Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA KASUS ALERGI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Stase Ilmu Kulit dan Kelamin

Pembimbing :
dr. Eko Rini Puji Rahayu, Sp.KK

Diajukan Oleh :

Rifqi Ramdhani Taniyo J510170113

Tantri Mutmainah Safri J5101700XX

Tamara Izumi J5101700XX

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


RUMAH SAKIT IR SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018
REFERAT

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA KASUS ALERGI

Yang diajukan Oleh :

Rifqi Ramdhani Taniyo J510170113

Tantri Mutmainah Safri J5101700XX

Tamara Izumi J5101700XX

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit Dalam Bagian
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Pembimbing

Nama : dr. Eko Rini Puji Rahayu, Sp.KK (.................................)

Dipresentasikan di hadapan

Nama : dr. Eko Rini Puji Rahayu, Sp.KK (.................................)

2
BAB I

PENDAHULUAN

Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi oleh


imunoglobulin E (IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan
dengan sel mast atau sel basofil. Ketika antigen terikat, terjadi silang molekul IgE,
sel mast manusia dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin,
leukotrein, kinin, Plateletes Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari
hipersensitivitas, dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai macam
alergi.1,3

Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang secara objektif


dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus
tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang normal.2

Tubuh mulai menghasilkan antibody tertentu, yang disebut IgE, untuk


mengikat allergen. Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel
mast. Sel mast dapat ditemukan di saluran udara, usus dan ditempat lain.
Kehadiran sel mast dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah
ini lebih rentan terhadap paparan allergen. Mengikat allergen ke IgE, dan melekat
pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast melepaskan berbagai bahan kimia
ke dalam darah. Histamine menyebabkan sebagian besar gejala reaksi alergi.3,5

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. [6]
B. ETIOLOGI
Etiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari agen, host,
dan lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan usia dimana usia dini
semakin rentan terhadap alergi. Lingkungan dapat berupa suhu, musim. Agen
dapat berupa alergen.3,4
Reaksi alergi yang timbul akibat paparan alergen pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat beragam.
Diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa
(venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-
lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin,
tetrasiklin, sterptomisin, sulfonamid.4,5
Ekstrak alergen dapat berupa rumput-rumputan atau jamur, serum ATS,
ADS, dan anti bisa ular. Produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat
dapat menyebabkan alergi. Makanan yang dapat menjadi penyebab alergi
diantaranya susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang.3
C. Klasifikasi
Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena
terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan
cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara
respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang
dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc

4
pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang
dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B memerlukan
waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-
apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.3
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan
berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau
basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka
alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel
mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi
menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya
urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan
mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan metabolit
asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and
enzim).2,3
Mediator Primer :
 Histamine : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi
otot polos
 Serotonin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi
otot polos
 ECF-A : Kemotaksis eosinofil
 NCF-A : Kemotaksis neutrofil
 Proteases : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
Mediator Sekunder :
 Leukotrienes : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi
otot polos
 Prostaglandin : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi
otot polos
 Bradykinin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi
otot polos

5
 Cytokines : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil

Gambar 1. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I


Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator
Factor), yang menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin,
dan amina vasoaktif. Eosinofil dapat melepaskan berbagai enzim hidrolitik
yang dapat menyebabkan kematian sel, serta mengontrol pelepasan
arylsulphatase, histaminase, phospholipase-D dan prostaglandin-E, walaupun
belum diketahui peran pasti dari eosinofil.7
Karakteristik dari IgE adalah kelabilannya bila terpapar panas dan
kemampuannya untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat
dilihat bawha walaupun waktu paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan basofil
dapat tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu karena tersensitisasi atopic
serum yang mengandung IgE.2,4
Faktor pemicu reaksi alergi :
Defisiensi sel T

6
Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah
serum IgE pada penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi
yang disusui dengan ASI dan dengan susu bubuk. 4
Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom
dan aktivasi penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE
Faktor lingkungan :
Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan

permeabilitas mukosa sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos


IgE
Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :
1. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )
Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya
tergantung dari tipe alergen yang masuk, misalnya :
a. batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi
(alergi rhinitis) yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen
biasanya berupa : pollen, bulu binatangm debu, spora.
b. Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi oto
polos kontraksi yang mempersempit jalan udara ke paru-paru
sehingga menjadi sesak, seperti pada penderita asma. Gejala ini
dapat menjadi fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama
c. Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan.
Makanan yang biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang
tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut2,6,7
2. Anafilatoksis sistemik
Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan
respon dari sel mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator
inflamasi dilepaskan dalam jumlah yang banyak. Gejalanya berupa sulit
bernafas karena kontraksi otot polos yang menyebabkan tertutupnya bronkus
paru-paru, dilatasi arteriol sehingga tekanan darah menurun dan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan. Gejala

