Anda di halaman 1dari 11

MUHAMMAD HADYAN NUBLI.

M
18091028

LAPORAN PENDAHULUAN HIDROCEFALUS (HCP)

A. Definisi
Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh produksi yang
berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan
intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat
aliran cairan serebrospinalis (Darto Suharso,2009)
B. Etiologi
Menurut Brunner & Suddart (2002) etiologi hidrocefalus adalah :
1. Kelainan Bawaan (Kongenital)
a. Stenosis akuaduktus Sylvii merupakan penyebab terbanyak pada
hidrosefalus bayi dan anak ( 60-90%). Aqueduktus dapat merupakan
saluran yang buntu sama sekali atau abnormal, yaitu lebih sempit
dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau
progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah kelahiran.
b. Spina bifida dan kranium bifida Hidrosefalus pada kelainan ini
biasanya yang berhubungan dengan sindrom Arnould-Jhiari akibat
tertariknya medulla spinalis dengan medulla oblongata dan
cerebellum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum
sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c. Sindrom Dandy-Walker Merupakan atresia congenital Luscha dan
Magendie yang menyebabkan hidrosefalus obtruktif dengan
pelebaran system ventrikel terutama ventrikel IV, yang dapat
sedemikian besarnya sehingga merupakan suatu kista yang besar di
daerah fosa pascaerior.
d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah. Dapat terjadi
congenital tapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder suatu
hematoma
2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat
terjadi obliterasi ruangan subarahnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut
meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi
mekanik eksudat pirulen di aqueduktus sylviin atau system basalis.
Hidrosefalus banyak terjadi pada klien pasca meningitis. Pembesaran
kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah
sembuh dari meningitis. Secara patologis terlihat pelebaran jaringan
piamater dan arahnoid sekitar system basalis dan daerah lain. Pada
meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di
daerah basal sekitar sistem kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan
pada meningitis purunlenta lokasisasinya lebih tersebar.
3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. Pengobatannya dalam hal ini di tujukan kepada
penyebabnya dan apabila tumor tidak di angkat, maka dapat di lakukan
tindakan paliatif dengan mengalihkan CSS melalui saluran buatan atau
pirau. Pada anak, penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii
biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian
depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.
4. Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak,
selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri
C. Klasifikasi
Hidrosepalus dapat dialami oleh orang-orang pada segala usia, namun
umumnya penyakit ini diderita oleh bayi dan manula. Berdasarkan gejalanya,
penyakit hidrosepalus dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis.(Sylvia, 2005)
1. Hidrosepalus kongenital
Kondisi ini terjadi sejakbayi baru dilahirkan. Bayi yang mengalami
hidrosepalus bawaan, kepalanya akan terlihat sangat besar. Ubun-ubun
atau fontanel mereka akan tampak menggelembung dan menegang.
Dikarenakan kulit kepala bayi masih tipis, maka penggelembungan
tersebut membuat urat-urat kepala menjadi terlihat dengan jelas. Bayi-bayi
dengan hidrosepalus, memiliki mata yang terlihat seperti memandang ke
bawah dan otot-otot kaki terlihat kaku, serta rentan mengalami kejang.
Gejala-gejala hidrosefalus bawaan lainnya adalah mudah mengantuk,
mual, rewel, dan susah makan.
2. Hidrosepalus yang didapat atau acquired.
Kondisi ini diderita oleh anak-anak dan orang dewasa. Selain penderita
akan mengalami mual dan nyeri leher, nyeri kepala juga akan muncul.
Nyeri kepala ini biasanya sangat terasa di pagi hari, setelah bangun tidur.
Gejala lain dari hidrosepalus tipe ini adalah mengantuk, penglihatan
buram, bingung, sulit menahan kemih atau
menahan buang air besar, dan sulit berjalan. Jika tidak segera diobati,
kondisi ini dapat menyebabkan koma, bahkan kematian.
3. Hidrosepalus dengan tekanan normal
Kondisi ini umumnya dialami oleh manula. Penderita akan kesulitan
menggerakkan kaki, sehingga beberapa dari mereka terpaksa menyeret
kaki agar dapat berjalan. Gejala lainnya adalah kacaunya kendali kemih
