Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

Pneumothorax

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Pulmonologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. ZainoelAbidin Banda Aceh

Disusun oleh:

ARIKA ANGGRAINI
1607101030188

Pembimbing:
dr. Maimunah, Sp.P(K)

BAGIAN/ SMF PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan kasus yang
berjudul “Pneumothorax”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi
RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr.
Maimunah, Sp.P (K) yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil
sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada
khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, Mei 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................3


2.1 Identitas Pasien ......................................................................................3
2.2 Anamnesis .............................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital .......................................................................4
2.4 Pemeriksaan Fisik .................................................................................4
2.5 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................6
2.6 Diagnosa Banding .................................................................................8
2.7 Diagnosa ................................................................................................8
2.8 Tatalaksana ............................................................................................8
2.9 Planning.................................................................................................9
2.10 Prognosis ...............................................................................................9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................11


3.1 Definisi ................................................................................................ 11
3.2 Epidimiologi ........................................................................................ 11
3.3 Etiologi ................................................................................................12
3.4 Klasifikasi ............................................................................................12
3.5 Patogenesis ..........................................................................................14
3.6 Pneumothorax dan TB Paru .................................................................15
3.7 Manifestasi Klinis ................................................................................16
3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding .......................................................16
3.9 Pemeriksaan Fisik ................................................................................17
3.10 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................18
3.11 Tatalaksana ..........................................................................................19
3.12 Pengobatan Tambahan .........................................................................20
3.13 Prognosis .............................................................................................20

BAB IV ANALISA KASUS ..............................................................................21

BAB V KESIMPULAN ....................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah.....................................................6


Tabel 2. Follow up pasien harian............................................................................9

4
BAB I
PENDAHULUAN

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon


dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam
rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi
pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal
rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan.(1)
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru
leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pnumotoraks dapat terjadi spontan
atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder. (2)
Primer jika penyebab tidak diketahui, sedangkan sekunder jika
terdapat latar belakang penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks traumatik
dibagi dua yaitu yang iatrogenik dan bukan iatrogenik.(2)
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak dan
tidak diketahui. Perbandingan pria dan wanita 5:1. Pneumotoraks spontan primer
sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat paru sebelumnya., dan lebih
sering pada pria dengan usia dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan
sekitar 81% kasus pneumotoraks spontan primer berusia kurang dari 45 tahun.
Pada laporan kasus ini akan dibahas terutama tentang pneumotoraks
spontan sekunder yang terjadi pada pasien tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah
Mycobacterium tuberculosis. Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun
dapat juga menyerang Central Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria,
sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya.
Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat
cukup tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi

5
yang bisa ditimbulkan adalah pneumotoraks. Di mana pnumotoraks yang terjadi
adalah pneumotoraks spontan sekunder.
Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami
komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi
meningkat lebih dari 90%.

6
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. NS
Umur : 43 tahun
Alamat : Ujong Kalak, kec. Johan Pahlawan, Aceh
Barat
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
CM : 1-12-97-46
Tanggal Masuk : 18 Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 20 Mei 2017

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk, nyeri dada kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 5
hari SMRS. Sesak timbul tiba-tiba, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca
maupun makanan dan tidak disertai suara mengi. Nyeri dada kanan juga
dikeluhkan pasien, nyeri dada memberat saat pasien batuk. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk berdahak dengan dahak
berwarna putih kekuningan dan mudah dikeluarkan. Riwayat batuk darah 2 bulan
yang lalu. Demam juga dikeluhkan oleh pasien sejak 2 bulan yang lalu, demam
hilang timbul dan dirasakan memberat saat malam hari. Selain demam, pasien
mengeluhkan keringat saat malam hari. Terdapat riwayat penurunan berat badan
dan penurunan nafsu makan. BAK dan BAB pasien normal tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu

7
Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama sebelumnya, alergi &
asma tidak ada. Riwayat Diabetes Melitus sejak 3 bulan dan Hipertensi.

Riwayat Penggunaan Obat


- Insulin
- Pengobatan TB Paru (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus dan alergi obat disangkal.

