ANEMIA
DISUSUN OLEH :
Ni Putu Kusuma Dewi
406162010
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..2
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………………….3
Latar Belakang……………………………………………………………………………...3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………4
2.1 Definisi………………………………………………………………………………….4
2.2 Epidemiologi……………………………………………………………………………4
2.3 Fisiologi…………………………………………………………………………………5
2.4 Etiologi dan Klasifikasi……………………………………………………………..…13
2.5 Patofisiologi...................................................................................................................15
2.6 Manifestasi Klinis……………………………………………………………………..22
2.7 Penegakan Diagnosis………………………………………………………………….23
2.8 Tatalaksana…..………………………………………....……………………………..30
2.9 Prognosis………………………………………………………………………………35
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………….36
2
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada negara berkembang
maupun negara maju, dapat terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun paling sering terjadi
pada wanita hamil dan anak-anak. Anemia merupakan salah satu indikator buruknya nutrisi
dan status kesehatan seseorang. Anemia dapat meningkatkan risiko mortalitas ibu dan anak,
menghambat perkembangan kognitif dan psikologis anak, dan menurunkan produktifitas
seseorang.1
Secara global, berdasarkan data WHO tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh
1,62 milyar orang. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan prevalensi
terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang
dikategorikan berat dalam prevalensi anemia.2
Anemia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan biasanya setiap
kejadian anemia terjadi akibat beberapa kemungkinan penyebab. Pada tahun 2002, defisiensi
besi diketahui paling banyak menyebabkan anemia dibanding penyebab lainnya. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa 50% kasus anemia disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Penyebab
lain dari anemia yang sering terjadi antara lain akibat kehilangan darah banyak saat
menstruasi, infeksi parasit, infeksi kronik, keganasan, defisiensi mikronutrien (asam folat,
vitamin B12, vitamin A, riboflavin), dan hemoglobinopati.1
Berbagai macam komplikasi dapat terjadi akibat anemia, maka diagnosis dan
tatalaksana anemia menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan tepat dan sedini mungkin.
Konsentrasi hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit merupakan indikator yang
digunakan dalam diagnosis anemia. Namun, hemoglobin paling sering digunakan.
Tatalaksana anemia harus dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan etiologi dasar yang
diketahui.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga
eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan.3 Anemia dapat didefinisikan pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai
normal jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah.4
Namun, kadar normal hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti
kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran perubahan
patofisiologi yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.4
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah
4
Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia2
Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di
Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0
g/dl, sehingga Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.2
5
atom besi dapat berikatan secara reversible dengan satu molekul oksigen. Oleh
karena itu, satu molekul hemoglobin dapat mengambil empat molekul oksigen di
paru. Sekitar 98,5% oksigen di dalam darah terikat ke hemoglobin.5
6
menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin
membantu menyalurkan oksigen yang dibawanya.5
Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi oleh lebih dari
250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hamper semua organel yang lain. Sel darah
merah tidak mengandung nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan sel, struktur-
struktur ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.5
Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi
eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh sumsum tulang
merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum
tulang kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan menggantikan
sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan ujung-ujung
proksimal tulang panjang di ekstremitas.5
Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang :
7
Gambar 2.4. Regulasi pembentukan eritrosit6
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau
proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke dalam
darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang
maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah
eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan
penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke ginjal telah
kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai dibutuhkan kembali.
Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan normal disesuaikan dengan
kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen
relatif konstan. Pada kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau
kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi
lebih dari enam kali lipat nilai normal.6
8
Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit6
Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju
aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk
memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya
bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga
tiga juta sel per detik.5
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat
diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik
penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa,
karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini.
Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui
pori-pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit dihancurkan,
kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum tulang, nodus
9
limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada proses hemolisis akan diubah menjadi
bilirubin, sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.6
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam
hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin), dan
sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung besi).
Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama
terjadi di duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan
menyerap 3-15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada
defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan paling sedikit adalah
10-20 mg/hari.6
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi di dalam tubuh :
10
Gambar 2.6. Absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi6
Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari hemoglobin dan
mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian besar dalam bentuk Fe 2+, yang
akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme- Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim
heme oksigenase akan melepaskan heme dan Fe 2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi
Fe3+. Bentuk tersebut dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe3+ untuk
kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau dapat pula masuk
ke sirkulasi darah.6
Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel mukosa usus
dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus terlebih dahulu direduksi
menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan sel mukosa
11
usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein
simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting untuk
meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa meningkat, serta untuk
memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.6
Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus. Ketika terjadi
defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan berikatan
dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe 2+ yang
dapat memasuki aliran darah akan meningkat.6
Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang kemudian
berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan dalam transport zat besi di
dalam plasma, dan membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis oleh
eritroblas dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel,
maka apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan kembali untuk
mengikat zat besi dari usus dan makrofag.6
Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di dalam tubuh,
dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat menyediakan zat besi secara cepat
bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan
zat besi jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di hepar dan sumsum
tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel darah merah yang
mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit
oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan
digunakan kembali.6
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses eritropoiesis,
terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut dalam proses
eritropoiesis :
12
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis 6
13
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks3
II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl
14
Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis kronik,
atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
Perdarahan saluran cerna
Perdarahan saluran kemih
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik
Telangiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
Bayi prematur
Anak-anak dalam pertumbuhan
Ibu hamil dan menyusui
Laktasi3
Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi yang telah
berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi, yaitu :7
15
bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai
dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan
besi di makrofag. Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit
atau kondisi, seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal jantung
kongestif, dan idiopatik.3
Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada
3 abnormalitas utama :7
1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit
2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
16
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag
teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal, sedangkan
transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru
menurun saat proses inflamasi.7
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan
parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di
anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial
ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat
melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan
metabolisme besi disebabkan karena kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya
kebutuhan besi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.7
III. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas
hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel myeloid
dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab anemia megaloblastik
adalah :3
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan kurang
Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus halus,
Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan, hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia hemolitik,
keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoiesis yang tidak
efektif.
c. Gangguan metabolisme asam folat, misalnya akibat obat-obatan
penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat, pirimetamin, triamteren,
pentamidin, trimetoprim), alkoholisme, dan defisiensi enzim.
d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada alkoholisme, sirosis
non alkoholik, dan hepatoma.
e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti antagonis purin,
antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, dan zidovudin.
f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter dan sindrom
Lesch-Nyhan.