yang ditandai dengan sulit menahan kencing atau sering merasa ingin
kencing.Selain fisik, hidrosepalus tekanan normal juga berdampak kepada
kemampuan berpikir penderita. Mereka akan sulit mencerna informasi dan
lambat dalam menanggapi situasi atau pertanyaan.
D. Patofisiologi
Dikarenakan kondisi CSS yang tidak normal hidrosefalus secara teoritis terjadi
sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu produksi likuor yang berlebihan,
peningkatan resistensi aliran likuor, dan peningkatan tekanan sinus venosa.
Konsekuensi tiga mekanisme tersebut adalah peningkatan tekanan intracranial
(TIK) sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-
beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai
akibat dari kompresi sistem serebrovaskuler, redistribusi dari likuor
serebrospinalis atau cairan ekstraseluler, perubahan mekanis dari otak, efek
tekanan denyut likuor serebrospinalis, hilangnya jaringan otak, pembesaran
volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial (Price, 2005).
Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan
aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan
resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor
secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan
tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial
bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan
untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif
tinggi (Price, 2005).
A. Manifestasi klinis
Menurut Igusti (2001) manifestasi klini hidrocefalus adalah:
1. Pembesaran kepala
2. Tekanan intra kranial meningkat dengan gejala muntah, nyeri kepala,
oedema papil
3. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang
supraorbital.
4. Gangguan keasadaran, kejang
5. Gangguan sensorik
6. Penurunan dan hilangnya kemampuan akrivitas
7. Perubahan pupil dilatasi.
8. Gangguan penglihatan (diplobia, kabur, visus menurun)
9. Perubahan tanda-tanda vital (nafas dalam, nadi lambat, hipertermi,/
hipotermi)
10. Penurunan kemampuan berpikir.
B. Komplikasi
Komplikasi Hidrocefalus menurut Prasetyo (2004):
1. Peningkatan TIK
2. Pembesaran kepala
3. kerusakan otak
4. Meningitis, ventrikularis, abses abdomen
5. Ekstremitas mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas kulit menurun
6. Kerusakan jaringan saraf
7. Proses aliran darah terganggu
C. WOC
D. Penatalaksanaan
CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan
operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan. Teknik Shunting yang
dapat dilakukan adalah:
1. Sebuah kateter ventrikular dimasukkan melalui kornu oksipitalis atau
kornu frontalis, ujungnya ditempatkan setinggi foramen Monroe.
2. Suatu reservoir yang memungkinkan aspirasi dari CSS untuk dilakukan
analisis.
3. Sebuah katup yang terdapat dalam sistem Shunting ini, baik yang terletak
proksimal dengan tipe bola atau diafragma (Hakim, Pudenz, Pitz, Holter)
maupun yang terletak di distal dengan katup berbentuk celah (Pudenz).
Katup akan membuka pada tekanan yang berkisar antara 5-150 mm,
H2O.
4. Ventriculo-Atrial Shunt. Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam
atrium kanan jantung melalui v. jugularis interna (dengan thorax x-ray
ujung distal setinggi 6/7).
5. Ventriculo-Peritneal Shunt
a. Slang silastik ditanam dalam lapisan subkutan ujung distal kateter
ditempatkan dalam ruang peritoneum.
b. Pada anak-anak dengan kumparan silang yang banyak,
memungkinkan tidak diperlukan adanya revisi walaupun badan anak
tumbuh memanjang. Komplikasi yang sering terjadi pada shunting:
infeksi, hematom subdural, obstruksi, keadaan CSS yang rendah,
ascites akibat CSS, kraniosinostosis (Brunner & Suddart, 2002).
E. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Pengumpulan data : nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat
b. Keluhan utama
Muntah, gelisah, nyeri kepala, lelah apatis, penglihatan ganda,
perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer.
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Perdarahan pada saat melahirkan, trauma sewaktu lahir, infeksi,
meningitis, TBC, neoplasma
d. Riwayat penyakit keluarga
e. Pemeriksaan fisik
Observasi tanda – tanda vital (Peningkatan systole tekanan darah,
penurunan nadi / bradikardia, peningkatan frekuensi pernapasan)
f. Pengkajian persisten
B1 (Breath) : Dispnea, ronchi, peningkatan frekuensi napas
B2 (Blood) : Pucat, peningkatan systole tekanan darah, penurunan
nadi
B3 (Brain) : Sakit kepala, gangguan kesadaran, dahi menonjol dan
