Anda di halaman 1dari 9

Partai Komunis Indonesia

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah
bubar. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia
setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya PKI dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan
sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya.

Pelopor
Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia-Belanda lainnya membentuk serikat tenaga
kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam
bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya
dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP dan Partai Sosialis
Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia
Belanda.[3] Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi
orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.
Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda,
"Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat
pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV
mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan
warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti
kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke
Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agama, nasionalis
dan aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun 1900. Di
bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda,
dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah
karena menolak "berpura-pura" menjadi Dewan Masyarakat (Volksraad Volksraad (Hindia
Belanda). Pada tahun 1917 kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri, dan membentuk
partai sendiri dengan nama Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan
sendiri publikasi pertama berbahasa Indonesia, Soeara Merdeka.
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang
terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara
tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal
Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir
1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut
utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial
menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke
Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.
Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam.
Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide
Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI dibujuk
untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat.[4]
ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat.
Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam
Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia.
Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari 400.

1
Pembentukan dan pertumbuhan
Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah
menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono
menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah
orang Belanda.[4] PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.
Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota
menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim,
sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang
keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan indonesia.
Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan keluar dari partai,
seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan karena kecewa untuk
kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia. Pada saat yang sama,
pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan Sarekat
Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan komunis sebagai satu-
satunya organisasi nasionalis yang aktif.
Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor
Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap
pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat
buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara
pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.[5]
Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur
semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.[6]
Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas
utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh"
karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).

Pemberontakan 1926
Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis
di Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi nasionalis
non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis didominasi oleh Alimin & Musso menyerukan revolusi
untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda.[8] Dalam sebuah konferensi
di Prambanan, Jawa Tengah, serikat buruh perdagangan yang dikontrol komunis memutuskan
revolusi akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh kereta api yang akan menjadi
sinyal pemogokan yang lebih umum dan luas untuk kemudian revolusi akan bisa dimulai. Hal ini
akan mengarah pada PKI yang akan menggantikan pemerintah kolonial.[8]
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial
di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Bersama
Alimin, Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI di era tersebut sedang tidak berada di
Indonesia. Ia sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan
langkah pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh
penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara,
sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke Boven Digul,
sebuah kamp tahanan di Papua [9]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis
politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas
pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan
Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

2
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah
satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan Malaka
memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena menurutnya basis kaum proletar
Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut
membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral
perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah
pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali
dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah
tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai
front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di
antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan
Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada PKI [10].

Kebangkitan pasca-perang
PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan
secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit
bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan peran
penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya
pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah
sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing,
khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan
antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan
sengit.
Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front
Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis kemudian bergabung
dengan PKI. Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI.
Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni
Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5
September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet.
Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

Peristiwa Madiun 1948


Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan
perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia menjadi
pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Banyak unit bersenjata dari
Partai Republik kembali dari zona konflik. Hal ini memberikan beberapa keyakinan sayap kanan
Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Unit gerilya dan milisi di
bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun kelompok militer PKI
menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang dibunuh pada bulan
September tahun yang sama. Pembunuhan itu memicu pemberontakan kekerasan. Hal Ini
memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI
telah mengumumkan proklamasi 'Republik Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan
menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Pada saat
yang sama PKI mengecam pemberontakan dan meminta tenang. Pada 30 September Madiun
diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara. Di
antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober
saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba
melarikan diri dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok.
Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

3
Bangkit kembali
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ
utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai
partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti
kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya,
termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman,
menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia
lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-
5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [11]
Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat
oleh PKI selama tahun 1950.
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti
oleh tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya,
para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara
militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi,
memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari.
Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkapi ribuan anggota PKI di
daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan
pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya
dikalahkan.
Pada bulan Agustus 1959 terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah
penyelenggaraan kongres PKI. Namun kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani oleh
Sukarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari
Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam
pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom,
melihatnya dari segi front persatuan multikelas.

Pemilu 1955
Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan
merupakan pendukung aktif Sukarno.[12] Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat
dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang
diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama
PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada
September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya PKI
dilarang [13].
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah
pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis
nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan
para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai
nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang
mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar
pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi
yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis
di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera
menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI
mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan
Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

4
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun,
kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin
pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang
merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan
PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi
konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas
dan multi-golongan.

1960
Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan
Maret 1960, PKI mengecam penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno. Pada tanggal 8
Juli, Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pemimpin
PKI sempat ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis
Malaya menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan
Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang
pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai
basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh
anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai
seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan
Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan
sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden
Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan
federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian
kelompok berhasil mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana.
Namun kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI aktif di
wilayah perbatasan Kalimantan.
Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde
Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan
PKI bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung
mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal
ini membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.
Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-
perusahaan Inggris di Indonesia.
Pada pertengahan 1960-an Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperkirakan
keanggotaan partai meningkat menjadi sekitar 2 juta (3,8% dari populasi usia kerja negara).[14]

Pembunuhan massal dan akhir dari PKI


Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, faksi nasionalis, dan kelompok-
kelompok Islam terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI menimbulkan
keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik
dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan
kehidupan Indonesia memburuk.

