Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia.1 ACD merupakan anemia yang sering terjadi
pada pasien dengan infeksi kronis, penyakit autoimun, kanker, dan penyakit ginjal kronis
(chronic kidney disease, CKD). Sampai saat ini mekanisme molekular dan patogenesis kelainan
distribusi besi pada ACD tidak sepenuhnya diketahui.
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah
satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi penyebab kematian pertama
di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh
dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari
seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker.2
CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam
system kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut data dari WHO
dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika menderita CHF. Penderita gagal jantung
atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut data dari Departemen Kesehatan mencapai
14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Pada umumnya CHF
diderita lansia yang berusia lebih dari 50 tahun, CHF merupakan alasan yang paling
umum bagi lansia untuk dirawat di rumah sakit ( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase
sekitar 75 % pasien yang dirawat dengan CHF ). Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF
adalah sekitar 5-10 % per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi
30-40% pada gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang didiagnosis
menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun. Ulasan dibawah ini akan membahas anemia
penyakit kronis, PJK dan CHF mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis,
penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.2

1
BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering dijumpai pada pasien
dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.2 Anemia ini umumnya ringan atau
sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-
11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah,
cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. 5 Selain itu, indeks
dan morfologi eritrosit yang normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang <75
fL).2 Tabel dibawah ini menunjukkan diagnosis diferensial dari ACD.1
Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis
Anemia Penyakit Anemia Defisiensi Thalasemia Anemia
Kronik Besi Sideroblastik
Derajat Ringan Ringan sampai berat Ringan Ringan sampai berat
anemia
MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/
TIBC Menurun <300 Meningkat >360 Normal/ Normal/
Saturasi Menurun/N 10-20% Menurun <15% Meningkat >20% Meningkat >20%
transferin
Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan ring
tulang sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritin serum Normal 20-200 µg/l Menurun <20 µg/l Meningkat >50 µg/l Meningkat >50 µg/l
Elektrofoesis N N HbA2 meningkat N
Hb

Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan,


penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah koroner. penyempitan atau penyumbatan ini dapat
menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Kondisi lebih

2
parah kemampuan jantung memompa darah akan hilang, sehingga sistem kontrol irama jantung
akan terganggu dan selanjutnya bisa menyebabkan kematian.3
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrien.2
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal
jantung sisi kiri dan sisi kanan.3

2.2 Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi
besi. Tidak ada data epidemiologi yang secara rinci menjelaskan setiap jenis anemia, termasuk
anemia penyakit kronis. Dari hasil penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang, didapatkan
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis reguler adalah
86%. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan etiologi yang paling sering ditemukan adalah
anemia penyakit kronik.1
2.3 Etiologi
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis
dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis
berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala, seperti
demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan
waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara
produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.3
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih
sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis rheumatoid merupakan
penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga
dapat disertai anemia pada penyakit kronik.3
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium
dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut anemia

3
pada kanker (cancer releted anemia). Penyebab anemia karena penyakit kronik dapat dilihat
pada tabel dibawah ini1,3,5 :

Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada prinsipnya disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu:
1) Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koroneria yang
paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa
dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila
lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan
aliran darah miokardium.
2) Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lamakelamaan berakibat
robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan darah merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk mencegahan perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka.
Berkumpulnya gumpalan darah dibagian robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-
keping darah menjadi trombus. Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah
jantung, dapat menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh
darah otak menyebabkan stroke.5

2.4 Patofisiologi

4
Etiologi dari ACD adalah multifaktorial dan ditandai oleh aktivitas sel imun dan respon
sitokin inflamasi yang mengurangi produksi eritrosit, mengganggu eritropoiesis, mengurangi
masa hidup eritrosit, dan disregulasi homeostasis besi.8 Berbeda dengan anemia defisiensi besi,
tanpa inflamasi. ACD biasanya merupakan anemia normokromik normositik, mikrositik biasanya
tidak terlihat, kecuali bersamaan dengan kekurangan zat besi. Pathogenesis ACD dapat dilihat
dari uraian dibawah ini1,2,6 :

