia
lebih dari 18 bulan.
- Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih
sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig
dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada
antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
- Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan
CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama
perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.
b. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test
untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1
dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus
(antigen p24)).
- Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi
dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus
terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari
untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik
virus.
NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan
untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam
nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam
sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR,
menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.
Level RNA HIV merupakan petanda prediktif penting dari progresi
penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk memantau
efektivitas terapi antivirus.
Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24
atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi
HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding
teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang
digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody anti-p24
(Read, 2007 dalam Jurnal Mariam, 2010)

2.1.7 Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS yaitu pengobatan
antiretroviral, pengobatan terhadap infeksi oportunistik, dan pengobatan
suportif. Pada kasus ini, tatalaksana awal dilakukan dengan pemberian terapi
simtomatik, terapi ini diberikan untuk mengatasi gejala-gejala yang terjadi
pada pasien bersamaan dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang yang
disarankan. Pemberian cairan isotonik dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan elektrolik pasien dan mencegah terjadinya kekurangan cairan pada
pasien, nystatin drop ditujukan untuk mengatasi oral candidiasis pasien, dan
paracetamol sebagai antipiretik saat pasien demam. Injeksi ciprofloksasin
digunakan untuk mencegah adanya infeksi lebih lanjut, termasuk infeksi
nosokomial. Injeksi ranitidin digunakan untuk mencegah stres ulser pada
pasien akibat obat-obatan yang diberikan. Edukasi tentang penyakit HIV yang
diderita oleh pasien, baik itu secara perorangan maupun keluarga setelah
diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan lab, serum anti HIV, dan
konseling VCT. Pemberian dukungan membantu pasien untuk meminimalisir
isolasi, kesendirian, dan ketakutan.Memberikan dukungan dan pengawasan
terhadap pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan
yang diberikan.

Sebelum memulai terapi, pasien harus diperiksa jumlah CD4 terlebih


dahulu, untuk memberikan dosis yang tepat pada pengobatan ARV.
Pengobatan ARV pada pasien HIV diberikan ketika perhitungan CD4 telah
mencapai nilai kurang dari 350. 2 Hitung sel CD4, kadar RNA HIV serum
juga digunakan untuk memantau resiko perkembangan penyakit dan
menentukan waktu yang tepat untuk memulai modifikasi regimen obat. Tujuan
terapi ARV ini adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah
virus, pemulihan, atau pemeliharaan(atau keduanya) fungsi imunologik,
perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV.

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2.2.1 Pengkajian
1. Identitas
Meliputi data klien yang mencangkup nama, imir, pendidikan,
jenis kelamin, nomer register, diagnose, pekerjaan, agama, dan suku
bangsa, tanggal atau jam masuk rumah sakit, orang yang bertanggung
jawab.
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama, Riwayat penyakit sekarang, sejarah penyakit dulu,
riwayat penyakit keluarga.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan umum : pucat, lemah.
b. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil,
keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB
menurun, nyeri, sulit tidur.
c. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan
pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
d. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri,
apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar,
gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
e. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem
muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara
berubah, disfagia, epsitaksis.
f. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
g. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu
melakukan ADL.
h. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer,
dizziness.
i. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan
otot Bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
j. Status Nutrisi : intake makan dan minum menurun, mual,
muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram,
hepatosplenomegali, kuning.
k. Genetalia : lesi atau eksudat pada genital,
l. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie
positif.

4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan gejala terkait Penyakit
b. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
c. Gangguan body image berhubungan dengan Perseptial, Psikososial,
Spritual dan terapi penyakit
5. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi

Nyeri Akut berhubungan dengan : NOC : NIC :


 Lakukan pengkajian
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,  Pain level, nyeri secara
psikologis) , kerusakan jaringan  Pain control, komprehensif
 Comfort level termasuk lokasi,
DS : Laporan secara verbal
karakteristik, durasi,
Setelah dilakukan tindakan frekuensi, kualitas
DO : Posisi untuk menahan nyeri keperawatan selama … pasien dan faktor presipitasi
Tingkah laku berhati-hati tidak mengalami nyeri,  Observasi reaksi
dengan kriteria hasil : nonverbal dari
Gangguan tidur (mata sayu, tampak ketidaknyamanan
 Mampu mengontrol
capek, gerakan kacau, menyeringai)  Bantu pasien dan
nyeri (tahu penyebab
nyeri, mampu keluarga untuk
Respon autonom (Perubahan tekanan
menggunakan teknik mencari dan
darah, perubahan nafas, nadi)
nonfarmakologi untuk menemukan
Tingkah laku ekspresif (contoh : dukungan
mengurangi nyeri,
gelisah, merintih,menangis, berkeluh mencari bantuan)  Control lingkungan
kesah)  Melaporkan bahwa nyeri yangbdapat
mempengaruhi nyeri
berkurang dengan
Perubahan dalam nafsu makan menggunakan seperti suhu ruangan,
manajemen nyeri pencahayaan dan
kebisingan
 Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas,  Kurangi faktor
presipitasi hyeri
frekuensi dan tanda
nyeri)  Kaji tipe dan sumber
 Menyatakan rasa nyaman nyeri untuk
setelah nyeri berkurang menentukan
intervensi
 Tanda vital dalam
 Ajarkan tentang
rentang normal
teknik non
 Tidak mengalami
farmakologi, nafas
gangguan tidur
dalam, relaksasi,
distraksi, kompres
hangat atau dingin
 Kolaborasi dengan
tim medis lain dalam
pemberian obat untuk
mengurangi nyeri
 Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesic
pertama kali

