Anda di halaman 1dari 29

Referat

BAYI DENGAN IBU DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh:

Pembimbing:

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….……. ii
KATA PENGANTAR………………………………………………….……. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….… iv
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

i
BAB I
PENDAHULUAN

Demam Dengue merupakan salah satu penyakit tropis yang banyak


ditemukan di Indonesia. Demam Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh satu dari virus yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus
(Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride,
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. DBD
ditularkan melalui nyamuk terutama nyamuk Aedes aegepti dan Aedes
albopticus.1 Sedangkan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan infeksi
dengue disertai dengan adanya bukti plasma leakage bertendensi menimbulkan
renjatan dan kematian. Gejala klinis dari DBD yaitu demam tinggi mendadak,
tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi
perdarahan, termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤
100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai dengan
atau tanpa perbesaran hati.2
Prevalensi DBD cenderung meningkat serta penyebarannya semakin luas
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Negara Indonesia
sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Telah dilaporkan
terdapat peningkatan jumlah kasus demam berdarah dengue di Indonesia yaitu
58.065 kasus pada tahun 2011 menjadi 74.062 kasus pada tahun 2012. Angka
kematian di Indonesia merupakan peringkat pertama di Asia Tenggara yaitu
52,5%. Berdasarkan Infodatin DBD tahun 2016, pada tahun 2015 tercatat
sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang
diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita
meninggal dunia pada tahun 2014.3
Demam dengue dapat terjadi pada setiap orang, tanpa terkecuali ibu hamil
dan bayi baru lahir. Demam dengue pada kehamilan menjadi perhatian penting
dalam kesehatan dikarenakan terjadi perubahan fisiologi selama kehamilan
sehingga infeksi dengue dapat bermanifestasi lebih buruk pada wanita hamil.

1
2

Wanita hamil dengan infeksi dengue harus mendapatkan terappi yang adekuat
disertai dengan pengawasan ketat dan monitor berkala. Keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan cairan dengan terjadinya kelebihan cairan serta tanda-tanda
kebocoran plasma perlu diawasi ketat oleh dokter.4
Janin dalam kandungan dapat terinfeksi virus dengue melalui transmisi
vertikal dadri ibu. Belum ada laporan mengenai angka kejadian DBD pada
kehamilan di Indonesia, namun beberapa laporan kasus dari berbagai negara telah
dipublikasikan. Penanganan DBD pada kehamilan mempunyai aspek khusus
karena berbagai perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan menyebabkan
perlunya modifikasi khusus dalam terapi cairan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM BERDARAH DENGUE


A. Definisi
Demam Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu
dari virus yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. DBD
ditularkan melalui nyamuk terutama nyamuk Aedes aegepti dan Aedes
albopticus.1,5,6 Sedangkan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan
infeksi dengue disertai dengan adanya bukti plasma leakage bertendensi
menimbulkan renjatan dan kematian.6
Neonatal dengue adalah infeksi virus dengue pada neonatus, yang
terjadi akibat transmisi vertikal transplasenta dari ibu dengan infeksi
dengue. Neonatal dengue dapat dibagi menjadi dua yaitu neonatal demam
dengue dan neonatal demam berdarah dengue, yang masing-masing
ditularkan dari ibu dengan demam dengue dan demam berdarah dengue.7,8

B. Etiologi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut
yang disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai
genus Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah
satu jenis serotipe tidak memberikan perlindungan yang memadai untuk
serotipe lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
paling banyak menimbulkan manifestasi klinis yang berat.5
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue
pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yakni dua
hari sebelum panas hingga 5 hari setelah demam timbul.2,6 Virus yang

3
4

terdapat pada kelenjar liur kemudian berkembang biak dalam waktu 8-10
hari dan selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain melalui gigitan.
Sekali virus masuk dan berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut dapat menularkan virus (infektif) sepanjang hidupnya.5

C. Epidemiologi
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah
menyebar di daerah tropis dimana terdapat 2,5 miliar orang berisiko
terkena penyakit ini di daerah endemik.1,6
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan
kematian lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya
pada manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian
infeksi dengue yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue
terjadi, tergantung dari aktifitas epidemiknya.5,6

Gambar 1. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia


tercatat 14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita.
Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.1
5