a. Pemendekan masa hidup eritrosit


Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana
terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi
atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mangikat
lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi
eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan
transformasi T4 (tetra iodothyronine) manjadi T3 (tri-iodothyronine), menyebabkan
hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O 2 sehingga
sintesis eritropoetin-pun akhirnya berkurang.
Pengikatan lebih banyak zat besi menyebabkan konsentrasi rendah serum besi, TIBC
rendah atau normal, dan saturasi transferin serta retikulosit redah. Yang terpenting atau kunci
dari ACD adalah akumulasi besi dalam retikuloendotelial makrofag meskipun mengurangi
kada zat besi dalam sirkulasi. Sehingga sedikit zat besi dalam sirkulasi yang tersedia untuk
sintesis hemoglobin. Ada kemungkinan manusia menggunakan meknisme ini untuk
menyerap zat besi sebagai pertahanan dari patogen tertentu yang menyerang. Namun,
pengalihan zat besi dari sirkulasi ke makrofag sangat efektif untuk menyebabkan defisiensi
fungsional besi dan besi terbatas untuk eritropoiesis, akhirnya jika tidak ditangani
menyebabkan anemia. Penting untuk diingat bahwa pada anemia defisiensi besi, zat besi
kosong baik di sirkulasi maupun dan makrofag.
Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendakan masa
hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit
kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan
atau menurunya respon terhadap eritropoetin.
b. Peningkatan kadar hepcidin serum

5
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan hormon regulasi besi.
Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun, atau kanker yang merangsang sintesis banyak
sitokin seperti interferon-γ, interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) menginduksi
produksi kelebihan hepcidin. Produksi hepcidin jangka panjang, karena kemampuannya
yang dapat menghambat fungsi ferroportin pada enterosit duodenum dan makrofag,
menyebabkan penyerapan zat besi yang buruk dari usus dan retensi besi meningkat yang
merupakan ciri dari ACD.
Sebuah mekanisme molekuler ditandai dengan inflamasi, sbagai mediator utamanya
disini adalah IL-6/ Jalur Kinase 2 (JAK2)- signal tranducer dan jalur aktivator transkripsi 3
(STAT3). Ligan mengikat reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2, terjadi fosforilasi transkripsi
faktor STAT3. Translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam inti dan pengikatan STAT3 ke
promotor hepsidin menghasilkan peningkatan regulasi ekspresi gen hepcidin.

c. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar
20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien

6
ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin
menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter
limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahan atau kerusakan
minor dari eritrosit.
d. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi
cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam
sintesis Hb.

1) Angina pektoris stabil


Angina pektoris ditegakkan berdasarkan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu rasa tertekan atau
berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada terutama saat melakukan kegiatan
fisik, terutama dipaksa bekerja keras atau ada tekanan emosional dari luar. Biasanya serangan
angina pektoris berlangsung 1-5 menit, tidak lebih dari 10 menit, bila serangan lebih dari 20
menit, kemungkinan terjadi serangan infark akut. Keluhan hilang setelah istirahat (Kusrahayu,
2004).5
2) Angina pektoris yang tidak stabil
Pada angina pektoris yang tidak stabilserangan rasa sakit dapat timbul pada waktu istirahat,
waktu tidur, atau aktifitas yang ringan. Lama sakit dada lebih lama daripada angina biasa, bahkan
sampai beberapa jam. Frekuensi serangan lebih sering dibanding denganangina pektoris biasa.5
3) Angina varian (prinzmetal)
Terjadi hipoksia dan iskemik miokardium disebabkan oleh vaso spasme (kekakuan pembuluh
darah), bukan karena penyempitan progesif arteria koroneria. Episode terjadi pada waktu
istirahat atau pada jam-jam tertentu tiap hari. EKG peningkatan segmen ST.5
4) Sindrom koroner akut (SKA)
Sindrom klinik yang mempunyai dasar patofisiologi yang sama yaitu erosi, fisur, ataupun
robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan thrombosis yang menyebabkan ketidak
seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Termasuk SKA adalah angina pektoris
stabil dan infark miokard akut. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian.5

7
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan
satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik
berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal
adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon
terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan
hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi
tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf
adrenergik.5
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function)
dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan
beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot
jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara
klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal
gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf
simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang
efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan
retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan
preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan
ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi
jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi)
dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak
efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada
penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas.5