7
ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena tekanan darah
turun drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis). Alergen dapat
biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari lebah.1,3,5
Hipersensitivitas Tipe II
(Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan Antibodi)
Penggolongan reaksi hipersensitivitas semula didasarkan atas
perbedaan mekanisme kerusakan jaringan yang diakibatkannya. Baik reaksi
tipe II maupun reaksi tipe III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah
bahwa pada reaksi tipe II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada
permukaan sel atau jaringantertentu, sedangkan pada reaksi tipe III antibodi
ditujukan kepada antigen yang terlarut dalam serum. Jadi pada reaksi tipe II,
antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang berada pada permukaan
suatu sel atau yang merupakan komponen membran sel tertentu yang
menampilkan antigen bersangkutan.5
Seringkali suatu substansi berupa mikroba dan molekul-molekul kecil
lain atau hapten, melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen.
Pada umumnya antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel bersifat
patogenik, karena kompleks antigen-antibodi pada permukaan sel sasaran akan
dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh makrofag maupun oleh neutrofil
dan monosit, atau limfosit T-sitotoksik dan sel NK sehingga ada kemungkinan
menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada keadaan ini sulit membedakan
antara reaksi imun yang normal dengan reaksi hipersensitivitas.3,5
Pada hipersensitivitas tipe II, mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

8
Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe II
Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan
berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak
sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan
mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya
adalah:
a. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen
akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi
sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan
mengaktivasi sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen
dalam fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan
pH. Jika target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.6
b. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d
pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel
efektor (makrofag, neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi
komplemen. C3b berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah
putusnya ikatan tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh

9
faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b
dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk sel yang memiliki
reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang memiliki
reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K) 7
c. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan
Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran
sel.
Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan
pada kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen
komplemen yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi
pada reseptor Fc merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak
leukotrien dan prostaglandin yang merupakan molekul-molekul yang berperan
pada respon inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel
sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.8
Isotip antibodi yang berbeda-beda mempunyai kemampuan yang tidak
sama dalam menginduksi reaksi ini, bergantung pada kemampuan masing-
masing untuk mengikat C1q atau kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc
pada permukaan sel sasaran. Fragmen-fragmen komplemen atau IgG dapat
bertindak sebagai opsonin yang melapisi permukaan sel pejamu atau
mikroorganisme, dan fagosit akan menelan partikel-partikel yang diopsonisasi.
Dengan meningkatkan aktivitas lisosom dan kemampuan makrofag untuk
memproduksi ROI (reactive oxygen intermediates) misalnya superoksida,
opsonin tersebut bukan saja meningkatkan kemampuan fagosit untuk
menghancurkan pathogen, tetapi juga meningkatkan kemampuannya untuk
merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme pengrusakan jaringan sel sasaran
oleh sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II, merefleksikan cara sel-sel
itu menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.7,8
Antibodi juga memperantarai hipersensitivitas dengan cara cross linking
sel K pada jaringan sasaran. Sel K terutama terdapat dalam populasi limfosit
besar bergranula (large granular lymphocytes ). Sel ini mengikat antibodi pada
reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada permukaan selnya. Dari uraian

10
tersebut jelas bahwa reseptor Fc berfungsi sebagai jembatan antara sel efektor
dengan sel sasaran.6,7
Mekanisme sitolisis oleh sel efektor sebenarnya menggambarkan fungsi
sel efektor dalam keadaan normal bila menghadapi kuman patogen. Sebagian
besar kuman patogen di fagositosis dan dibunuh intralisosom, tetapi hal ini tidak
mungkin dilakukan terhadap sel sasaran yang berukuran besar. Karena itu pada
keadaan ini, fagosit atau sel efektor lain melepaskan mediator-mediator tertentu
ke sekitarnya, misalnya protease dan kolagenase yang mampu merusak sel
sasaran. Mekanisme sitolisis dengan bantuan antibodi yang dikenal sebagai
ADCC bermanfaat untuk membantu sel sitotoksik menghancurkan sel sasaran
yang berukuran terlalu besar untuk difagositosis. Selai itu mekanisme sitolisis
dengan bantun anti bodi bermanfaat untuk menghancurkan sel patologis,
misalnya sel tumor, terutama apabila antibodi yang terbentuk justru melindungi
permukaan sel sasaran dari serangan sel T sitotoksik secara langsung. Tetapi
apabila immunoglobulin itu melapisi sel tubuh (self) kemudian menyebabkan
reaksi ADCC, maka sitolisis dalam hal ini merugikan. Kepekaan berbagai jenis
sel sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor maupun oleh aktivasi
komplemen berbeda-beda tergantung pada jumlah antigen pada permukan sel
sasaran, dan daya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan. Sebagai contoh:
eritrosit mungkin dapat dihancurkan hanya oleh reaksi C5 pada satu tempat di
permukaan sel, tetapi untuk merusak sel berinti diperlukan interaksi pada banyak
tempat.6,7,8
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti
yang terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN)
akibat ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia
hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan
transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya
pada resipien. Reaksi terhadap trombosit dapat menyebabkan trombositopenia
sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit dihubungkan dengan lupus
eritematosus sistemik (SLE). 9
a. Kerusakan pada eritrosit