2.3 Pemeriksaan Tanda Vital


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 110 kali/menit
Frekuensi nafas : 24 kali/menit, regular
Suhu : 36,7° C

2.4 Pemeriksaan Fisik


 Kulit : sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), edema (-),
 Kepala : rambut hitam, distribusi merata, sukar dicabut
 Wajah : simetris, edema (-), deformitas (-)
 Mata : anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
 Telinga : kesan normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
 Hidung : sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
 Mulut : Sianosis (-), tremor (-), hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1 –
T1.
 Leher : retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB axila (-) retroauricula
(-) suprasternal (-), kaku kuduk (-).
 Thorak anterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru

8
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Simetris saat statis dinamis, pernapasan abdomino thoracal, retraksi
interkostal (-/-), jejas (-)

Palpasi
Atas Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

Tengah
Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

Bawah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

Perkusi
Atas Hipersonor Sonor
Tengah Hipersonor Sonor

Bawah Hipersonor Sonor

Auskultasi
vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
Atas vesikuler (+), rhonki (-), wheezing (-)
(-)

vesikuler (+), rhonki (-), wheezing


Tengah vesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-)
(-)

vesikuler (+), rhonki (-), wheezing


Bawah vesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-)
(-)

 Thoraks posterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Simetris, pernapasan thoraco abdominal, retraksi interkostal (-/-),
jejas (-)

Palpasi
Atas Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal
Tengah
Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal
Bawah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

 Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+) bising (-)
 Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, organomegali (-), nyeri tekan (-) epigastric
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)

9
Auskultasi : Peristaltik (+) normal

 Ekstremitas :
 Ekstremitas superior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-
/-), CRT <2”
 Ekstremitas inferior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), CRT <2”

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium Darah
Pemriksaan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah


JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 10,8 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 32 37-47 %
Eritrosit 4,4 4,2-5,4 106/mm3
Leukosit 6,7 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 523 150-450 103/mm3
MCV 74 80-100 fL
MCH 25 27-31 pg
MCHC 33 32-36 %
RDW 14,4 11,5-14,5 %
MPV 9,3 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis:
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil Segmen 90 50-70 %
Limfosit 6 20-40 %
Monosit 4 2-8 %
KIMIA KLINIK
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 390 < 200 Mg/dL
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum 104 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,6 0,51-0,95 mg/dL
ELEKTROLIT - Serum
Natrium (Na) 137 132-146 mmol/L
Kalium (K) 4,1 3,7-5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 102 98-106 mmol/L

10
b) Foto Thorax
18 Mei 2017

Foto thorax 18 Mei 2017

Kekerasan foto cukup


Tulang tidak fraktur, tidak
deformitas
Soft tissue normal, tidak
emfisematous
Tampak area hiperlusen
pada hemithorax kanan,
paru kanan kolaps.
Sudut costopherinicus kiri
dan kanan tajam

Kesan:
Pneumothorax dextra

20 Mei 2017

11
Foto thorax 20 Mei 2017

Kekerasan foto cukup


Tulang tidak fraktur, tidak
deformitas
Soft tissue normal, tidak
emfisematous
Tampak infiltrat serta kolaps di
paru kanan
Sudut costopherinicus kiri dan
kanan tajam
Tampak area luscent tanpa
jaringan paru di hemithorax
dextra
Tampak WSD di hemithorax
dextra

Kesan:
Pneumothorax dextra serta kolaps
paru dextra

24 Mei 2017

Foto thorax 24 Mei 2017


Cor: besar dan bentuk normal,
kesan terdorong ke kiri
Pulmo: tidak tampak infiltrat,
tampak collaps paru kanan
Sudut costopherinicus kiri dan
kanan tajam
Tampak area luscent tanpa jaringan
paru di hemithorax kanan
Tampak terpasang WSD di
hemithorax kanan

Kesan:
Pneumothorax dextra
Emfisema subkutis di regio
hemithorax kanan

12
29 Mei 2017

Foto thorax 29 Mei 2017


Cor: besar dan bentuk normal
Pulmo: tampak infiltrat di paru
kiri
Tampak area luscent tanpa
jaringan paru di hemithorax
kanan
Sudut costopherinicus kiri dan
kanan tajam
Tampak emfisema subcutis di
hemithorax kanan
Terpasang WSD di hemithorax
kanan

Kesan:
Pneumothorax dextra
Emfisema subkutis di regio
hemithorax kanan

c) USG Thorax
20 Mei 2017
Foto thorax 20 Mei 2017

Kesimpulan: Pnuemothorax
dextra

13
d) Sputum BTA 3X SPS
Pada tanggal 22 Mei 2017
Hasil pemeriksaan BTA:
- Sewaktu: +3
- Pagi : +3
- Sewaktu: +3

e) Genexpert
Pada tanggal 22 Mei 2017
Hasil pemeriksaan menunjukkan terdapat bakteri M. Tuberculosis yang
tinggi.
2.6 Diagnosa Banding
1) Pneumothorax spontan sekunder ec dd:
-TB Paru