8
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada
gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan
disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu
etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik
miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.
Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan
peningkatan presentase kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel
dan fibrilasi ventrikel menurun.5
WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi
mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik
(emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas. 11 Mekanisme yang
mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep curah jantung
paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi
frekuensi jantung X volume sekuncup.7
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan
mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada
gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume
sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.7
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada
tiga faktor yaitu:7
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut
jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat
sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa
darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan arteriole.15

9
A. Manifestasi Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan
kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya.8
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan
yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium.6,8
Gejala umum pada penuakit jantung koroner berupa rasa nyeri atau sakit pada dada.
Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang menyempit atau tersumbat. Rasa sakit
tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian tengah adalah keluhan klasik penderita
penyempitan pembuluh darah koroner. Kondisi yang perlu diwaspadai adalah jika rasa sakit di
dada muncul mendadak dengan keluarnya keringat dinggin yang berlangsung lebih dari 20 menit
serta tidak berkurang dengan istirahat. Serangan jantung terjadi apabila pembuluh darah koroner
tiba-tiba menyempit parah atau tersumbat total. Sebagian penderita PJK mengeluh rasa tidak
nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan mengeluh rasa lemas bahkan pingsan.2
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya
gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua
ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :5
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai deliriu

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai
gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Capacity) <31 g/dl dan
beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV (Mean Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai

10
retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit
dasarnya.6
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosa
penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah timbul onset suatu
infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada anemia defisiensi besi.
Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu
persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.8
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada penurunan Fe
serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe
(90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.8

Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil lipid seperti LDL,
HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk menentukan faktor resiko dan perencanaan terapi.
Selain pemeriksaan diatas dilakukan pula memeriksaan darah lengkap dan serum kreatinin.
Pengukuran penanda enzim jantung seperti troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah
pada sindrom koroner akut.2,5
X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal jantung, penyakit katup
jantung atau gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan
prognosis.5
Pemeriksaan jantung non-invasif
a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk mendiagnosis PJK.
b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik imaging (computed tomografi
(CT) dan magnetic resonance arteriography. Sinar elektron CT telah tervalidasi sebagai alat yang
mampu mendeteksi kadar kalsium koroner.5

Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner


a. Arteriografi koroner adalah Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes non invasif tidak jelas atau
tidak dapat dilakukan. Namun arteriografi koroner tetap menjadi pemeriksaan fundamental pada
pasien angina stabil. Arteriografi koroner memberikkan gambaran anatomis yang dapat
dipercaya untuk identifikasi ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi dan prognosis.5

11
2.6 Penatalaksanaan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain8 :
a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika. Tidak ada batasan
yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur
disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak miokard, transfusi
dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga dengan pasien
anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dl.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi adapat mencegah
pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat
ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada pasien anemia
penyakit kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma
multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta
efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai efek anti
inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma. Dilain pihak
pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sun, et al., terapi alternatif untuk untuk ACD
yang menargetkan pada hepcidin-ferroportin8. Terapi yang menurunkan produksi hepcidin dan
meningkatkan aktifitas ferroportin akan meningkatkan bioavailabilitas besi dari diet dan akan
memobilisasi penyimpanan besi dalam tubuh untuk eritropoiesis, tanpa risiko merugikan dari
terapi besi atau ESA (erythropoiesis-stimulating agents). Sebuah strategi yang
menghambat fungsi hepcidin (direct hepcidin antagonist), mencegah transkripsi hepcidin

12
(hepcidin production inhibitors), atau mempromosikan resistensi ferroportin pada aksi hepcidin
(ferroportin agonis/stabilizers) saat ini sedang diteliti.8

Pada penyakit jantung koroner, terapi didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme,
manifestasi klinis, perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi selular, anatomis dan fisiologis
dari kasus PJK. Pada prinsipnya terapi ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat,
intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut atau kematian
mendadak.2

