Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME DALAM PENDIDIKAN DASAR

KELAS II SDN PANGGANG


Reia Litalisdiana
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta
reia.litalisdiana2016@student.uny.ac.id

Abstract
The education which was held in Indonesia has some theories that the
education melandandasi, one of is Behaviorism. This research aims to describe
how the application of behaviorism (behavioristic) learning theory in Elementary
School education in the primary Panggang Country, Sedayu Subdistrict, Bantul
Regency. Behaviorisme learning theory is a theory of learning that emphasizes on
the change of behaviour, where such changes are born from the learning process
because of the stimulus, response and conditioning. This type of research is
qualitative research used descriptive. Population studies is the number of samples
taken in this research as much as 22 students the grade II of Elementary School
education in the primary Panggang Country. The results of the study indicated
that through education can indeed change the behavior of the protege, either in
terms of the attitude as well as his skill.

Key words : education, learning theory, behaviorisme.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi orang-orang saat
ini, dan mayoritas orang-orang sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Dengan
melalui proses pendidikan tentunya akan membawa perubahan-perubahan dalam
diri orang yang berpendidikan tersebut. Dalam penyelenggaraan pendidikan tentu
ada teori yang melandasi adanya pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang
diselenggarakan tidak boleh asal-asalan, dan landasan yang digunakan juga
tentunya harus memberikan dampak kebaikan bagi para siswa yang terdidik.
Salah satu teori belajar yang digunakan di Indonesia adalah teori belajar
behaviorisme. Teori belajar merupakan sesuatu yang melandasi adanya
pembelajaran dalam pendidikan. Teori belajar behaviorisme melihat belajar
merupakan perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila
mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behaviorisme
mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus, dan keluaran
atau output yang berupa respons. Teori belajar behaviorisme menekankan

1
kajiannya pada pembentukan tingkah laku yang berdasarkan hubungan antara
stimulus dengan respon yang bisa diamati dan tidak menghubungkan dengan
kesadaran maupun konstruksimental. Teori belajar behaviorisme berlawanan
dengan teori kognitif yang mengemukakan bahwa proses belajar merupakan
proses mental yang tidak diamati secara kasat mata. Teori belajar behaviorisme
sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu adanya perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.Hasil belajar diperoleh dari
proses penguatan atas respons yang muncul terhadap lingkungan belajar, baik
yang internal maupun eksternal. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi,
sifat, dan kecenderungan untuk merubah perilaku.Teori belajar behaviorisme
dalam pembelajaran merupakan upaya membentuk tingkah laku yang diinginkan.
Pembelajaran behaviorisme sering disebut juga dengan pembelajaran stimulus
respons. Tingkah laku siswa merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan dan
segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Pembelajaran behaviorisme
meningkatkan mutu pembelajaran jika dikenalkan kembali penerapannya
dalam pembelajaran.
Berdasarkan komponennya, teori ini relevan digunakan dalam
pembelajaran sekarang ini, terutama pada kurikulum 2013. Penerapan teori
belajar behaviorisme mudah sekali ditemukan di sekolah. Hal ini dikarenakan
mudahnya penerapan teori ini untuk meningkatkan kualitas peserta didik.
Berdasarkan uraian tersebut, pengamat melakukan pengamatan tentang
bagaimana penerapan teori belajar behaviorisme di Sekolah Dasar Negeri
Panggang, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, yang bertujuan untuk
mengetahui seperti apa penerapan teori belajar behaviorisme di sekolah tersebut.

Tinjauan Pustaka
Pendidikan
Pendidikan merupakan proses untuk memberikan perubahan pada diri
manusia. Menurut Edgar Dalle, menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar
sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat

2
mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk
masa yang akan datang.
Sedangkan John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam
pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula
terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan
kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari
orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Prof. Richey dalam bukunya
„Planning for Teaching, and Introduction to Education’ menjelaskan bahwa :
"Pendidikan adalah yang berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan
dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat
yang baru (generasi baru) bagi penuaian kewajiban dan tanggung jawabnya di
dalam masyarakat.
Dari beberapa pendapat di atas adapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan bimbingan atau pertolongan yang diberikan/disampaikan oleh orang
dewasa kepada perkembangan anak-anak untuk mencapai kedewasaannya dengan
tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan
bantuan orang lain.

Teori Belajar
Vygotsky (1978: 134) mengartikan bahwa belajar adalah suatu kegiatan
konstruktivisme dimana siswa merupakan subjek belajar aktif yang menciptakan
struktur-struktur kognitifnya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dalam pembelajaran konstruktivis, kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu dalam membentuk struktur kognitifnya.
Sedangkan menurut Winkel, belajar merupakan aktivitas mental ataupun
psikis yang berlangsung baik di lingkungan dengan interaksi yang aktif. Selain itu
belajar diharuskan atau menghasilkan perubahan yang secara langsung ataupun
tidak langsung dalam pribadi yang melakukannya. Dalambelajar akan ada hasil
perubahan dalam pengelolaan pemahaman dalam sisi apapun. Terutama untuk
anak-anak yang baru mengenal.

3
Bruner mengungkapkan bahwa belajar merupakan bagaimana orang tersebut
untuk memilah, memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi
dengan cara yang lebih aktif. Menurut Bruner selama kegiatan belajar berlangsung
akan lebih baik jika siswa dibiarkan untuk menemukan sendiri apa penyebap dan
makna dari berbagai hal yang mereka pelajari, sehingga teori “menyuapi” ilmu
tidak ia gunakan dalam belajar. Pasalnya siswa diberi kesempatan seluas-luasnya
untuk berperan dalam memecahkan masalah sehingga mereka terlatih untuk bisa
menghadapi masalah. Dengan cara tersebut diharapkan mereka mampu
memahami konsep-konsep dalam bahasa mereka sendiri.
Menurut ahli selanjutnya, Pavlov menjelaskan belajar merupakan sebuah
proses perubahan yang terjadi disebabkan adanya syarat-syarat atau conditions,
yang dapat berbentuk latihan yang dilakukan secara kontinuitas atau terus
menerus sehingga menimbulkan reasksi (response). Kelemahannya adalah
menganggap bahwa belajar adalah hanyalah terjadi secara otomatis dan lebih
menonjolkan peranan latihan-latihan, dimana keaktifan dan pribadi seseorang
tidak dihiraukan.

Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu teori belajar di Indonesia. Aliran
behavioristik (behaviorisme) yang lebih bersifat elementaristik memandang
manusia sebagai organisme yang pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus yang
ada di lingkungannya. Pada dasarnya, manusia dapat dimanipulasi, tingkah
lakunya dapat dikontrol dengan jalan mengontrol stimulus-stimulus yang ada
dalam lingkungannya (Mukminan, 1997: 7).
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus
(S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang
penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak
memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa
akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang
berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah
ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh
behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada

4
beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan (1997:
23), beberapa prinsip tersebut adalah:

1. Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan


tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2. Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya
stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang
terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya
respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat
apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.

Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri
siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini
berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka
penting kiranya untuk memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar
guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah
berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk
diberikan kepada siswa.
2. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri
siswa.
3. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a. Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b. Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c. Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara
eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d. Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam
hadiah (reward).

5
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk
memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah
laku / kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan
dua hal, sebagai berikut:

a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa


Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki
sejumlah kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar
kompetensi dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan
awal dan karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang
belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali
(mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan
keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap
siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses
dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika
melakasanakan analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu :
1) Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang
kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat
(prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan.
2) Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang
telah dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman tersebut,
guru dapat memberikan bahan yang lebih relevan dan memberi
contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa.
3) Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa,
termasuk latar belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi,
pendidikan, dan lain-lain.
4) Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan
siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah.
5) Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.
6) Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.
7) Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah
diperoleh siswa sebelumnya.

6
8) Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa
(Oemar Hamalik, 2002 : 38 -40)
b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan
Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-
benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai
dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate
dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian
adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain
belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam
kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok
siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan
karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua
pendekatan yaitu a). siswa menyesuaikan diri dengan materi yang akan
dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan
(dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau b).
materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman,
1997 : 108).

Metode Penelitian
Penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan
subjek penelitian guru dan para murid kelas II Sekolah Dasar Negeri Panggang,
Sedayu. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan
pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci dan analisis data
bersifat induktif atau kualitatif Sugiyono (2009:9). Penelitian kualitatif dalam
memperoleh data yang diperlukan harus turun ke lapangan sehingga akan
diperoleh data yang jelas dan lengkap.
Penelitian ini laksanakan pada bulan September hingga Oktober pada tahun
ajaran 2016/2017 yang bertempat di SD Negeri Panggang, Sedayu.
Penelitian ini didasarkan pada studi kepustakaan yang didukung dengan
pengamatan secara langsung dalam pembelajaran Tema 3 Subtema 2
Pembelajaran 6 pada kelas II SD Negeri Panggang, Sedayu. Dengan demikian
penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan secara objektif dan apa

7
adanya bagaimana penerapan perilaku (behavioristik) dalam pembelajaran di SD
Negeri Panggang, Sedayu. Pendeskripsian dilakukan dengan merujuk pada
pustaka-pustaka yang relevan.
Untuk mengumpulkan data digunakan metode pengamatan dan wawancara.
Data adalah hasil pencatatan dari suatu penelitian baik berupa fakta maupun
berupa angka sebagai bahan penyusunan informasi (Arikunto 2006:118). Menurut
Lofland dalam Moleong (2007:157)mengemukakan bahwa data yang
dipergunakan dalam penelitian kualitatif yaitu kata-kata dan tindakan sebagai
sumber data utama, sedangkan dokumen dan lain-lain merupakan data tambahan.
Data dari penelitian ini stimulus respons yang diperoleh dari hasil observasi
pembelajaran Tema 3 Subtema 2 Pembelajaran 6 pada kelas II SD Negeri
Panggang, Sedayu. Stimulus berasal dari guru sedangkan respons merupakan
tanggapan dari siswa atas stimulus yang diberikan guru. Data juga berasal dari
hasil wawancara dengan guru kelas terkait perilaku siswa.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
langsung dan wawancara. Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan
untuk mengukur fenomena alam ataupun sosial yang diamati (Sugiyono
2009:102).
Keabsahan data diukur dengan menggunakan teknik trianggulasi dengan
sumber, metode, dan teori serta dengan cara melakukan perpanjangan waktu
pengamatan, pengamatan secara terus menerus, dan kecukupan bahan referensi.
Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah reduksi data, display data, dan
penarikan kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan


Dari proses observasi yang dilakukan, didapatkan data bahwa dalam proses
pembelajaran yang dilaksanakan, menggunakan teori belajar behaviorisme. Pada
saat siswa dan guru melakukan pembelajaran, guru sering menanamkan belajar
pada siswa supaya terjadi perubahan tingkah laku. Pada pembelajaran Tema 3
Subtema 2 Pembelajaran 6, dengan konsep pokok tentang uang, guru
melaksanakan pembelajaran supaya terjadi perubahan tingkah laku siswa dari

8
belum mengetahui tentang uang menjadi mengetahui, dari yang awalnya belum
berani menjadi berani, dsb.
Siswa dibentuk menjadi 5 kelompok dengan komposisi kelompok tersebut
sudah diatur guru. Komposisi yang digunakan dengan mencampur anak yang
pendiam, yang lebih aktif, yang agak „nakal‟, pintar, dan lamban belajar, serta
mencampur anak laki-laki dan perempuan menjadi satu kelompok. Dari
pengaturan tempat duduk dan komposisi dalam kelompok siswa ini pun juga
memberikan dampak tingkah laku pada anak didik. Berdasarkan wawancara
dengan guru kelas, Munawaroh S.Pd menyatakan bahwa settingan tempat duduk
dan komposisi diaturnya sendiri dikarenakan kalau siswa itu memilih sendiri
maka siswa akan cenderung memilik teman dekatnya sehingga sering
menimbulkan gaduh karena ramai dengan teman dekatnya itu, dan kurang
memperhatikan guru. Namun, jika yang mengatur posisi duduk adalah guru
sendiri, maka proses pembelajaran akan lebih memudahkan guru dalam
melaksanakan pembelajaran sesuai rencaran guru karena para siswa lebih bisa
tenang jika pengaturan posidi dudukdan kerja kelompok diatur guru. Dengan
settingan tempat duduk dari guru, siswa menjadi berperilaku lebih tenang.
Selanjutnya, dalam proses pembelajarannya terjadi proses pemberian
stimulus dari guru berupa tugas untuk menyelesaikan soal perhitungan sejumlah
uang dengan jumlah uang yang sama tetapi komposisi nominalnya berbeda.
Misalnya, dua lembar uang limaribuan sama dengan sepuluh lembar uang
seribuan. Maka seluruh kelompok akan berebut maju duluan untuk menyetorkan
sejumlah uang yang sama dengan nominal berbeda itu kepada guru. Dengan ini,
terjadi perubahan tingkah laku anak menjadi aktif dan kerjasama satu kelompok.
Selain itu, kelas II SDN Panggang juga setiap dua kali seminggu
melaksanakan gosok gigi dan cuci bersama pada saat pembelajaran Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan. Menurut guru kelas, hal itu memang sudah dilaksanakan
sejak kelas I jadi di kelas II ini tinggal meneruskan kebiasaan tersebut. pada saat
pembelajaran tersebut, anak diajari bagaimana gosok gigi dan cuci tangan yang
benar. Dalam hal ini, pendidikan di sekolah juga membentuk perilaku anak
supaya cinta kesehatan.

9
Kemudian, setiap satu minggu sekali kelas II melakukan makan bersama
dengan giliran membawa makanan tiap minggunya. Menurut guru kelas,
Munawaroh S.Pd kebiasaan ini menjadi ciri khas kelas II yang diampunya, dan
juga merupakan kebiasaan yang meneruskan dari kelas I. Kegiatan ini sangat
didukung oleh wali murid yang mengadakan hal semacam ini,guru kelas tidak
mengurusinya. Dalam hal ini, siswa diajarkan perilaku berbagi dengan teman-
temannya dan sikap toleransi untuk menghargai pemberian teman.
Beliau Bu Muna juga memaparkan keterlibatan wali murid sangat
membantu pembelajaran dan proses pendidikan di kelasnya, karena wali murid
sangat mendukung diadakannya barang atau keperluan tertentu yang tidak
memungkinkan dianggarkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(APBS).
Munawaroh, S. Pd juga mengungkapkan bahwa dalam membentuk perilaku
yang baik beliau tidak pelit dengan pemberian penghargaan kepada siswanya,
dengan tujuan supaya anak itu dapat merasa diperhatikan oleh guru, beliau juga
tidak memarahi anak yang berperilaku tidak baik ataupun belum bisa mengikuti
pembelajaran yang baik. Jika ada siswanya yang belum mampu mengerjakan
tugas, maka akan dilempar kepada teman yang lain supaya memberikan motivasi
kepadanya untuk belajar lagi sehingga bisa seperti teman yang bisa itu.
Pemberian motivasi ekstrinsik seperti hadiah dan penghargaan pada
akhirnya akan mencapai titik jenuh yaitu saat siswa tidak termotivasi lagi
dengan hadiah atau penghargaan yang diberikan oleh guru atau orang tua.
Jacobsen (dalam Ali Mustadi, 2009: 12) menyebutkan bahwa faktor motivasi
yang didasarkan pada penghargaan-penghargaan ekstrinsik karena
menyenangkan orang lain dan menerima reward hanya menghasilkan
keuntungan pembelajaran jangka pendek. Dengan demikian, penting sekali bagi
guru untuk membantu siswa menumbuhkan motivasi instrinsik supaya siswa
memiliki keinginan untuk menghadapi, mengeksplorasi, dan mengatasi
tantangantantangan dalam proses belajar.

Penutup
Simpulan

10
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa kelas II SD Negeri Panggang, Sedayu menggunakan
teori belajar behaviorisme yang dilakukan oleh guru kelasnya berkolaborasi
dengan para siswa di dalam pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Guru
kelas mampu mengubah dan membentuk tingkah laku para siswa ke arah
kebaikan, diantaranya pengetahuannya bertambah dan semakin bertambah,
sikapnya semakin membaik, dan keterampilan yang dimiliki semakin banyak.
Dari perubahan tingkah laku menuju baik dari para siswa, jika tingkah laku
itu dilakukan terus menenrus akan menjadi karakter pribadi anak tersebut. Siswa
membutuhkan penghargaan/apresiasi dari lingkungannya supaya menumbuhkan
percaya dirinya dimanapun berada.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : PT RINEKA CIPTA.
Astuti, Nofi Aji. 2011. Implementasi Behavioristik Dalam Pembelajaran Menulis
Karangan Narasi Smp Negeri 1 Taman Kabupaten Pemalang. Semarang.
UNNES.
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan
Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Muflihin, Muh Hizbul. 2006. Aplikasi Dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam
Pembelajaran (Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran)
Mukminan. 1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Mustadi, Ali dan Kustiwi Nur Utami. 2017. Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Tematik Dalam Peningkatan Karakter, Motivasi, Dan Prestasi
Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun VII,
Nomor . Diakses melalui
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/15492

11
Nahar, Novi Irwan, 2016. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses
Pembelajaran. Nusantara (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial). Volume 1
Desember 2016.
Richey, Robert William. 2006. Planning for Teaching, and Introduction to
Education.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society : The Development of Higher Psychological
Processes. Cambridge, MA : Havard University Press.

12

Anda mungkin juga menyukai