11
Transfusi eritrosit kepada resipien yang mengandung antibodi terhadap
eritrosit yang ditransfusikan dapat menimbulkan reaksi transfusi. Jenis reaksi
tergantung pada kelas dan jumlah antibodi yang terlibat. Antibodi terhadap
eritrosit sistem ABO biasanya terdiri atas antibodi kelas IgM. Antibodi golongan
ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen dan hemolisis intravaskular.
Sistem golongan darah yang lain menimbulkan pembentukan antibody kelas IgG
dan pada umumnya IgG akan melapisi eritrosit kemudian menimbulkan reaksi
tipe II. Mekanisme reaksi transfusi adalah menghancurkan sel darah merah asing
oleh sistem komplemen yang distimulasi oleh IgG. Hal ini dapat menyebabkan
hemoglobinuria. 5,6

Gambar 4. Reaksi Transfusi

Hal serupa terjadi pada HDN (Hemolytic Disease oh the Newborn)


dimana immunoglobulin anti-D-IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta
masuk ke adalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin
kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitask antibodi tipe II. HDN terjadi
apabila seorang ibu Rh (-) mengandung janin Rh (+). Sensitisasi pada ibu
umumnya terjadi saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak
timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan
membentuk anti-D-IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan

12
interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit janin. Penanganannya
adalah dengan anti-Rh antibodi (Rhogam)6,7,8

.
Gambar 5. Mekanisme HDN

Anemia Hemolitik Autoimun juga dapat dianggap reaksi


hipersensitivitas tipe II karena eritrosit yang dilapisi autoantibody lebih cepat
dihancurkan oleh fagosit. Hal yang sama terjadi pada anemia hemolitik,
agranulositosis atau purpura trombositopenia akibat obat. Pada kasus-kasus ini
obat melekat pada permukaan sel bersangkutan menyusun kompleks antigen
yang dapat memicu pembentukkan antibodi. Kompleks antigen-antibodi
selanjutnya merangsang reaksi hipersensitivitas tipe II.5,8
b. Reaksi karena Obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
1. Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap obat.
Dalam hal ini baik obat maupun antibodi harus ada untuk menyebabkan
reaksi.1
2. Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada
permukaan eritrosit. Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh komplemen
yang diaktivasi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut.1
3. Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada
antigen eritrosit sendiri.1

13
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan
permukaan suatu elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan
antibodi yang bersifat sitotoksik bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan
kepekaan itu akan hilang tidak lama kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini
telah ditentukan pada anemia hemolitik yang kadang-kadang dihubungkan
dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau fenasetin, pada
agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau quinidine
dan pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin disebabkan
oleh sedormid, serum segar yang diambil dari penderita dapat melisiskan
trombosit, sedang tanpa sedormid hal ini tidak akan terjadi; pemanasan
o
sebelumnya pada suhu 56 C selama 30 menit akan menjadikan komplemen tidak
aktif dan menghilangkan efek tersebut. Selain reaksi tipe II, reaksi
hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul sebagai reaksi anafilaktik apabila
melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat berinteraksi dengan protein, atau reaksi
tipe IV pada obat yang digunakan topikal.4,6,8
c. Kerusakan pada Leukosit dan Platelet
Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk neutrofil dan limfosit,
contohnya pada Lupus (SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi 70% dari kasus
purpura trombositopenia idiopatik yaitu kelainan dimana terjadi peningkatan
pembuangan platelet dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid dapat
mencegah penutupan luka. Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh obat.8
d. Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi
apabila resipien sebelumnya pernah terpapar pada antigen jaringan transplantasi
tersebut sehingga sudah ada sensitisasi sebelumnya dan resipien telah
mengandung antibodi terhadap antigen jaringan transplantasi bersangkutan.
Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu singkat, yaitu beberapa menit hingga
48 jam setelah tindakan transplantasi selesai. Antibodi yang terdapat dalam
darah resipien dapat segera bereaksi dengan antigen yang terdapat pada
permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang paling hebat disebabkan antibodi
sistem ABO karena banyak jaringan mengandung antigen ABO. Kerusakan