13
Keterangan:
Pasien resiko tinggi yang menjadi kandidat revaskularisasi berdasarkan prognosis sebaiknya diidentifikasi
dan dirujuk.
* kontraindikasi relatif beta bloker antara lain: asma, ganguan pembuluh darah perifer simptomatik, dan AV
blok derajat 1
** hindari dihydropyridin kerja pendek bila tidak kombinasi dengan beta bloker
Tingkat pembuktian prognosis merujuk kepada bukti penurunan mortalitas kardiovaskular atau mortalitas
akibat infark miokard
Tingkat pembuktian gejala termasuk penurunan revaskularisasi dan hospitalisasi untuk nyeri dada

Gambar 1. Algoritme Terapi Farmakologis Angina Pektoris

Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia tahun 2009 obat yang


disarankan untuk penderita PJK adalah :
a. Golongan Nitrat Mekanisme kerja golongan nitrat vasodilatasi, menurunkan pengisian
diastolik, menurunkan tekanan intrakardiak dan meningkatkan perfusi subendokardium. Nitrat
kerja pendek penggunaan sublingual untuk profilaksis, nitrat kerja panjang penggunaan oral atau
transdermal untuk menjaga periode bebas nitrat. Nitrat kerja jangka pendek diberikan pada setiap

14
pasien untuk digunakan bila terdapat nyeri dada. Dosis nitrat diberikan 5 mg sublingual dapat
diulang tiga kali sehari.9

b. Golongan Penyekat β(beta bloker)


Terdapat bukti-bukti bahwa pemberian beta bloker pada pasien angina yang sebelumnya pernah
mengalami infark miokard, atau gagal jantung memiliki keuntungan dalam prognosis.
Berdasarkan data tersebut beta bloker merupakan obat lini pertama terapi angina pada pasien
tanpa kontraindikasi. Beta bloker dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan
pencernaan, mimpi buruk, rasa capek, depresi, reaksi alergi blok AV, dan bronkospasme. Beta
bloker dapat memperburuk toleransi glukosa pada pasien diabetes juga mengganggu respon
metabolik dan autonomik terhadap hipoglikemik (Anonim, 2000). Dosis betabloker sangat
bervariasi untuk propanolol 120-480/hari atau 3x sehari 10-40mg dan untuk bisoprolol 1x sehari
10-40mg.

c. Golongan antagonis kalsium


Mekanisme kerja antagonis kalsium sebagai vasodilatasi koroner dan sistemik dengan inhibisi
masuknya kalsium melalui kanal tipe-L. Verapamil dan diltiazem juga menurunkan kontraktilitas
miokardium, frekuensi jantung dan konduksi nodus AV. Antagonis kalsium dyhidropyridin
(missal: nifedippin, amlodipin, dan felodipin) lebih selektif pada pembuluh darah. Pemberian
nifedipin konvensional menaikkan risiko infark jantung atau angina berulang 16%, Penjelasan
mengapa penggunaan monoterapi nifedipin dapat menaikkan mortalitas karena obat ini
menyebabkan takikardi refleks dan menaikkan kebutuhan oksigen miokard. Dosis untuk
antagonis kalsium adalah nifedipin dosis 3x5-10mg, diltiazem dosis 3x30-60mg dan verapamil
dosis 3x 40-80mg.

d. Obat antiplatelet
Terapi antiplatelet diberikan untuk mencegah trombosis koroner oleh karena keuntungannya
lebih besar dibanding resikonya. Aspirin dosis rendah (75-150mg) merupakan obat pilihan
kebanyakan kasus. Clopidogrel mungkin dapat dipertimbangkan sebagai alternative pada pasien
yang alergi aspirin, atau sebagai tambambahan pasca pemasangan sent, atau setelah sindrom
koroner akut. Pada pasien riwayat perdarahan gastrointestinal aspirin dikombinasi dengan