-Pneumonia

2.7 Diagnosa
Pneumothorax spontan sekunder ec. TB Paru

2.8 Tatalaksana
 O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
 IVFD Ringer Laktat 10 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
 Codein 3x1
 Paracetamol 3x500mg
 Vectrin 3x1
 Curcuma 3x1
2.9 Planning
 USG thorax
 Pemasangan WSD

14
 Sputum BTA 3 x SPS
 Genexpert
 Periksa darah, KGD puasa, KGD sewaktu, HbA1c, fungsi hati,
kolesterol
 Konsul IPD

2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan pneumothorax spontan sekunder ialah dubia ad
bonam.

Follow Up Harian
Tabel 2. Follow up pasien harian
Tanggal/hari
Catatan Instruksi
rawatan
Jumat S/ Batuk(+), sesak napas(+), nyeri dada Th/
19/05/2017 kanan O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H1 O/ VS: TD : 110/80 mmHg IVFD RL 10 gtt/menit
HR : 96 x/menit Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
RR : 24 x/menit Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
T : 36,0 C Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
Paru Codein 3x1
I: Simetris statis/dinamis (+/+) Paracetamol 3x500mg
P: Sf kanan = Sf kiri Curcuma 3x1
P: sonor/sonor
A: Ves (-/+), Rh (-/+), Planning:
Wh (-/-) - USG thorax
- Pemasangan WSD
Ass/ - Sputum BTA 3x SPS
Pneumothorax spontan sekunder e.c dd - Gene Expert
TB paru - Periksa darah: KGDP,
Pneumonia KGDS, HbA1c, fungsi hati,
Pneumonia kolesterol
DM tipe II - Konsul IPD
Sabtu S/ Batuk sesekali, sesak (-), demam, Th/
20/05/2017 lemas  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H2 O/ VS: TD : 90/70 mmHg  IVFD RL 10 gtt/menit
HR : 87 x/menit  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
RR : 20 x/menit  Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
T : 36,5 C  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
Paru  Codein 3x1
I: Simetris statis/dinamis (+/+)  Paracetamol 3x500mg
P: Sf ka = Sf ki  Curcuma 3x1
P: sonor/sonor
A: Ves (-/+), Rh (-/+), Planning:
Wh (-/-) - Sputum BTA 3x SPS
- Gene Expert
Ass/ - Susul hasil pemeriksaan
- Pneumothorax spontan sekunder darah
e.c dd - Foto thorax ulang

15
1. TB paru
2. Pneumonia
- Pneumonia
- DM tipe II
Minggu S/ batuk sesekali, sesak (-), demam, Th/
21/05/2017 lemas  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
H3 O/ VS:  IVFD RL 10 gtt/menit
TD : 90/60 mmHg  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
HR : 82 x/menit  Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
RR : 19 x/menit  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
T : 36,2 C  Codein 3x1
Paru  Paracetamol 3x500mg
I: Simetris statis/dinamis (+/+)  Curcuma 3x1
P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor Planning:
A: Ves (-/+), Rh (-/-), - Sputum BTA 3x SPS
Wh (-/-) - Gene Expert
Terpasang WSD di hemithorax kanan - Susul hasil pemeriksaan
dengan buble (+), undulasi (+) darah
Ass/ - Foto thorax ulang
- Pneumothorax spontan sekunder
e.c dd
1. TB paru
2. Pneumonia
- Pneumonia
- DM tipe II
Senin S/ nyeri di tempat pemasangan WSD Th/
22/05/2017 O/ VS:  Diet DM 1600kkal
H4 TD : 90/70 mmHg  O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
HR : 82 x/menit  IVFD RL 20 gtt/i
RR : 22 x/menit  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
T : 36,7 C  Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Paru  Vectrin 3x1
I: Simetris statis/dinamis(+/+)  Codein 3x1
P: Sf ka = Sf ki  Paracetamol 3x500mg
P: sonor/sonor  Curcuma 3x1
A: Ves (melemah/+), Rh (-/-)
(-/+) Planning:
(-/-), - Respirometer
Wh (-/-) - Evaluasi WSD/ 24 jam
Terpasang WSD di hemithorax kanan - Sputum BTA 3x SPS
buble (+) - Gene expert
Ass/ - Kultur Mo gram K/R
- Pneumothorax spontan sekunder - Susul hasil foto thorax
e.c dd ulang
1. TB paru
2. Pneumonia
- Pneumonia
- DM tipe II

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

16
Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam
cavum pleura, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga
paru-paru tidak mengembang dengan maksimal(1).
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(1).

