Anda di halaman 1dari 22

PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA REFORMASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu
jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke
India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah
melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India,
Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan
Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-
kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh
raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar.
Pada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali
menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan
VII.Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami
kemerosotan dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi dan situasi seperti ini mengundang
keprihatinan rakyat.
Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak
menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya Soeharto dari kursi
kepresidenannya.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti, terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa hingga
tewas, ke empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan
Sie, dan Heri Hartanto.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di
Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di
Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-
alun utara kraton Yogyakarta untuk mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono
X dan Sri Paku Alam VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh
masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa
Indonesia untuk dimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai
oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden
Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari
Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya
menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan di depan Ketua Mahkamah Agung dan para
anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai
presiden yang ke-3.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Keadaan Perekonomian di Indonesia pada masa Pemerintahan Reformasi ?
2. Bagaimanakah dampak reformasi pada saat tersebut ?
3. Bagaimana Kebijaksanaan Perekonomian Indonesia selama pemerintahan reformasi ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui keadaan perkenomian di Indonesia pada masa pemerintahan reformasi.
2. Untuk mengetahui dampak reformasi pada masa pemerintahan tersebut.
3. Untuk mengetahui Kebijaksanaan Perekonomian Indonesia selama pemerintahan reformasi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perekonomian di Indonesia pada masa pemerintahan reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini
tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi.
Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan
kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan
menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi
Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan
lainnya.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana
Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie
juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih
berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah
pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per
dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia
juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi
perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ
Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
• Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
• Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
• Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
• Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
• Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
• Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang
Tidak Sehat
• Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J.
Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam
dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik.

