Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

PSIKOSIS AKUT

Disusun Oleh:

Bella Safira Alisa, S.Ked 04054821820140


Irinne Karina Putri, S.Ked 04054821820076
Farhan Hadi, S.Ked 04054821820004

Pembimbing:
dr. Bintang Arroyantri P., Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus


Psikosis Akut

Oleh:
Bella Safira Alisa, S.Ked 04054821820140
Irinne Karina Putri, S.Ked 04054821820076
Farhan Hadi, S.Ked 04054821820004

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Palembang, Agustus 2018

dr. Bintang Arroyantri P., Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Psikosis Akut” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Bintang
Arroyantri P., Sp.KJ atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih
baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN .........................................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan
jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah (avaskular). Kornea berfungsi
sebagai membran pelindung yang dilalui berkas cahaya menuju retina.1 Secara
histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman,
stroma, membrana descemet dan endotel.2Epitel yang terdapat pada kornea ini
adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea
sehingga dapat menahan peradangan. Oleh karena kornea jaringan avaskular maka
jika terjadi peradangan sistem pertahanan tidak segera bekerja, berbeda dengan
jaringan lain yang banyak memiliki jaringan vascular.3
Peradangan kornea jika tidak didiagnosis secara dini serta tidak ditangani
dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kerusakan pada kornea sampai dapat
berlanjut menjadi ulkus.Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang
ditandai oleh adanya infiltrat disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas
jaringan kornea dengan kehilangan epitel juga sampai mengenai stromal
kornea.Klasifikasi ulkus kornea dibagi menjadi infeksius dan non-infeksius.Ulkus
kornea infeksius disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, dan virus. Sedangkan
ulkus kornea noninfeksius disebabkan oleh penyakit autoimun, neutrotropik,
toksik, dan alergi.2Ulkus non-infeksius lainnya dapat disebabkan oleh defisiensi
vitamin A.4
Pola epidemiologi ulkus kornea bervariasi di seluruh dunia, berhubungan
dengan populasi pasien, lokasi geografis, dan iklim.Staphylococcus aureus dan
Aspergillus spp adalah penyebab paling umum terjadinya ulkus kornea infeksius
di negara berkembang, sedangkan penyebab ulkus kornea non-infeksius terbanyak
adalah autoimun. Usia penderita ulkus kornea infeksius terbanyak adalah orang

v
yang berusia 40 – 60 tahun dan pada sebuah penelitian di India menunjukan 65%
kasus ulkus non-infeksius terbanyak terjadi pada rentang usia 18 – 45 tahun.5,6
Diagnosis ulkus kornea dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis yang
baik dibantu dengan slit lamp. Pada pemeriksaan ketajaman penglihatan atau
visus, didapatkan adanya penurunan visus.Penelitian yang dilakukan di Afrika
menunjukan bahwa dari 82 pasien ulkus kornea sebanyak 55 pasien mengalami
penurunan visus kurang dari 3/60.7
Tujuan penatalaksanaan ulkus kornea adalah eradikasi bakteri dari kornea,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki tajam penglihatan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian
terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas
mikroorganisme penyebab. Selain terapi medikamentosa, tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah tindakan operatif.
.
1.1.1 Tujuan
Tujuan penulisan telaah ilmiah ini adalah untuk menjelaskan secara
singkat diagnosis dan tatalaksana ulkus kornea.

vi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA MATA


a) Embriologi Kornea
Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu
ektoderm,neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan nureal
crestcell yang merupakan derivat dari ektoderm.Pada akhir dari minggu ke 6
gestasional, kornea telah terdiri dari 3lapis, yaitu lapisan epitel skuamosa
superfisial dengan sel basal yangberbentuk kubus, lapisan stroma dan laisan set
endotel. Pada bulan keempat, lapisan Bowman dan descement mulai terlihat. Saat
lahir ukurandiameter kornea mencapai 10,00 mm dan terus berkembang
kemudianberhenti ketika telah berusia 1 tahun.10
b) Anatomi Kornea

Gambar 1. Anatomi Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian
anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga
terdapat bentuk dengan dua kelengkungan berbeda. Bola mata dibungkus oleh tiga

vii
lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya disebut kornea,
lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat cairan aqueous
humor, lensa dan vitreous humor.10
Kornea adalah jaringan transparan, yang disisipkan ke sklera di limbus,
lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan
diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior ke posterior. Batas antara sclera dan
kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan
kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri.11
Sifat kornea yang avaskuler membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari
jaringan di sekitarnya yaitu humor akuos melalui proses difusi, lapisan air mata,
dan pembuluh darah limbus. Sumber nutrisi utama kornea adalah glukosa dan
oksigen. Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik
terbanyak (300-400 serabut saraf), yang berasal dari nervus trigeminus.2
Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel,
membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Epitel kornea
memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total ketebalan kornea, dan terdiri dari
tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial, lapisan sel sayap, dan
lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan aseluler yang dibentuk
oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma dengan
ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan akan
digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea menyusun 90%
dari seluruh ketebalan kornea.Stroma kornea tersusun atas fibril kolagen dengan
ukuran yang seragam, meluas di seluruh permukaan kornea dan membentuk
kelompok yang disebut lamella; serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan
matriks ekstraseluler yang terdiri dari glikoprotein dan
glikosaminoglikan.Membran Descemet merupakan lamina basalis sel-sel endotel
kornea.Membran ini terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki
ketebalan 10-12 µm. Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari
kornea.Lapisan ini terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya

viii
tidak dapat membelah. Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam
mempertahankan transparansi kornea.2
c) Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina.Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgensi.Deturgensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel.Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting dari pada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak
jauh lebih parah dari kerusakan epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan, sebaliknya kerusakan pada epitel
hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan menghilang bila
sel-sel epitel telah beregenerasi.12
. Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai jalur untuk
penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi dan
mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan mempertahankan
transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik
9 aktif di endotel kornea. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah
teridentifikasi antara lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion
sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+ ,K+ -ATPase; pompa
sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat
yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos. Pompa-pompa
transport ion ini bekerja sama untuk mempertahankan transparansi kornea.13
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau
keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.13

ix
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat
pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.13
2.2 Ulkus Kornea
2.2.1 Definisi
Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea.Ulkus kornea ditandai dengan adanya infiltrat supuratif
disertai defek kornea bergaung dan dikontinuitas jaringan kornea yang dapat
terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea dapat terjadi oleh karena proses
kolagenase dari sel-sel epitel baru dan sel radang.10,14
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika, ulkus kornea merupakan penyebab tersering kebutaan dengan
insidensi 30.000 kasus pertahun. Sedangkan di California, insidensi terjadinya
ulkus kornea dilaporkan sebesar 27,6/100.000 orang. pertahun, dengan perkiraan
sebanyak 75.000 orang yang mengalami ulkus kornea setiap tahunnya. Faktor
predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian lensa kontak,
riwayat operasi kornea, penyakit permukaan okular, pengobatan topikal lama dan
penyakit imunosupresi sistemik.8
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan
mata sebab kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa
bakteri, jamur, dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut
yang luas.15
Di Indonesia, Insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5 persen dengan
prevalensi tertinggi di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan
Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di
Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi kekeruhan kornea pada
laki‐laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan.
Prevalensi kekeruhan kornea yang paling tinggi (13,6%) ditemukan pada

x
kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai
prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (9,7%) dibanding kelompok pekerja
lainnya. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan
petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau
kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja
belum optimal dilaksanakan di Indonesia.9
2.2.3. Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang dilalui cahaya, yang
pabila terjadi perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil
apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama
bila letaknya di daerah pupil.16
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.16
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma
yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi
dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.16
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Bila terjadi infeksi maka proses infiltrasi dan vaskularisasi dari limbus baru akan
terjadi 48 jam kemudian.Maka wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam
stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan
dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi
perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma,
leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan

xi
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah
ulkus kornea.17,18
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama
palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.11
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut.
Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini
menyebar keduaarah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil
dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi
bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma
maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya
sikatrik.16
2.2.4 Etiologi
a. Infeksi
 Infeksi Bakteri
P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang
keluar bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan
infeksi P aeruginosa.
 Infeksi Jamur
Dapat disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,
Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
 Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai.
Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil
dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus
dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di
bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola,
vacinia (jarang).

xii
 Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam
air yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik.
Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin
dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila
memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya
ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air atau
tanah yang tercemar.
b. Noninfeksi
 Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik,
organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata
maka akan terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila
konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya
kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara
lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium
hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen
kornea.
 Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari
yang akan merusak epitel kornea.
 Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat
disebabkan defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid),
kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel yang
menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada
keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek
pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.
 Defisiensi vitamin A

xiii
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna
dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
 Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya;
kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan
golongan imunosupresif.
 Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
 Pajanan (exposure)
 Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
 Granulomatosa wagener
 Rheumathoid arthritis
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu11:
1. Ulkus kornea sentral.
A. Ulkus kornea bakterialis
a. Ulkus Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous).Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang menggaung.

Gambar 2. Ulkus Kornea Streptokokus

b. Ulkus Stafilokokus

xiv
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik kekuning-an
disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel.

Gambar 3. Ulkus Kornea Stafilokokus


c. Ulkus Pseudomonas
Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea yang dapat
menyebar ke samping dan ke dalam kornea.Gambaran berupa ulkus yang
berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna
kehijauan.Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik
mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak. Secara histopatologi,
khas pada ulkus ini ditemukan sel neutrofil yang dominan.

Gambar 4.Ulkus Kornea Pseudomonas

d. Ulkus Pneumokokus
Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi
ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan
gambaran karakteristik yang disebut ulkus serpen. Terdapat
hipopion.Ulkus biasanya dimulai dari perifer yang kemudian bergerak
menuju sentral.Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan
berwarna kekuning-kuningan.Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering
terlihat ulkus yang menggaung.

xv
Gambar 5. Ulkus Kornea Pneumokokus
e. Ulkus Neisseria gonorrhoeae
Ulkus kornea yang terjadi karena Neisseria gonorrhoeae dan
merupakan salah satu dari penyakit menular seksual.Pada ulkus
korneaterdapat sekret yang purulent dan bisa didapatkan adanya
kemosis.bisa menyebabkan perforasi kornea dan kerusakan yang sangat
berarti pada struktur mata yang lebih dalam.

Gambar 6.Ulkus Kornea Neisseria gonorrhoeae

B. Ulkus kornea fungi


Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-
abuan yang agak kering.Tepi lesi berbatas tegas irregular, feathery edge
dan terlihat penyebaran seperti bulu di bagian epitel.Terlihat suatu daerah
tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit
disekitar-nya.Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan
permukaan naik dan dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan
radang.

xvi
Gambar 7. Ulkus Kornea Fungi

C. Ulkus kornea virus


a. Ulkus kornea Herpes Zoster
Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu timbul
1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit.Pada mata ditemukan vesikel kulit
dan edem palpebra, konjung-tiva hiperemis, kornea keruh akibat
terdapatnya infiltrat subepitel dan stroma.Lesi pada ulkus kornea ini sering
disebut dengan pseudodendrit.Namun pada lesi ini tidak menunujukkan
lesi arborisasi.

Gambar 8. Ulkus Kornea Herpes Zoster

b. Ulkus kornea Herpes Simpleks


Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat
disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul
dengan bentuk dendrit, gambaran lesi arborisasi.Bentuk dendrit herpes
simplex kecil, ulseratif, jelas diwarnai dengan fluoresein.

Gambar 9. Ulkus Kornea Herpes Simpleks

xvii
D. Ulkus kornea Acanthamoeba
Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan
kliniknya, kemerahan dan fotofobia.Tanda klinik khas adalah ulkus kornea
indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural.

Gambar 10.Ulkus Kornea Acanthamoeba


2. Ulkus kornea perifer
a. Ulkus marginal
Merupakan peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat
atau segiempat, dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang sehat
dengan limbus.
b. Ulkus mooren
Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer
kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan untuk
perforasi.Gambaran khasnya yaitu terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan
sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak lama. Tukak ini
berhenti jika seluuh permukaan kornea terkenai. Penyebabya adalah
hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, virus atau autoimun.

Gambar 11. Ulkus Mooren

xviii
2.2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa10:
Gejala Subjektif
 Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
 Merasa ada benda asing di mata
 Pandangan kabur
 Mata berair
 Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
 Silau
 Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat
pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel
kornea.
Gejala Objektif
 Injeksi siliar
 Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
 Hipopion
2.2.5.Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan lampu celah serta pemeriksaan
laboratorium.Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat
diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit
kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek
yang sering kambuh. Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal
oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit
bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.11
Pada pemeriksaan oftakmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi
siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya
jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan
hipopion.10

xix
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti
ketajaman penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil, pewarnaan
kornea dengan zat fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan
gram, giemsa atau KOH).10
Karena gambaran klinis tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
etiologik secara spesifik, diperlukan pemeriksaan mikrobiologik, sebelum
diberikan pengobatan empirik dengan antibiotika.Pengambilan spesimen harus
dari tempat ulkusnya, dengan membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu;
dilakukan secara aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril, kertas
saring atau Kalsium alginate swab.Medium yang digunakan adalah medium pelat
agar darah, media coklat, medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat.Selain
itu dibuat preparat untuk pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat
memberikan informasi morfologik tentang kuman penyebab yaitu termasuk
kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat digunakan sebagai dasar pemilihan
antibiotika awal sebagai pengobatan empirik.11

2.2.5. Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
1. Penatalaksanaan non-medikamen-tosa:
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskan-nya;
b. Jangan memegang atau meng-gosok-gosok mata yang meradang;
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin
dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih;
2. Penatalaksanaan medikamentosa:
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian
terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas
mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan antimikrobial yang dapat
diberikan berupa:
A. Antibiotik

xx
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi
subkonjungtiva.Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep
mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat menimbulkan
erosi kornea kembali. Berikut ini contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%,
Basitrasin 500 unit, Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5
mg, Tobramisin 3 mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg,
Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg, Polimisin B 10.000 unit.
B. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis yang
dihadapi bisa dibagi:
a. Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal, Natamicin,
Imidazol;
b. Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin 0,1%
tetes mata14,15;
c. Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa, berbagai jenis
antibiotik.
C. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan
streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum
luas untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral
topika berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam.
D. Anti acanthamoeba
Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat
atau salep klorheksidin glukonat 0,02%.
Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan yaitu:
a. Sulfas atropin sebagai salep atau larutan. Kebanyakan dipakai
sulfas atropin karena bekerja lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas atropin:
1. Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
2. Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.

xxi
3. Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil. Dengan
lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga
mata dalam keadaan istirahat.Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil,
terjadi midriasis sehinggga sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan
dapat mencegah pembentukan sinekia posterior yang baru.
b. Skopolamin sebagai midriatika.
c. Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain,
atau tetrakain tetapi jangan sering-sering.
Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa pemberian nerve
growth factor (NGF) secara topikal menginisiasi aksi penyembuhan luka
pada ulkus kornea yang disebabkan oleh trauma kimia, fisik dan iatrogenik
serta kelainan autoimun tanpa efek samping.
3. Penatalaksanaan bedah
a. Flap Konjungtiva19
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan
sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana terapi medis atau
bedah mungkin gagal, kerusakan epitel berulang dan stroma
ulserasi.Dalam situasi tertentu, flap konjungtiva adalah pengobatan yang
efektif dan definitif untuk penyakit permukaan mata persisten.
Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, yaitu melepaskan
konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian ditarik menutupi ulkus
dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk
mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap konjungtiva ini
dapat dilepaskan kembali.
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas
permukaan kornea yang terganggu dan memberikan metabolisme serta
dukungan mekanik untuk penyembuhan kornea. Flap konjungtiva
bertindak sebagai patch biologis, memberikan pasokan nutrisi dan
imunologi oleh jaringan ikat vaskularnya.
b. Keratoplasti19

xxii
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti:
1. Dengan pengobatan tidak sembuh;
2. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan;
3. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perfo-rasi.
Ada dua jenis keratoplasti yaitu:
A. Keratoplasti penetrans
Adalah penggantian kornea seutuhnya.Karena sel endotel sangat cepat
mati, mata hendaknya diambil segera setelah donor meninggal dan segera
dibekukan. Mata donor harus dimanfaatkan <48 jam. Tudung korneo
sklera yang disimpan dalam media nutrien boleh dipakai sampai 6 hari
setelah donor meninggal dan pengawetan dalam media biakan jaringan
dapat tahan sampai 6 minggu.Telah dilakukan penelitian tentang
pendonoran jaringan kornea manusia dari sisik ikan (Biocornea).Penelitian
dilaku-kan pada kelinci dan menunjukkan hasil bahwa Biocornea sebagai
pengganti yang baik memiliki biokompa-tibilitas tinggi dan fungsi
pendukungan setelah evaluasi jangka panjang.
B. Keratoplasti lamelar
Adalah penggantian sebagian dari kornea. Untuk keratoplasti lamelar,
kornea dapat dibekukan, didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es
selama beberapa minggu.Selama dekade terakhir, tatalaksana bedah untuk
penyakit endotel telah berkembang dengan cepat ke arah keratoplasti
endotel, atau transplantasi jaringan selektif.Keratoplasti endotel menawar-
kan keuntungan yang berbeda dalam hal hasil visual dan sayatan lebih
kecil.

2.2.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa19:
1. Kebutaan parsial atau komplit karena endoftalmitis;
2. Prolaps iris;
3. Sikatrik kornea;

xxiii
4. Katarak;
5. Glaukoma sekunder.

xxiv
BAB III
KESIMPULAN

Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat


kematian jaringan kornea.Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi
menyebabkan kebutaan yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.
Etiologi ulkus kornea dibagi menjadi infeksi, noninfeksi.Infeksi biasanya
disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, dan virus.Noninfeksi ulkus kornea
noninfeksius disebabkan oleh bahan kimia, radiasi atau suhu, neutrotropik, dan
obat-obatan. Selain itu dapat juga disebabkan karena penyakit autoimun seperti
granulomatosa wagener dan rheumathoid arthritis.
Kornea bersifat avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, maka wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah
ulkus kornea.6’
Klasifikasi ulkus kornea di bedakan menjadi ulkus kornea sentral dan
ulkus kornea perifer.Gejala klinis dari ulkus kornea ini dibedakan menjadi gejala
klinis subjektif dan objektif.Gejala subjektif meliputi eritema pada kelopak mata
dan konjungtiva, merasa ada benda asing di mata, pandangan kabur, mata berair,
silau, nyeri dan bintik putih pada kornea sesuai lokasi ulkus.Gejala objektif
meliputi injeksi silier, hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrat, serta
hipopion.
Penatalaksanaan ulkus kornea dapat berupa non-medikamentosa,
medikamentosa ataupun penatalaksaan bedah.

xxv
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDAMI (2002). Ulkus Kornea dalam Ilmu Penyakit Mata Untuk


Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 2. Jakarta: Penerbit
Sagung Seto.
2. American Academy of Ophthalmology (2012). External Disease and
Cornea Section 8. San Fransisco: AAO MD Association.
3. Biswell R (2010). “Corneal Ulcer” in Cornea. Vaughan D, Asbury T, Eva
PR (Ed). General Ophtalmology 17th ed. USA Appleton Lange, pp: 126-
149.
4. Hamurwono GB, Ilyas R, Marsetio M, et al (2002). Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 2. Jakarta:
Sagung Seto, pp: 116-137.
5. Gandhi S, Shakya DK, Ranjan KP, Bansal S (2014). Corneal ulcer: A
prospective clinical and microbiological study. International Journal of
Medical Science and Public Health, 3 (11): 1334-1337.
6. Sharma N, Sinha G, Shekhar H, Titiyal JS, Agarwal T, Chawla B, Tandon
R, Vajpayee RB (2015). Demographic profile, clinical features and
outcome of peripheral ulcerative keratitis: a prospective study. Br J
Ophthalmol; pp.bjophthalmol-2014.
7. Ezegwui IR (2010). Corneal ulcers in a tertiary hospital in Africa. J Natl
Med Assoc, 102 (7): 644.
8. Amescua G, Miller D, Alfonso EC. What is Causing the Corneal Ulcer?
Management strategies for unresponsive corneal ulceration [internet].
USA; 2012 [diakses tanggal 5 April 2018 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/]
9. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Nasional.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan [internet]. Jakarta; 2013
[diakses tanggal 5 April 2018]. Tersedia dari http://www.depkes.go.id/.
10. Ilyas, Sidarta. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FK Universitas Indonesia, Jakarta.

xxvi
11. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan, P. 2012. Oftalmologi Umum. 14th
Ed. Alih bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widya Medika.
12. Kaufma HE, Barron BA, Mc Donald MB. 1998. The Cornea : second
edition..
13. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S.
M. Lai. 2012. New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of
Ophthalmology, Queen Mary Hospital, Hong Kong.
14. Khurana, A. K. 2017. Disease of the Cornea. Comprehensive
Ophthalmology : sixth edition. Rohtak.
15. Suharjo, Fatah widido. 2007.Tingkat keparahan Ulkus Kornea di RS
Sarjito Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Dikutip dari
www.tempo.co.id.
16. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2012. Ulkus Kornea
dalam: Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Penerbit Sagung Seto Jakarta.
17. Srinivasan, M., Gonzales, C., George, C., Cevallos, V., Mascarenhas, J.,
Asokan, B,.et al. Epidemiologi and aetiological diagnosis of corneal ulcer.
Br J Ophtalmol. 2007 Nov;81(11):965-971.
18. Patel, S.V. Graft survival and endothelial outcomes in the new era of
endothelial keratoplasty. J Exer. 2012 Feb;95(1):40-7.
19. Farida, Y. 2015. Corneal Ulcers Treatment. J Majority 4 (1): 119-127.

xxvii

Anda mungkin juga menyukai