3.2 Epidemiologi

Didapatkan dari literatur lain Pneumothorax lebih sering terjadi pada


penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada
wanita. Pneumothorax sering dijumpai pada musim penyakit batuk. (2)
Di RSUD Dr. Soetomo, kurang lebih 55% kasus pneumothorax disebabkan
oleh penyakit dasar seperti tuberculosis paru aktif, tuberculosis paru disertai
fibrosis atau emfisema lokal, bronkitis kronis, dan emfisema. Selain karena
penyakit tersebut, pneumothorax pada wanita sering terjadi berulang. Kematian
akibat pneumothorax sekitar 12%.(2)

3.3 Etiologi

Etiologi trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas


yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebakan oleh
tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera

17
pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang
menimbulkan kebocoran udara ke rongga thorax. Pneumothorax dapat terjadi
berulang kali. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh(2), (3):
a. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut
sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.

b. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan


antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut disbanding traktus respiratorius yang seharusnya.
Sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan
menyebabkan kolaps pada paru ipsi lateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga
dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut, kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax.

3.4 Klasifikasi
1. Pneumotoraks spontan(3)
a. Pneumotoraks spontan primer
Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang
biasanya terdapat di daerah apeks paru. Faktor resiko utama adalah
merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter juga memegang peranan,
umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.
Pneumotoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu
kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis
membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan yang parunya
direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk
bulla yang dibatasi pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh

18
jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi oleh jaringan paru
emphiematous.
Proses terbentuknya bulla belum diketahui, banyak pendapat
menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan
dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli di daerah apeks
patu akibat tekanan pleura yang lebih negatif.
Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valvepada
saluran nafas kecil sehingga timbul distensi tuang udara bagian distalnya.

b. Pneumothoraks spontan sekunder


Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying
lung disease). Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab
pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru.
Pneumotoraks Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla
viseralis dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului.
Patogenesis pneumotoraks Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya
terjadi akibat komplikasi PPOK, tuberkulosis, asma, penyakit paru
infiltratif lain (pneumonia supuratif, pneumocystis Carinii).
Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada
pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan
sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya mendahuluinya.
2. Pneumothoraks Traumatika(3)
Terjadi sebagai akibat trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam
di dinding dada.
3. Pneumothoraks Iatrogenik(3)
Terjadi sebagai akibat tindakan medis yang dilakukan, misalnya akibat
punksi pleura, biopsy pleura, trans thoracal biopsy, dll

3.5 Pathogenesis
Secara garis besar kesemua jenis pneumothorax mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama(1).
Pneumothorax spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan

19
pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini
pecah, maka aka nada fistel yang menyebabkan udara masuk ke cavum pleura.
Mekanismenya pada saat inpirasi rongga dada mengembang, disertai
pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut
mengembang seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan
tekanan intraaveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada
pneumothorax spontan, paru-paru kolaps, udara inspirasi bocor masuk ke cavum
pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat ekspirasi mediastinal
ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula.
Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter(3), (4).
Pneumothorax ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru
sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan
sempurna(3).
Terjadinya hipereksansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau
shock dikenal dengan simple pneumothorax. Berkumpulnya udara pada cavum
pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan
closed pneumothorax. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik
secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna.
Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut, hipereksansi cavum pleura pada
saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara
terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup
terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi
jalan napas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh karena
penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumothorax(1), (4).
Pada open pneumothorax terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkungan luar. Open pneumothorax dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumothorax inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk kedalam kavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleural tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergerser kemediastinal yang sehat. Terjadilah

20
mediastinal flutter. Bilamana open pneumothorax komplit maka saat inspirasi
dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal kearah yang sehat
dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang
bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava, shunting
udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan nafas. Akibatnya dapat timbulah
gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava, yang dapat
menyebabkan tension pneumothorax(1), (3).

3.6 Pneumothorax dan TB Paru


Pneumothorax yang terjadi pada penderita TB adalah suatu komplikasi.
Keadaan ini terdapat pada proses pneumothorax sekunder dimana terjadi ruptur
pada lesi paru yang terletak dekat permukaan pleura sehingga udara inspirasi
memperoleh akses ke rongga pleura. Lesi pleura ini juga dapat terjadi pada
penyakit emfisema, abses paru, karsinoma dan banyak proses lainnya. Berbeda
dengan pneumothorax spontan primer, pada pneumothorax spontan sekunder
keadaan penderita tampak serius dan kadang-kadang mengancam kehidupan
karena adanya penyakit paru yang mendasarinya. Pneumothorax spontan sekunder
terjadi oleh karena pecahnya bleb yang berada di subpleura viseralis dan sering
ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb akibat
perembesan udara melalui alveoli yang dindingnya ruptur kemudian melalui
jaringan interstisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di subpleura viseralis.
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, diduga ada
dua faktor yaitu penyakir paru dan peningkatan tekana intraalveolar akibat batuk.
Alveoli disanggah oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan
mudah robek, apabila alveoli tersebut melebar dan tekanan di dalam alveolli
meningkat maka udara masuk dengan mudah menuju ke jaringan
peribronkovaskular. Gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronkial
merupakan beberapa faktor peripitasi yang memudahkan terjadinya robekan,
selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat mengoyak jaringan fibrotik
peribronkovaskular. Robekan pleura kearah yang berlawanan dengan hilus akan
menimbulkan pneumothorax sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat
menimbulkan pneumomediastinum.

21
3.7 Manifestasi Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul pada
pasien pneumothorax adalah (3), (4), (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut, (3):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang
lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding


- Miokardium infark akut(5) :
Napas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada MI
biasanya spesifik seperti di hancurkan, sentral dan menyebar ke daerah
rahang, tangan kiri atau perut. Namun pasien dengan MI bisa juga
superinfeksi dengan penyakit paru.

22
- Emphysema(5) :
Kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga
berudara yang juga menyebabkan nafas yang pendek-pendek berkurangnya
asupan udara dan meningkatnya resonansi pada pemeriksaan. Emphysema
merupakan penyakit kronik, bedanya emphysema difus sedangkan
pneumothorax local, anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto rontgen harus
dilakukan dan dinilai teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat

3.9 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan (6), (7):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar.
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi.
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang,
suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

3.10 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain (6):

23
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan
dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi

24
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.

3.11 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Primary survey dengan memperhatikan(6), (8) :
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan
intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar
dengan cara(6), (8) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura akan
berubah menjadi negative karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Mempuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1. Dapat memakai infuse set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai
kedalam rongga pleura, kemudian infuse set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
2. Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
thorax sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastic

25
infuse set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi
air .
3. Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjempit. Setelah troakar masuk, maka thorax kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter thorax yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter thorax yang ada di dada dan di pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastic lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleural tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi
tekanan negative sebesar 10-20 cm H2O.

3.12 Pengobatan Tambahan


1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfisema (3).

3.13 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa pasien perempuan dengan inisial Ny. NS usia 43 tahun


datang ke IGD Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin dengan keluhan sesak

26
napas. Sesak dirasakan sejak 5 hari SMRS dan memberat sejak tiba di IGD. Sesak
timbul tiba-tiba, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca maupun makanan dan
tidak disertai suara mengi. Nyeri dada kanan juga dikeluhkan pasien, nyeri dada
memberat saat pasien batuk. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang
lalu. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kekuningan dan mudah
dikeluarkan. Riwayat batuk darah 2 bulan yang lalu. Demam juga dikeluhkan oleh
pasien sejak 2 bulan yang lalu, demam hilang timbul dan dirasakan memberat saat
malam hari. Selain demam, pasien mengeluhkan keringat saat malam hari.
Terdapat riwayat penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan. BAK dan
BAB pasien normal tidak ada keluhan.
Dari hasil anamnesa pasien dicurigai menderita pneumothorax spontan
sekunder et causa tuberculosis paru. Diagnosis pneumothorax dibuat berdasarkan
adanya sesak napas, nyeri dada, dan batuk yang dimiliki pasien. Dugaan
menderita pneumothorax spontan sekunder et causa TB paru dibuat berdasarkan
keluhan pasien batuk sejak 8 bulan ini, batuk berdarah, keringat malam, demam,
penurunan berat badan yang signifikan serta penurunan nafsu makan. Lebih
kurang 55% kasus pneumothorax disebabkan oleh penyakit dasar seperti
tuberculosis paru aktif(2). Gejala yang ditemukan pada pasien ini sesuai dengan
gejala pada penderita TB paru yaitu demam subfebris yang hilang timbul, adanya
batuk berdarah yang terjadi karena iritasi bronkus. Batuk diperlukan untuk
membuang produk-produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, maka munculnya batuk maupun sifat batuk bisa
bermacam-macam, gejala lain seperti penurunan nafsu makan, berkeringat malam,
berat badan dan mudah menjadi lelah juga ditemukan(7). Pada pemeriksaan fisik
fremitus taktil melemah, hipersonor, dan suara napas menjauh pada sisi dada yang
sakit serta ditemukan adanya suara napas rhonki pada lapangan tengah dan kanan
paru sinistra. Pada saat diperkusi terdengar suara hipersonor yang disebabkan oleh
udara yang berada pada rongga pleura. Udara yang terperangkap dalam rongga
pleura dapat menyebabkan paru kolaps sehingga ketika diperiksa suara napas
terdengar menjauh dan fremitus taktil melemah(4).
Pasien adalah seorang perempuan berusia 43 tahun. Kebanyakan
pneumothorax lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40

27
tahun(2). Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini meliputi
USG thorax, foto thorax, dan laboratorium. USG thorax dilakukan sebagai
guiding tindakan pemasangan WSD untuk mengetahui seberapa banyak udara
yang akan dikeluarkan. Hasil foto thorax didapatkan adanya area hiperlusen pada
hemithorax kanan dan paru kanan kolaps. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil penurunan hemoglobin (10,8), hematokrit (32), peningkatan
trombosit (523), penurunan neutrofil batang (0), limfosit (6), dan peningkatan
neutrofil segmen (90).
Tujuan utama penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Tindakan dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumothorax yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura
dengan udara luar(6), (8)
. Penatalaksanaan pada kasus ini sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan pneumothorax, pasien dilakukan tindakan dekompresi
menggunakan pipa water seal drainage (WSD).
Terapi oksigen merupakan hal pertama dan utama yang bertujuan untuk
memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang dapat mengancam jiwa.
Diberikan untuk mempertahankan PaO2> 60 mmHg atau Sat O2> 90%. Pada
pasien ini diberikan O2 2 liter/menit. Pemberian antibiotik profilaksis setelah
setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi
(3)
komplikasi, seperti emfisema dan infeksi . Pada pasien ini diberikan injeksi
ceftriaxon 1 gr/12 jam.
Selain itu, pasien juga diberikan injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam yang
merupakan golongan antihistamin (H2-antagonist) Ranitidine diberikan pada
pasien untuk menekan stress metabolic yang terjadi pada pasien. Stress metabolic
sering terjaid pada pasien akibat kegagalan organ dan menurunkan prostaglandin
hingga pada akhirnya akan meningkatkan produksi asam lambung. Pasien dengan
posisi tirah baring rentan akan terjadinya refluks asam lambung ke esophagus
akibat gravitasi. Curcuma 3x1 diberikan untuk memperbaiki nafsu makan dan
sebagai hepatoprotektor. Vectrin 3x1 merupakan agen mukolitik yang diberikan
untuk mengencerkan dahak pada pasien. Codein 3x1 merupakan antitusif yang

28
berguna untuk menekan respon batuk.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang, maka pasien Ny. NS usia 43 tahun didiagnosa dengan pneumothorax
spantan sekunder ec. TB paru.
Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam
cavum pleura, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga
paru-paru tidak mengembang dengan maksimal.
Prinsip penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan udara
dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Tatalaksana berupa tindakan dekompresi, antibiotik, dan pengobatan penyakit
yang mendasarinya.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.


Jakarta : EGC; 2012. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated:
2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179

30
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed
Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka
Cendekia Press; 2007. p. 56
7. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
8. Prabowo, A.Y.(2010, Desember 20). Water Seal Drainage Pada
Pneumothorax Post Trauma Dinding Thorax. Bagian Ilmu Penykit Dalam.
RSUD Panembahan Senopati Bantul; 2010. Diakses 22 Maret 2011.
http://www.fkumycase.net/.

31

Anda mungkin juga menyukai