D. Patogenesis Dengue
Virus Dengue berasal dari monyet yang ditularkan ke manusia melalui
vector nyamuk. Virus ini merupakan Virus RNA positif berserat tunggal yang
termasuk di dalam anggota Flavivirus. Morfologik, virion dengue berbentuk sferis
dengan diameter nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm sehingga
diameter virion kira-kira 50 nm. Selubung virion mempunyai peranan dalam
fenomena hemaglutinasi, netralisasi, dan interaksi antara virus dengan sel pada
saat awal infeksi.5,7
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, patogenesis
DBD masih kontroversial dan sedikit dimengerti. Berbagai teori telah
dikemukakan oleh para ahli, tetapi sampai saat ini belum ada yang dapat
menjelaskan patogenesis DBD secara pasti.5,7
Sejauh ini, beberapa teori yang berkaitan dengan patogenesis DBD yaitu:
a). Teori virulensi virus
Virus dengue secara genetik sangat bervariasi dan selalu berubah akibat proses
seleksi ketika virus bereplikasi, baik di tubuh manusia maupun nyamuk. Dengan
demikian, terdapat beberapa serotipe/strain virus yang memiliki virulensi lebih
besar dari serotipe/strain yang lain.Diantara serotipe dan diantara strain sendiri
juga mempunyai susunan protein yang berbeda Kurane I dkk. menyatakan bahwa
berdasarkan data epidemiologi, telah dipostulasikan bahwa respons imun terhadap
virus dengue berperan dalam patogenesis demam berdarah dengue dan sindroma
syok dengue. Respons imun pejamu juga berperan dalam mengontrol infeksi
demam dengue.
b). Teori Imunopatologi
Respon imun pada infeksi virus dengue mempunyai 2 aspek yaitu respon
kekebalan atau menimbulkan penyakit. Setelah mendapat infeksi virus dengue
satu serotipe maka akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka
panjang, namun tidak mampu memberi pertahanan terhadap jenis serotipe virus
yang lain, sehingga jika lain kali terinfeksi jenis virus dengan serotipe beda akan
terjadi infeksi yang berat.. Teoti ini disebut teori infeksi sekunder. Teori infeksi
sekunder masih diyakini oleh para ahli untuk menjelaskan patogenesis DBD.
6

Berdasarkan teori ini, apabila dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun setelah
terinfeksi virus dengue pertama kali penderita kemudian mendapatkan infeksi
kedua dengan virus dengue serotipe yang berbeda, maka penderita tersebut akan
memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita DBD maupun sindroma syok
dengue. Antibodi pre-infeksi yang berasal dari serotipe yang lain tersebut dikenal
sebagai antibody dependent enhacement (ADE). Ia dapat meningkatkan infeksi
dan replikasi virus dengue dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap
interaksi tersebut, terjedi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan hipovolemia dan syok.5,7

Interaksi antara Sistem Pertahanan Tubuh dan infeksi Virus.


Akibat gigitan vector Aedes aegpty, Virus dengue masuk dan menginfeksi
jaringan tubuh. Di dalam jaringan virus menginfiltrasi sel-sel tubuh terutama
pada sel-sel retikulo endotelial dan sel endotel pembuluh darah.7
Pertahanan pertama tubuh diperankan oleh Fixed makrofag yang memang
telah ada di dalam jaringan (ex : Sel Kupffer dan histiosit ). Efek yang mula-mula
terjadi adalah dengan pembesaran sel-sel ini dengan cepat. Kemudian, banyak
makrofag yang sebelumnya terikat menjadi mobile. Jumlah makrofag yang
termobilisasi secara dini ini seringkali sangat banyak.7
Kedua, terjadi migrasi neutrofil ke tempat peradangan akibat pelepasan
substansi kimia dan cytokine oleh makrofag dan jaringan yang rusak. Juga terjadi
migrasi monosit dimana nantinya akan berubah menjadi makrofag (histiosit)
dalam jaringan. Kedua sel darah putih ini bekerja dengan cara marginasi,
diapedesis, gerak kemotaktik, dan fagositosis. Sel-sel granulosit ini hanya dapat
bekerja memfagositir sel-sel yang telah terinfeksi oleh virus dengue dan debris sel
sehingga pertahanan seluler ini menjadi tidak efektif. Infeksi dengue yang
merupakan infeksi sistemik menyebabkan hal serupa terjadi di seluruh tubuh. Hal
ini menyebabkan timbulnya Leukopenia.5,7
Pertahanan lebih lanjut dilakukan dengan dilepaskannya cytokine (IL-1
dan TNF) yang dikeluarkan oleh makrofag. Zat ini merupakan suatu mediator
yang mengubah limfosit T menjadi sel-T teraktivasi (T-helper). Selanjutnya, Sel
7

T-helper ini menginduksi perubahan limfosit B menjadi sel Plasma yang akan
memproduksi Antibodi berupa immunoglobulin. Semua reaksi imunitas ini
tergabung dalam kompleks imun. Dimana reaksi kompleks imun ini yang menjadi
kunci terhadap patogenesis infeksi virus dengue.5,7
Zat-zat mediator yang diproduksi oleh kompleks imun juga menginduksi
terjadinya peradangan, sehingga memperpanjang peradangan yang sudah ada.
Efek dari peradangan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran
sehingga akan berpengaruh pada dinamika sirkulasi. Beberapa Zat yang disebut
Pirogen juga menginduksi terjadinya febris (demam)5,7
Sebagi tanggapan terhadap reaksi tersebut, terjadi :
1. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang
menyababkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma
dari ruang intravaskular ke ekstravaskular.
2. Agregasi trombosit sehingga jumlah trombisit menurun. Apabila kejadian ini
berlanjut, akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi
sel trombosit muda dari sumsum tulang.
3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang/mengaktivasi
faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan :
1. Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan
plasma, hipovolemia, dan syok. Perembesan plasma pada DBD mengfakibatkan
adanya cairan dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang berlangsung
singkat, selama 24-48 jam
2. Kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan
koagulopati, sehingga mengakibatkan perdarahan hebat.
Pada kehamilan terjadi berbagai perubahan sistem imunologis, sehingga
menyebabkan ibu hamil rentan terhadap berbagai infeksi dan memungkinkan
infeksi berkembang menjadi berat. Pada kehamilan terjadi peningkatan jumlah
neutrofil, namun sebaliknya terjadi penurunan limfosit. Jumlah limfosit B relatif
tetap, sedangkan limfosit T (terutama T helper) menurun. Selain penurunan
jumlah sel T, terjadi penurunan fungsi imunitas seluler yang terlihat dari
8

