Anda di halaman 1dari 22

KNOWLEDGE

Kamis, 05 Maret 2015


PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

A. SYIRKAH
1. Pengertian Syirkah
Menurut bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih
hingga tidak dapat dibedakan antara bagian satu dengan yang lainnya.
Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang
telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.

2. Dasar Hukum
ِ ‫اإل ثْ ِم َواْلعُ ْد َو‬
)2 : ‫ان ( ا لمائدة‬ َ ‫علَى ْال ِب ِ ِّر َو الت َّ ْقو ى َو لَ تَ َعا َو نُ ْوا‬
ِ ‫علَى‬ َ ‫َو ت َ َع َاو نُ ْوا‬
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.S. Al-Maidah : 2)
َّ ‫قَا َل‬. ‫سلَّ َم‬
‫َللاُ تَ َعا َلى‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َللا‬ ِّ ‫س ْو ُل‬
َ ِ‫َللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬ َّ ‫ى‬
َ ُ‫َللا‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِبى ُه َر ي َْر ة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
‫اء ْن خَا نَهُ خ ََر ْجتُ ِم ْن بَ ْينِ ِه َما (رواه‬ َ َ
َ ‫ش ِر ْي َكي ِْن َمال ْم َي ُخ ْن أ َحدُ ُه َما‬
ِ َ‫صا ِحبَهُ ف‬ ُ َ
َّ ‫أ نَا ثا ِلث ال‬:َ
)‫أبوداود‬
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman “Aku
(Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang di antaranya
tidak menghianati yang lain. Apabila salah seorang diantaranya menghianati yang lainnya,
maka Aku keluar dari perserikatan itu.” (H.R. Abu Dawud).
3. Rukun Dan Syarat Syirkah
a. Akad/Perjanjian/Kesepakatan/Shigat
Syarat: Dapat dimengerti oleh semua orang yang bersyarikat untuk melakukan jenis usaha tertentu dan
biasanya dituangkan dalam bentuk akta notaris.

b. Dua Pihak Yang Berakad (Aqidani)


Syarat: Berakal sehat, baligh, atas kemauan sendiri, merdeka dan harus memiliki kecakapan melakukan
tasharuf (pengelolaan harta).

c. Objek Akad (Ma’qud Alaihi)


Mencakup pekerjaan/modal.
Syarat: Harus halal dan diperbolehkan dalam agama.

4. Macam-Macam Syirkah
a. Syirkah Amlak (Syirkah Hak Milik)
Yaitu, persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang
dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.
 Syirkah Ikhtiar
Yaitu, perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat.
Contoh: Dua orang sepakat membeli satu barang atau dua orang yang bekeja sama secara sukarela untuk
mengelola warnet

 Syirkah Jabr
Yaitu, perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang
berserikat.
Contoh: Harta warisan yang mereka terima dari bapaknya yang sudah wafat. Harta warisan tersebut
menjadi hak milik bersama bagi mereka yang memiliki hak warisan.

b. Syirkah Uqud (Syirkah Transaksional)


Yakni, akad kerjasama antara dua orang atau lebih yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan.
 Syirkah Inan
Yaitu, syirkah antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama
untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama.
Contoh: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun
dan menjual belikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500
juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

 Syikah Wujud
Yaitu, syirkah yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli sesuatu dengan
mempergunakan nama baik mereka secara berhutang. Bila menghasilkan keuntungan, mereka
bagi berdua.

 Syirkah Mudabarah
Yaitu, persetujuan antara pemilik modal dan seorang pekerja untuk mengelola uang
pemilik modal dalam perdagangan tertentu.
Contoh: A memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal
dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

 Syirkah Abdan
Yaitu, syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan
konstribusi kerja, tanpa konstribusi modal.
Contoh: Kerjasama sesama dokter di klinik, atau sesama tukang jahit atau tukang cukur dalam salah
satu pekerjaan.

 Syirkah Mufawadah
Yaitu, syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan 4 macam syirkah (Inan,
Wujuh, Mudabarah, Abdan).

5. Mengakhiri Syirkah/Hal-Hal yang Membatalkan


a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (kehilangan mengelola harta).
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi jika anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal
hanyalah anggota yang meninggal saja.
d. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah.
e. Modal para anggota lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.

6. Hikmah Bersyirkah
a. Adanya rasa saling tolong menolon.
b. Saling membantu dalam kebaikan.
c. Menjauhi sifat egoisme.
d. Menumbuhkan rasa saling percaya
e. Menyadari kelemahan dan kekurangan dan
f. Menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat dan lain sebagainya.

B. JUAL BELI (BAI AL MURABHAHAH)


1. Pengertian Jual Beli
Persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan atau menjual
barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar atau membeli barang yang dijual. Secara
bahasa al-ba’ (menjual) berarti “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu.”

2. Landasan Hukum
a. QS Al Baqarah ayat 275
b. QS Al Baqarah ayat 198

َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
ِّ ‫َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
)275 :‫الربَا (البقرة‬
Artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.Al-Baqarah ayat
275).
Khadis terkait:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual beli
maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau
meneruskan jual beli selama mereka belum berpisah dan masih bersama atau selama salah
seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli
atas dasar itu, maka jadilah jual beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan
masing-masing orang tidak mengurungkan jual beli, maka jadilah jual beli itu." (Muttafaq
Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim).

