Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS DAN CONTINUOUS AMBULATORY


PERITONEAL DIALYSIS (CAPD) DI RUANG ICU RSUD RATU
ZALECHA MARTAPURA

DISUSUN OLEH :

SAHABUDDIN AHMAD PAJRIANNOR


P07120214075

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN
BANJARBARU
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Sahabuddin Ahmad Pajriannor


NIM : P07120214075
Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gagal Ginjal Kronis Dan Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD)
Tempat : Ruang Hemodialisa RSUD Ratu Zalecha Martapura

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

H. Marwansyah, Ns. S.Kep, M.Kep


NIP. NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. Gagal Ginjal Kronis


a. Definisi
Cronical Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir
merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan
irreversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Hal ini terjadi karena
terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Smeltzer & Bare,
2000; Price, Wilson, 2002; Suyono, et al, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit
ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1) Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2) Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Capernito, 2009).

b. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan
melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk
menghitung GFR dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke
laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah
produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari
dalam darah oleh ginjal yang sehat. Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal
ginjal kronis sebagai berikut :
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance
Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus berikut ini:

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )


72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :


1) Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum
merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya.
Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak
lagi dalam kondisi tidak lagi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak
mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.
2) Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena
ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
3) Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk
dalam darah yang disebut uremia. Gejala-gejala juga terkadang mulai
dirasakan seperti :
a. Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga
mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila
bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang
dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
d. Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4) Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin
dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis
atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun
dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang
mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah Fatique, Kelebihan cairan,
perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur, Nausea (muntah atau
rasa ingin muntah), perubahan cita rasa makanan (dapat terjadi bahwa
makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya), dan bau mulut
uremic (ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak).
5) Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya
untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti
ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain kehilangan nafsu
makan, nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu berkonsentrasi,
gatal-gatal, urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali, bengkak (terutama
di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki), kram otot, dan perubahan
warna kulit.

c. Etiologi
Penyebab GGK menurut Price & Wilson (2006), penyebab GGK dibagi
menjadi delapan kelas, antara lain: Infeksi misalnya pielonefritis kronik
1) Infeksi misalnya pielonefritits
2) Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya
timbul pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan
fisiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat
nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan
aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis
kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat,
akan nampak ginjal mengkerut, berat lebig kurang dengan permukaan
bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia,
karena tubulus mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding
arteri.
3) Penyakit vaskuler hipertensif
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal. Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme
retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system renin, angiotensin
dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab
utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit putih. Misalnya
nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple,
bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis
tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus
ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang mamadai tetap
dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic. Misalnya penyakit
ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal.
6) Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
8) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.

d. Faktor Resiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit
diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National
Kidney Foundation, 2009).

e. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi
sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang
menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.
3) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus,
miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan
selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan
dialisis.
6) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik.Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan
gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK.Kelainan mental
ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7) Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
f. Patofisiologi

g. Pemeriksaan Penunjang
1) Urine
Volume Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine
tak keluar (anuria)
Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus
bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen
kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB,
mioglobin.
Berat Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan
Jens kerusakan ginjal berat).
Osmolitas Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular,
dan rasio urine/serum sering 1:1
Clerance Mungkin agak menurun
Creatinin
Natrium Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
Protein Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

2) Darah
BUN / Kreatin Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi
kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir
(mungkin rendah yaitu 5)
Hitung darah Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya
lengkap kurang ari 78 g/dL
SDM Waktu hidup menurun pada defisiensi
aritropoetin seperti pada azotemia.
GDA pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari
7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal
untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun, PCO2 menurun
Natrium Serum Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan
Natrium” atas normal (menunjukan status dilusi
hipernatremia).
Kalium Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau
pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir,
perubahan
Magnesium / Fosfat Meningkat
Kalsium Menurun
Protein (khususnya Kadar serum menurun dapat menunjukkan
Albumin) kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial
Osmolalitas Serum Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama
dengan urine.
3) Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan
ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
4) Sistouretrogram Berkemih
Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
5) Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
6) Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
7) Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
8) EKG
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.

h. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan
cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
 Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan
kerja ginjal. 2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang
tinggi (uremia). 3)Mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit.4)Mencegah atau mengurangi progresifitas gagal ginjal,
dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus (Almatsier,
2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi,
diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari protein dan
lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium
dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq), oliguria, atau anuria.
 Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. Energi cukup
yaitu 35 kkal/kg BB.
 Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan
dibatasi yaitu sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
 Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat,
vitamin C, vitamin D.
2. Terapi Simtomatik
 Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
 Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai
dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan
jenis keluhan kulit.
 Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
 Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
 Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung
dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat
berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .
a. Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
yang serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan
perdarahan, dan membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu
proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran
berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.
Terdapat dua teknik yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
 Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan atau produk limbah karena dalam tubuh
penderita gagal ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin (2000), hemodialisis
adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa
darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk kedalam
sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan
dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa
shunt (AV-shunt). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat
untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

 Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada


penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang
dipakai untuk jangka panjang. Akhir-akhir ini sudah populer
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal
di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal.

b. Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke


pasien GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru.
Pertimbangan program transplantasi ginjal :
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal
ginjal
 Kualitas hidup normal kembali
 Survival rate meningkat
 Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
 Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan
meletakkan pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian
lebih mudah beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih
resipien. Arteri renalis berimplantasi pada arteri iliaca interna dan
vena renalis beranastomosis dengan vena iliaca komunis atau
eksterna.
i. Komplikasi
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi
ginjal adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa mengalami tekanan
darah tinggi ketika terjadi gangguan kronis dari fungsi ginjal. Selanjutnya
kondisi demikian akan mempercepat peningkatan risiko penyakit jantung.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
10. Anemia
11. Perdarahan
12. Neuropati perifer
13. Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
14. Hipertrofi ventrikel kiri
15. Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
16. Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat berisiko
terkena penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari separuhkematian pada
orang dengan GGK berasal dari adanya penyakit jantung ini. Serangan
Jantung dan Stroke. Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan
penyebab utama kematian lebih dr 20 juta org di Amerika Serikat yang
menderita GGK. Penderita dg GGK memiliki risiko lebih tinggi utk
mengalami serangan jantung atau stroke, bahkan pada penderita yg masih
pada stadium awal atau ringan sekalipun.
17. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan
garam kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa
gatal ini secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai
terluka dan terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan
kulit menjadi rusak, bahkan terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung
(kasar & kering)
18. Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam
kejadian di lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau
kejang otot jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat sebelumnya.

j. Pencegahan
 Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat
netrotoksik, menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu,
mencegah kehamilan pada penderita yang berisiko tinggi, konsumsi garam
sedikit. makin tinggi konsumsi garam, makin tinggi pula kemungkinan
ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat mempermudah terbentuknya
kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
 Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri
atas pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta) untuk
menghambat progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang
terdiri dari dialisis dan transplantasi ginjal.
 Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik
tetapi juga menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi penderita
GG dapat berupa: mengurangi stress, menguatkan sistem pendukung sosial
atau keluarga untuk mengurangi pengaruh tekanan psikis pada penyakit
GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, hindari imobilisasi karena
hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi tulang, meningkatkan
kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi program diet yang
dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar kualitas
hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.
LAPORAN PENDAHULUAN
CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALISYS)

A. Definisi
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode
pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut
dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan
kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah
selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus
dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah
secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan,
dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).
Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar
22.000 cm2 berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan
steril dimasukkan ke dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen
dengan interval. Ureum dan creatinin yang keduanya merupakan produk akhir
metabolism yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah
melalui difusi dan osmosis ketika produk limbah mengalir dari daerah dengan
konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke daerah dengan konsentrasi rendah
(cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable (membrane peritoneum).
Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit, sedangkan creatinin
dikeluarkan lebih lambat.

B. Tujuan
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta
limbah metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan
mengeluarkan cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.
C. Indikasi
 Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang
cepat (hemodinamik yang tidak stabil)
 Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
 Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara
sistemik
 Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
 Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
 Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak
responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

D. Kontraindikasi
 Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
 Adhesi abdominal
 Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada
discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan
dialisis dalam abdomen yang kontinyu
 Pasien dengan imunosupresi