penurunan produksi IL-2 dan interferon. Untuk imunitas humoral jumlah


imunoglobulin total relatif tetap, namun didapatkan penurunan jumlah antibodi
spesifik terhadap infeksi tertentu. Hal itu akan berpengaruh terhadap respon imun
selular yang diperlukan dalam pertahanan terhadap infeksi virus.7
Hipotesis patogenasis infeksi Dengue menerangkan bahwa beratnya
penyakit dan manifestasi klinis ditentukan oleh banyaknya jumlah sel yang
terinfeksi, terjadinya kelelahan fagosit mononuklear, dan peningkatan respon
imun humoral yang menyebabkan kompleks imun secara berlebihan.
Selain perubahan sistem imun, pada kehamilan juga terjadi perubahan
hemodinamik. Sirkulasi darah ibu dalam kehamilan dipengaruhi oleh adanya
sirkulasi ke plasenta dan uterus yang membesar dengan pembuluh darah yang
membesar pula. Volume darah ibu dalam kehamilan bertambah secara fisiologis
dengan adanya hemodilusi. Volume darah akan bertambah kira-kira 25%, dan
puncaknya terjadi pada kehamilan 12 minggu. Eritropoesis dalam kehamilan juga
meningkat untuk memenuhi kebutuhan transport zat asam. Walaupun terjadi
peningkatan jumlah eritrosit secara keseluruhan, akan tetapi peningkatan jumlah
plasma jauh lebih besar, sehingga kondisi akhir yang terjadi adalah anemia relatif.
Jumlah leukosit meningkat, demikian juga trombosit. Segara setelah partus,
sirkulasi darah antara uterus dan plasenta berhenti, sehingga sirkulasi umum akan
membebani kerja jantung. Setelah partus terjadi pula hemokonsentrasi, dengan
puncak pada hari ke-3 dan 5 postpartum. Konsentrasi trombosit pada masa ini
juga meningkat. Perubahan tersebut sangat penting untuk menentukan
persangkaan diagnosis infeksi Dengue yang mungkin tidak selalu lengkap sesuai
kriteria diagnosis DBD seperti pada orang normal. Gejala klinis yang tampak
selama masa antepartum tidak berbeda dengan DBD tanpa kehamilan yaitu
ditemukan hemokonsentrasi, trombositopenia dan hasil pemeriksaan serologis
positif.4,6,8

E. Manifestasi Klinik
1. Demam
9

Demam tinggi yang mendadak, terus–menerus berlangsung selama


2–7 hari, naik turun (demam bifosik). Kadang–kadang suhu tubuh sangat
tinggi sampai 400C dan dapat terjadi kejan demam. Akhir fase demam
merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase
demam sudah mulai menurun dan pasien seakan sembuh hati–hati karena
fase tersebut sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari
demam.2,6

Gambar 2. Fase demam pada DBD 9

2. Tanda–tanda perdarahan
Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti
ptekie, purpura, ekimosis dan perdarahan conjuctiva. petekie merupakan
tanda perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama
demam tetapi dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan
lain yaitu, epitaxis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.2,6
3. Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
bervariasi dari haya sekedar diraba sampai 2–4 cm di bawah arcus costae
kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit,
namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya
perdarahan.6
10

4. Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis
menghilang setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan
pada denyut nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan

Infeksi Virus Dengue

Asimtomatik Simtomatik

Demam berdarah dengue


Demam yang tidak diketahui terdapat perembesan
Demam dengue
penyebabnya plasma

Perdarahan Perdarahan Syok (-) Syok (+)

(-) Tidak lazim (+) DSS

DD DBD

Bagan 2.1. Gambaran Klinis Dengue6

kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi,


sebagai akibat dari perembasan plasma yang dapat bersifat ringan atau
sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi
buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah
suhu turun, antara 3–7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit terabab
dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.
11