3. Rukun Dan Syarat Jual Beli


a. Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syaratnya:
 Berakal
 Baligh
 Berhak menggunakan hartanya

b. Sigat atau Ucapan Ijab Kabul


Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual
dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan
ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

c. Barang yang diperjualbelikan


Syaratnya:
 Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
 Barang itu ada manfaatnya
 Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain
 Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya
 Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas

d. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sekarang ini berupa uang)
Syaratnya:
 Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
 Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli.
 Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual
bukan berupa uang, tetapi berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.

4. Macam-Macam Jual Beli


a. Jual beli yang sah dan tidak terlarang
Yaitu, jual beli yang diizinkan oleh agama. Artinya, jual beli yang memenuhi rukun-
rukun dan syarat-syaratnya.

b. Jual beli yang terlarang dan tidak sah


Yaitu, jual beli yang tidak diizinkan oleh agama. Artinya , jual beli yang tidak memenuhi
syarat dan rukunnya jual beli.

c. Jual beli yang sah tapi terlarang, monopoli dan najsi


Yaitu, jual belinya sah, tidak membatalkan akad dalam jual beli, tetapi dilarang dalam
agama Islam karena menyakiti si penjual, si pembeli atau orang lain, menyempitkan gerakan
pasaran dan merusak ketentraman umum.
Monopoli yaitu menimbun barang dengan tujuan supaya orang lain tidak dapat
membelinya.
Najsyi adalah menawar barang dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain agar
membeli barang yang ditawarkannya.

5. Jenis Transaksi Jual Beli


a. Bissamanil Ajil
Jual beli barang dengan harga yang berbeda antara kontan dan angsuran.

b. Salam
Jual beli barang secara tunai dengan penyerahan barang ditunda sesuai dengan kesepakatan.

c. Istisna
Jual beli barang dengan pemesanan dan pembayarannya pada waktu pengambilan barang.

d. Istijar
Jual beli antara penjual dengan penyuplai barang.

e. Ijarah (Upah atau Imbalan)


Jual beli jasa dari benda atau tenaga/keahlian . Landasannya Q.S. Az-Zukhruf, 43:32, At-
Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
f. Sarf
Jual beli pertuakaran mata uang antar negara.

C. PERBANKAN SYARIAH
1. Pengertian Perbankan Syariah
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: ‫ المصرفية اإلسالمية‬al-Mashrafiyah al-
Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam
(syariah).

2. Prinsip-Prinsip
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta
larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).
Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam
investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman
haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami
Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi
perbankan tersebut:
a. Perniagaan atas barang-barang yang haram,
b. Bunga (riba),
c. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (‫ميس‬maisir), serta
d. Ketidakjelasan dan manipulatif (‫ غرر‬gharar).

3. Riba
Makna harfiyah dari kata riba , yaitu pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau
peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
keharaman riba, diantaranya:

a. Surat Ali ‘Imran ayat 130:


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

b. Surat Ar-Rum ayat 39:


“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”

4. Sejarah Perekonomian
Suatu bentuk awal ekonomi pasar dan merkantilisme oleh beberapa ekonomi disebut
sebagai "kapitalisme Islam", telah berkembang antara abad ke-8 dan ke-12
Laporan dari International Association of Islamic Banks dan analisis Prof. Khursid
Ahmad menyebutkan bahwa hingga tahun 1999 telah terdapat lebih dari 200 lembaga keuangan
Islam yang beroperasi di seluruh dunia, yaitu di negara-negara dengan mayoritas penduduk
muslim serta negara-negara lainnya di Eropa, Australia, maupun Amerika.
Diperkirakan terdapat lebih dari AS$ 822.000.000.000 aset di seluruh dunia yang
dikelola sesuai prinsip-prinsip syariah, menurut analisis majalah The Economist.
Ini mencakup kira-kira 0,5% dari total estimasi aset dunia pada tahun
2005. Analisis Perusahaan Induk CIMB Group menyatakan bahwa keuangan syariah adalah
segmen yang paling cepat tumbuh dalam sistem keuangan global, dan penjualan obligasi
syariah diperkirakan meningkat 24 persen hingga mencapai AS$ 25 miliar pada 2010.

5. Produk perbankan syariah


a. Titipan atau Simpanan
 Al-Wadi'ah (Jasa Penitipan)
Adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-
waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan untuk
memberikan bonus kepada nasabah.

 Deposito Mudharabah
Nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari
investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah
dengan nisbah bagi hasil tertentu.

b. Bagi Hasil
 Al-Musyarakah (Joint Venture)
Konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih
akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah
dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak
ada campur tangan.

 Al-Mudharabah
Perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan
dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak
Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan
penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.

 Al-Muzara'ah
Bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian atau
perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.

 Al-Musaqah
Bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab
atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah
tertentu dari hasil panen.

c. Jual Beli
 Bai' Al-Murabahah
Penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan
pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan
sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank dan pengguna jasa dapat mengangsur barang
tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran sama dengan harga
pokok ditambah margin yang disepakati.

 Bai' As-Salam
Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas
dan spesifik dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah
pihak

 Bai' Al-Istishna'
Merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak,
dibayar secara angsuran atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada
pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara
bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang
bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang
timbul dari transaksi tersebut.

d. Sewa
 Al-Ijarah
Adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.

 Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan Ijarah


Adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa,
namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan kepemilikan atas barang sewa.

e. Jasa
 Al-Wakalah
Adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan)
yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam syariat Islam.

 Al-Kafalah
Adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan
tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai jaminan.

 Al-Hawalah
Adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari
tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar
hutang. Contoh: lembaga pengambilalihan hutang.

 Ar-Rahn
Adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah yang merupakan akad gadai yang
sesuai dengan syariah.

 Al-Qardh
Adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain
adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan
atau bunga (riba).
6.
Perbedaan Bank Syariah Dan Konvensional

7. Bank
Syariah

D. ASURANSI
1. Pengertian Asuransi
Asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang diberikan oleh penanggung kepada yang
bertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian bila terjadi
kebakaran, pencurian, kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa atau
kecelakaan lainnya dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang di tentukan
kepada penanggung tiap-tiap bulan.

2. Unsur Asuransi
a. Pihak tertanggung (Insured)
Pihak yang berjanji membayar uang kepada pihak penanggung.

b. Pihak penanggung (Insurer)


Pihak yang berjanji membayar jika peristiwa pada unsur ketiga terlaksana.

c. Suatu peristiwa (Accident)


Suatu peristiwa belum tentu akan terjadi (evenement).

d. Kepentingan (Interest)

3. Macam-macam Asuransi
a. Asuransi ditinjau dari aspek peserta
 Asuransi Pribadi
Yaitu, asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi
ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial.

 Asuransi Sosial, yaitu asuransi (jaminan) yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti
pegawai negri sipil (PNS), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang
tidak mampu dan lain-lainnya.

b. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan


 Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 asuransi kerugian adalah usaha yang
memberikan jasa-jasa dalam penanggungan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

 Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa
apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan
memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.
Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk, yaitu:
1) Term assurance (Asuransi Berjangka)
Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan
jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode waktu tertentu.

2) Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup)


Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang
pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen
yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance.

3) Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna)


Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak
yang telah ditetapkan.

c. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.


 Asuransi Konvensional
Asuransi Konvensional pada dasarnya ialah Proses Mentransfer Resiko (Risk
Transfering), dalam hal ini ialah resiko keuangan yang mungkin terjadi apabila seseorang
terkena musibah, meninggal, sakit kritis, cacat tetap total. Resiko keuangan yang seharusnya
ditanggung oleh keluarga akan ditanggung oleh perusahaan asuransi dengan cara orang tersebut
membayar sejumlah besar premi yang telah ditentukan. Semua keuntungan atau kerugian akan
ditanggung oleh perusahaan asuransi yang mengelolanya.

 Asuransi Syariah
Adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong
menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.

4. Asuransi Menurut Islam


Dalam bahasa Arab, asuransi disebut at-taimin, penanggung disebut mu’ammin,
sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau usta’min. At-ta’min ( ‫ ) ا لتأ مين‬diambil
dari kata ( ‫ ) أ من‬memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari
rasa takut.
Dalam Ensiklopedia hukum Islam bahwa asuransi (at-ta’min) adalah transaksi perjanjian
antara dua pihak, pihak pertama berkewajiban membayar iuran dan pihak lain berkewajiban
memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa
pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
1) Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya temasuk asuransi jiwa.
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Bakhil al-Muth’i . Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
 Asuransi sama dengan judi
 Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti
 Asuransi mengandung unsur riba atau renten
 Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
 Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
 Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
 Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama halnya dgn mendahului takdir Allah.

2) Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan.
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah. Alasan kelompok
ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial dan sama
pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yg bersifat sosial.

5. Perbedaan Antara Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional


a. Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk
yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak
ditemukan dalam asuransi konvensional.

b. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli.

c. Investasi dana pada asuransi syariah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada
asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya.

d. Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari
nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi
investasinya.
Asuransi di perbolehkan dalam praktek seperti sekarang. Pendapat kedua ini
dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa dan
Abd. Rakhman Isa. Mereka beralasan:
 Tidak ada nash yang melarang asuransi.
 Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
 Saling menguntungkan kedua belah pihak.
 Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul dapat
di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
 Asuransi termasuk akad mudhrabah.
 Asuransi termasuk koperasi.
 Asuransi di analogikan dengan sistem pensiun.
Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus seperti yang
terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan
pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana
yang dimasukan dapat diambil kembali.
 Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh
peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai
sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi
konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
 Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai
prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi
konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