5
PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin
kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya.
Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat.
Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin
PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut
larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam
konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian
besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi
untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno cenderung mendukung
Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai
menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep
'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer
Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk
pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit
mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal-hal
yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI
terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.
Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia
dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan
keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri
mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati
atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta
yang gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan
menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia. Bukti yang
mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke
spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir
peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan mengkambinghitamkan kepada komunis.[butuh
rujukan]
Dalam pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000
komunis (atau dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di
Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara politik dan
diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas
militer dan pemerintah.
Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian
Rakyat mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi
spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari
PKI.[siapa?] Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan
urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno
mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi
mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.
Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam
peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar
kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan
PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI
sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama
Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini
segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman
buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja
harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi terhadap
kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian
pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan
pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui
batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga
tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI.
Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan

6
aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh
oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.
Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal
yang digelar.[15] [4] Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan
identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin
untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini
menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang.[16] Sebuah studi
dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban pembantaian
oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada
abad ke-20 ...".[17]
Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan. Unit
tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara-penjara
terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap di
malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga dan mengubur mayat
mereka di kuburan dangkal.
Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa
Timur, para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui
desa-desa. Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat menciptakan
masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatera Utara di mana udara lembab penuh
bau busuk daging. Pengunjung dari daerah tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang
telah benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.
Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat
bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari
kekuatan anti-komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak
kriminal seperti para preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak
masuk akal berupa kekerasan.[18] Motif lain yang terjadi juga telah dieksplorasi.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua,
memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat
Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan
kudeta oleh PKI.[April 2010]
Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI
telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November
bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota
dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu
dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas
nama Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di mana tentara lokal dalam
beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.
Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.
Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis.
Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan para
anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh
pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.
Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk
menahan anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu,
identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan
anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia
menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.[19]
Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan
difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously (1982).

7
Perkembangan pasca-1965
Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah
pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai
lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan
simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-sisa
partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerja sama sebelumnya dengan
rezim Sukarno. Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat
keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha untuk
membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota, namun hanya
berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember 1966 [20]. Pada
tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati.
Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa
Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di
Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa
Timur Ruslan Widjajasastra. Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki
dukungan kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu
mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol Pratomo,
mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang membantu memberikan
pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada Maret 1968 kekerasan meletus di
Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul Ulama, sebagai balasan
atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam penganiayaan antikomunis. Sekitar 60
kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak
mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas perintah dari para
pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan
menghancurkannya pada pertengahan tahun 1968.[21]
Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30
September. Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat
Tiongkok untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang
lainnya telah meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam
pengasingan, aparatur partai terus berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka
terisolasi dari perkembangan politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal
sebagai tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang telah diidentifikasi oleh pihak
berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara hati-hati untuk waktu yang cukup.
Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari
banyak pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim
Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa
presiden Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia
pada tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi
komunis. Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945
Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan komunisme. Usulan
Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia, khususnya kelompok Islam
konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang disebut Front Islam
Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak
segera menolak proposal tersebut, namun menjanjikan "studi komprehensif dan teliti" terhadap
ide tersebut.[22]

8
Karena ada kelompok yang tidak setuju (hartogh), maka diadakanlah
pemungutan suara. Hasilnya, kelompok pendukung usul yang disponsori oleh Adolf
Baars, Bergsma, Semaun dan kawan-kawan menang, sehingga pada tanggal 23 Mei
1920 ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Kemudian pada Desember 1920 ISDV
berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan susunan pengurus sebagai
berikut:

1) Ketua : Semaun
2) Wakil Ketua : Darsono
3) Sekretaris : Bergsma (Belanda)
4) Bendahara : Dekker (Belanda)
5) Anggota Pengurus : Baars (Belanda), Sugono, Tan Malaka, dan lain-lain.

TUJUAN PKI
Tujuan partai-partai komunis dunia ialah menggantikan sistem kapitalisme dengan
komunisme. Waktu terpukul hancurnya kapitalisme, dan terpukul jatuhnya borjuasi belumlah
mewujudkan komunisme. Antara kapitalisme dan komunisme ada satu masa peralihan. Dalam
masa peralihan ini, proletariat melakukan diktator atas borjuasi. Ini berarti bahwa proletariat
dunia memaksakan kehendaknya atas borjuasi dunia yang berulangkali mencoba mendapatkan
kembali kekuasaan politik dan ekonomi yang hilang, agar dapat mempergunakan kembali alat-
alat pemeras dan penindasnya. Dalam masa penindasan itu, negeri-negeri kapitalis alat-alat
penindasan borjuasi dunia diganti dengan negeri-negeri Soviet. Soviet adalah perwujudan
diktator proletariat. Tujuan Soviet ialah menghapuskan kapitalisme dan mempersiapkan
tumbuhnya komunisme.Negara Soviet sebenarnya belum mewujudkan komunisme.

Untuk mecapai komunisme orang harus melalui jalan yang lamanya mungkin puluhan
tahun. Permulaan komunisme yang tulen berarti berakhirnya Negara Soviet. Negara Soviet akan
berhenti sebagai negara, yaitu sebagai alat penindas dari proletariat, jika orang-orang borjuasi
sebagai pemeras dan penindas telah dibasmi atau berubah menjadi anggota pekerja masyarakat
komunisme.

Anda mungkin juga menyukai