E. Cara kerja CAPD


a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai
tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan
ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam”
di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di
bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut
“exit site”.
Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan
mendesinfeksi abdomen. Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen
sekitar 5 cm di bawah umbilicus. Dokter membuat insisi kecil dan kateter
multinilon dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Kemudian, daerah
tersebut ditutup dengan balutan.
Proses pemasangan
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter
“dineal”R61L” yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong
cairan dialysis 1 L. Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa
tambahan yang menuju ke belakang, ini untuk meng“syphon off” cairan dari
peritoneum. Seluruh pipa harus terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah
kantong pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2 L) diikatkan
pada pipa keluar.
Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba
antara pusar atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian
dari pubis. Bekas luka pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter
dapat dimasukkan sebelah lateral dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi
local yang diberikan cukup banyak (10-15 ml) dan yang paling penting untuk
meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah diinfiltrasi, bila penderita
gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal)
diperlukan untuk menganastesi peritoneum.
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat
di kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk
ke ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah
masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang
dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan,
keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan kateter.
Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan
diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah
cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa system tersebut
mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup
baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat
dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari
dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan
tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek yang menghubungkan
kateter ke alat perangkat.
b. Pemasukan cairan dialisat
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan
khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu
dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat
racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan
ditarik ke dalam cairan dialisat.
Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian
disambungkan dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan
mengalir secepat mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L
dihabiskan dalam waktu 10 menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis
cairan yang maksimal dan difusi –solut/butiran ke dalam dialisat mungkin
terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-time (waktu yang diperlukan
dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka dan cairan
dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada
kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase
(waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga
peritoneum) adalah 10-15 menit.
Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma
yang terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3,
drainase sudah jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan
darah. Setelah cairan dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang
selanjutnya harus segera dimulai. Pada pasien yang sudah dipasang kateter
peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi obat bakterisida. Setelah
dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan penutup yang
steril.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan
dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi
sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki


kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan
dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

c. Proses Penggantian Cairan Dialisis


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu
singkat (± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan
air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis
yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya
hanya memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan
ke dalam rongga perut melalui kateter.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut
selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam
ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit
dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini
diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan,
keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar
harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter “Tenchoff” yang
fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD
dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6
jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

F. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk
dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan
terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada
dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih
tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut
diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim
jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis
berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran
normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang
semakin baik. Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang
signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat
molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis
daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD
lebih lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan
pada saat dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan dialisat
hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta
gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan
bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga
memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan
kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus
diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan
makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung
secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu.
Pasien melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang
hari (misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00
malam). Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya
memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada
lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri
atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit
periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit,
30 menit atau lebih.

G. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian


1. Efektifitas
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara
CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi
ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010).
Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara penanganan penderita gagal ginjal,
yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga peritoneum (rongga perut) di
mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.
Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam
rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut.
Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan
membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-
zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara
CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien
bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang
tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya
lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).
2. Keuntungan CAPD dibandingkan HD
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui
sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di
samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang
penting lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa
meningkatkan HB) dan pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis
yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan
hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada
akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada
tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka
bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk
tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).

Keuntungan tambahan yang lain yaitu :


a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit
sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

3. Kelemahan CAPD
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat
terjadi infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh
bergerak di tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik
subnutrisi (pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran
albumin) dapat terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al,
2005).

H. Komplikasi CAPD
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial
Ambulatory Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis.
Gejala yang muncul seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau
demam. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan
paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang
menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan
oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian
ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian,
peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang
lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.
Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila
terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan
bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen
yang difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika
staphylococcus merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan
cairan drainase dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram,
dan pemeriksaan kultur untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan
terapi. Untuk mencegah komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita
selalu:
1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh
kateter.
2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama
proses penukaran cairan)
4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan
penukaran cairan dialisat tersebut
5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya
sentra-sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan
menginstruksikan untuk menambah obat pada cairan pencuci (dialisat)
tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien.
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada
pemasangan kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya
kebocoran tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama
beberapa ahri untuk menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter.
Selama periode ini, factor-faktor yang dapat memperlambat proses
kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan
pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat pemasangan kateter
atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa bulan atau
tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-
kadang dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid.
Kejadian ini sering dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama
mengingat sebagian darah akibat prosedur tersebut tetap berada dalam rongga
abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan.
Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai dengan perdarahan.
Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang berdarah
sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak
memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering
dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi
kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan
intraabdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe
insisional, inguinal, diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang
secara persisten meningkat juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan
hemoroid.
5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani
CAPD sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis
6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan
dalam rongga abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera
pengecap serta berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi
CAPD
7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas
Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk
mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal,
namun bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami
gangguan citra tubuh dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung
serta selang dibadannya
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2


Jakarta : EGC
Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology:
Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;

Anda mungkin juga menyukai