14
terjadi karena antibodi dan aktivasi komplemen dalam pembuluh darah yang
menyebabkan rekruitmen dan aktivasi neutrofil dan trombosit. Mungkin juga
antibodi yang terlibat adalah antibodi terhadap antigen MHC kelas I, bila
sebelumnya resipien pernah terpapar pada jaringan transplantasi yang tidak
sesuai (inkompatibel). 8,9
Reaksi ini terjadi pada transplantasi yang mengalami revaskularisasi
segera setelah transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam
setelah revaskularisasi tampak infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul
oleh kerusakan pembuluh darah glomerulus dan pendarahan. Deposit trombus
terdapat dalam arteriol dan jaringan transplantasi mengalami kerusakan
irreversibel. Faktor utama yang berperan dalam kerusakan jaringan adalah
neutrofil dan trombosit yang berinteraksi dengan sel-sel melalui reseptor Fc, C3b
dan C3d. Sel-sel itu melepaskan berbagai mediator, misalnya superoksida, enzim
dan vasoactive amine, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
kerusakan jaringan setempat.6,7
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang
dilakukan untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan
mengendalikan gejala saja.8

Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )


Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen,
tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan
secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan
kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.8
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar
dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang
lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat
mengendap di berbagai jaringan.

15
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara
terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru,
akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.5,7,8,9
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang
pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti
halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III,
antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen
antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen,
menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak
proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi
granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim
pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan,
proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus
merusak jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak
kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).4,6

Gambar 6. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

16
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja
bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung
pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana
antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari
antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang
ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN,
agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan
edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.4
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine
atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local.
Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah
kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau
terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi
inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat
pengendapan kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis
yang berbeda pula.3
Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan
reaksi inflamasi sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
A. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus
mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat
disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun
berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada
dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi antibody dengan

17
afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran
kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks
imun.5,7,8,9
B. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas
immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat
pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak
demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan
dapatdisingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam
berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.3
C. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik
adalah berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi
komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun
karena C3b yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang
besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui
reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh
makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen,
maka kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan
memungkinkan ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui
bahwa kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap atau
terperangkap dalam jaringan.5
D. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan
permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine.
Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus
dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang
dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular. 6
E. Proses hemodinamik

18
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat
dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun
mengnedap dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali
dan dalam dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi,
seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.5,6
F. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat –
tempat tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun
adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap
dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak
mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ
tetentu.6,7
Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis
-SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan
membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada
dinding pembuluh (vasculitis) pada:
− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala
(Canis lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada.6,8,9

Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)


Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh
antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen.
Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang.6

19
Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T helper CD4+ mengenali antigen yang
membentuk kompleks dengan MHC tipe 1 ataupun tipe 2. Sel penyaji antigen dalam
reaksi ini adalah makrofag, yang mensekresi IL-12 (bekerja menstimulasi
proliferasi dari sel T CD4+). Sel T CD4+ ini akan mensekresi IL-2 dan interferon
γ, untuk menginduksi pelepasan sitokin tipe 1. Sitokin ini akan memediasi respon
imun. Sel T CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel target, sedangkan makrofag
memproduksi enzim hidrolitik, sehingga dengan adanya pathogen intraselular, akan
membentuk sel raksasa multinukleus.3,5
Reaksi ini dapat terjadi karena:
 rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar
air, candidiasis, histoplasmosis
 reaksi akibat pengujian pada kulit
 kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
 diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
 sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin
untuk menghancurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron
 adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari
kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima.3,5,6,7
D. DIAGNOSIS [7]

20
Penegakkan diagnosis reaksi hipersensitivitas dilakukan dengan
pemeriksaan:
a. Skin Prick Test
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis
yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE
spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit
ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.
Skin prick test dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe 14,5
Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain :
a. karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika
dibandingkan dengan zat pembawa berupa air.
b. Mudah dialaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
c. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal
d. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena
volume yang masuk ke kulit sangat kecil.
e. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen,
tes ini mampu dilaksanakan kurang dari 1 jam.4,7
Indikasi Skin Prick Test
Tujuan Tes Kulit pada alergi:
Tes kulit pada alergi ini untuk menentukan macam alergen sehingga
di kemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.5
Indikasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) :
o Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan
medikamentosa sehingga diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis
alergen maka di kemudian hari alergen tsb bisa dihindari.
o Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang
terpapar alergen (perenial).

21
o Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui
makanan yang menimbulkan reaksi alergi sehingga bisa dihindari.
o Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga.5,7,8

Faktor-faktor yang mempengaruhi skin test


1. Area tubuh tempat dilakukannya tes
2. Umur
3. Sex
4. Ras
5. Irama sirkardian
6. Musim
7. Penyakit yang diderita
8. Obat-obatan yang dikonsumsi6,7
Kontra Indikasi Skin Prick Test
o Pengobatan antihistamin 5-7 hari sebelum tes.
o Pengobatan jenis antihistamin generasi baru paling tidak 2-6 minggu
sebelum tes.
o Usia : pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi.
o Jangan melakukan tes cukit pada penderita dengan penyakit kulit
misalnya urtikaria, SLE dan adanya lesi yang luas pada kulit.
o Pada penderita dengan keganasan,limfoma, sarkoidosis, diabetes
neuropati juga terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit
ini.4,7,9
b. blood test

Blood test dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat maupun tipe
lambat. Blood test terdiri dari 4 macam seperti ;

1. Eosinofil Total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi.
o Interpretasi :

22
 Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih
dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan kamar
hitung lebh akurat dibandingkan persentase hitung jenis
eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit
total. Eosinofil sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit
alergi, infeksi parasit, pejanan obat, keganasan, dan
defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan
(50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Dibanding
dengan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih
kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah
eosinofil darah berkurang akibat infeksi dan pemberian
kortikosteroid secara sistemik. 1,2

2. Hitung eosinofil dalam sekret


Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan
indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi dan dapat
membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain. Meskipun
demikian tidak dapat menentukan alergen penyebab spesifik. Eosinofil lebih
dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada remaja dan dewasa
bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga dapat memperkirakan
respons terapi dengan kortikosteroid hidung topikal. Hitung eosinofil juga
dapat dilakukan pada sekret bronkus dan konjugtiva. Keberadaan eosinofil
di mukosa karena adanya pergerakan eosinofil yang dilepaskan ke dalam
sikulasi pada reaksi hipersensitivitas menuju organ sasaran. 1,3

3. Kadar serum IgE total


Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien
asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alegi.
Meskipun rerta kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi

23
dibandingkan pasien nonalergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE
pada populasi alergi dan nonalergi menyebabkan nilai dignostik IgE total
rendah. Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan
sebaliknya meningkat pada penyakit nonalergi (infeksi virus/jamur,
imunodefisiensi, keganasan). 1,2

4. Kadar IgE spesifik


Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan
secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST
(Ratio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay)
atau RAST enzim. Uji ini digunakan untuk mengevaluasi kasus alergi
makanan yang diperantarai IgE. Kelebihan metode RAST dibandingkan uji
kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun
kelainan kulit. Hasil RAST berkolerasi cukup baik dengan uji kulit dan uji
provokasi, namun sensitivitas RAST lebih rendah. Kelebihan lain cara ini
dibanding tes prick adalah dapat dilakukan pada pasien alergi yang tidak
dapat berhenti dari pengobatan anti histamin serta jika tes prick kulit tidak
mungkin dilakukan pada kelainan kulit yang luas. Hasil negatif pada tes ini
dapat menyingkirkan alergi makanan yang diperantarai oleh IgE, bila positif
tidak memastikan dignostik. 1,3,4

c. Uji Provokasi

Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan alergen dengan
gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna, ) maka dpat dilakukan
uji provokasi. Uji provokasi biasa dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe 1
maupun tipe 4.1

1. Uji Provokasi Bronkhial


Ekstrak alergen dengan konsentrasi yang makin tinggi dihirup melalui
nebulizer untuk melihat obstruksi jalan napas. Prosedur ini dilakukan

24
dengan aeroalergen atau zat kimia lainnya seperti histamin, metakolin dan
bahan kimia yang mudah menguap ditemui dirumah sekolah atau tempat
kerja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa uji provokasi bronkhial
berkolerasi baik dengan uji kulit maupun uji alergi in vitro. 1,5

2. Uji tempel (patch test)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk evaluasi reaksi hipersensitivitas tipe


lambat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempelkan alergen di kulit
selama 2-3 hari. 6
o Cara pemeriksaan :
 Uji terbuka diilakukan dengan mengoleskan sediaan uji pada
luas tertentu, lokasi lekatan dibairkan terbuka selama 24 jam,
kemaduain diamati reaksi yang terjadi.
 Uji tempel tertutup dilakukan dengan tinta tempel. Sediaan
uji diletakkan pada talam tempel setelah lokasi lekatan
ditempeli tinta atau talam tempel. Biarkan dalam waktu
tertentu dan amati reaksi kulit yang terjadi.
o Indikasi :
 Erupsi Eczematous yang persisten
 Dermatitis kronis
 Penggunaan obat yang tidak adekuat
o Interpretasi :
 Negatif (-) :
 + : reaksi lemah (nonvesikular :
eritem,infiltrate,papul)
 ++ : reaksi kuat (edem atau vesikel)
 +++ : reaksi sangat kuat ( eritem, bulla atau ulkus)

Tes tempel kurang bermanfaat dalam menegakkan diagnosis karena hanya


dapat mendeteksi IgE dan reaksi tipe IV. Namun apabila tes dilakuakn

25
dalam 30 menit, dapat mendeteksi reaksi alergi fase cepat. Tes ini memiliki
kelemahan yaitu sulit menjaga keping alergen yang digunakan tetap kontak
pada permukaan kulit khususnya pasien anak. 1,6,7

d. Eliminasi Diet

Sebagai sarana diagnosis, diet eliminasi dilakukan dengan menghindari


secara lengkap semua makanan atau kelompok makanan yang dicurigai selama
waktu tertentu (7-14 hari) sambil dimonitor berkurangnya gejala. Pada bayi diet
eliminasi ini tanpa menghentikan pemberian ASI. Antihistamin tidak boleh
diberikan sejak 3 hari sebelumnya serta tidak mengkonsumsi steroid dan
bronkodilator. Eliminasi diet biasa dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe
lambat 1,8,9

E. ELISA

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji antigen dengan antibodi yang


telah dikenal yang dilabel dengan enzim (Ab-E) atau sebaliknya, yaitu menguji
antibodi yang telah dikenal. Elisa dapat dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe
1,2,3 maupun 4. 3,4

Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dipisahkan dari antigen dan


antibodi yang bebas, kemudian diinkubasi dengan substrat kromatogenik yang
tidak berwarna. Substrat ini kemudian menjadi berwarna karena dihidrolisis
oleh enzim. Intensitas warna dapat diukur dan merupakan parameter untuk
antigen yang diuji.3,4

Terdapat 2 macam metode ELISA, yaitu metode kompetitif dan indirek:3,4

o Pada metode kompetitif, antibodi spesifik dilekatkan pada permukaan


benda padat (partikel). Serum bersama dengan Ag-E direaksikan
dengan antibodi tersebut. Reaktan kemudian dicuci dan ditambah
disubstrat kemudian diinkubasi. Hidrolisis substrat akan

26
menyebabkan perubahan warna yang dapat dibaca dengan
spektrofometer.
o Pada metode ELISA indirek, antigen dilekatkan pada permukaan
benda padat (partikel). Spesimen yang mengandung antibodi
direaksikan dengan antigen tersebut kemudian dicuci.
Antiimunoglobulin yang dilabel enzim ditambahkan, diinkubasi dan
kelebihannya dicuci. Kemudian ditambahkan substrat kromogenik yang
selanjutnya dihidrolisis oleh enzim. Banyaknya substrat yang
dihidrolisis sesuai dengan banyaknya enzim yang menunjukkan
banyaknya antibodi dalam spesimen. Hidrolisis biasanya berlangsung
pada waktu tertentu dan reaksi dihentikan dengan memberikan
larutan penghenti reaksi (stopping solution) yang biasanya terdiri
dari asam atau basa kuat.
 Tatacara
Tes immunoassay ini dalam mendeteksi alergen IgE spesifik dilakukan
dalam tiga langkah:3,4
1. alergen diadsorpsi dan dirubah menjadi fase padat,
2. serum pasien yang ditambahkan, diinkubasi selama 30-60 menit dan
beberapa langkah pencucian dan
3. Ikatan alergen IgE dideteksi secara enzimatis oleh antibodi monoklonal
berlabel anti-human IgE
 Interpretasi
Terdapat beberapa teknik yang sering digunakan untuk mendeteksi
alergen IgE spesifik berdasarkan prinsip immunoassay, dimana sampai saat
ini sistem yang paling umum digunakan untuk menentukan IgE alergen
spesifik adalah sistem ImmunoCAP yang dianggap sebagai standar emas
untuk mendiagnosis alergi secara in vitro.3,4
Baru-baru ini, tes diagnostik alergen berdasarkan microarray juga
telah diperkenalkan baik dalam penelitian dan juga praktek klinis. Berbeda
dengan diagnosis alergi konvensional, microarray adalah tes alergen multi

27
analitik yang memungkinkan penyelidikan spontan hingga beberapa ratus
alergen dalam satu langkah analisis tunggal.3,2

D. Challange Testing

Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan alergen


dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna, paru),
maka dapat dilakukan uji provokasi. Uji provokasi dilakukan pada reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. 1,4

Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan yang


dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap makanan tersebut.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka, single-blind, double-blind,
atau double-blind placebo-controlled.2,3

1. Uji Provokasi Makanan Terbuka

28
Tantangan terbuka mengacu pada OFC (Oral Food Challange
Testing) di mana pasien dapat mengenali makanan target tanpa
menyilaukan. Hasilnya bisa definitif jika tantangan menghasilkan hasil
negatif atau hasil positif dengan gejala obyektif. Pemeriksaan ini
mungkin cocok untuk kebanyakan bayi atau anak kecil, karena
pertimbangan gejala psikologis dapat diabaikan pada usia tersebut.
Namun, jika pasien hanya mengeluh gejala subyektif seperti sakit perut
atau pruritus, terutama ketika pasien menunjukkan kecemasan tentang
tantangan, menginterpretasikan hasil tantangan itu sulit.
2. Single Blind
Uji provokasi single-blind berarti bahwa pasien tidak tahu apakah
makanan mengandung alergen yang dicurigai, tetapi pengamat tahu.
Efek masking terkadang membantu mengurangi efek psikologis atau
kesulitan makan pada anak kecil, tetapi tantangan single-blind tanpa
plasebo pada dasarnya sama dengan tantangan terbuka.
3. Double Blind Placebo Controlled
Uji Double Blind Placebo Controlled, di mana baik pasien dan
pengamat dibutakan terhadap bahan tantangan, tetap menjadi baku emas
untuk mendiagnosis alergi makanan baik untuk tujuan klinis dan ilmiah.

Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan meragukan
maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan
diet eliminasi selama tiga minggu.

 Indikasi
1. Mendiagnosis alergi makanan
2. Menentukan toleransi terhadap alergi makanan
 Tatacara
1. Dilakukan di lembaga yang memiliki akses perawatan darurat.
2. Dokter dan perawat yang terlatih harus menemani selama proses
berlangsung

29
3. Risiko dan manfaat OFC harus didiskusikan dengan pasien dan
orang tua, dan informed consent tertulis perlu diperoleh.
4. Pasien harus stabil dalam hal gejala alergi dan bebas dari penyakit
akut.
5. Antihistamin seharusnya dihentikan selama> 72 jam dan obat lain
untuk pengobatan atau pencegahan penyakit alergi dihentikan untuk
periode yang tepat berdasarkan durasi kerja, kecuali kortikosteroid
inhalasi dan salep kortikosteroid topikal yang dioleskan pada area
kecil lesi kulit.
6. Skema provokasi yang umum adalah membagi dosis total menjadi
3-6 dosis penggandaan bertahap, seperti 1, 2, 4, 8 dan 16 g putih
telur rebus atau 1, 5, 10, 25, 50 dan 100 ml susu. Provokasi dengan
dosis yang lebih kecil harus dipertimbangkan untuk pasien yang
dianggap berisiko mengalami reaksi berat, seperti 0,1 ml untuk dosis
awal susu.
7. Dosis umumnya diberikan setiap 15-30 menit selama 1-2 jam.
Interval dosis yang lebih lama mungkin diterapkan untuk pasien
yang parah atau bagi mereka yang telah mengalami reaksi alergi
lambat setelah asupan makanan yang dicurigai. Jika tanda reaksi
yang mencurigakan muncul, dosis berikutnya harus ditunda untuk
mengamati perkembangan gejala, atau dosis yang sama harus
diulang untuk menghindari overloading.
8. Pasien dapat tinggal di rumah sakit selama lebih dari 2 jam setelah
dosis terakhir diberikan atau gejala yang diprovokasi menghilang.
Setelah pulang, pasien perlu diinstruksikan untuk mengamati
kemungkinan gejala onset lambat, bahkan setelah hasil provokasi
negatif.1,4
 Interpretasi
Reaksi yang diharapkan selama tes provokasi melibatkan gejala
kulit, mukosa, pernapasan, GI, kardiovaskular dan neurologis. Gejala kulit
yang mungkin muncul adalah pruritus, eritema, urtikaria, angioedema.1,3

30
Grade
1 Ruam samar, Wheal (<3),
Pruritus
2 Ruam lokal
Wheal (3-10)
Memburuknya eksim
Garukan meningkat
3 Ruam / bintil sistemik
Gatal parah
Angioedema

Sebagian besar gejala kulit dan mukosa dapat diobati dengan


menggunakan antihistamin (oral atau parenteral). Ketika gejala mencapai
Grade 3, pengobatan Langkah 2 harus diterapkan.1,3

Langkah Pengobatan
1  Histamine H1 antagonist (oral)
 Ulangi histamin H1 antagonis (oral, IV atau IM)
2  0,1% Adrenalin IM 0,01 mL / kg
 Ulangi IM adrenalin setelah 15-20 menit, atau
 Oksigen (SpO2 <95%)
 Hidrasi. Bolus saline (30 mL / kg) jika terjadi syok
 Corticosteroid (slow IV atau drip)
 Hidrokortison 5-10 mg / kg, Methyprednisolone atau
Predonine 1-2 mg / kg
3  Dopamin, Noradrenaline, Glukagon untuk kegagalan
sirkulasi yang sulit
 Intubasi dan ventilasi mekanis
 Pijat jantung, defibrilasi elektronik (AED)
 Rawat di ICU

31
32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudewi N P. Nia K. EM Dadi. Zakiudin M. Arwin P. 2009. Berbagai Teknik


Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari Pediatri.
11: 174-176

2. Rambu S J B. 2011. Hubungan Kadar Imunoglobulin E Spesifik Dengan


Hasil Uji Tusuk Kulit Penderita Dermatitis Atopik Anak. Med Unhas. 3 :
45
3. Ernawati D A & Susiana C. 2008. Jumlah Eosinofil Darah Tepi Dan
Mukosa Hidung Pada Penderita Rhinitis Alergika Di RS Moewardi
Surakarta. Jurnal Unsoed. 3 : 141
4. Danarti R. Dina E U. Herwinda B. Hardyanto S. 2016. Hubungan Kadar
IgE Spesifik dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik pada Anak.
DMVI. 43: 97
5. Endaryanto A. Harsono A. Lubis A. Wisnu B. 2017. Kesesuaian Gejala
Klinis Dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Dan Provokasi Makanan Pada Reaksi
Simpang Terhadap Makanan. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin.
29: 113-114
6. Cita R & Noviandhini A. 2014. Patch Test Dan Repeated Open Application
Test (ROAT) Pada Dermatitis Kontak Alergika. Telaah Kepustakaan.
26:221-222
7. Dina Muktiarti. Available from URL: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatan-anak/perlukah-tes-alergi. Accessed december 18, 2018
8. Cristanto A & Tedjo O. 2011. Uji Daignostik Alergi Makanan. CDK. 38 :
465-466

9. Suryantoko & Dwi R P. 2012. Peran Diet Eliminasi Alergi Makanan Pada
Diagnosis Dan Terapi Rhinitis Alergi. Jurnal THT-KL. 5:170

DAFTAR PUSTAKA

34
10. Ito, Komei, Atsuo, Urisu. Diagnosis of Food Allergy Based on Oral Food Challenge
Test. Allergology International. 2009;58:467-474.
https://core.ac.uk/download/pdf/82708738.pdf
11. Ni Putu Sudewi, Nia Kurniati, EM Dadi Suyoko, Zakiudin Munasir, Arwin AP Akib.
Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari
Pediatri, Vol. 11, No. 3, Oktober 2009.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/zakiudin.munasir/publication/11-3-
51.pdf
12. Anton Christanto , Tedjo Oedono. Uji Diagnostik Alergi Makanan. CDK 187, Vol.
38, No. 6 / Agustus - September 2011.
13. Genser JK, Grendelmeier PS. In vivo allergy diagnosis - skin tests.
Dalam: Akdis CA, Agache I, editor. Global Atlas Of Allergy. European ACademy
of Allergy and Clininal Immunology. 2014;150-175.

35

Anda mungkin juga menyukai