6. Dasar Hukum
a. Q.S. Al-Maidah ayat 2
َ ‫ْي َو َل ْال َق َال ِئدَ َو َل آ ِ ِّمينَ ْال َبي‬
‫ْت‬ َ ‫ام َول ْال َهد‬ َ ‫ش ْه َر ْال َح َر‬
َّ ‫َللا َو َل ال‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َل ت ُ ِحلُّوا‬
ِ َّ ‫ش َعا ِئ َر‬
‫َآن قَ ْو ٍم أ َ ْن‬
ُ ‫شن‬َ ‫طاد ُوا ۚ َو َل يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬َ ‫ص‬ ْ ‫ام يَ ْبتَغُونَ فَض اْال ِم ْن َر ِبِّ ِه ْم َو ِرض َْواناا ۚ َو ِإذَا َح َل ْلت ُ ْم فَا‬ َ ‫ْال َح َر‬
‫اإلثْ ِم‬
ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫علَى ْالبِ ِ ِّر َوالت َّ ْق َو ٰى ۖ َو َل تَعَ َاونُوا‬ َ ‫ع ِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام أ َ ْن ت َ ْعتَدُوا ۘ َوتَعَ َاونُوا‬َ ‫صدُّو ُك ْم‬ َ
‫ب‬ ْ
ِ ‫شدِيدُ ال ِعقَا‬ َّ ‫ان ۚ َواتَّقُوا‬
َّ ‫َللاَ ۖ ِإ َّن‬
َ َ‫َللا‬ ْ
ِ ‫َوالعُد َْو‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syia´ar-syia´ar Allah dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-
kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah Ayat: 2).
b. Q.S. Al-Hasyr :18
َ‫ير ِب َما تَ ْع َملُون‬ َ َّ ‫ت ِلغَ ٍد ۖ َواتَّقُوا‬
َّ ‫َللا ۚ ِإ َّن‬
ٌ ‫َللاَ َخ ِب‬ ُ ‫َللاَ َو ْلت َ ْن‬
ٌ ‫ظ ْر نَ ْف‬
ْ ‫س َما قَدَّ َم‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS: Al-Hasyr Ayat: 18)
E. SEWA MENYEWA DAN PINJAM MEMINJAM
1. Pengertian Sewa Menyewa
Suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau
memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang
yang dipinjamkan. Hukum dari sewa menyewa adalah mubah atau diperbolehkan.
Contoh: Kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian, menyewa atau carter
kendaraan, sewa menyewa VCD dan DVD original, dan lain-lain.

Dalam sewa menyewa harus ada barang yang disewakan, penyewa, pemberi sewa,
imbalan dan kesepakatan antara pemilik barang dan yang menyewa barang. Penyewa dalam
mengembalikan barang atau aset yang disewa harus mengembalikan barang secara utuh seperti
pertama kali dipinjam tanpa berkurang maupun bertambah, kecuali ada kesempatan lain yang
disepakati saat sebelum barang berpindah tangan.
Sewa menyewa dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Sewa menyewa benda atau barang, seperti sewa menyewa rumah, komputer, mobil, peralatan
hajatan, dan sebagainya.

b. Sewa menyewa tenaga atau jasa, seperti menjadi guru, tukang cukur, buruh bahkan sampai
menyewa seorang peempuan untuk menyusui anaknya. Firman Allah SWT:
Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq : 6).

2. Rukun Sewa Menyewa


a. Yang menyewa dan yang mempersewakan, syaratnya:
 Berakal
 Atas kehendak sendiri
 Keadaan keduanya tidak bersifat mubazir
 Baligh

b. Barang yang disewa, disyaratkan keadaan barang yang disewa diketahui beberapa:
 Jenisnya
 Kadarnya
 Sifatnya

c. Ada manfaat, syaratnya:


 Manfaat yang berharga
 Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan
 Diketahui kadarnya

3. Bentuk Sewa Menyewa


a. Menyewa rumah, mobil, perlengkapan hajatan dan barang-barang lain sesuai dengan perjanjian
b. Menyewa pohon untuk diambil buahnya, untuk bentuk ini para ulama berbeda pendapat:
 Manfaat yang disewa itu hendaklah jangan sampai melenyapkan zatnya, namun semata-mata
manfaatnya saja. Mereka berpendapat tidak boleh menyewa pepohonan untuk diambil
buahnya, begitu juga menyewa binatang untuk diambil susu atau bulunya.
 Boleh menyewa pepohonan untuk diambil buahnya, berlaku seperti menyewa seorang
perempuan untuk menyusukan anak sebagaimana disebutkan dalam Al Quran.

c. Memberi upah kepada pengajar Al Quran dan ilmu pengetahuan.


Sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al Quran dan ilmu
pengetahuan sekedar hajat keperluan hidup, walaupun mengajar memang kewajiban mereka.
Karena mengajar itu memakai waktu yang harus mereka gunakan untuk mencari nafkah. Kata
Syeh Muhammad Abduh: “Guru-guru mendapat gaji dari wakaf, hendaklah mereka ambil gaji
itu. Dengan cara demikian mereka akan mendapat ganjaran juga dari Allah sebagai penyiar
agama.

d. Kewajiban penyewa antara lain:


 Membayar uang sewa sesuai dengan perjanjian
 Menjaga barang yang disewa
 Mengembalikan barang setelah masa sewa jatuh tempo, kecuali ada perpanjangan berikutnya.

4. Benda yang Tidak Boleh Disewakan


Di atas sudah dijelaskan bahwa sewa menyewa pada dasarnya hampir sama dengan jual
beli, maka benda yang dilarang dalam jual beli juga dilarang dalam sewa menyewa, akan tetapi
untuk lebih jelasnya akan diberikan berapa contoh sewa menyewa yang dilarang menurut
syariat Islam, antara lain:
a. Sewa menyewa barang untuk kepentingan maksiat atau perbuatan jahat, misalnya
menyewakan mobil untuk merampok.

b. Menyewakan harga diri sendiri, misalnya menyewakan tenaga untuk membunuh orang lain
(pembunuh bayaran), WTS dan sebagainya.

c. Menyewa tempat untuk kemaksiatan misalnya sebagai tempat judi dan lain sebagainya.

5. Hal-hal yang Membuat Sewa Menyewa Batal


 Barang yang disewakan rusak.
 Periode atau masa perjanjian atau kontrak sewa menyewa telah habis.
 Barang yang disewakan cacat setelah berada di tangan penyewa.