15
inhibisi pompa proton lebih baik dibanding dengan clopidogrel. Untuk Clopidogrel dengan dosis
75 mg satu kali sehari. Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan tromboksan A2
dengan cara menghambat siklooksigenase dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang
ireversibel. Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur tersebut. Sebagian dari
keuntungan dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya dapat mengurangi ruptur plak.
e. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
ACE-I merupakan obat yang telah dikenal luas sebagai obat antihipertensi, gagal jantung, dan
disfungsi ventrikel kiri. Sebagai tambahan, pada dua penelitian besar randomized control
ledramipril dan perindopril penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien
penyakit jantung koroner stabil tanpa disertai gagal jantung. ACE-I merupakan indikasi pada
pasien angina pectoris stabil disertai penyakit penyerta seperti hipertensi, DM, gagal jantung,
disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, dan pasca infark miokard. Pada pasien angina tanpa disertai
penyakit penyerta pemberian ACE-I perlu diperhitungkan keuntungan dan resikonya (Anonim,
2009). Dosis untuk penggunaan obat golongan ACE-I untuk captopril 6,25-12,5 mg tigakali
sehari. Untuk ramipril dosis awal 2,5 mg dua kali sehari dosis lanjutan 5 mg duakali sehari,
lisinopril dosis 2,5-10 mg satu kali sehari.
f. Antagonis Reseptor Bloker
Mekanisme dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-senyawa ini merelaksasikan otot
polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan eksresi garam dan air di ginjal,
menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor angiotensin II
secara teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACEI. Antagonis reseptor bloker diberikan
bila pasien intoleran dengan ACE-I. Dosis untuk valsartan 40 mg dua kali sehari dosis lanjutan
80-160mg, maximum dosis 320 mg.

g. Anti kolesterol
Statin menurunkan resiko komplikasiatherosklerosis sebesar 30% pada pasien angina stabil.
Beberapa penelitian juga menunjukkan manfaat statin pada berbagai kadar kolesterol sebelum
terapi, bahkan pada pasien dengan kadar kolesterol normal. Terapi statin harus selalu
dipertimbangkan pada pasien jantung koroner stabil dan angina stabil. Target dosis terapi statin
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler sebaiknya berdasarkan penelitian

16
klinis yang telah dilakukan dosis statin yang direkomendasi adalah simvastatin 40 mg/hr,
pravastatin 40 mg/hr, dan atorvastin 10 mg/hr. Bila dengan dosis diatas kadar kolesterol total dan
LDL tidak mencapai target, maka dosis dapat ditingkatkan sesuai toleransi pasien sampai
mencapai target. Statin juga dapat memperbaiki fungsi endotel, menstabilkan plak, mengurangi
pembentukan trombus, bersifat anti inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid. Statin sebaiknya
diteruskan untuk mendapatkan keuntungan terhadap kelangsungan hidup jangka panjang.
Kontraindikasi pasien dengan penyakit hati yang aktif, pada kehamilan dan menyusui. Efek
samping miosis yang reversibel merupakan efek samping yang jarang tapi bermakana. Statin
juga menyebabkan sakit kepala, perubahan nilai fungsi ginjal dan efek saluran cerna.

2.7 Komplikasi
Komplikasi dari CHF antara lain:7
1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep
venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada
CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker
dan pemberian warfarin).
3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
ditinggikan.
4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death
(25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan
vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.

2.8 Prognosis
Anemia penyakit kronis, yang merupakan salah satu fitur utama dari penyakit ginjal
kronis (CKD), dan CKD sendiri sering bersamaan pada pasien dengan infark miokard akut
(AMI).6 Bukti klinis dari Negara Amerika dan penelitian di Eropa menunjukkan bahwa anemia
dan CKD berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien AMI selama
jangka pendek serta jangka panjang. Di sisi lain, sindrom anemia cardiorenal, di mana terdapat

17
secara simultan CKD, anemia, dan gagal jantung menciptakan hubungan timbal balik secara
patologis, sehingga menghasilkan dampak yang merugikan sinergis dengan morbiditas dan
mortalitas.6,8

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia. ACD merupakan anemia yang sering terjadi pada

18
pasien dengan infeksi kronis, inflamasi kronis, dan neoplasma ganas. Secara epidemiologi
merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi besi. Penegakan diagnosis pasti
dari ACD dengan pemeriksan laboratorium, dilihat dari indeks eritrosit dan yang lain.
Penatalaksanaan dengan mengobati penyakit dasarnya kemudian diberikan transfusi darah,
preparat besi, eritropoietin. ACD memiliki prognosis yang buruk terhadap angka morbiditas dan
mortalitas, apalagi ditambah dengan penyakit kardio.