2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai
positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian
Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain
pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan
bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak
berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator
dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang
merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya
pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden
tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya
jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara
terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di
Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin
tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite
politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid
dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah
untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.
Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada
pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada
bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara
donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang
semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu
membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang.
Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku
bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan
modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga
pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya
country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan,
namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard
& Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia
akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali
negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya
hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,
restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan
pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil
mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas
pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator
ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode
tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini
mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek
perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang
menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah
reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat
pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan
pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah,
menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank
Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS
per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana
Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah
semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh
Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih
sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap
roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa
Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih
besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama,
perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal
dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar
negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah,
sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua
digit dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar
AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada
perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga
yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
• Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik,
yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia,
penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi
APBN 2001 yang terus tertunda.
• Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan
untuk menanamkan modal di Indonesia.
• Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih
banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam
negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang
cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden
Megawati.
3. Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-
kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
• Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3
dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
• Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi
membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan
mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah
yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
4. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke
tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang
ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor
dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan
untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada
prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih
banyak kekurangan disana-sini.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar
3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda
IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar
negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk
kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke
sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja
sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu
kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor
dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada
masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun
2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang
berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro
environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada
tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah
lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY
yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi
masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu
saja banyak membuka lapangan kerja baru.
Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan
pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3 EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat
menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita
antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-
4,5 triliun.
B. Krisis Ekonomi pada Masa Pemerintahan Reformasi
Pada pertengahan tahun 1997, krisis moneter melanda negara-negara di kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Krisis moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai
tukar rupiah. Hal itu memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya disfungsi
institusi ekonomi dalam mengatasi krisis tersebut. Kelompok masyarakat yang kritis melihat
bahwa krisis ini merupakan kesalahan Orde Baru yang di nilai tidak baik dalam mengurus
pemerintahan. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya krisis legitimasi kepercayaan atas
pemerintahan Orde Baru. Masyarakat kampus yang terdiri atas para mahasiswa, dosen, dan
rektor mulai menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik itu seminar, diskusi,
mimbar bebas hingga aksi demonstrasi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan
Orde Baru makin meningkat dengan di angkatnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia. Berbagai peristiwa bentrokan antara kelompok mahasiswa dan tentara serta kelompok
pendukung Soeharto pun mulai bermunculan.
Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997, efek domino
pun langsung mendera masyarakat Indonesia di berbagai lini. Penurunan tingkat daya beli,
munculnya krisis sosial, dan meningkatnya pengangguran karena PHK menjadi permasalahan
sosial yang krusial. Krisis politik, krisis sosial, dan krisis legitimasi atas pemerintahan Orde Baru
kemudian bermunculan sebagai reaksi utama.
Berbagai krisis yang melanda Indonesia ini juga dihiasi oleh berbagai peristiwa
berdarah dan politis di dalamnya. Krisis demi krisis yang harus di hadapi oleh Indonesia pada
kurun waktu 1997-1998 membuat Indonesia tersadar. Proses nation-state building yang harus di
lakukan oleh Indonesia selepas masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 1996, ternyata baru
memasuki tahapan permulaannya. Berbagai manuver politik dan aksi demonstrasi mahasiswa
pun mewarnai berbagai peristiwa pada kurun waktu awal bergulirnya gerakan reformasi yang di
perakarsai oleh mahasiswa dan beberapa tokoh masyarakat di tahun 1998.
a. Krisis Ekonomi
Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 merupakan sebuah efek domino
dari krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Disebabkan oleh adanya fundamen ekonomi yang lemah, Indonesia mengalami kesulitan dalam
menata ulang kembali perekonomiannya untuk keluar dari krisis.
Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak tahun 1990-an. Saat
itu, sistem neoliberalisme menjadi norma pengaturan ekonomi dan politik dunia. Barang-barang
produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang luar negri
yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Berdasarkan batasan-batasan yang telah
dicanangkan oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil jika memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh bank dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya
peningkatan investasi dibidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya
manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya stabilitas dan
kredibilitas politik.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh bank dunia itu semacam acuan bagian negara-
negara berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya negara penerima
bantuan luar negri seperti Indonesia. Akan tetapi, pada krisis 1997, kondisi ekonomi Indonesia
tidak merepresentasikan satupun kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh bank dunia tersebut.
Hal yang terjadi di Indonesia justru adanya krisis moneter yang ditandai dengan rendahnya mutu
sumber daya manusia, tingginya tingkat produksi di instansi-instansi pemerintah, dan kondisi
instabilitas politik. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% tahun
1998.
Kemerosotan ekonomi Indonesia ternyata tidak ditanggapi oleh presiden Soeharto
dengan membuat perbaikan dalam hal kebijakan ekonomi, tetapi justru dengan meminta bantuan
dana Monitari Fund (IMF). Pada 15 januari 1988, presiden Soeharto menandatangani 50 butir
letter of intent (Lol) dengan dilaksanakannya oleh direktur IMF Asia, Michael Camdessus,
sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negri tersebut.
Dengan merujuk pada batasan tingkat keberasilan ekonomi suatu bangsa yang
dikeluarkan oleh bank dunia, maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia tahun
1997/1998 telah mengalami kehancuran. Dalam hal investasi dan peningkatan modal, Indonesia
mengalami kemunduran yang tajam. Pada investor luar negri beramai-ramai memindahkan
modalnya kenegara lain karena tidak adanya stabilitas dan kredibilitas politik dalam negri.
Angka ekspor-impor Indonesia menurun drastis karena sektor usaha tidak dipercaya oleh
perbankan Indonesia. Tingginya tingkat korupsi ditataran sektor ekonomi dan pemerintahan dan
munculnya kasus kredit macet yang melanda bank-bank utama di Indonesia mengakibatkan
pembayaran letter of credit (L/C) dari sektor-sektor usaha Indonesia tidak diterima diluar negri.
Penanggahan krisis ekonomi Indonesia di tahun 1997/1998 berujung pada munculnya krisis
multidimensi, baik itu politik dan sosial, maupun krisis kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan.

C. Dampak Reformasi

1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945


Perubahan (Amandemen) terhadap UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan dari reformasi.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakikatnya merupakan tuntutan bagi adanya
penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan perubahan UUD 1945
dilatarbelakangi antara lain karena sistem perwakilan masa Orde Baru yang bersifat semu dan
pada kenyataannya kekuasaan yang besar berada pada presiden, adanya pasal-pasal yang
menimbulkan multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat peyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara,
kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum,
serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan
UUD 1945 disertai kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR yaitu sebagai berikut :
a. Perubahan Pertama UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21
Oktober 1999.
b. Perubahan Kedua UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18
Agustus 2000.
c. Perubahan Ketiga UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal 1-9
November 2001.
d. Perubahan Keempat UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal 1-11
Agustus 2002.
Perubahan terhadap UUD 1945 telah menghasilkan beberapa ketentuan baru dalam
penyelenggaraan negara. Hasil amandemen tersebut antara lain memuat aturan tentang
mekanisme pemilihan presiden, dengan adanya pemilihan presiden secara langsung dan
pembatasan masa jabatan presiden.
2. Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Setiap isi berita yang
disajikan tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Pada saat itu kebebasan pers cenderung
untuk memperkuat status quo, daripada membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan kontrol politik.
Adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h
merupakan salah satu contoh pembatasan kebebasan pers. Dengan definisi “pers yang bebas dan
bertanggung jawab”. SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Media massa yang memuat berita yang mengkritisi pemerintah tidak luput dari pembredelan
seperti yang dialami Tempo, Detik, Editor pada tahun 1994. Pembredelan merupakan sebuah
tindakan otoriter pemerintah Orde Baru yang menekan kebebasan pers. Hal itu mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers mengalami masa
pencerahan. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik
yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan
peran sentral dengan memberikan dan menyebarluaskan informasi untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini public dalam rangka mencapai konsensus bersama atau
mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan dirasakan dalam kehidupan
pers di era reformasi. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru, baik media
cetak maupun elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam
mengkritik kebijakan pemerintah juga mencari ciri baru pers Indonesia.
3. Restukturisasi ABRI
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ABRI menjadi salah satu institusi yang dipandang perlu
direformasi. Masyarakat menilai perlu adanya perubahan bagi ABRI dalam tataran sikap dan
tindakan. Selama masa Orde Baru ABRI memiliki kecenderungan menempatkan diri sebagai
“mesin politik” untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan perubahan pada ABRI berujung pada tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI.
Dwi Fungsi ABRI telah membawa konsekuensi panjang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara selama masa Orde Baru. Dengan dalih menjalankan fungsi sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan.
Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan mengadakan perubahan structural
ABRI, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Pemisahan POLRI dan TNI yang semula bersama-sama tergabung dalam ABRI.
b. Pemisahan TNI dan POLRI tersebut juga berakibat pada perubahan Dephankam menjadi
Dephan.
c. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI,
penghapusan keberadaan Fraksi TNI/POLRI, serta perubahan doktrin dan organisasi TNI.
Sejak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan diikuti wacana kembalinya lembaga TNI ke barak
serta dipisahkannya TNI dengan POLRI, member harapan baru bagi proses demokratisasi serta
mengobati kekecewaan panjang rakyat terhadap posisi ABRI yang kini menjadi TNI.
4. Otonomi Daerah
Era reformasi ditandai oleh bangkitnya demokrasi peran pemerintah pusat yang besar serta
menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Oleh
karena itu, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dah Daerah. Undang-
undang ini memberikan masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi masyarakat yang
sejalan dengan semangat demokrasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut banyak menuai persoalan. Persoalan-
persoalan yang muncul antara lain masalah koordinasi antar daerah otonom tingkat provinsidan
kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung mengabaikan nilai etik dalam
berpolitik, sulitnya pengawasan daerah otonom dan lain sebagainya.
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni
dengan pemberlakuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang
terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi”
atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif
dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi.
5. Munculnya Eurofia Kebebasan
Era reformasi adalah era keterbukaan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat terhadap
perkembangan politik maupun kritik terhadap kinerja aparatur negara. Orde reformasi telah
memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan tanggapan
kritik terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan, karena tidak ada lagi sistem yang mengekang
kebebasan berpendapat dan berbicara, baik secara represif maupun preventif seperti halnya
dalam masa Pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya era keterbukaan dan kebebasan tersebut
telah berdampak pada munculnya aksi-aksi unjuk rasa terhadap kinerja pemerintah.
Pada awal reformasi, setiap hari hampir terjadi unjuk rasa. Unjuk rasa itu ditujukan bukan
hanya kepada pemerintah namun juga instansi lainnya yang dianggap tidak dapat dipercaya dan
merugikan kepentingan masyarakat. Namun, disinyalir ada sebagian dari aksi-aksi tidak murni
dilakukan oleh pengunjuk rasa, melainkan hanya merupakan aksi yang mengemban kepentingan-
kepentingan kelompok tertentu. Di antara para pengunjuk rasa tersebut adalah orang-orang
bayaran yang pada umumnya pengangguran yang jumlahnya semakin meningkat akibat badai
krisis moneter yang melanda Indonesia.
Reformasi sebagai era keterbukaan banyak dimaknai oleh masyarakat sebagai kebebasan
yang berlebihan. Masyarakat terjebak oleh euforia kebebasan yang telah menimbulkan bahaya
disintegrasi nasional dan sosial. Konflik-konflik di Ambon, Poso, Sanbas, dan Sampit merupakan
contoh gejolak sosial di daerah yang dapat menimbulkan disintegrasi nasional dan sosial.
BAB III
A. Kesimpulan
Pada masa reformasi ini perekonomian Indonesia ditandai dengan adanya krisis moneter
yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda ke
arah pemulihan. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi sekitar 6% untuk tahun 1997 dan 5,5%
untuk tahun 1998 dimana inflasi sudah diperhitungkan namun laju inflasi masih cukup tinggi
yaitu sekitar 100%. Pada tahun 1998 hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif, hal
ini berbeda dengan kondisi ekonomi tahun 1999.
Namun sejak masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, perekonomian Indonesia
mulai membaik. Perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa keemasannya.
Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan perekonomian
Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan,
Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Pembangunan di era Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang
sehingga belum menemukan suatu arah yang jelas. Pembangunan masih tarik-menarik mana
yang harus didahulukan. Namun setidaknya reformasi telah membawa Indonesia untuk menjadi
lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin terjerumus dalam kebobrokan moral
manusia-manusia sebelumnya.
B. Saran
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam
mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan. Harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan
menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses
pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat
umumnya.

1. Latar belakang jatuh/berakhirnya orde baru:


• Krisis politik
Pemerintah orde baru, meskipun mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi dan
memberikan kemajuan, gagal dalam membina kehidupan politik yang demokratis, terbuka, adil,
dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter, tertutup, dan personal. Masyarakat yang memberikan
kritik sangat mudah dituduh sebagai anti-pemerintah, menghina kepala negara, anti-Pancasila,
dan subversive. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah
terwujud dan Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu diperalat oleh pemerintah orde
baru untuk mengamankan kehendak penguasa.
Praktik KKN merebak di tubuh pemerintahan dan tidak mampu dicegah karena banyak pejabat
orba yang berada di dalamnya. Dan anggota MPR/DPR tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik dan benar karena keanggotaannya ditentukan dan mendapat restu dari penguasa,
sehingga banyak anggota yang bersikap ABS daripada kritis.
Sikap yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta merebaknya KKN menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini terlihat pada pemilu 1992 ketika suara Golkar
berkurang cukup banyak. Sejak 1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap orba mulai terbuka.
Muncul tokoh vokal Amien Rais serta munculnya gerakan mahasiswa semakin memperbesar
keberanian masyarakat untuk melakukan kritik terhadap pemerintahan orba.
Masalah dwifungsi ABRI, KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik adalah masalah yang
menjadi sorotan tajam para mahasiswa pada saat itu. Apalagi setelah Soeharto terpilih lagi
sebagai Presiden RI 1998-2003, suara menentangnya makin meluas dimana-mana.
Puncak perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil menduduki gedung MPR/DPR pada
bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei 1998
Presiden menyatakan berhenti dan diganti oleh wakilnya BJ Habibie.
• Krisis ekonomi
Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara telah merembet ke Indonesia, sejak Juli
1997, Indonesia mulai terkena krisis tersebut. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika terus
menurun. Akibat krisis tersebut, banyak perusahaan ditutup, sehingga banyak pengangguran
dimana-mana, jumlah kemiskinan bertambah. Selain itu, daya beli menjadi rendah dan sulit
mencari bahan-bahan kebutuhan pokok.
Sejalan dengan itu, pemerintah melikuidasi bank-bank yang bermasalah serta mengeluarkan
KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk menyehatkan bank-bank yang ada di bawah
pembinaan BPPN. Dalam praktiknya, terjadi manipulasi besar-besaran dalam KLBI sehingga
pemerintah harus menanggung beban keuangan yang semakin besar. Selain itu, kepercayaan
dunia internasional semakin berkurang sejalan dengan banyaknya perusahaan swasta yang tak
mampu membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Untuk mengatasinya, pemerintah
membentuk tim ekonomi untuk membicarakan utang-utang swasta yang telah jatuh tempo.
Sementara itu, beban kehidupan masyarakat makin berat ketika pemerintah tanggal 12 Mei 1998
mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos angkutan. Dengan itu, barang kebutuhan ikut naik
dan masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup.
• Krisis sosial
Krisis politik dan ekonomi mendorong munculnya krisis dalam bidang sosial. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah serta krisis ekonomi yang ada mendorong munculnya perilaku
yang negatif dalam masyarakat. Misalnya: perkelahian antara pelajar, budaya menghujat,
narkoba, kerusuhan sosial di Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di
Banyuwangi dan Boyolali serta kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan Solo.
Akibat kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14, dan 15 Mei 1998, perekonomian kedua
kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu karena banyak swalayan, pertokoan, pabrik dibakar,
dirusak dan dijarah massa. Hal tersebut menyebabkan angka pengangguran membengkak.
Beban masyarakat semakin berat serta tidak ada kepastian tentang kapan berakhirnya krisis
tersebut sehingga menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi tersebut membahayakan karena
mudah diadu domba, mudah marah, dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.

2. Kronologi mundur/berakhirnya kekuasaan Soeharto:


5 Maret 1998
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan
penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum
MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI

11 Maret 1998
Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden

14 Maret 1998
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.

15 April 1998
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan
ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan unjukrasa menuntut
dilakukannya reformasi politik.

18 April 1998
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri
Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun
cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog
tersebut.

1 Mei 1998
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan
mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.

2 Mei 1998
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa
dilakukan sejak sekarang (tahun 1998).

4 Mei 1998
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak
(2 Mei 1998) dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan
saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan
Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.

5 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa besar – besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.
9 Mei 1998
Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G -15. Ini merupakan
lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.

12 Mei 1998
Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai.
Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.

13 Mei 1998
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke
Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.

14 Mei 1998
Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat
menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo. Sementara itu
kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek seperti
Supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana dan Borobudur. Beberapa dari
bangunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat
kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.

15 Mei 1998
Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah
mengatakan bersedia mengundurkan diri. Suasana Jakarta masih mencekam. Toko-toko banyak
ditutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.

16 Mei 1998
Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih
mencekam.

19 Mei 1998
Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid,
Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam
(molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir,
dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur.

Permintaan tersebut ditolak Soeharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada
saat itu Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden. Namun hal itu
tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke Gedung MPR untuk berunjukrasa
semakin banyak.

Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk
memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

20 Mei 1998
Jalur jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade petugas dengan pagar kawat berduri
untuk mencegah massa masuk ke komplek Monumen Nasional namun pengerahan massa tak jadi
dilakukan. Pada dinihari Amien Rais meminta massa tak datang ke Lapangan Monumen
Nasional karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan
mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR / DPR. Mereka
terus mendesak agar Soeharto mundur.

21 Mei 1998
Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden dan
BJ. Habibie disumpah menjadi Presiden RI ketiga.

3. Indonesia masa pemerintahan B.J. Habibie:


Kebijakan-kebijakan pada masa Habibie:
• Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan
dari Golkar, PPP, dan PDI.
• Mengadakan reformasi dalam bidang politik
Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia,
jujur, adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya Serikat Buruh
Independen.
Kebebasan menyampaikan pendapat.
Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu
UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
• Refomasi dalam bidang hukum
Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa,
dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat
kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan
keadilan bila berhubungan dengan penguasa.
• Mengatasi masalah dwifungsi ABRI
Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai
dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan
memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan
birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk
berkarier di sipil. Dari hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/MPR makin berkurang dan
akhirnya ditiadakan.
• Mengadakan sidang istimewa
Sidang tanggal 10-13 November 1998 yang diadakan MPR berhasil menetapkan 12 ketetapan.
• Mengadakan pemilu tahun 1999
Pelaksanaan pemilu dilakukan dengan asas LUBER (langsung, bebas, rahasia) dan JURDIL
(jujur dan adil).

Masalah yang ada yaitu ditolaknya pertanggung jawaban Presiden Habibie yang disampaikan
pada sidang umum MPR tahun1999 sehingga beliau merasa bahwa kesempatan untuk
mencalonkan diri sebagai presiden lagi sangat kecil dan kemudian dirinya tidak mencalonkan
diri pada pemilu yang dilaksanakan.

4. Indonesia masa pemerintahan Abdurrahman Wahid:


Kebijakan-kebijakan pada masa Gus Dur:
• Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan
kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama,
memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
• Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya
tidak efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran
anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
• Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot
Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.

Masalah yang ada:


• Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
• Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.
• Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta
pembubaran Golkar. Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, Polri dan partai politik
serta masyarakat sehingga dekrit tersebut malah mempercepat kejatuhannya. Dan sidang
istimewa 23 Juli 2001 menuntutnya diturunkan dari jabatan.

5. Indonesia masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri:


Kebijakan-kebijakan pada masa Megawati:
• Memilih dan Menetapkan
Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan
kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan
dunia internasional berkurang.
• Membangun tatanan politik yang baru
Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan
pemilihan presiden dan wapres.
• Menjaga keutuhan NKRI
Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon,
Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur
dari RI.
• Melanjutkan amandemen UUD 1945
Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
• Meluruskan otonomi daerah
Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang
pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan terhadap
daerah-daerah.

Tidak ada masalah yang berarti dalam masa pemerintahan Megawati kecuali peristiwa Bom Bali
dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan.

6. Indonesia masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono:


Kebijakan-kebijakan pada masa SBY:
• Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
• Konversi minyak tanah ke gas.
• Memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
• Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
• Buy back saham BUMN
• Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil.
• Subsidi BBM.
• Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
• Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan “Visit Indonesia 2008″.
• Pemberian bibit unggul pada petani.
• Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Masalah yang ada:


• Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak
tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka
pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
• Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak
profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat
sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang
tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber
daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar
biasa.
• Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan
berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok
profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat
Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota
kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
• Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan
keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum
menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan
kelompok.
• Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang
semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok
kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan
korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
• Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’.
Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak
melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan
Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang
diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar
akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi
negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.

7. Dampak reformasi bagi rakyat Indonesia:


• Pemerintahan orde baru jatuh dan muncul era reformasi. Namun reformasi dan keterbukaan
tidak diikuti dengan suasana tenang, aman, dan tentram dalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Konflik antar kelompok etnis bermunculan di berbagai daerah seperti Kalimantan
Barat. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh masalah-masalah sosial, ekonomi dan agama.
• Rakyat sulit membedakan apakah sang pejabat bertindak sebagai eksekutif atau pimpinan partai
politik karena adanya perangkapan jabatan yang membuat pejabat bersangkutan tidak dapat
berkonsentrasi penuh pada jabatan publik yang diembannya.
• Banyak kasus muncul ke permukaan yang berkaitan dengan pemberian batas yang tegas pada
teritorial masing-masing wilayah, seperti penerapan otonomi pengelolaan wilayah pengairan.
• Pemerintah tidak lagi otoriter dan terjadi demokratisasi di bidang politik (misalnya: munculnya
parpol-parpol baru), ekonomi (misalnya: munculnya badan-badan umum milik swasta, tidak lagi
melulu milik negara), dan sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritik
terhadap pemerintah).
• Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus dikurangi (sejak 2004, wakil militer
di MPR/DPR dihapus).

8. Latar belakang munculnya reformasi:


• Bidang politik
Munculnya reformasi di bidang politik disebabkan oleh adanya KKN, ketidakadilan dalam
bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokratis) dan tertutup, besarnya
peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta munculnya demo mahasiswa yang
menginginkan pembaharuan di segala bidang.
• Bidang ekonomi
Munculnya reformasi di bidang ekonomi disebabkan oleh adanya sistem monopoli di bidang
perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang yang dekat dengan pemerintah
akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan, bahkan mampu berbuat apa saja demi
keberhasilan usahanya.
Selain itu juga disebabkan oleh krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi
kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehingga terjadi PHK
dimana-mana dan menyebabkan angka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan
dimana-mana dan krisis perbankan.
Hal-hal tersebut membuat perlu dilakukannya tindakan-tindakan yang cepat dan tepat untuk
mengatasinya.
• Bidang sosial
Krisis ekonomi dan politik pada masa pemerintahan orde baru berdampak pada kehidupan sosial
di Indonesia. Muncul peristiwa pembunuhan dukun santet di Situbondo, perang saudara di
Ambon, peristiwa Sampit, beredar luasnya narkoba, meningkatnya kejahatan, pembunuhan,
pelacuran. Hal tersebut membuat diperlukannya tindakan yang cepat dan tepat

Anda mungkin juga menyukai