6. Manfaat Sewa Menyewa


 Membantu orang lain yang tidak sanggup membeli barang
 Yang menyewakan memdapatkan menfaat dari sang penyewa

F. PINJAM MEMINJAM (ARIYAH)

1. Pengertian Pinjam Meminjam


Pinjam meminjam bahasa arabnya “Ariyah” sedangkan yang dimaksud dari pinjam
meminjam adalah seseorang meminjam sesuatu kepada orang lain karena dirinya tidak
mempunyai dengan maksud untuk diambil manfaatnya dan barang tersebut memberikan
manfaat yang halal dengan suatu perjanjian akan mengembalikan dengan utuh baik zat, bentuk
dan kondisinya sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
Pinjam meminjam dalam bermasyarakat adalah suatu hal yang wajar dan biasa terjadi,
akan tetapi bukan berarti kita seenaknya meminjam tanpa rasa tanggung jawab. Kita tetap harus
dapat tanggung jawab. Kita tetap harus dapat menjaga perasaan dan menjaga kondisi barang
yang dipinjam, sehingga unsur tolong-menolong tetap terjaga dan tidak menimbulkan
perselisihan. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah : 2).

2. Hukum Pinjam Meminjam


Hukum pinjam meminjam dalam syariat Islam dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
a. Mubah, artinya boleh, ini merupakan hukum asal dari pinjam meminjam.

b. Sunnah, artinya pinjam meminjam yang dilakukan merupakan suatu kebutuhan akan hajatnya,
lantaran dirinya tidak punya. Misalnya meminjam sepeda untuk mengantarkan tamu,
meminjam uang untuk bayar sekolah anaknya dan sebagainya.

c. Wajib, artinya pinjam meminjam yang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dan kalau
tidak meminjam akan menemukan suatu kerugian. Misalnya, ada seseorang yang tidak punya
kain lantaran hilang atau kecurian semuanya, maka apabila atidak pinjam kain pada orang lain
akan telanjang, hal ini wajib pinjam dan yang punya kain juga wajib meminjami.

d. Haram, artinya pinjam meminjam yang dipergunakan untuk kemaksiatan atau untuk berbuat
jahat, misalnya seseorang meminjam pisau untuk membunuh, hal ini dilarang oleh agama.
Contoh lain, pinjam tempat (rumah) untuk berbuat maksiat.

3. Rukun Pinjam Meminjam


a. Adanya Mu’iir yaitu, orang yang meminjami
b. Adanya Musta’ii yaitu, orang yang meminjam
c. Adanya Musta’aar yaitu, barang yang akan dipinjam
d.Dengan perjanjian waktu untuk mengembalikan.
Ada pendapat lain bahwa waktu tidak menjadi syarat perjanjian dalam pinjam meminjam,
sebab pada hakekatnya pinjam meminjam adalah tanggung jawab bersama dan saling percaya,
sehingga apabila terjadi suatu kerusakan atau keadaan yang harus mengeluarkan biaya menjadi
tanggung jawab peminjam. Hadits Nabi SAW:
Artinya: “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus
membayar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

e. Adanya lafadz ijab dan qabul, yaitu ucapan rela dan suka atas barang yang dipinjam.

 Orang yang meminjamkan syaratnya:


Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak
kecil tidak sah meminjamkan. Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi
tanggung jawab orang yang meminjamkan.
 Orang yang meminjam syaratnya:
Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu orang gila atau anak kecil tidak sah
meminjam karena keduanya tidak berhak menerima kebaikan. Hanya mengambil manfaat dari
barang yang dipinjam.

 Barang yang dipinjam syaratnya:


- Ada manfaatnya.
- Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan yang
setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
 Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan
harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila
salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta
kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang
tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang
meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum
dikembalikan.

4. Mengambil Manfaat Barang Pinjaman


Manfaat pinjam meminjam di tengah-tengah masyarakat adalah memupuk rasa tolong
menolong, menghilangkan sifat kikir dan memperhatikan kepentingan orang lain, akan tetapi
kita harus terus menjaga kerukunan, persatuan dan perasaan bermusuhan, untuk itu syariat
Islam mengajarkan kepada kita bahwa pinjam meminjam itu diperbolehkan asal pada batas-
batas kewajaran jangan sampai mengorbankan pihak-pihak tertentu.
Apabila di antara kita meminjam sesuatu, kita diperbolehkan mengambil sesuatu manfaat
dari barang yang dipinjami hanya sekedar apa yang diizinkan oleh pemiliknya. Dan barang itu
memerlukan biaya untuk membawa atau mengembangkan maka biaya menjadi tanggung jawab
peminjam. Hadits Nabi SAW:
Artinya: “Tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang
itu.” (HR. Lima Ahli Hadits).
Hilangnya barang yang dipinjam atau rusak dengan sebab pemakaian yang diizinkan
maka yang pinjam tidak harus mengganti, apabila pinjam meminjam itu didasari atas
kepercayaan, suka sama suka dan buka kesengajaan.
Tetapi kalau sebab lain, maka yang pinjam harus mengganti yang hilang atau yang rusak,
misalnya tidak hati-hati, ceroboh dan tidak tanggung jawab. Pendapat lain yang lebih kuat dan
dapat dipakai sebagai pedoman bermasyarakat menyatakan bahwa “kerusakan yang kecil dan
karena izin dan kesepakatan bersama tidak wajib diganti”, tetapi kerusakan berat, hilangnya
barang dan sebagainya, demi menjaga kerukunan dan kebaikan bersama, maka harus diganti.
Antara pemberi pinjaman dan peminjam harus selalu menjaga hak dan kewajiban dalam
pinjam meminjam antara lain:
a. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman
 Harus menyerahkan atau memberikan benda yang dipinjam dengan ikhlas dan suka rela
 Barang yang dipinjam harus barang yang bersifat tetap dan memberikan manfaat yang halal
 Tidak didasarkan atas riba