BAB IV

STATUS PASIEN

Nomor RM : 042481

19
Tanggal Masuk : 30 Desember 2018
Jam : 23.00 WIB
Ruang : VI

ANAMNESIS PRIBADI

Nama : H. Rudi Siregar

Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Karyawan swasta

Agama : Islam

Suku : Mandailing

Alamat : Jalan Karya Bersama No. 30 Karang Berombak, Medan Barat.

ANAMNESIS PENYAKIT

Keluhan Utama : Lemas

Telaah : Lemas dirasakan ± 1 minggu ini, bersifat terus menerus, selain lemas,
keluhan lain juga dirasakan berupa sesak nafas. Sesak dirasakan sudah lama ± sejak 2 tahun yang
lalu, namun memberat dalam beberapa minggu ini. Nyeri dada sesekali ketika beraktifitas ± 1
bulan ini, menghilang saat beristirahat. Sakit kepala (+), lemas (+), mual (+), muntah (-), BAK
(+) N, BAB (+) N

20
RPT : BPH (+), HT (+), Cholelitiasis (+)

RPK : Tidak dijumpai penyakit serupa pada keluarga

RPO : Tidak ada

Jantung Sesak Napas : (+) Edema : (-)

Angina Pektoris : (+) Palpitasi : (-)

Penurunan

Saluran Batuk-batuk : (-) Asma, Bronkitis : (-)

Pernapasan Dahak : (-) Lain-lain : (-)

Saluran Nafsu Makan : menurun Penurunan BB : (-)

Pencernaan Keluhan Menelan : (-) Keluhan Defekasi :N

Keluhan Perut : (+) mual Lain-lain : (-)

Saluran Sakit BAK : (-) BAK Tersendat : (+)

Urogenital Mengandung batu : (-) Keadaan Urin :N

Lain-lain : (-)

Sendi dan Sakit Pinggang : (-) Keterbatasan Gerak : (-)

Tulang Keluhan persendian : (-) Lain-lain : (-)

21
Endokrin Haus/Polidipsi : (-) Gugup : (-)

Poliuri : (-) Perubahan Suara : (-)

Polifagi : (-) Lain-lain : (-)

Saraf Pusat Sakit Kepala : (-) Oyong : (-)

Lain-lain : (-)

Darah dan Pucat : (+) Perdarahan : (-)

Pembuluh Petechiae : (-) Purpura : (-)

Darah Lain-lain : (-)

Sirkulasi Claudicatio : (-) Lain-lain : (-)

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

Kesadaran Umum Keadaan Penyakit

Sensorium : Compos mentis Pancaran Wajah : lemah

Tekanan Darah : 140/80 mmHg Sikap Paksa : (+)

Nadi : 92 x/menit Refleks Fisiologis : TDP

22
Pernapasan : 28 x/menit Refleks Patologis : TDP

Temperatur : 36,8oC

Anemia (+/+), Ikterus (-/-), Dispnoe (+), Sianosis (-), Edema (-/-), Purpura (-),

Turgor Kulit : baik

KEPALA

Mata : dalam batas normal

Telinga : dalam batas normal

Hidung : dalam batas normal

Mulut : Lidah : DBN

Gigi Geligi : DBN

Tonsil/Faring : DBN

LEHER

Pembesaran kelenjar limfa (-)

Kaku kuduk (-), lain-lain (-)

THORAX DEPAN

Inspeksi

Bentuk : Fusiformis

Pergerakan : Simetris, tidak ada ketinggalan bernafas

23
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Paru

Batas Paru-Hati R/A : TDP

Peranjakan : TDP

Jantung

Batas atas jantung : TDP

Batas kiri jantung : TDP

Batas kanan jantung : TDP

Auskultasi

Paru

Suara pernafasan : Vesikuler (+/+)

Suara tambahan : (-/-)

Jantung

M1>M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolik (+), tingkat (3/6)

Desah diastolik (-), lain-lain (-)

HR : 92 x/menit

ABDOMEN

Inspeksi

Bentuk : simetris

24
Palpasi

Dinding Abdomen : nyeri tekan epigatrium (+)

Perkusi

Pekak Beralih : TDP

Auskultasi

Peristaltik usus : (+) N

Lain-lain : (-)

Pinggang

Nyeri ketuk sudut kostovertebra (-)

