Lapkas Anemia+pjk+chf Aki
Lapkas Anemia+pjk+chf Aki
PENDAHULUAN
Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia.1 ACD merupakan anemia yang sering terjadi
pada pasien dengan infeksi kronis, penyakit autoimun, kanker, dan penyakit ginjal kronis
(chronic kidney disease, CKD). Sampai saat ini mekanisme molekular dan patogenesis kelainan
distribusi besi pada ACD tidak sepenuhnya diketahui.
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah
satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi penyebab kematian pertama
di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh
dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari
seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker.2
CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam
system kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut data dari WHO
dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika menderita CHF. Penderita gagal jantung
atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut data dari Departemen Kesehatan mencapai
14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Pada umumnya CHF
diderita lansia yang berusia lebih dari 50 tahun, CHF merupakan alasan yang paling
umum bagi lansia untuk dirawat di rumah sakit ( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase
sekitar 75 % pasien yang dirawat dengan CHF ). Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF
adalah sekitar 5-10 % per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi
30-40% pada gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang didiagnosis
menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun. Ulasan dibawah ini akan membahas anemia
penyakit kronis, PJK dan CHF mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis,
penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.2
1
BAB II
TINAJUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering dijumpai pada pasien
dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.2 Anemia ini umumnya ringan atau
sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-
11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah,
cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. 5 Selain itu, indeks
dan morfologi eritrosit yang normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang <75
fL).2 Tabel dibawah ini menunjukkan diagnosis diferensial dari ACD.1
Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis
Anemia Penyakit Anemia Defisiensi Thalasemia Anemia
Kronik Besi Sideroblastik
Derajat Ringan Ringan sampai berat Ringan Ringan sampai berat
anemia
MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/
TIBC Menurun <300 Meningkat >360 Normal/ Normal/
Saturasi Menurun/N 10-20% Menurun <15% Meningkat >20% Meningkat >20%
transferin
Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan ring
tulang sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritin serum Normal 20-200 µg/l Menurun <20 µg/l Meningkat >50 µg/l Meningkat >50 µg/l
Elektrofoesis N N HbA2 meningkat N
Hb
2
parah kemampuan jantung memompa darah akan hilang, sehingga sistem kontrol irama jantung
akan terganggu dan selanjutnya bisa menyebabkan kematian.3
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrien.2
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal
jantung sisi kiri dan sisi kanan.3
2.2 Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi
besi. Tidak ada data epidemiologi yang secara rinci menjelaskan setiap jenis anemia, termasuk
anemia penyakit kronis. Dari hasil penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang, didapatkan
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis reguler adalah
86%. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan etiologi yang paling sering ditemukan adalah
anemia penyakit kronik.1
2.3 Etiologi
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis
dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis
berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala, seperti
demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan
waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara
produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.3
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih
sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis rheumatoid merupakan
penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga
dapat disertai anemia pada penyakit kronik.3
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium
dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut anemia
3
pada kanker (cancer releted anemia). Penyebab anemia karena penyakit kronik dapat dilihat
pada tabel dibawah ini1,3,5 :
Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada prinsipnya disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu:
1) Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koroneria yang
paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa
dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila
lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan
aliran darah miokardium.
2) Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lamakelamaan berakibat
robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan darah merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk mencegahan perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka.
Berkumpulnya gumpalan darah dibagian robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-
keping darah menjadi trombus. Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah
jantung, dapat menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh
darah otak menyebabkan stroke.5
2.4 Patofisiologi
4
Etiologi dari ACD adalah multifaktorial dan ditandai oleh aktivitas sel imun dan respon
sitokin inflamasi yang mengurangi produksi eritrosit, mengganggu eritropoiesis, mengurangi
masa hidup eritrosit, dan disregulasi homeostasis besi.8 Berbeda dengan anemia defisiensi besi,
tanpa inflamasi. ACD biasanya merupakan anemia normokromik normositik, mikrositik biasanya
tidak terlihat, kecuali bersamaan dengan kekurangan zat besi. Pathogenesis ACD dapat dilihat
dari uraian dibawah ini1,2,6 :
5
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan hormon regulasi besi.
Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun, atau kanker yang merangsang sintesis banyak
sitokin seperti interferon-γ, interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) menginduksi
produksi kelebihan hepcidin. Produksi hepcidin jangka panjang, karena kemampuannya
yang dapat menghambat fungsi ferroportin pada enterosit duodenum dan makrofag,
menyebabkan penyerapan zat besi yang buruk dari usus dan retensi besi meningkat yang
merupakan ciri dari ACD.
Sebuah mekanisme molekuler ditandai dengan inflamasi, sbagai mediator utamanya
disini adalah IL-6/ Jalur Kinase 2 (JAK2)- signal tranducer dan jalur aktivator transkripsi 3
(STAT3). Ligan mengikat reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2, terjadi fosforilasi transkripsi
faktor STAT3. Translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam inti dan pengikatan STAT3 ke
promotor hepsidin menghasilkan peningkatan regulasi ekspresi gen hepcidin.
c. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar
20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien
6
ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin
menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter
limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahan atau kerusakan
minor dari eritrosit.
d. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi
cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam
sintesis Hb.
7
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan
satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik
berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal
adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon
terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan
hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi
tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf
adrenergik.5
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function)
dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan
beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot
jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara
klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal
gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf
simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang
efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan
retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan
preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan
ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi
jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi)
dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak
efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada
penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas.5
8
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada
gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan
disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu
etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik
miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.
Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan
peningkatan presentase kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel
dan fibrilasi ventrikel menurun.5
WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi
mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik
(emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas. 11 Mekanisme yang
mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep curah jantung
paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi
frekuensi jantung X volume sekuncup.7
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan
mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada
gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume
sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.7
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada
tiga faktor yaitu:7
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut
jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat
sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa
darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan arteriole.15
9
A. Manifestasi Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan
kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya.8
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan
yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium.6,8
Gejala umum pada penuakit jantung koroner berupa rasa nyeri atau sakit pada dada.
Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang menyempit atau tersumbat. Rasa sakit
tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian tengah adalah keluhan klasik penderita
penyempitan pembuluh darah koroner. Kondisi yang perlu diwaspadai adalah jika rasa sakit di
dada muncul mendadak dengan keluarnya keringat dinggin yang berlangsung lebih dari 20 menit
serta tidak berkurang dengan istirahat. Serangan jantung terjadi apabila pembuluh darah koroner
tiba-tiba menyempit parah atau tersumbat total. Sebagian penderita PJK mengeluh rasa tidak
nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan mengeluh rasa lemas bahkan pingsan.2
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya
gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua
ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :5
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai deliriu
10
retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit
dasarnya.6
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosa
penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah timbul onset suatu
infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada anemia defisiensi besi.
Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu
persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.8
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada penurunan Fe
serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe
(90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.8
Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil lipid seperti LDL,
HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk menentukan faktor resiko dan perencanaan terapi.
Selain pemeriksaan diatas dilakukan pula memeriksaan darah lengkap dan serum kreatinin.
Pengukuran penanda enzim jantung seperti troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah
pada sindrom koroner akut.2,5
X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal jantung, penyakit katup
jantung atau gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan
prognosis.5
Pemeriksaan jantung non-invasif
a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk mendiagnosis PJK.
