Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

Rabies adalah suatu penyakit infeksi virus akut pada SSP yang
disebabkan oleh virus rabies suatu virus RN. Virus rabies termasuk genu
Lysssa-virus, family Rhabdovirida. Nama lain rabies adalah hydrophobia,
la rage (prancis), la rabbia (italia), rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau
di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.1,2
Virus rabies terdapat dalam air liur binatang yang telah infeksi melalui
gigitan, goresan dan garukan yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Dengan demikian semua kasus rabies terjadi sebagai akibat dari inokulasi
viral melalui kulit yang telah terbuka. Hewan-hewan yang sering
mengalami adalah anjing, rubah, serigala, kucing, kalong, dan kera.
Dalam kepustakaan kasus rabies tanpa gigitan binatang tetapi hanya
dengan menghirup udara yang mengandung rabies. Hal ini terjadi didalam
gua-gua, dimana terdapat banyak sekali kalong yang telah menderita
rabies. Selain itu dapat pula terjadi di labolatorium karena kurang hati-
hati.2,3
2

Gambar 1 : Populasi virus rabies

Istilah rabies dikenal sejak zaman babilonia kira-kira abad ke-23


SM dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada
tahun 500 SM. Tulisan adalah infeksi rabies pada manusia dengan gejala
hidofobia dilaporkan pada abad pertama oleh Calceus dan Fracastoro,
seorang dokter italia. Pada tahun 1880 louis Pasteur mendemostrasikan
adanya infeksi pada SSP. Pengobatannya dilakukan dengan cara
kauterisasi sampai ditemukan vaksin oleh leuis Pasteur pada tahun 1885.
Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan
baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop eletron pada tahun 1960. 2,4
Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit zoonosa yang
terpenting di Indonesia karena penyakit tersebut tersebar luas di 18
Propinsi, dengan jumlah kasus gigitan yang cukup tinggi setiap tahunnya
(16.000 kasus gigitan), serta belum ditemukan obat/cara pengobatan
untuk penderita rabies sehingga selalu diakhiri dengan kematian pada
hampir semua penderita rabies baik manusia maupun pada hewan.
Sampai pada tahun 1999 hanya 5 propinsi di Indonesia yang masih
dinyatakan bebas historis rabies. Propinsi-propinsi tersebut ialah Bali,
Nusa Tenggara Barat, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Sesuai
3

dengan SK Menteri Pertanian No. 892/KPTS/TN.560/ 9/97, 3 propinsi


yang dinyatakan bebas yaitu Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Penyakit rabies diketemukan baik di Kota maupun di pedesaan (rural
area) dengan sumber utama hewan anjing, hewan piaraan yang sangat
erat hubungannya dengan manusia.6

Gambar 2 : Human Rabies Deaths


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi


akut pada sistem saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit
ini merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang
ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau gigitan hewan.
Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing
Penularan rabies juga biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah
terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau
otak hewan yang telah terinfeksi.2,4

B. Epidemiologi

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa


Negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia,
Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai,
Selandia Baru, Jepang, Taiwan.2
5

Gambar 3 : Presentasi rabies didunia

Pada survey tahun 1999, 45 negara dari 145 negara yang disurvei
dilaporkan tidak jumpai kasus rabies di tahun tersebut. Jumlah kematian di
dunia karena penyakit rabies pada manusia diperkirakan lebih 50.000
orang tiap tahunnya dan terbanyak pada Negara-negara Asia dan Afrika
yang merupakan daerah endemis rabies. Sampai kini hanya 5 Propinsi di
Indonesia bebas historis rabies, yaitu Kalimantan Barat, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Maluku dan Irian Jaya. Sejak tahun 1994 propinsi yang
tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies pada manusia pada
hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat
ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998
terjadi outbreak di Kab. Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata
pertahun kasus gigitan pada manusia oleh hewan penular rabies tiga
tahun terakhir (1995-1997) 15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %)
divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662 (1,5%) diberikan kombinasi VAR
dan SAR (serum anti rabies). Selama tiga tahun ( 1995- 1997). Ditemukan
rata-rata pertahun 59 kasus rabies pada manusia, seakan 22,44 spesimen
dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%) menunjukkan positif rabies. Di
Indonesia binatang penggigit yang paling banyak adalah anjing (90%),
6

kucing (6%), kera dan lain-lain (4%). Di Asia rabies banyak dijumpai di
India, sri langka, Pakistan, Bangladesh, china, filipina dan Thailand.
Negara lain yang juga banyak dijumpai kasus rabies adalah Meksiko,
Amrika tengah dan selatan, Amerika serikat.2,3
Sehubungan dengan adanya penyakit ini pemerintah Indonesia
mengeluarkan suatu peraturan khusus pada tahun 1926 yang disebut
ordonansi rabies (Hondsholheid Ordonantie, Staatsblad No. 451, 1926)
dan peraiuran pelaksananya yaitu (staatsblad No. 452, 1926) yang
bertujuan mencegah perluasan rabies.2,7,8
Selanjutnya ordonansi tersebut mengalami perubahan-perubahan atau
penambahan yang disesuaikan dengan perkembangan pada waktu itu.
Namun demikian rabies terus berjangkit sampai sekarang malah ada
tendensi semakin meningkat dan meluas. Dilakukan juga program
pembebasan rabies lainnya. Program pembebasan rabies merupakan
kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga)
Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen Peternakan),
Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen Kesehatan
(Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita V 1989 hingga diperpanjang
sampai dengan tahun 2005.2