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.
17
b. Malabsorpsi
Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis atrofikan,
Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-obatan.
Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsic
lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi enzim,
abnormalitas protein pembawa kobalamin (transkobalamin II), paparan
NO yang berlangsung lama.3
18
a. Anemia hemolitik imun
b. Mikroangiopati
c. Infeksi
1. Didapat
Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit, antimitotik :
kolsisin, daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,
kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion, fenilbutazon, senyawa emas
Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue
Infeksi mikobakterium
Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
19
tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat menginhibisi langsung sel-sel
hematopoietik.7
Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3 proses :
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh
sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system
imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi mengaktifkan
klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan IFN-γ dan menginhibisi
hematopoietik.7
20
c) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya, pada anemia
akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
21
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali
100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin,
terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin jga
merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun
kronis, kadarnya dapat meningkat.
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum
tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif.
Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau
eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis sel –sel berarti pada sumsum tulang
( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat digunakan
untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa hemoglobin. Bila MCV
< 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100 dapat disebut sebagai makrositosis.
Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin
(hipokromia).
Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat disederhanakan dalam tabel dibawah ini:
22
Pembagian anemia berdasarkan gambaran sel darah merah :
23
24
Kriteria diagnosa anemia :
I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas,
diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa perdarahan, tanpa
25
organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target,
respons terhadap pemberian terapi besi.
26
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis yang teliti,
pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat dikelompokkan menjadi
lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan terhadap
infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia
imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang menjurun pada
thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif
memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin.
V. Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di
darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya
infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut
international agranulocytosis and aplastic anemia study group (IAASG) adalah satu
dari tiga sebagai berikut :
Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
Trombosit kurang dari 50x109//L
Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : penurunan
selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoietik atau
selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan depleso seri granulosit atau
infiltrasi neoplastik. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.
Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit dari anemia
apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi. Kriteria yang diapakai pada
umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang tergolong anemia apalstik berat (severe
aplastic anemia) bial memenuhi kriteria paling sedikit dua dari tiga :
Granulosit < 0,5 x 109 /L
Trombosit < 20 x 109 /L
Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel sel
hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil < 0,2 x 109 /L.
27
2.8. TATALAKSANA ANEMIA
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi dapat diketahui sehingga
penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara
peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya
dengan pemberian secara parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita
yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi :
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -6
mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam
garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%.
Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna
dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3
dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia
pada penderita teratai. Respon terapi pemberian preparat besi dapat dilihat secara
klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) : preparat pilihan
pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous gluconate, ferrous
fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas
dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara intramuskular
dalam dan intravena pelan. Efek samping yang ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu
reaksi anafilakksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan
sinkop. Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat
kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi,
hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik
28
dibanding peroral. Preparat yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan
ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex.
29
PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole blood bila ada kehilangan
volume darah, dosis disesuaikan banyaknya darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada hari 7 –
8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.
V. Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh (LPT)/hari.
Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian
tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40 mg/m 2 .
dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan.
Azatioprin : 80mg/m2/hari
Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum Feritin
mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12. Dosis inisial 20
mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di idnding anterior abddomen,
selama 5 hari/minggu. Diberkan bersamaan dengan vitamin C oral 100 – 200
mg untuk meningkatkan ekskresi Fe. Pada keadaan penumpukan Fe berat
terutama disertai dengan komplikasi jantung dan endokrin, deferoxamine
diberikan 50 mg/KgBB secara infuse kontinue IV.
30
Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage Colony
Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah neutrofil, tetapi
harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga dapat diberikan untuk
mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.
Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan maksimum 3 bulan.
Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari, namun jika dalam 4 minggu
tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping
yang serius.
Terapi definitif yang terdiri atas :
ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam larutan NaCl
dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah serum sickness, diberikkan
Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian dilakukan tappering off.
Cyclosporin A
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan setiap
mingggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400-800 mg/ml.
pengobatan diberikan miimal selama 3 bulan, bila ada respon, diteruskan
sampai respon maksimal, kemudian dosis diturunkan dalam beberapa bulan.
Kombinasi ATG dan Cyclosporin A
Transplantasi sumsum tulang terapi yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih,
serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel. Transplantasi
sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40
tahun, diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus host
disease), memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus,
dengan kesembuhan komplit.
Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah jantung atau
anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g%, tidak perlu sampai
Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal.
Trombosit profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka diperlukan
transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
Granulosit tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan
pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada infeksi yang tidak berespon
dengan pemberian antibiotik.
2.9. PROGNOSIS
31
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia
dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi
kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin berat
prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdaraham
atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila
ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah platelet <20000/µL,
andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte count < 60000/µL).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan, 25% selama 4
– 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami perbaikan spontan
(parsial/komplit).
DAFTAR PUSTAKA
32
6. Despopoulos A, dkk. Color Atlas of Physiology, edisi 5. USA : Thieme, 2003.
7. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16. NewYork :
McGraw Hill, 2005.
33