b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik imaging (computed tomografi
(CT) dan magnetic resonance arteriography. Sinar elektron CT telah tervalidasi sebagai alat yang
mampu mendeteksi kadar kalsium koroner.5
11
2.6 Penatalaksanaan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain8 :
a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika. Tidak ada batasan
yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur
disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak miokard, transfusi
dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga dengan pasien
anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dl.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi adapat mencegah
pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat
ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada pasien anemia
penyakit kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma
multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta
efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai efek anti
inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma. Dilain pihak
pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sun, et al., terapi alternatif untuk untuk ACD
yang menargetkan pada hepcidin-ferroportin8. Terapi yang menurunkan produksi hepcidin dan
meningkatkan aktifitas ferroportin akan meningkatkan bioavailabilitas besi dari diet dan akan
memobilisasi penyimpanan besi dalam tubuh untuk eritropoiesis, tanpa risiko merugikan dari
terapi besi atau ESA (erythropoiesis-stimulating agents). Sebuah strategi yang
menghambat fungsi hepcidin (direct hepcidin antagonist), mencegah transkripsi hepcidin
12
(hepcidin production inhibitors), atau mempromosikan resistensi ferroportin pada aksi hepcidin
(ferroportin agonis/stabilizers) saat ini sedang diteliti.8
Pada penyakit jantung koroner, terapi didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme,
manifestasi klinis, perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi selular, anatomis dan fisiologis
dari kasus PJK. Pada prinsipnya terapi ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat,
intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut atau kematian
mendadak.2
13
Keterangan:
Pasien resiko tinggi yang menjadi kandidat revaskularisasi berdasarkan prognosis sebaiknya diidentifikasi
dan dirujuk.
* kontraindikasi relatif beta bloker antara lain: asma, ganguan pembuluh darah perifer simptomatik, dan AV
blok derajat 1
** hindari dihydropyridin kerja pendek bila tidak kombinasi dengan beta bloker
Tingkat pembuktian prognosis merujuk kepada bukti penurunan mortalitas kardiovaskular atau mortalitas
akibat infark miokard
Tingkat pembuktian gejala termasuk penurunan revaskularisasi dan hospitalisasi untuk nyeri dada
14
pasien untuk digunakan bila terdapat nyeri dada. Dosis nitrat diberikan 5 mg sublingual dapat
diulang tiga kali sehari.9
d. Obat antiplatelet
Terapi antiplatelet diberikan untuk mencegah trombosis koroner oleh karena keuntungannya
lebih besar dibanding resikonya. Aspirin dosis rendah (75-150mg) merupakan obat pilihan
kebanyakan kasus. Clopidogrel mungkin dapat dipertimbangkan sebagai alternative pada pasien
yang alergi aspirin, atau sebagai tambambahan pasca pemasangan sent, atau setelah sindrom
koroner akut. Pada pasien riwayat perdarahan gastrointestinal aspirin dikombinasi dengan
15
inhibisi pompa proton lebih baik dibanding dengan clopidogrel. Untuk Clopidogrel dengan dosis
75 mg satu kali sehari. Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan tromboksan A2
dengan cara menghambat siklooksigenase dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang
ireversibel. Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur tersebut. Sebagian dari
keuntungan dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya dapat mengurangi ruptur plak.
e. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
ACE-I merupakan obat yang telah dikenal luas sebagai obat antihipertensi, gagal jantung, dan
disfungsi ventrikel kiri. Sebagai tambahan, pada dua penelitian besar randomized control
ledramipril dan perindopril penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien
penyakit jantung koroner stabil tanpa disertai gagal jantung. ACE-I merupakan indikasi pada
pasien angina pectoris stabil disertai penyakit penyerta seperti hipertensi, DM, gagal jantung,
disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, dan pasca infark miokard. Pada pasien angina tanpa disertai
penyakit penyerta pemberian ACE-I perlu diperhitungkan keuntungan dan resikonya (Anonim,
2009). Dosis untuk penggunaan obat golongan ACE-I untuk captopril 6,25-12,5 mg tigakali
sehari. Untuk ramipril dosis awal 2,5 mg dua kali sehari dosis lanjutan 5 mg duakali sehari,
lisinopril dosis 2,5-10 mg satu kali sehari.
f. Antagonis Reseptor Bloker
Mekanisme dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-senyawa ini merelaksasikan otot
polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan eksresi garam dan air di ginjal,
menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor angiotensin II
secara teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACEI. Antagonis reseptor bloker diberikan
bila pasien intoleran dengan ACE-I. Dosis untuk valsartan 40 mg dua kali sehari dosis lanjutan
80-160mg, maximum dosis 320 mg.
g. Anti kolesterol
Statin menurunkan resiko komplikasiatherosklerosis sebesar 30% pada pasien angina stabil.