Intoleransi aktivitas NOC: NIC :


 Observasi adanya
Berhubungan dengan tirah baring  SelfCare : ADLs pembatasan klien
atau imobilisasi  Toleransi aktivitas dalam melakukan
 Konservasi energy aktivitas
Kelemahan menyeluruh
 Setelah dilakukan  Kaji adanya faktor
Ketidakseimbangan antara suplei tindakan keperawatan yang menyebabkan
oksigen dengan kebutuhan selama … Pasien kelelahan
bertoleransi terhadap  Monitor nutrisi
Gaya pola hidup yang dipertahankan aktivitas fisik tanpa dansumber energy
disertai peningkatan yang adekuat
DS: Melaporkan secara verbal tekanan darah nadi, dan  Monitor pasien
adanya kelemahan atau kelelahan pernafasan akan adanya
 Mampu melakukan kelelahan fisik dan
Adanya ketidaknyamanan aktivitas sehari – hari emosi secara
beraktivitas (ADLs) secara mandiri. berlebihan
DO : respon abnormal dari tekanan  Keseimbangan aktivitas  Monitor respon
darah, nadi, terhadap aktifitas dan istirahat kardivaskuler
terhadap aktivitas
Perubahan ECG : aritmia, iskemia (takikardi,
disritmia, sesak
nafas, diapresis,
pucat, perubahan
hemodinamik)
 Monitor pola tidur
dan lamanya tidur/
istirahat pasien
 Kolaborasikan
dengan tenaga
Rehabititasi Medik
dalam
merencanakan
program terapi
yang tepat
 Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
mampi dilakukan
 Bantu untuk
memilih aktivitas
konsisten yang
sesuaidengan
kemampuan fisik,
psikologi dan
sosial
 Bantu
mengidentifikasi
dan mendapatkan
sumber yang
diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk
mendapatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda,
krek
 Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
 Bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
 Bantu pasien /
keluarga untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
 Sediakan
penguatan positif
bagi yangaktif
beraktivitas
 Bantu paisen untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon
fisik, emosi, sosial
dan spiritual

Gangguan body image berhubungan NOC : NIC :


dengan : Biofisika (Penyakit kronis), Body image enhancement
kognitif/ persepsi (nyeri kronis),  Body image - Kaji secara verbal dan
cultural/spiritual, penyakit, krisis  Self esteem nonverbal respon
situasional, trauma/injury, klien terhadap tubuh
pengobatan(pembedahan,kemoterapi, Setelah dilakukan - Monitor frekuensi
radiasi) tindakan keperawatan mengkirtik dirinya
selama … gangguan body - Jelaskan tentang
DS: image pasien teratasi pengobatan,
dengan kriteria hasil: perawatan, kemajuan
 Depersonalisasi bagian dan prognosis
tubuh  Body image positif
penyakit
 Perasaan negative tentang  Mampu - Dorong klien
tubuh mengidentifikasi mengungkapkan
 Secara verbal menyatakan kekuatan personal perasaannya
perubahan gaya hidup  Mendiskripsikan - Identifikasi arti
secara factual pengurangan melalui
DO : perubahan fungsi pemakaian alat bantu
tubuh
 Perubahan actual struktur  Mempertahankan - Fasilitas kontak
dan fungsi tubuh interaksi sosial dengan individu lain
 Kehilangan bagian tubuh dalam kelompok kecil
 Bagian tubuh tidak berfungsi
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam & Kurniawati, (2013). Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika

Nur’ Ainun, Wiwit Febrina & Aria Wahyuni (2016). Faktor Faktor yang
Mempengaruhi Perubahan Perilaku Pasien HIV/AIDS. Jurnal Human
Care, 1 (2).

UNAIDS, (2016). HIV/AIDS Global Report. General : English Original

Nasronudin.(2014). HIV/AIDS. Airlangga University Press

Dewita, Gita, dkk.2016. Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada Pasien


HIV-AIDS Secara Umum.vol 6.No.1

Hurarif, Amin Huda, dkk,2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan NANDA NIC-NOC.Jogjakarta: MediaAction

Anda mungkin juga menyukai