Manifestasi klinis dengue pada neonatus


Infeksi dengue dapat terjadi pada semua trimester kehamilan.
Waduge et al melaporkan insidensi dengue pada trimester pertama sebesar
3.8%, trimester kedua 7.7%, trimester ketiga 77%, dan 11.5% pada periode
sesaat postpartum. 7,8
Seperti pada anak di usia lebih tua, neonatus dengan dengue
seringkali memiliki demam tinggi yang bertahan 2-7 hari. Dibandingkan
dengan anak-anak yang lebih tua, gejala respiratorik atas (batuk, kongesti
nasal, dispneu), gejala gastrointestinal (muntah, diare) dan kejang demam
sering terjadi pada neonatus dengan dengue. Seringkali sulit untuk
membedakan antara infeksi dengue dan infeksi lainnya, seperti pneumonia,
meningoensefalitis, campak, dan rotavirus saat fase demam. Saat terjadinya
defervesen (terjadi pada hari ke-3 sampai ke-6 sakit), terdapat peningkatan
permeabilitas kapiler yang paralel dengan peningkatan kadar hematokrit
yang semakin jelas pada neonatus dengan dengue. Periode kebocoran
plasma bertahan 24-48 jam. Gambaran klnis dan temuan laboratorium
semakin jelas pada fase kritis. Perdarahan spontan pada kulit seperti
petechiae, perdarahan membran mukosa (seperti pada hidung dan gusi),
dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi.8,9,10
Hepatomegali sering ditemukan dan splenomegali ditemukan
hampir pada 10% neonatus dengan dengue.7,8 Syok terjadi ketika terdapat
volume signifikan dari plasma yang bocor. Temperatur badan mungkin
subnormal ketika terjadi syok. Namun, diferensial diagnosis dari syok
septik harus tetap dipikirkan pada neonatus dengan demam saat terjadinya
onset syok. Derajat dari peningkatan di atas kadar bawah hematokrit
seringkali merefleksikan keparahan dari kebocoran plasma. Namun,
peningkatan hematokrit mungkin seringkali tidak dapat dideteksi karena
nilai normal dari hematokrit neonatus usia 2-12 bulan relatif rendah dan
mungkin lebih rendah lagi pada anemia defisiensi besi. Trombositpenia dan
leukopenia sering ditemukan pada fase ini. Keterkaitan hepar sering
ditemukan pada neonatus dibandingkan anak-anak. Progresifitas neonatus
12

dengan dengue sama dengan pada anak-anak dan orang dewasa saat fase
penyembuhan.7,8

F. Diagnosis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak jelas, demam dengue, demam berdarah
dengue dengan kebocoran plasma yang mengakibatkan syok atau sindroma
syok dengue (SSD).6,8
a). Demam Dengue
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14
hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri
tulang belakang, dan perasaan lelah. Demam dengue merupakan penyakit
demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi
klinis sebagai berikut: Nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/atralgia,
ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif),
leukopenia.6
b). Demam Berdarah Dengue
Adalah infeksi dengue dengan kecenderungan perdarahan, disertai dengan
satu atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
 Uji bendung positif
 Petekie, ekimosis, atau purpura
 Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),
atau perdarahan dari tempat lain.
 Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mm3)
Ditemukan bukti kebocoran plasma diakibatkan peningkatan permiabilitas
kapiler, yang ditandai oleh satu atau lebih gejala sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standard sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
 Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
13

 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asistes, atau


hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat perbedaan utama antara DD dan DBD
ditemukan adanya kebocoran plasma.
Tabel 2.1. klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue6
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih tanda: Lekopeni, trombositopenia,
sakit kepala, nyeri retro-orbital, tidak ditemukan bukti
mialgia, atralgia. kebocoran plasma.
DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung Trombositopenia
positif. (<100.000 mm3), bukti ada
kebocoran plasma.
DBD II Gejala di atas ditambah pendarahan Trombositopenia
spontan. (<100.000 mm3), bukti ada
kebocoran plasma.
DBD III Gejala di atas ditambah kegagalan Trombositopenia
sirkulasi (kulit dingin dan lembab (<100.000 mm3), bukti ada
serta gelisah). kebocoran plasma.
DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan Trombositopenia
darah dan nadi tidak terukur. (<100.000 mm3), bukti ada
kebocoran plasma.
*DBD derajat III dan IV disebut juga sindroma syok dengue(SSD)
*Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan
sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih
petekie per 2,5 cm2 (1 inci).

c). Sindroma Syok Dengue


Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.6
14

2) Derajat klinis
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu
diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 2.1.6

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah rutin
Leukosit: dapat normal tapi biasanya lekopeni dengamn dominasi sel
neutrofil, pada akhir fase demam, terjadi lekopeni dan neutropeni serta
limfositosis relatif (peningkatan sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru
> 15% dapat dijumpai pada hari ketiga, sebelum suhu tubuh turun atau
sebelum syok terjadi).6
Trombosit
Trombositopeni < 100.000/mm3 atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan
pandangan besar. Biasa ditemukan antara hari sakit ketiga-ketujuh. Biasanya
terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum suhu turun.
Hemokonsentrasi dengan tanda:
- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur, jenis
kelamin.
- Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah mendapat pengobatan cairan.
- Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia.

Pemeriksaan laboratorium lain:


- Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara
- Eritrosit pada tinja hamper selalu ditemukan
- Pada sebagian besar kasus, disertai penurunan faktor koagulasi dan
fibrinolitik, yaitu fibrinogen, protrombin, factor VII, factor XII dan
antitrombin III
- Pada kasus berat ada disfungsi hati, penurunan kelompok vitamin K-
dependent, protrombin seperti factor V, VII, IX dan X, fibrinogen
mungkin subnormal
15

- Waktu perdarahan memanjang (PT dan PTT memanjang)


- Penurunan α-antiplasmin (α-antiplasmin inhibitor) jarang ditemukan
- Serum komplemen menurun, hipoproteinemia, kadang-kadang
hipokloremia
- Hiponatremia
- Serum aspartat aminotransferase sedikit meningkat
- Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok
berkepanjangan
- Kadar ALT dan AST dapat meningkat terutama pada pasien dengan DBD
derajat berat.4

2. Radiologis
Pada foto thoraks didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan,
tetapi bila terjadi pembesaran plasma hebat, foto roentgen dada sebaiknya
dilakukan lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat dideteksi
dengan USG.6

3. Diagnosis serologi
- Hemaglutination Inhibition Test (HI test)
Uji ini sensitif tapi tidak spesifik (tidak dapat menunjukkan tipe virus
yang menginfeksi. Antibody HI bertahan > 48 tahun, maka cocok
untuk uji seroepidemiologi. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer
konvalesen 4x dari titer serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada
serum akut atau konvalesen dianggap diduga keras positif infeksi
dengue yang baru terjadi (presumtif +).6

- IgM dan IgG Elisa  Mac Elisa (IgM captured Elisa)


Akhir-akhir ini, pemeriksaan ini sering dipakai. IgM muncul pada
perjalanan penyakit hari 4-5 yang kemudian diikuti dengan IgG.
Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, dapat ditentukan
diagnosis yang tepat (diambil > hari ke-5 dan < 6 minggu) bila masih
16

negatif, harus diulang, apabila pada hari sakit ke-6 masih tetap (-),
msks dilaporkan sebagai (-). IgM hanya dapat bertahan dalam darah 2-
3 bulan setelah infeksi sehingga tidak boleh dijadikan satu-satunya uji
diagnostik pengelolaan kasus. Sensitivitasnya sedikit di bawah uji HI,
spesifitas sama dengan uji HI dan hanya memerlukan 1 serum akut
saja. Saat ini sudah beredar uji Elisa yang sebanding dengan uji HI
hanya lebih spesifik (IgM/IgG dengue blot, dengue rapid, dll). Pada
infeksi sekunder, IgG lebih banyak didapatkan.6

- Isolasi virus
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.5
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan nyamuk A
albopictus5
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral
pada larva5

- Identifikasi virus
Dengan Fluorescence antibody technique test secata langsung atau
tidak langsung. Untuk identifikasi dipakai yang indirek dengan
antibodi monoclonal.5

NS1 antigen test (Platelia Dengue NS1 Ag assay) pemeriksaan untuk


DHF yang pertama kali diperkenalkan tahun 2006 oleh Bio-Rad
Laboratories, dapat mendeteksi dihari pertama panas sebelum antibody
dapat terdeteksi 5 hari kemudian.6

G. Pengaruh Demam Berdarah Dengue terhadap Kehamilan


Beberapa laporan kasus dan pengamatan dari Indonesia, Pakistan,
Thailand, dan Malaysia, gejala-gejala klinis pada ibu hamil tersebut meliputi
demam dan sakit kepala, nyeri uluhati, muntah, peteki, tanda-tanda dehidrasi,
hemokonsentrasi, trombositopenia, dan pada tes serologi dijumpai antibodi
17

IgM dan IgG terhadap virus dengue. Selain itu, pada beberapa institusi dapat
dilakukan isolasi virus seperti di Frence Guiana oleh Carles G. dkk., dan
Mississipi Medical Center, USA oleh Lusia H.L. dkk. Chong KY dkk.
melaporkan bahwa tidak ada bukti bahwa virus dengue dapat menyebabkan
efek teratogenik, aborsi, atau pertumbuhan janin yang terhambat yang
dikandung oleh ibu hamil yang menderita DBD. Beberapa kasus menjalani
pemeriksaan amniocentesis atau biopsi villi choriales dan dilakukan analisa
kromosom, namun tidak dijumpai kelainan. Alfa-fetoprotein di cairan amnion
maupun di serum maternal berada dalam batas normal. Adanya transmisi
vertikal dari ibu ke fetus menyebabkan bayi baru lahir mudah menderita
demam berdarah dengue atau sindroma syok dengue pada saat terinfeksi virus
dengue.
Figueiredo L.T. dkk., mengamati bahwa pada bayi yang dilahirkan tidak
dijumpai kelainan bawaan, lamanya kehamilan, Skor APGAR, berat badan
janin, dan plasenta. Pada serum bayi dijumpai antibodi IgG yang progesif
menurun dan menghilang setelah 8 bulan. Namun, menurut Marchette N.J.
dkk., antibodi tersebut menghilang setelah 10--12 bulan. Walaupun begitu,
Chye J.K. dkk., melaporkan dua ibu hamil mengalami demam berdarah
dengue 4 sampai 8 hari sebelum inpartum. Satu ibu mengalami kehamilan
dengan pre-eklampsia berat disertai sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver enzymes and Low Platelets) dan memerlukan transfusi darah lengkap,
konsentrat trombosit, serta plasma beku segar. Bayi laki-lakinya saat lahir
menderita gangguan pernapasan dan perdarahan intracerebral kiri yang banyak
serta tidak terkontrol. Akhirnya, bayi meninggal pada hari ke-6 karena
kegagalan berbagai organ.
Virus dengue tipe 2 diisolasi dari darah bayi dan antibodi IgM spesifik
terhadap virus dengue terdeteksi dalam darah ibu tersebut. Ibu ke-2
mengalami keadaan klinis yang lebih ringan. Dia melahirkan bayi perempuan
yang mengalami trombositopenia dan tidak memerlukan perawatan yang
khusus. Virus Dengue tipe 2 ditemukan dalam darah ibu dan antibodi IgM
spesifik terhadap virus dengue dideteksi pada darah bayi tersebut. Hal ini
18