Beberapa penelitian juga menunjukkan manfaat statin pada berbagai kadar kolesterol sebelum
terapi, bahkan pada pasien dengan kadar kolesterol normal. Terapi statin harus selalu
dipertimbangkan pada pasien jantung koroner stabil dan angina stabil. Target dosis terapi statin
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler sebaiknya berdasarkan penelitian
16
klinis yang telah dilakukan dosis statin yang direkomendasi adalah simvastatin 40 mg/hr,
pravastatin 40 mg/hr, dan atorvastin 10 mg/hr. Bila dengan dosis diatas kadar kolesterol total dan
LDL tidak mencapai target, maka dosis dapat ditingkatkan sesuai toleransi pasien sampai
mencapai target. Statin juga dapat memperbaiki fungsi endotel, menstabilkan plak, mengurangi
pembentukan trombus, bersifat anti inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid. Statin sebaiknya
diteruskan untuk mendapatkan keuntungan terhadap kelangsungan hidup jangka panjang.
Kontraindikasi pasien dengan penyakit hati yang aktif, pada kehamilan dan menyusui. Efek
samping miosis yang reversibel merupakan efek samping yang jarang tapi bermakana. Statin
juga menyebabkan sakit kepala, perubahan nilai fungsi ginjal dan efek saluran cerna.
2.7 Komplikasi
Komplikasi dari CHF antara lain:7
1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep
venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada
CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker
dan pemberian warfarin).
3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
ditinggikan.
4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death
(25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan
vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.
2.8 Prognosis
Anemia penyakit kronis, yang merupakan salah satu fitur utama dari penyakit ginjal
kronis (CKD), dan CKD sendiri sering bersamaan pada pasien dengan infark miokard akut
(AMI).6 Bukti klinis dari Negara Amerika dan penelitian di Eropa menunjukkan bahwa anemia
dan CKD berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien AMI selama
jangka pendek serta jangka panjang. Di sisi lain, sindrom anemia cardiorenal, di mana terdapat
17
secara simultan CKD, anemia, dan gagal jantung menciptakan hubungan timbal balik secara
patologis, sehingga menghasilkan dampak yang merugikan sinergis dengan morbiditas dan
mortalitas.6,8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia. ACD merupakan anemia yang sering terjadi pada
18
pasien dengan infeksi kronis, inflamasi kronis, dan neoplasma ganas. Secara epidemiologi
merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi besi. Penegakan diagnosis pasti
dari ACD dengan pemeriksan laboratorium, dilihat dari indeks eritrosit dan yang lain.
Penatalaksanaan dengan mengobati penyakit dasarnya kemudian diberikan transfusi darah,
preparat besi, eritropoietin. ACD memiliki prognosis yang buruk terhadap angka morbiditas dan
mortalitas, apalagi ditambah dengan penyakit kardio.
BAB IV
STATUS PASIEN
Nomor RM : 042481
19
Tanggal Masuk : 30 Desember 2018
Jam : 23.00 WIB
Ruang : VI
ANAMNESIS PRIBADI
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Suku : Mandailing
ANAMNESIS PENYAKIT
Telaah : Lemas dirasakan ± 1 minggu ini, bersifat terus menerus, selain lemas,
keluhan lain juga dirasakan berupa sesak nafas. Sesak dirasakan sudah lama ± sejak 2 tahun yang
lalu, namun memberat dalam beberapa minggu ini. Nyeri dada sesekali ketika beraktifitas ± 1
bulan ini, menghilang saat beristirahat. Sakit kepala (+), lemas (+), mual (+), muntah (-), BAK
(+) N, BAB (+) N
20
RPT : BPH (+), HT (+), Cholelitiasis (+)
Penurunan
Lain-lain : (-)
21
Endokrin Haus/Polidipsi : (-) Gugup : (-)
Lain-lain : (-)
22
Pernapasan : 28 x/menit Refleks Patologis : TDP
Temperatur : 36,8oC
Anemia (+/+), Ikterus (-/-), Dispnoe (+), Sianosis (-), Edema (-/-), Purpura (-),
KEPALA
Tonsil/Faring : DBN
LEHER
THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk : Fusiformis
23
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri
Paru
Peranjakan : TDP
Jantung
Auskultasi
Paru
Jantung
HR : 92 x/menit
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : simetris
24
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Lain-lain : (-)
Pinggang
Lokasi : DBN
Sianosis : DBN
25
Arteri femoralis : TDP TDP
Concl :
Kardiomegali.
Aorta kalsifikasi.
27
Komentar: ST + LBBB Complete + OMI anteroseptal
Kesan: Abnormal
Concl :
Ukuran kedua ginjal mengecil dengan peningkatan echogenitas parenkim ginjal. DD/
Chronic Kidney Disease.
28
Trombosit (PLT) 155.000 150-450 .103/µL
MCV 91,0 81-99 fL
MCH 30,7 27,0-31,0 pg
MCHC 33,7 31,0-37,0 g/dL
RDW 17,3 11,5-14,5 %
Limfosit 4,50 15,20-43,30 %
Monosit 2,64 5,50-13,70 %
Neutrofil 91,79 43,50-73,50 %
Eosinofil 0,92 0,80-8,10 %
Basofil 0,15 0,20-1,50 %
Kesan: Anemia normokromik normositer.
29
RESUME
30
Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP Vesikuler (+/+), ST: (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Ekstremitas
Atas : DBN
Bawah : DBN
LABORATORIUM Darah
RUTIN Hb: 5,72 g/dL Ht: 16,9% Ureum: 155 mg/dL Kreatinin: 3,1
mg/dL
FOTO THORAX Cardiomegali, Kalsifikasi aorta
EKG ST + LBBB complete + OMI anteroseptal
DIAGNOSIS Anemia penyakit kronik + PJK + CHF + AKI DD/CKD
PENATALAKSANAAN
Urinalisa LFG
Darah lengkap dan elektrolit EKG
Follow Up
31
Tanggal S O A P
1 Januari 2019 Lemas TD:140/80 Anemia IVFD NaCl 0,9%
mmHg peny.kronik + 20 gtt/i
HR: 92 x/menit PJK + CHF + Transfusi PRC 3
RR: 20 x/menit AKI dd/CKD Bag
T : 36oC stage IV Inj. Ranitidin 1
amp/12 jam
Inj. Furosemid 1
amp / 12 jam
Daftar Pustaka
32
1. Adiatma, D. C. Prevalensi Dan Jenis Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis Reguler. Thesis. [pdf] Available at:
<http://eprints.undip.ac.id/44532/1/Dhanny_Candra_A_22010110120112_Bab0KTI.pdf>
[Accessed January, 22nd 2019]; 2014.
2. Hoffbrand, A.V. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2013.
3. Lichtin, A. E. Anemia of Chronic Disease. Available at:
<http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology/anemias_cause
d_by_deficient_erythropoiesis/anemia_of_chronic_disease.html> [Accessed January, 22nd
2019]; 2013.
4. Pardede, D. K. B. Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap
Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis. [pdf] Vol. 40, No. 5. Available at:
<http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_204Hepsidin-Peranannya%20dalam
%20Patogenesis%20dan%20Implikasinya.pdf> [Accessed January, 22nd 2019]; 2013.
5. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
6. Shiraishi, J. et al. Prognostic Impact of Chronic Kidney Disease and Anemia at
Admission on In-Hospital Outcomes After Primary Percutaneous Coronary Intervention
for Acute Myocardial Infarction. International Heart Journal [pdf], Vol. 55, No. 4.
Available at: <https://www.jstage.jst.go.jp/article/ihj/55/4/55_13-367/_pdf> [Accessed
January, 22nd 2019]; 2014.
7. Sudoyo, A. W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
8. Sun, C. C. et al. Targeting the hepcidin–ferroportin axis to develop new treatment
strategies for anemia of chronic disease and anemia of inflammation. American Journal
of Hematology [pdf]. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653431/> [Accessed January, 22nd
2019]; 2012.
9. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia tahun 2009
33