ANGGOTA GERAK ATAS

Deformitas sendi : DBN

Lokasi : DBN

Jari tabuh : DBN

Tremor ujung jari : DBN

Telapak tangan sembab : DBN

Sianosis : DBN

Eritema palmaris : DBN

ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri Kanan

Edema : (-) (-)

25
Arteri femoralis : TDP TDP

Arteri tibialis posterior : TDP TDP

Arteri dorsalis pedis : TDP TDP

Refleks KPR : TDP TDP

Refleks APR : TDP TDP

Refleks Fisiologis : TDP TDP

Refleks Patologis : TDP TDP

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (30 Desember 2018)

PEMERIKSAAN Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 5,72 L: 13-16 g/dl
P: 12-14 g/dl
Eritrosit (RBC) 1,87 4,50-6,60 .106/µL
Leukosit (WBC) 9.470 5-10 .10/µ
Hematokrit 16,9 L: 40-48%
P: 37-43%
Trombosit (PLT) 175.000 150-450 .103/µL
MCV 90,4 81-99 fL
MCH 30,6 27,0-31,0 pg
26
MCHC 33,8 31,0-37,0 g/dL
RDW 17,7 11,5-14,5 %
 Limfosit 11,91 15,20-43,30 %
 Monosit 5,21 5,50-13,70 %
 Neutrofil 81,34 43,50-73,50 %
 Eosinofil 1,13 0,80-8,10 %
 Basofil 0,40 0,20-1,50 %

PEMERIKSAAN Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
 Bilirubin Total 0,58 < 1 mg/dL
 Bilirubin Direct 0,26 < 0,3 mg/dL
 SGOT 87 L: < 35 U/L
P: < 31 U/L
 SGPT 42 L: < 45 U/L
P: < 34 U/L
 Ureum 155 < 50 mg/dL
 Kreatinin 3,1 L: 0,8-1,3 mg/dL
P: 0,6-1,2 mg/dL
 Asam Urat 7,0 L: < 7 mg/dL
P: 5,7 mg/dL
 Glukosa Sewaktu 100 < 200 mg/dL
Elektrolit
 Kalium 142 135-145 mmol/L
 Natrium 4,0 3,5-5,5 mmol/L
 Klorida 102 96-106 mmol/L

PEMERIKSAAN FOTO THORAX (30 Desember 2018)

Concl :

Kardiomegali.

Aorta kalsifikasi.

PEMERIKSAAN EKG (31 Desember 2018)

27
Komentar: ST + LBBB Complete + OMI anteroseptal

Kesan: Abnormal

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (31 Desember 2018)

PEMERIKSAAN Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
 Cholesterol Total 103 < 200 mg/dL
 HDL Cholesetrol 40 < 40 mg/dL
 LDL Cholesterol 39 < 100 mg/dL
 Trigliserida 123 < 150 mg/dL

PEMERIKSAAN USG GINJAL (03 Januari 2019)

Concl :

Ukuran kedua ginjal mengecil dengan peningkatan echogenitas parenkim ginjal. DD/
Chronic Kidney Disease.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (03 Januari 2019)

PEMERIKSAAN Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
 Ureum 164 < 50 mg/dL
 Kreatinin 3,0 L: 0,8-1,3 mg/dL
P: 0,6-1,2 mg/dL

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (03 Januari 2019)

PEMERIKSAAN Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 7,51 L: 13-16 g/dl
P: 12-14 g/dl
Eritrosit (RBC) 2,45 4,50-6,60 .106/µL
Leukosit (WBC) 10.660 5-10 .10/µ
Hematokrit 22,3 L: 40-48%
P: 37-43%

28
Trombosit (PLT) 155.000 150-450 .103/µL
MCV 91,0 81-99 fL
MCH 30,7 27,0-31,0 pg
MCHC 33,7 31,0-37,0 g/dL
RDW 17,3 11,5-14,5 %
 Limfosit 4,50 15,20-43,30 %
 Monosit 2,64 5,50-13,70 %
 Neutrofil 91,79 43,50-73,50 %
 Eosinofil 0,92 0,80-8,10 %
 Basofil 0,15 0,20-1,50 %
Kesan: Anemia normokromik normositer.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (07 Januari 2019)

PEMERIKSAAN Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
 Ureum 136 < 50 mg/dL
 Kreatinin 3,6 L: 0,8-1,3 mg/dL
P: 0,6-1,2 mg/dL

29
RESUME

ANAMNESIS Keluhan Utama : Lemas


Telaah :Lemas dirasakan ± 1 minggu ini, bersifat terus
menerus, selain lemas, keluhan lain juga
dirasakan berupa sesak nafas. Sesak dirasakan
sudah lama ± sejak 2 tahun yang lalu, namun
memberat dalam beberapa minggu ini. Nyeri dada
sesekali ketika beraktifitas ± 1 bulan ini,
menghilang saat beristirahat. Sakit kepala (+),
lemas (+), mual (+), muntah (-), BAK (+) N,
BAB (+) N. Dari RPT, didapatkan BPH (+), HT
(+), Cholelitiasis (+). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan TD: 140/80 mmHg, HR: 92x/menit,
RR: 28x/menit, T: 36,8oC. BB: TB: Anemia (+),
Dipsneu (+)

STATUS PRESENS Keadaan umum


Keadaan : Sedang
Penyakit : Berat
Keadaan Gizi : Cukup
PEMERIKSAAN FISIK Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 92x/menit
Pernapasan : 28x/menit
Temperatur : 36,8oC
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis (+/+), Ikterik (-/-)
T/H/M : DBN

30
Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP Vesikuler (+/+), ST: (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Ekstremitas
Atas : DBN
Bawah : DBN

LABORATORIUM Darah
RUTIN Hb: 5,72 g/dL Ht: 16,9% Ureum: 155 mg/dL Kreatinin: 3,1
mg/dL
FOTO THORAX Cardiomegali, Kalsifikasi aorta
EKG ST + LBBB complete + OMI anteroseptal
DIAGNOSIS Anemia penyakit kronik + PJK + CHF + AKI DD/CKD
PENATALAKSANAAN

Rencana Penjajakan Diagnostik / Tindak Lanjutan

Urinalisa LFG
Darah lengkap dan elektrolit EKG

Follow Up

31
Tanggal S O A P
1 Januari 2019 Lemas TD:140/80 Anemia IVFD NaCl 0,9%
mmHg peny.kronik + 20 gtt/i
HR: 92 x/menit PJK + CHF + Transfusi PRC 3
RR: 20 x/menit AKI dd/CKD Bag
T : 36oC stage IV Inj. Ranitidin 1
amp/12 jam
Inj. Furosemid 1
amp / 12 jam

Daftar Pustaka

32
1. Adiatma, D. C. Prevalensi Dan Jenis Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis Reguler. Thesis. [pdf] Available at:
<http://eprints.undip.ac.id/44532/1/Dhanny_Candra_A_22010110120112_Bab0KTI.pdf>
[Accessed January, 22nd 2019]; 2014.
2. Hoffbrand, A.V. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2013.
3. Lichtin, A. E. Anemia of Chronic Disease. Available at:
<http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology/anemias_cause
d_by_deficient_erythropoiesis/anemia_of_chronic_disease.html> [Accessed January, 22nd
2019]; 2013.
4. Pardede, D. K. B. Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap
Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis. [pdf] Vol. 40, No. 5. Available at:
<http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_204Hepsidin-Peranannya%20dalam
%20Patogenesis%20dan%20Implikasinya.pdf> [Accessed January, 22nd 2019]; 2013.
5. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
6. Shiraishi, J. et al. Prognostic Impact of Chronic Kidney Disease and Anemia at
Admission on In-Hospital Outcomes After Primary Percutaneous Coronary Intervention
for Acute Myocardial Infarction. International Heart Journal [pdf], Vol. 55, No. 4.
Available at: <https://www.jstage.jst.go.jp/article/ihj/55/4/55_13-367/_pdf> [Accessed
January, 22nd 2019]; 2014.
7. Sudoyo, A. W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
8. Sun, C. C. et al. Targeting the hepcidin–ferroportin axis to develop new treatment
strategies for anemia of chronic disease and anemia of inflammation. American Journal
of Hematology [pdf]. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653431/> [Accessed January, 22nd
2019]; 2012.
9. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia tahun 2009

33

Anda mungkin juga menyukai