berarti bahwa demam berdarah dengue memiliki risiko yang potensial


menyebabkan kematian janin yang terinfeksi. Poli dkk., juga melaporkan
gambaran klinis bayi-bayi yang mengalami transmisi vertikal dari ibu pada
saat menjelang akhir kehamilan berupa demam, gangguan vasomotor,
trombositopenia, dan hepatomegali. IgM antibodi spesifik terhadap virus
dengue ditemukan pada semua bayi. Berat-ringannya keadaan penyakit
bervariasi. Thaithumyanon P. dkk., juga melaporkan trombositopenia pada
bayi yang dilahirkan dari ibu hamil dengan DBD. Falker J.A. dkk.,
melaporkan bahwa aktivitas anti-dengue dijumpai pada komponen lipid air
susu ibu (ASI) dan kolostrum. Konsentrasinya tidak menurun selama 10 bulan
setelah melahirkan. Disarankan pemberian ASI agar dapat melindungi bayi
dari infeksi virus dengue di daerah endemis 3.

H. Pengaruh Kehamilan terhadap Demam Berdarah Dengue


Pada kehamilan terjadi berbagai perubahan sistem imunologis, sehingga
menyebabkan ibu hamil rentan terhadap berbagai infeksi dan memungkinkan
infeksi berkembang menjadi berat. Pada kehamilan terjadi peningkatan jumlah
neutrofil, namun sebaliknya terjadi penurunan limfosit. Jumlah limfosit B
relatif tetap, sedangkan limfosit T (terutama T helper) menurun. Selain
penurunan jumlah sel T, terjadi penurunan fungsi imunitas seluler yang
terlihat dari penurunann produksi IL-2 dan interferon. Untuk imunitas humoral
jumlah imunoglobulin total relatif tetap, namun didapatkan penurunan jumlah
antibodi spesifikterhadap infeksi tertentu. Hal itu akan berpengaruh terhadap
respon imun selular yang diperlukan dalam pertahanan terhadap infeksi virus.
Selain perubahan sistem imun, pada kehamilan juga terjadi perubahan
hemodinamik. Sirkulasi darah ibu dalam kehamilan dipengaruhi oleh adanya
sirkulasi ke plasenta dan uterus yang membesar dengan pembuluh darah yang
membesar pula. Volume darah ibu dalam kehamilan bertambah secara
fisiologis dengan adanya hemodilusi. Volume darah akan bertambah kira-kira
25%, dan puncaknya terjadi pada kehamilan 12 minggu. Eritropoesis dalam
kehamilann juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan transport zat asam.
19

Walaupun terjadi peningkatan jumlah eritrosit secara keseluruhan, akan tetapi


peningkatan jumlah plasma jauh lebih besar, sehingga kondisi akhir yang
terjadi adalah anemia relatif. Jumlah leukosit meningkat, demikian juga
trombosit. Segara setelah partus, sirkulasi darah antara uterus dan plasenta
berhenti, sehingga sirkulasi umum akan membebani kerja jantung.Setelah
partus terjadi pula hemokonsentrasi, dengan puncak pada hari ke-3 dan 5
postpartum. Konsentrasi trombosit pada masa ini juga meningkat. Perubahan
tersebut sangat penting untuk menentukan persangkaan diagnosis infeksi
Dengue yang mungkin tidak selalu lengkap sesuai kriteria diagnosis DBD
seperti pada orang normal.

I. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip utama adalah terapi
suportif. Akan tetapi, penanganan klinis yang tepat oleh dokter dan perawat
yang berpengalaman pada umumnya akan menyelamatkan pasien DBD.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan kurang
dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus
tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Penatalaksanaan
DBD dengan kehamilan sebagai berikut8:

J. Penatalaksanaan Antepartum
Penatalaksanaan antepartum tanpa penyulit biasanya dilakukan secara
konservatif, antara lain:
 Tirah baring.
 Makanan lunak. Bila tidak ada nafsu makan dianjurkan untuk minum
banyak 1,5--2 liter dalam 24 jam, air tawar ditambah garam saja.
 Medikamentosa yang bersifat simptomatis yaitu:
20

 Untuk demam tinggi dan sakit kepala diberikan dari golongan


asetaminofen, eukinin atau dipiron, tetapi pemakaian asetosal harus
dihindari mengingat bahaya perdarahan.
 Glukokortikosteroid merupakan pengobatan pertama untuk menaikkan
jumlah trombosit yang rendah, tetapi pada umumnya di Indonesia hal ini
tidak dilakukan karenaterbukti tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara terapi tanpa atau dengankortikosteroid.
 Antibiotik dapat diberikan bila dicurigai infeksi sekunder.
 Terapi cairan pengganti diberikan pada penderita sesuai derajat dehidrasi.
 Transfusi trombosit jika diperlukan.
 Para ahli hematologi umumnya tidak mengobati penderita dengan jumlah
trombosit di atas 20,000/mm3 atau bila tidak terjadi perdarahan spontan.
Batas usia trombosit yang ditransfusikan biasanya pendek.
 Terhadap kehamilannya dilakukan pemantauan terhadap janin dan
perawatan secara konservatif.
 Dilakukan pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital, Hb
(hemoglobin), dan Ht (hematokrit) setiap 4--6 jam pada hari-hari pertama
pengamatan, selanjutnya tiap 24 jam. Periode kritis timbulnya syok umumnya
24--48 jam perjalanan penyakit.

K. Penatalaksanaan Intrapartum
Penatalaksanaan ibu hamil aterm dengan DBD sama seperti antepartum,
namun terhadap kehamilannya sebagai berikut:
 Obat-obat tokolitik dapat dipergunakan hingga periode kritis terlewati atau
trombosit kembali normal. Obat-obat tokolitik umumnya menyebabkan
takikardia yang dapat menutupi keadaan status pasien. Magnesium Sulfat
dapat menjadi obat pilihan pada situasi ini karena tidak menyebabkan
takikardia.
 Jika proses melahirkan tidak dapat dihindarkan, rute vaginal lebih disukai
daripada abdominal. Kontraksi uterus setelah melahirkan akan menstrangulasi
pembuluh-pembuluh darah yang menyebabkan hemostasis walaupun
21

gangguan koagulasi masih terjadi. Transfusi trombosit diindikasikan pada


proses melahirkan melalui vagina bila jumlah trombosit di bawah
20,000/mm3.
 Bila perlu dilakukan tindakan pembedahan, terutama pada saat inpartum
perlu diberikan konsentrat trombosit preoperatif dan konsentrat trombosit
selama operasi serta pasca operasi jika diperlukan. Transfusi trombosit
diindikasikan pada pembedahan jika jumlah trombosit maternal di bawah
50,000/mm3. Tranfusi trombosit pada saat insisi kulit dapat memberikan
hemostasis yang cukup. Setiap unit konsentrat trombosit yang ditransfusikan
dapat meningkatkan hitung trombosit hingga 10,000/mm3. Sebelum
melakukan operasi, sebaiknya telah dilakukan konsultasi dengan tim anastesi,
neonatologis, dan ahli jantung.
 Pemberian plasma beku segar (30 mL/kg/hari) dapat diberikan bila ada
kelainan koagulopati, namun harus hati-hati kemungkinan terhadap
penumpukan cairan tubuh yang berlebihan.
 Beberapa teknik pembedahan seksiosesaria yang perlu diperhatikan pada
pasien dengan trombositopenia berat:
 Jika pasien mengalami perdarahan yang secara klinis nyata, lebih baik
gunakan insisi kulit garis tengah (midline). Walaupun demikian, insisi
Pfannenstiel masih dapat dipertimbangkan.
 Gunakan elektrokauter untuk menghentikan perdarahan.
 Jahit uterus dengan dua lapis.
 Tinggalkan flap kandung kemih terbuka untuk mencegah terbentuknya
hematoma yang dapat menuntun terjadinya abses dan demam.
 Tutuplah peritoneum untuk mencegah perdarahan dari pembuluh-
pembuluh darah yang terdapat pada tepi sayatan peritoneum, yang sering
tidak terlihat dan dapat terbentuk suatu ruangan untuk drainase subfascial.
 Tempatkan drain subfascial dan tinggalkan sampai tidak ada cairan yang
mengalir keluar.
22

 Sebaiknya gunakan staples kulit, walaupun dengan insisi Pfannenstiel. Ini


memungkinkan kita membuka sebagian dari insisi jika terbentuk hematoma
subkutis.
 Tempatkan balutan kuat dengan tekanan di atas insisi dan tidak dibuka
selama 48 jam, kecuali tanda-tanda perdarahan aktif ditemukan.

L. Penatalaksanaan Masa Nifas


Bila DBD terjadi pada masa nifas, penatalaksanaannya hampir sama
dengan antepartum (tirah baring, terapi cairan pengganti, simtomatis,
pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital, hemoglobin, hematokrit,
dan trombosit). Demam berdarah dengue jarang sebagai penyebab morbiditas
demam nifas.
Bayi-bayi yang dilahirkan umumnya sehat bila ibunya tidak memderita
komplikasi selama kehamilan. Pemberian air susu ibu dapat memberi
perlindungan pada bayi terhadap infeksi demam berdarah dengue karena
komponen lemak dari air susu ibu dan colostrum memiliki aktivitas anti
dengue.

M. Penatalaksanaan Pada Neonatus


Setelah kelahiran, dapat terjadi syok pada neonatus yang mungkin mirip
dengan syok septik atau trauma lahir. Pada kasus seperti ini, riwayat demam
saat hamil menjadi penting dalam membantuk mendiagnosis DSS pada
neonatus dan neonatus. Observasi yang ketat, penatalaksanaan simptomatik
dan suportif adalah manajemen utama.

N. Komplikasi
Thaithumyanon P. dkk., melaporkan seorang ibu hamil dengan DBD yang
menjalani bedah sesar mengalami perdarahan masif dan berkepanjangan (8
hari) dari luka serta memerlukan berbagai tranfusi darah, trombosit, dan
plasma beku segar. Chye J.K. dkk., melaporkan seorang ibu hamil dengan
demam berdarah dengue mengalami preeklamsia berat dan sindroma HELLP
23

memerlukan berbagai transfusi darah. Saat lahir anaknya menderita gangguan


pernapasan dan perdarahan hebat pada intracerebral kiri . Selain itu dapat pula
terjadi sindrom renjatan dengue, koagulasi intravaskuler diseminata, partus
prematur serta kematian janin intrauterin .
Demam dengue pada kehamilan juga berkiatan dengan kelahiran berat
badan baru lahir rendah (BBLR). BBLR yang terjadi diakibatkan oleh
kelahiran preterm dan bukan diakibatkan restriksi pertumbuhan intrauterin.
Infeksi dengue juga tidak menimbulkan malformasi pada fetus.4

O. Prognosis
Menurut Williams et al, yang telah melakukan penelitian kohort tentang
keluaran klinis pasien hamil dengan infeksi dengue di Mexico, didapatkan
keluaran klinis pada maternal, fetal dan neonatal yang terjangkit dengue
derajat berat saat hamil menunjukan hubungan dengan risiko tinggi untuk fetal
distres, kelahiran caesarian, mortalitas maternal, dan peningkatan potensi
risiko perdarahan obstetrik, preeklampsia, dan eklampsia. Sebaliknya, pada
infeksi dengue derajat ringan, tidak ditemukan hubungan yang jelas terhadap
kondisi maternal, fetal dan neonatal selain gejala khas dari dengue yang sama
saja dengan populasi umum.4

P. Pencegahan
Pencegahan terhadap perkembangbiakan nyamuk dan gigitan nyamuk
betina Aedes aegypti dan A. albopictus yang menggigit pada pagi serta sore
hari merupakan upaya menurunkan attack rate dan jumlah angka kesakitan.
Pencegahan di Indonesia terkenal dengan 3M, yaitu menutup,
membuang/membilas, dan menimbun barang-barang atau tempat yang
kemungkinan menjadi sarang nyamuk, kelambu, fogging, serta dengan
repellent nyamuk (campuran Thanaka dan deet) dapat memberi perlindungan
10 jam terhindar dari gigitan nyamuk tersebut.
24

BAB III
KESIMPULAN

Demam Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu dari
virus yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai
4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. DBD ditularkan melalui
nyamuk terutama nyamuk Aedes aegepti dan Aedes albopticus. Sedangkan
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan infeksi dengue disertai dengan
adanya bukti plasma leakage bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan
kematian lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada
manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi
dengue yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi,
tergantung dari aktifitas epidemiknya.
Demam dengue pada kehamilan menjadi perhatian penting dikarenakan
terjadi perubahan fisiologi selama kehamilan sehingga manifestasi klinis dapat
menjadi lebih buruk dengan komplikasi yang lebih berati. Tampilan klinis
DBD dengan kehamilan umumnya tidak spesifik, dikaitkan dengan perubahan
fisiologis selama kehamilan sering membuat diagnosis DBD pada kehamilan
terlambats. Perubahan fisiologis ini juga membuat sulitnya melihat tanda-
tanda kebocoran plasma seperti gambarn peningkatan kadar hematokrit.
Pembesaran uterus juga membuat pemeriksaan kebocoran plasma secara klinis
seperti asites atau efusi pleura sulit dilihat. DBD pada ibu hamil juga perlu
dibedakan dengan penyakit lain yang dapat muncul pada masa kehamilan,
seperti sindrom HELLP. Virus dengue dapat ditransmisikan secara vertikal
dari ibu ke janin, sehingga bayi baru lahir dapat terjangkit virus dengue dan
menderita penyakit demam DD atau DBD.
Penatalaksanaan DBD pada ibu hamil dan bayi baru lahir secara umum
sama dengan penatalaksanaan DBD pada umumnya. Namun perlu
diperhatikan komplikasi yang dapat terjadi, seperti perdarahan post partum
25

pada ibu hamil dan gejala respiratorik dan gastrointestinal yang lebih berat
pada bayi baru lahir dibandingkan anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Infodatin : Situasi


DBD di Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI
2. WHO. 2014. Dengue and Severe Dengue. From World Health
Organization
3. Vyas MP, Jatin M. 2013. Dengue Hemorragic Fever. USA: Medline Plus.
From http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001374
4. Machain-Williams C, Raga E, Baak-Baak CM, Kiem S, Blitvich BJ,
Ramos C. Maternal, Fetal, and Neonatal Outcomes in Pregnant
Dengue Patients in Mexico. Biomed Res Int.
2018;2018:9643083. Published 2018 Jan 21.
doi:10.1155/2018/9643083
5. Infections Caused by Arthropod and Rodent-Borne Viruses.
In: Braunwald, et al. Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Companies, 2008.
6. World Health Organisation. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic
Fever.
7. Friedman EE, Dallah F, Harville EW, et al. Symptomatic Dengue infection
during pregnancy and infant outcomes: a retrospective cohort
study. PLoS Negl Trop Dis. 2014;8(10):e3226. Published 2014
Oct 9. doi:10.1371/journal.pntd.0003226
8. Paixao ES, Harron K, Campbell O, et al. Dengue in pregnancy and
maternal mortality: a cohort analysis using routine data. Sci
Rep. 2018;8(1):9938. Published 2018 Jul 2.
doi:10.1038/s41598-018-28387-w
9. Jain Amita, Chaturvedi Umesh C. 2010. Dengue in Infants: an Overview.
Department of Microbiology, CSM Medical University. India.
DOI: 10.1111/j.1574-695X.2010.00670.x

26
27

10. Governement of India. 2015. National Guidelines for Clinical


Management of Dengue Fever.

Anda mungkin juga menyukai