b. Hak dan Kewajiban Peminjam


 Harus memelihara benda pinjaman dengan rasa tanggung jawab
 Dapat mengembalikan barang pinjaman dengan tepat
 Biaya ditanggung peminjam, jika harus mengeluarkan biaya
 Selama barang itu ada pada peminjam, tanggung jawab berada pada.

G. BARANG TEMUAN (LUGHOTAH) DAN HARTA KARUN (RIKAZ)

1. Pengertian Luqotoh
Luqotoh ialah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan menemukan barang ialah mengambil barang orang lain yang
ditemukan di tempat yang tidak layak baginya, seperti uang di tengah jalan atau bukan dalam
rumah orang lain dengan maksud untuk diberikan kepada pemiliknya atau yang berwajib bila
yang pemiliknya tidak bertemu, serta sanggup mengumumkannya dengan semestinya, atau
untuk dimiliki selama pemiliknya belum ada, serta sanggup untuk menggantinya. Jadi, bukan
mengambil untuk memilikinya secara mutlak.

2. Hukum Pengambilan Barang Temuan


Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat
dan kemampuan penemunya, hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut:
a. Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya
kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuannya itu dengan sebagaimana
mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia
atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

b. Sunnah, yakni sunnah mengambil benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu
percaya pada dirinya bahwa ia akan mampu memelihara benda-benda temuan itu dengan
sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambil pun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan
akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

c. Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan
mampu memelihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak
dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil benda-
benda tersebut.

d. Haram, bagi orang yan menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya
sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak mampu memelihara harta
tersebut dengan sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda
tersebut.

3. Rukun Luqotoh
Rukun-rukun dalam Luqotoh ada dua, yaitu:
a. Orang yang mengambil (yang menemukan)
b. Benda-benda atau barang yang diambil

4. Macam - Macam Barang Temuan


Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:
a. Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama,
umpamanya emas, perak, pisau, gergaji dan yang lainnya.

b. Benda-benda yang tidak tahan lama, umpanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya.
Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian
baru datang pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang
dijual atau dimakan.

c. Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan
perlu disamak.

d. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing
dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut
al-Dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.
Adapun binatang-binatang yang ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi
dua, yaitu:
1) Binatang yang kuat, yakni binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan
binatang buas, umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan cara melawan
ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil hanya untuk dijaga saja,
kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah tanggungan pengambil.

2) Binatang-binatang yang tidak dapat menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas,
baik karena tidak mampu melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak
kambing dan anak sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik untuk
dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk memintanya, maka
wajib dikembalikan hewannya atau harganya.

5. Kewajiban Orang yang Menemukan Barang Temuan


Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian
mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada
khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-
cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat
setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfaatkan oleh penemu.
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita: “Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka’ab, ia
berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya
datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda,
“Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan, ternyata saya tidak mendapati orang yang
mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau
bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun,
namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk
ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya.
Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh
kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan
Ubay di Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga
tahun atau satu tahun.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no:
1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan ‘Aunul Ma’bud V: 118 no:
1685).

6. Dhallah Berupa Kambing Dan Unta


Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah
diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan
kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja
yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena
tidak dikhawatirkannya (tersesat).
Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: “Ada orang Arab badwi datang menemui
Nabi SAW, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya. Maka beliau
menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya
dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan
kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka
hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang
temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk
serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang temuan berupa unta?” Maka raut
wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada
bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 80 no: 2427, Muslim III: 1347 no: 2 dan 1722, Tirmidzi II:
415 no: 1387, Ibnu Majah II: 836 no: 2504, dan ’Aunul Ma’bud V: 123 no: 1688).

7. Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang Yang Sepele


Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan dan
barangsiapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain,
maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: “Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu
beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar
shadaqah, niscaya aku memakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 86 no: 2431, Muslim
II: 752 no: 1071 dan ’Aunal Ma’bud V: 70 no: 1636.

8. Barang Temuan di Kawasan Tanah Haram


Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya
kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa
pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya
mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula)
bagi seorang pun sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang
hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat
lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali
untuk seorang yang akan mengumumkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1751, Irwa-
ul Ghalil no: 1057 dan Fathul Bari IV: 46 no: 1833).

Ada 2 kemungkinan tindakan yang bisa diambil manakala seseorang menemukan barang
yang hilang.
1) Diambil
Seorang muslim boleh mengambil barang yang ditemukannya tercecer di suatu tempat,
dengan dua syarat:
 Tujuannya bukan untuk memiliki namun untuk menjaganya dari kerusakan, kemusnahan atau
kemungkinan jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab.
 Dirinya adalah orang yang punya kemampuan baik secara sifat amanah maupun secara teknis
untuk memelihara dan menjaga barang tersebut.
Setelah diambil maka segera diumumkan kepada publik bahwa telah ditemukan suatu
barang dan kepada pemiliknya untuk segera mengambilnya. Sehingga mengambil barang yang
hilang dalam hal ini merupakan amal baik, yaitu menjaga harta milik seorang muslim dari
kerusakan dan kepunahan.
Apabila dalam waktu satu tahun, pemiliknya tidak segera muncul mengambilnya, maka
dia boleh menggunakan barang itu atau memilikinya, namun harus menyiapkan uang pengganti
sesuai nilai nominal barang itu.
2) Tidak Diambil
Sebaliknya, seandainya semua syarat di atas tidak terpenuhi, maka sebaiknya tidak usah
diambil saja. Biarlah saudara muslim yang lain yang melakukan pengambilan harta dan barang
luqathah.

9. Menggunakan Harta Luqathah


Untuk alasan tertentu selama pemilik asli barang temuan itu belum datang mengambil,
ada celah untuk boleh memanfaatkannya. Namun yang namanya memanfaatkan bukan berarti
memilikinya. Misalnya, bila barang temuan itu termasuk barang yang mudah rusak, seperti
makanan yang mudah basi, maka boleh hukumnya untuk dimakan, namun harus disiapkan
sejumlah uang untuk menggantinya bila pemiliknya meminta.
Sedangkan bila bentuk harta itu adalah uang tunai, boleh saja digunakan untuk membayar
suatu keperluan, namun dengan syarat bahwa uang itu siap diganti kapan saja saat nanti
pemiliknya datang.

10. Penemuan Bayi (Laqith)


Laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang didapati di jalan, atau yang tersesat di
jalan, atau yang tidak diketahui nasabnya.

1) Hukum Menemukan Laqith


Memungut laqith hukumnya adalah fardhu kifayah, berdasar firman Allah SWT:
“Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (Q.S. Al-Maidah: 2)

2) Keislaman Laqith Serta biaya Hidupnya


Apabila Laqith ditemukan di negeri Islam, maka dianggap sebagai orang muslim dan
dihukumi sebagai orang yang merdeka di mana pun ia ditemukan, karena pada asalnya anak
cucu Adam adalah merdeka. Jika ia disertai dengan harta, maka biaya hidupnya diambilkan
darinya. Jika tidak, maka biaya penghidupannya diambil dari Baitul Mal (kas negara).
Dari Sunain Abi Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim berkata: “Saya pernah
mendapatkan anak kecil tersesat lalu saya bawa Umar bin Khatthab. Kemudian Uraifi berkata,
”Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya ia adalah seorang laki-laki yang shalih.” Lantas Umar
bertanya, ”Apakah ia memang begitu?” Jawab Uraifi, ”Ia betul.” Kemudian Umar berkata,
”(Wahai Salim), bawalah ia pergi, dan ia sebagai orang merdeka dan ia harus berwali
kepadamu, sedangkan biaya hidupnya tanggungan kami.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1573,
Muwathta’ Imam Malik hal. 524 no: 1415 dan Baihaqi VI: 201).

3) Pihak yang Berhak Menjadi Ahli Waris Laqith


Apabila Laqith meninggal dunia dan ia meninggalkan harta warisan, namun tidak
meninggalkan ahli waris, maka harta warisannya menjadi hak milik Baitul Mal, demikian pula
diyatnya bila ia dibunuh.

4) Pengakuan Senasab Dengan Laqith


Barangsiapa, baik laki-laki maupun perempuan, mengaku punya hubungan nasab
(keturunan) dengan laqith, maka harus dihubungkan dengannya, selama hubungan nasab itu
memungkinkan. Jika yang mengaku punya hubungan nasab dengannya dua orang atau lebih,
maka seharusnya dihubungkan dengan orang yang membawa bukti bahwa dirinya memiliki
hubungan nasab dengan si laqith. Jika tidak mempunyai bukti yang kuat, maka dipaparkan
kepada orang yang ahli mengenali nasab-nasab dengan adanya kemiripan. Kemudian
dihubungkan dengan orang yang menurut ahli penyelidik nasab bahwa anak kecil tersebut
sebagai anaknya.
Dari Aisyah ra, katanya: Nabi saw pernah masuk (ke rumah) menemuiku dalam keadaan
riang gembira, lalu bersabda, “Tidaklah engkau tahu bahwa Mujazar Al-Madlaji tadi melihat
Zaid dan Usamah, dan keduanya telah menutup kepalanya sementara kaki mereka terbuka.”
Lalu ia berkata, “Sesungguhnya empat kaki ini, sebagiannya berasal dari sebagian yang
lainnya (memiliki kemiripan dengan sebagian yang lain).”

H. RIKAZ
1. Pengertian Rikaz
Harta yang terpendam di dalam Islam diistilahkan dengan rikaz. Ada istilah lain yang
hampir sama dengan rikaz, yaitu ma'adin (tambang atau sumber barang tambang) dan kanz.
Jumhur ulama membedakan antara rikaz dan ma'adin. Para ulama mendefinisikannya
berdasarkan orang yang menyimpan atau memendam harta. Rikaz adalah harta terpendam yang
disimpan orang terdahulu (pada masa Jahiliah), sedangkan ma'adin adalah harta terpendam
yang disimpan oleh orang yang telah memeluk agama Islam. Sedangkan, kanz adalah harta
terpendam yang tidak dibedakan siapa yang menyimpannya.

2. Landasan Disyariatkannya Zakat Harta Karun (Terpendam)


Para Ulama telah sepakat bahwa harta karun atau harta terpendam dan barang tambang
wajib dikeluarkan zakatnya, berdasarkan keumuman firman Allah SWT:

ِ ‫س ْبت ُ ْم َو ِم َّما أ َ ْخ َر ْجنَا لَ ُك ْم ِمنَ ْاْل َ ْر‬


‫ض‬ َ ‫ت َما َك‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن‬
ِ ‫ط ِيِّبَا‬
Artinya:
“Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Al-Baqarah :
267).

Dan berdasarkan sabda Nabi SAW:

ُ ‫از ْال ُخ ُم‬


‫س‬ ِ ‫الر َك‬
ِّ ِ ‫َوفِى‬
Artinya:
“Dan pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.”

3. Jika Seseorang Menemukan Harta Karun, Apa Yang Harus Dilakukan?


Barangsiapa menemukan harta karun atau terpendam, maka ia tidak lepas dari lima
keadaan berikut :
1) Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui pemiliknya. Maka
harta itu menjadi milik orang yang menemukannya. Ia mengeluarkan zakat seperlimanya, dan
empat perlimanya menjadi miliknya. Sebagaimana hadits:
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi SAW berkata
tentang harta terpendam yang ditemukan seseorang di puing-puing Jahiliyah, “Jika ia
menemukannya di kampung yang berpenghuni atau di jalan yang dilalui orang, maka ia harus
mengumumkannya. Jika ia menemukannya di puing-puing Jahiliyah atau di kampung yang
tidak berpenghuni, maka itu menjadi miliknya dan zakatnya adalah seperlima.”

2) Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang berpenghuni, maka ia
harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta. Jika
tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya, berdasarkan hadits Nabi SAW di atas.

3) Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat Ulama:
a. Harta itu untuk pemilik tanah.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan, qiyas dari pendapat
Imam Malik, dan salah satu riwayat dari imam Ahmad.

b. Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah riwayat yang lain dari imam Ahmad,
dan dianggap bagus oleh Abu Yusuf (Murid Abu Hanifah).
Mereka mengatakan, karena harta terpendam tidaklah dimiliki dengan kepemilikan
tanah. Jadi harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.

c. Dengan perincian: jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi miliknya.
Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang pertama. Ini adalah
madzhab imam asy-Syafi’i.
4) Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemilikan, dengan cara
membeli atau selainnya. Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Harta itu milik orang yang menemukannya di tanah miliknya. Ini adalah madzhab Imam Mâlik,
Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, yaitu jika pemilik pertama
tidak mengakuinya.

b. Harta itu milik pemilik tanah yang sebelumnya, jika ia mengakuinya. Jika tidak, maka milik
pemilik tanah yang sebelumnya lagi dan seterusnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka
harta tersebut hukumnya seperti harta hilang, yaitu menjadi luqathah (barang temuan). Ini
adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i.
5) Ia menemukannya di Dar Al-Harb (negeri yang diperangi). Jika digali bersama-sama oleh kaum
Muslimin, maka itu adalah ghanimah (harta rampasan perang), hukumnya seperti ghanimah.
Jika ia mengusahakannya sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini ada dua
pendapat Ulama:
a. Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah madzhab Ahmad, diqiyaskan dengan
harta yang ditemukannya di tanah yang tidak berpenghuni.

b. Jika pemilik tanah mengetahuinya, sedangkan ia kafir harbi yang berusaha


mempertahankannya, maka itu adalah ghanimah. Jika pemiliknya tidak mengetahuinya dan
tidak berusaha mempertahankannya, maka itu adalah harta terpendam. Ini adalah madzhab
Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’iyyah. Berdasarkan perincian yang mereka buat.

4. Apakah Disyaratkan Nishab Dan Haul Pada Harta Terpendam?


Tidak disyaratkan nishab dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta
terpendam dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu, dikeluarkan seperlima
atau dua puluh persen (20 %), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi SAW:

ُ ‫از ْال ُخ ُم‬


‫س‬ ِ ‫الر َك‬
ِّ ِ ‫َوفِى‬
Artinya:
“Pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.”
5. Siapakah Yang Berhak Menerima Zakat Dari Seperlima Harta Terpendam Tersebut?
Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tempat penyaluran seperlima harta
terpendam menjadi dua pendapat:
1) Tempat penyaluran seperlima tersebut sama dengan tempat penyaluran zakat untuk delapan
golongan. Ini adalah pendapat imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Akan tetapi Imam Ahmad
mengatakan, jika ia menyedekahkannya kepada orang miskin, maka itu sudah cukup baginya.

2) Tempat penyalurannya adalah tempat penyaluran harta fai’ (harta rampasan yang diperoleh
dari orang kafir tanpa peperangan, pent). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad yang dishahihkan oleh Ibnu Qudamah.

Diposting oleh Utami Setianingtyas Aldina di 06.29


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

1 komentar:

1.

ALTA Na10 November 2018 23.18

postingan bermanfaat ni, izin copy paste ya kak

Balas

Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Mengenai Saya

Utami Setianingtyas Aldina


Lihat profil lengkapku

Arsip Blog
 ▼ 2015 (1)
o ▼ Maret (1)
 PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

Tema PT Keren Sekali. Gambar tema oleh molotovcoketail. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai