Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

“INTUSUSEPSI”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat menjadi
strangulasi kemudian mengalami komplikasi yang berujung pada sepsis dan kematian.
Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang umum pada anak. Kelainan ini
harus dikenali dengan cepat dan tepat serta memerlukan penanganan segera karena
misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka morbiditas(1-6).
Intususepsi pertama kali digambarkan oleh Paul Barbette di Amsterdam pada tahun
1674. Jonathan Hutchinson melaporkan operasi pertama intususepsi yang berjalan sukses
terhadap anak usia 2 tahun pada tahun 1873(7). Literatur lain menyebutkan Wilson
merupakan yang pertama sukses dalam melakukan terapi pembedahan intususepsi pada tahun
1831(2). Di tahun 1876, Harald Hirschprung menggambarkan pendekatan sistematik dengan
reduksi hidrostatik. Di Amerika Serikat, Ravitch mempopulerkan penggunaan reduksi barium
enema untuk mengatasi intususepsi(7).

Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar negara
berkembang, demikian juga di banyak negara maju(8). Irish (2011) menyebutkan insiden
intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup(2). Berdasarkan usia, intususepsi
paling banyak dialami oleh anak usia kurang dari 1 tahun dengan puncak usia 4-8 bulan(8,9).
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling banyak mengalami intususepsi dengan rasio yang
berbeda di masing-masing wilayah dimana rasio laki-laki dan perempuan untuk wilayah Asia
adalah 9:1. Berdasarkan keterkaitan kejadian intususepsi dengan musim, didapatkan hasil
penelitian yang bervariasi di masing-masing wilayah di dunia(8). Intususepsi dilaporkan
sebagai suatu kejadian musiman dengan puncak pada musim semi, musim panas, dan

1
pertengahan musim dingin(2). Berdasarkan penelitian epidemiologi intususepsi di Singapura
tahun 1997-2004, insidensi intususepsi mengalami penurunan dan tidak terkait dengan
musim(9).
Gejala klasik yang paling umum (85%) dari intususepsi adalah nyeri perut yang
sifatnya muncul secara tiba‐tiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya selama beberapa menit.
Gejala awal lain yang sering dikeluhkan yaitu muntah. Kerusakan usus berupa nekrosis
hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari ke 2-5 dengan puncaknya pada hari ke 3
setelah gejala klinis terjadi. Hal tersebut akan memperberat gejala obstruksi yang ditimbulkan
oleh intususepsi dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas(2,9).
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi memiliki prognosis yang
lebih baik karena diagnosis yang tegak secara dini diikuti dengan prosedur terapi yang kurang
invasif seperti reduksi barium enema. Sebaliknya, di negara berkembang, banyak anak
dengan intususepsi dilaporkan mengalami keterlambatan untuk mendapatkan terapi
definitif(10). Tertundanya diagnosis yang berlanjut menjadi nekrosis usus, diikuti dengan
terapi reduksi operasi, memiliki angka fatalitas yang tinggi, misalnya 18% di Nigeria, 20% di
Indonesia(11) dan hingga 54% di Ethiopia(9).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Intususepsi

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat berakhir
dengan strangulasi(1-4). Umumnya bagian yang proksimal atau disebut intususeptum masuk
ke bagian distal atau disebut intussussipien(6).

2.2 Epidemiologi

Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar negara
berkembang, demikian juga di banyak negara maju(8). Di Asia dalam hal ini Taiwan dan
Cina, dilaporkan insidens dari intususepsi adalah 0,77 per 1000 kelahiran hidup. Di India,
angka kejadiannya dilaporkan berkisar 1,9-54,4 per tahun. Tidak ada data yang menyebutkan
tentang insidensi per kelahiran hidup. Di Malaysia lebih kurang 10,4 bayi dan anak dirawat di
RS Umum Kuala Lumpur karena intususepsi per tahun. Di Indonesia, angka kejadian
intususepsi di RS wilayah pedesaan dan perkotaan didapatkan angka yang berbeda, yaitu
masing-masing 5,8 dan 17,2 per tahun(8). Irish (2011) menyebutkan insiden intususepsi
adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup(2). Intususepsi umumnya ditemukan pada anak-
anak di bawah 1 tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia anak(12). Di
Asia, insiden puncak antara usia 4-8 bulan(8).
Umumnya intususepsi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki. Di Afrika, tepatnya
di Tunisia, rasio laki-laki dibandingkan perempuan adalah 8:1. Di Asia, rasio
perbandingannya adalah 9:1. Di Timur Tengah, perbandingan antara laki-laki dan perempuan
berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1(8).
Berdasarkan keterkaitan kejadian intususepsi dengan musim, didapatkan hasil
penelitian yang bervariasi di masing-masing wilayah di dunia(8). Intususepsi dilaporkan
sebagai suatu kejadian musiman dengan puncak pada musim semi, musim panas, dan
pertengahan musim dingin. Periode ini berhubungan dengan puncak munculnya
gastroenteritis musiman dan infeksi saluran napas atas(2). Di Asia, salah satunya Thailand
insidens intususepsi meningkat antara bulan September dan Januari dan kemudian April.
Peningkatan ini bersamaan dengan musim dingin dan panas yang merupakan puncak dari

3
insidens infeksi saluran napas atas dan gastroenteritis. Di Malaysia tidak ditemukan adanya
perbedaan musim terkait dengan intususepsi(8).
2.3 Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal(13).
1. Idiopatik
Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu
tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infantile
idiophatic intussusceptions”(13). Kepustakaan lain menyebutkan di Asia, etiologi
idiopatik dari intususepsi berkisar antara 42-100%(8).
Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian
terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang
diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip yang
dapat diidentifikasi saat pembedahan(8).
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk
menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi
karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1)
penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas atau serangan
rhinitis, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah
bening di mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai
pada pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah
reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi yang masih tidak jelas.
(1)

2. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya kelainan
usus dapat menjadi penyebab intususepsi seperti : inverted Meckel’s diverticulum,
polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma
dan duplikasi usus(13). Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti
dengan polip seperti peutz-jeghers syndrom, dan duplikasi intestinal. Lead point lain
diantaranya lymphangiectasias dan perdarahan submukosa dengan Henoch-Schönlein
purpura.
Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah
dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan

4
manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia
lokal(13).

2.5 Patogenesis
Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan
pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini
dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai pencetus atau oleh pola
yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan
elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan
motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya invaginasi.
Beberapa penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit oksida pada
usus, suatu neurotransmitter penghambat, menyebabkan relaksasi dari katub
ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal. Penelitian lain telah
mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat
menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan
intususepsi(1).

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke


dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal,
dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens.
Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit
berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon,
akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan
obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi
usus(1,13).

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan


gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta
laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi
klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant jelly
stool(1,2,13).

5
2.6 Faktor-faktor yang dihubungkan dengan terjadinya intususepsi

Penyakit ini sering terjadi pada umur 3-12 bulan, dimana pada saat itu terjadi
perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini
dicurigai sebagai penyebab terjadi intususepsi. Intususepsi kadang-kadang terjadi
setelah/selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan peristaltik usus.
Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata ditemukan kuman rotavirus
menjadi agen penyebabnya, dimana pengamatan 30 kasus intususepsi bayi ditemukan

6
virus ini dalam feses sebanyak 37%. Pada beberapa penelitian terakhir ini didapati
peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita intususepsi(13).

2.7 Jenis Intususepsi


Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang
terlibat, pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.Pada kolon dikenal dengan jenis
colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal, jenis-jenis yang disebutkan di
atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga lapisan.
Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada
keadaan yang lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai contoh adalah jenis
ileo-ileo-colica atau colo-colica.(13) Suwandi J.Wijayanto E. di Semarang selama 3
tahun (1981-1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis intususepsi sebagai
berikut: Ileo-ileal 25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica 50% dan colo-colica
22,5%.

7
2.8 Gambaran klinis

Secara klasik perjalanan suatu intususepsi memperlihatkan gambaran sebagai berikut :


Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi yang
baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, penderita
tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini
berlangsung dalam beberapa menit. Di luar serangan, anak/bayi kelihatan seperti
normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses intususepsi. Serangan nyeri perut
datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit dengan lama serangan 2-3
menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu diikuti dengan muntah berisi
cairan dan makanan yang ada di lambung(2,13).
Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka
di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai datang
serangan kembali. Proses intususepsi pada mulanya belum terjadi gangguan pasase isi
usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa, kemudian feses
bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah segar
bercampur lendir tanpa feses. BAB darah dan lendir (red currant jelly stool) baru
dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadang-kadang sesudah

8
12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus per kasus, ada juga
yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur.

Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan
demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat intususepsi sebagai suatu massa
tumor berbentuk curved sausage di dalam perut di bagian kanan atas, kanan bawah,
atas tengah atau kiri bawah(4). Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat
peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang
disebut dance’s sign. Hal ini akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses
intususepsi(1-4,7,13).
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat
partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin
bertambah, sehingga pada pasien dijumpai tanda-tanda obstruksi, seperti perut
kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan
dehidrasi(13).
Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan
defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan

9
dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya
aliran pembuluh darah arteri. Pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis usus,
gangren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian.
Pada pemeriksaan colok dubur didapati: Tonus sphincter melemah, mungkin
invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio bila jari ditarik, keluar darah
bercampur lendir.
Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi, gejala-gejala intususepsi tidak
khas. Tanda-tanda obstruksi usus baru timbul dalam beberapa hari. Pada penderita ini
tidak jelas tanda adanya sakit berat. Pada defekasi tidak ada darah. Intususepsi dapat
mengalami prolaps melewati anus. Hal ini mungkin disebabkan pada pasien
malnutrisi, memiliki tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat timbul(13).

2.9 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis intususepsi didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi.
Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi adalah suatu trias gejala yang terdiri
dari(1-5,7,13) :
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul. Nyeri
menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan baru.
2. Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan atas,
kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly stool.

Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya
tumor, oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala
trias intususepsi. Mengingat intususepsi sering terjadi pada anak berumur di bawah
satu tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada anak-anak yang mulai
berjalan dan mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien datang berumur di bawah
satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak menjadi rewel sepanjang
hari/malam, ada muntah, buang air besar campur darah dan lendir maka pikirkanlah
kemungkinan intususepsi(13).
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah
diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi

10
ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian
untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi(2).
Kriteria Mayor
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau, diikuti
dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak ada sama
sekali.
2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal
berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada
gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan rectum
atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan Rectal Toucher.
Kriteria Minor
1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
2. Nyeri abdomen
3. Muntah
4. Lethargy
5. Pucat
6. Syok hipovolemi
7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.

Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :

Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)

- Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan


- Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan invaginasi
dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi oleh enema tersebut.
- Kriteria Autopsi – Invagination dari usus

Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)

- Dua kriteria mayor


- Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor

11
Level 3 – Possible

- Empat atau lebih kriteria minor

2.10 Pemeriksaan Penunjang

2.10.1 Pemeriksaan Laboratorium (13,16)


Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis intususepsi,
sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan abnormalitas elektrolit yang
berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis >10.000/mm3).

2.10.2 Pemeriksaan Radiologi


Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila
telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran air fluid level. Dapat
terlihat free air bila terjadi perforasi(13).

12
Literatur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi
diagnostik 45% untuk menegakkan diagnosis intususepsi sehingga penggunaannya
tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG(4). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic Evaluation of Intussusception, tampilan
foto polos abdomen dengan posisi left side down decubitus meningkatkan kemampuan
untuk diagnosis atau menyingkirkan intususepsi(17).

Barium enema
Dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila gejala-
gejala klinik meragukan. Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled
spring appearance(13).

13
Ultrasonografi Abdomen

Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk ‘target’


atau ‘donat’ yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang dipisahkan oleh
cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari
0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm menunjukkan perlunya intervensi
pembedahan. Pada tampilan logitudinal tampak pseudokidney sign yang timbul
sebagai tumpukan lapisan hipoekoik dan hiperekoik(2,3,4,6).
Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan untuk
membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al (2007) melaporkan
bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering terlokalisir pada kuadran kanan
bawah atau region periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang lebih kecil
(1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan
tidak memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi
ileocolic(2).
Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan
diameter anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7 cm
pada intususepsi ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara
respektif(2).

14
CT Scan
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik seperti pada
USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari usus halus dapat terlihat pada CT
maupun USG, dimana sebagian besar kasus ini secara klinis tidak signifikan(2).

15
2.11 Diagnosis Banding(13)
1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya
obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan
pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal,
sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah.

2.12 Penatalaksanaan
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,
penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi
yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang sebagai tindakan
kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi produksi
cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat dilakukan untuk menghindari
kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter untuk memantau ouput dari cairan.
Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat dilakukan(2,16).
Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk diagnosa
maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat kesehatan.
Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan dengan
memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan kemungkinan

16
adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada usus. Semakin lama riwayat
perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi
tersebut(16).
Tindakan Non Operatif
A. Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak
dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik dengan
menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang
dikenal sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik menggunakan kontras
cairan saline (isootonik) karena barium memiliki potensi peritonitis yang berbahaya
pada perforasi intestinal(16).
Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya(2,4,16) :
1. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat
diantara pertengahan bokong.
2. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis
sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.
3. Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas: (1) reduksi
hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh lebih dari 3
kali percobaan; (3) tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.
4. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik konstan
dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
5. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas melalui
katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang 45-95% dengan
kasus tanpa komplikasi.

Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi
menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1)
dengan panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun sangat tergantung
pada kemampuan expertise USG dari pelakunya(4).
Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan
reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan
waktu perawatan di rumah sakit(2,16).

B. Pneumatic Reduction(16)

17
Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam
rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan 110-
120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa metode ini
lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi. Pengukuran
tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi daripada reduksi
hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:
1. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan direkatkan
dengan kuat.
2. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, dan udara
dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg)
dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan berhenti pada bagian intususepsi,
dan dilakukan sebuah foto polos.
3. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati melewati
usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan udara akan
dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.
4. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan decubitus/upright
views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.
5. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon (0.5
mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak
rutin dikerjakan.
Tindakan Operatif
Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami
kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti
nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus segera dilakukan(16).

2.13 Komplikasi

Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain


yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan
nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada
usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel
syndrome”. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun radiografik, striktur
dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat(2).

18
2.14 Prognosis

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak
sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap
tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk
datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala,
dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi(8).
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam
kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada
bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama(8). Angka rekurensi
dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5%
dan 1-4%(2).

BAB III

PENUTUP

Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus dikenali dengan cepat
dan tepat serta penanganan segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis
akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Oleh sebab itu, para calon
dokter umum diharapkan bisa mempersiapkan diri minimal mengetahui teori terkait

19
intususepsi mulai dari definisi sampai pada penatalaksanaan awal sebagai bekal jika
suatu waktu menghadapi kasus ini di lapangan

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [diunduh tanggal 2018 jun 18];
dapat diakses pada : URL: http://emedicine.medscape.com/article/930708-
overview#showall

2. Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [diunduh tanggal


2018 jun 18];dapat diakses pada :
URL: http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall

3. Wyllie R. Ileus, adhesi, insusepsi dan obstruksi lingkar tertutup in Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Behrmen, Kliegmen, Arvin editors. 15th ed. Vol 2. EGC: Jakarta.
2012. p.1319.

4. Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and management.


Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg. 2011.

5. Kartono D. Invaginasi dalam Kumpulan kuliah ilmu bedah. Reksoprodjo S,


Pusponegoro AD, et al. Binarupa Aksara: Tangerang. 20014.

6. Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographer’s perspective. JDMS


19:231-238. Jul-Aug. 20145.

7. Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds). 4th
ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2010.

8. Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence, Clinical


Presentation and Management: A Global Perspective. Geneva, Switzerland: World
Health Organization, 2012.

9. Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The
epidemiology of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann Acad
Med Singapore 2016;35:674-9.e

10. Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of delayed
presentation. Afr J Paediatr Surg 2011;8:15-8.

11. Van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A.
Intussusception in a tropical country: comparison among patient populations in
Jakarta, Jogyakarta, and Amsterdam. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2015;29:402-5.

12. http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/006/6710-0550×0475.jpg

13. Santoso MIJ, Yosodiharjo A, Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis
awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang
dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011.

14. http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/CAP/Case05/Images/Case05.01.jpg
15. http://dynamic.psu.ac.th/kidsurgery.psu.ac.th/Pediatric
%20surgery/KID/Atlas/Images/E/E5/DSC01002.jpg

21
16. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.

17. Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang, Kan JH. Radiographic evaluation of
intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.

18. http://onradiology.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

19. http://www.erpocketbooks.com/er-ultrasounds/other-ultrasounds/

20. Chung DH. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques. Townsend CM
& Evers. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.

22

Anda mungkin juga menyukai