mengkilat, pembesaran kepala, perubahan pupil, penglihatan ganda,
kontruksi penglihatan perifer, strabismus ( juling ), tidak dapat melihat
keatas “ sunset eyes ”, kejang
B4 (Bladder) : Oliguria
B5 (Bowel) : Mual, muntah, malas makan
B6 (Bone) : Kelemahan, lelah, peningkatan tonus otot
2. Diagnose
1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan volume cairan cerebrospinal.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan TIK
3. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan penempatan shutrl
3. Intervensi
Diagnosa NOC NIC
Perfusi jaringan Status sirkulasi Pantau
cerebral tidak Kriteria hasil 1. Tanda – tanda vital
efektif Menunjukkan status 2. Sakit kepala
berhubungan sirkulasi ditandai dengan 3. Tingkat kesadaran dan
dengan 8septic8u berikut: orientasi
peningkatan - TD sistolik dan diatolik 4. penglihatan kabur,
volume cairan dalam rentang yang ketajaman penglihatan
cerebrospinal. diharpkan 5. Pemantauan TIK
- Tidak ada hipotensi
otastik Penatalaksanaan sensasi perifer
- Tidak ada bising 1. Pantau adanya parestes:
pembuluh darah besar mati rasa atau adanya rasa
kesemutan
Menunjukkan 2. Pantau status cairan
kemampuan kognitif, termasuk asupan dan
ditandai dengan haluaran
8septic8u:
- Berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan
usia serta kepmampuan
- Menunjukkan perhatian,
konsentrasi serta orientasi
- Menunjukkan memori
jangka lama dan saat ini
- Memproses informasi
- Membuat keputusan
dengan benar
Nyeri akut Level nyeri Manajemen Nyeri
berhubungan - Laporan nyeri 1. Tampilkan pengkajian
dengan - Frekwensi nyeri secara menyeluruh tentang
peningkatan TIK - Lamanya nyeri nyeri termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
Ekspresi wajah terhadap frekwensi, kualitas,
nyeri intensitas dan faktor
- Kegelisahan predisposisi nyeri.
- Perubahan TTV 2. Observasi isyarat non
- Perubahan ukuran pupil verbal dari
ketidaknyamanan, terutama
Kontrol Nyeri jika tidak dapat
- Menyebutkan faktor berkomunikasi secara
penyebab efektif.
- Menyebutkan waktu 3. Pastikan pasien menerima
terjadinya nyeri 9septic9u yang tepat.
- Menggunakan 9septic9u 4. Tentukan dampak nyeri
sesuai indikasi terhadap kwalitas hidup
- Menyebutkan gejala (9septi ; tidur, aktivitas,
nyer dll).
5. Evaluasi dengan pasien dan
tim kesehatan, efektivitas
dari 9septic nyeri pada
masa lalu yang biasa
digunakan.
6. Kaji pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menyediakan pendukung.
7. Berikan info tentang nyeri,
9septi; penyebab, berapa
lama akan berakhir dan
antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur.
8. Kontrol faktor lingkungan
yang mungkin
mempengaruhi respon
pasien untuk
ketidaknyamanan (9septi
10septic10ure rungan cahaya
dan kebisingan).
9. Ajarkan untuk
menggunakan teknik
nonfarmokologi (10septi :
relaksasi, guided imagery,
10septic 10sept, distraksi,
dll)
Resiko infeksi Kontrol Resiko Kontrol Infeksi
berhubungan - Dapat memonitor faktor 1. Gunakan sarung tangn steril
dengan resiko 2. Pelihara lingkungan yang
pembedahan - Dapat memonitor tetap 10septic.
penempatan shutrl perilaku individu yang 3. Batasi pengunjung
menjadi faktor resiko 4. Beritahu pasien dan
- Mengembangkan keluarga tentang tanda dan
keefektifan strategi untuk gejala infeksi dan jika
mengendalikan faktor terjadi infeksi laporkan
resiko kepada petugas kesehatan.
- Memodifikasi gaya 5. Anjurkan intake nutrisi
hidup untuk mengurangi yang baik
faktor resiko
Identifikasi Resiko.
Deteksi Resiko: 1. Identifikasi pasien dengan
- Mengtahui atau kebutuhan perawatan secara
mengungkapkan tanda berkelanjutan
dan gejala tentang 2. Menentukan sumber yang
indikasi resiko. finansial.
- Menggunakan sumber 3. Identifikasi sumber agen
untuk menyediakan penyakit untuk mengurangi
informasi tentang resiko faktor resiko.
potensial. 4. Tentukan pelaksanaan
- Berpartisipasi dalam dengan treatment medis dan
pemeriksaan perawatan

DAFTAR PUSTAKA

Eko Prasetyo. 2004. Hidrosefalus Fakultas Kedokteran Universitas Sam


Ratulangi: Manado http://www.hydroassoc.org
Igusti Ngoerah. (2001). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Price, S.A. (2005). Patofisiologi Konsep Klimik Prose-proses Penyakit. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Ed 6. Jakarta; EGC; 2005
Suddart, & Brunner. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Suharso Darto, 2009, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai