peraduannya. Hangatnya kantong tidur dilapisi selimut tipis tak sanggup menghalau dingin yang
menyergap memasuki tenda. Suara jangkrik sedari tadi yang enggan diam sudah mengganggu
tidurku sejak tadi, dan semakin jengkel ketika bunyi sirine berbunyi tak kenal ampun disertai
suara teriakan-teriakan yang menjengkelkan. Beberapa suara erangan terdengar disamping ku
tanda suara-suara itu juga mengganggu tidur mereka. Dan satu-persatu dari mereka mulai
bangun, terasa dari tenda yang sedikit bergoyang. Aku masih enggan membuka mata. Rasanya
pendakian kemarin terlalu melelahkan dan aku hanya ingin sedikit tidur lebih panjang. Entah
karena butuh istirahat atau aku terlalu malu menghadapi hari ini.
Tiba-tiba sebuah suara tak asing dengan kalimat yang sama terdengar
“Dil, kalau kamu sudah bangun jangan buka matamu dulu yah.”
“dia masih tidur, ayo buruan. Setelah itu baru bangunin dia”
Sekitar 10 menit kemudian suaranya terdengar. Lembut dan berbeda dari suara yang sebelumnya.
“Bangunlah, buruan sebelum kita dipanggil.” Kali ini dia sedikit menggucang badanku.
Menghargai usahanya, aku segera bangun dan melipat kantong tidur serta selimut yang ku pakai
tadi. Saat kurasa dia masih duduk dibelakangku dan berbalik menghadapnya, kami bertemu
pandang.
“ngapain masih duduk disini, udah bangun nih.” Agak meninggikan suara ku agar gugupku
sedikit tertutupi.
“Hei segera ganti bajumu. 30 menit lagi kita melanjutkan perjalanan.” Ucap salah satu temanku.
Tanpa disuruh, 4 orang temanku segera beranjak keluar dari tenda. Benar, aku perempuan sendiri
dalam tenda. Bukan karena apa, Diklat MApala yang aku ikuti awalnya memiliki banyak peserta.
Namun banyak yang menyerah karena didikannya yang terlalu keras atau karena kesibukan
masing-masing. Dan hanya aku wanita yang masih bertahan hingga sekarang bersama 4 temanku
yang tadi. Krisna, Memed, Ferry, dan Putra. Kegiatan “tidur bersama” seperti tadi sudah 2 kali
kami lakukan sejak hari pelepasan kami. Dan karena kami “bersaudara” aku tak khawatir berada
di tengah tengah mereka.