C. Etiologi

Rabies terjadi akibat adanya infeksi virus rabies, virus Neurotropik dari
genus Lyssavirus, dan family Rabdoviridae. Hal ini diklasifikasikan
sebagai genotipe 1, serotipe 1 dalam genusnya. Ada banyak jenis dari
virus rabies, strain masing-masing dipetahankan dalam host reservoir
tertentu. Meskipun virus ini mudah dapat menyebabkan rabies pada
spesies lain, mereka biasanya mati selama perjalanan serial dalam
spesies yang tidak sesuai. Host reservoir kadang-kadang digunakan
sebagai kata sifat untuk menggambarkan asal strain itu.4,6
7

Lyssaviruses terkait erat, yang dikenal sebagai rabies terkait


lyssaviruses atau lyssaviruses nonrabies, dapat menyebabkan penyakit
neurologis yang identik dengan rabies. Lagos kelelawar virus (genotipe 2,
serotipe 2) ditemukan pada kelelawar di beberapa bagian Afrika, dan telah
menyebabkan kasus fatal penyakit neurologis pada kucing, anjing dan
musang air (Atilax paludinosis). Beberapa kucing dan anjing telah
divaksinasi terhadap rabies. Mokola virus (genotipe 3, serotipe 3) adalah
lyssavirus rabies terkait hanya yang belum ditemukan pada kelelawar.
Virus ini telah diisolasi dari tikus dan Tikus di Afrika, tetapi host reservoir
tidak diketahui. Ini telah menyebabkan penyakit neurologis fatal pada
kucing, anjing dan manusia, termasuk rabies divaksinasi kucing dan
anjing. Antibodi terhadap virus Mokola telah dilaporkan pada beberapa
hewan sehat, dan satu anak yang mungkin telah terinfeksi virus ini pulih.
Duvenhage virus (genotipe 4, serotipe 4) terjadi di antara kelelawar di
Afrika. Ini telah menyebabkan mematikan rabies-seperti penyakit pada
beberapa orang. Para lyssaviruses kelelawar Eropa (EBLV) sangat mirip
dengan virus Duvenhage, tetapi ditemukan di benua Eropa. Mereka
adalah serotipe 5 dan dibagi menjadi 2 biotipe, EBLV1 (genotipe 5) dan
EBLV2 (genotipe 6). Kasus klinis telah dilaporkan pada hewan (domba,
marten batu) dan manusia. Para lyssavirus kelelawar Australia (ABLV;
8

genotipe 7) telah diisolasi di Australia. Ini juga telah dilaporkan dari


manusia dengan mematikan rabies-seperti penyakit.8
Rabies dan rabies terkait lyssaviruses telah diklasifikasikan menjadi 2
phylogroups, berdasarkan seberapa dekat mereka saling berhubungan.
Phylogroup I berisi virus rabies, Duvenhage virus, EBLV1, EBLV2 dan
virus kelelawar Australia, sementara phylogroup II terdiri dari virus dan
virus Lagos bat Mokola. Empat tambahan Eurasia virus kelelawar juga
telah diklasifikasikan sebagai tentatif lyssaviruses. Mereka termasuk virus
Irkut, Aravan virus dan virus Khujand, yang semua milik phylogroup I, dan
virus West Kaukasia kelelawar. Kecuali dinyatakan lain, informasi dalam
garis besar ini merujuk pada virus rabies klasik.2,4

Gambar 4 : Klasifikasi lyssaviruses

D. Patogenesis

Setelah virus rabies masuk kedalam tubuh manusia, selama 2


minggu virus menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di
9

dekatnya. Virus berkembangbiak atau langsung mencapai ujung-ujung


saraf perifer tanpa menunjukan perubahan-perubahan fungsinya.
Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein
ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pegikatan
adalah reseptor asetilkolin postsinaptik pada neuromuscular jantional di
SSP. Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui
endoneurium sel-sel schwan dan melalui aksoplasma mencapai ganglion
dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus
menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke SSP (medulla spinalis dan
otak) melalui LCS. Di otak, virus menyebar secara luas dan
memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke
perifer dalam serabut saraf otonom, otot skelet, otot jantung, kelenjar
adrenal, ginjal, mata, pancreas. Pada tahap berikutnya viral akan virus
akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, system respirasi.
Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai
kelainan pada midbrain dan medulla spinalis pada rabies tipe furious dan
pada medulla spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patologi berupa
degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuclear dan perivascular,
neurofagia, dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan pada
medulla spinalis. Dijumpai negri bodies yaitu suatu benda intra sitoplasmik
yang berisi komponen viral terutama prointrasitoplasmik yang berisi
komponen virus terutama protein ribonuklear dan fragmen organeka
seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada seluruh
bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipotalamus, sel
purkinje serebelum, ganglion dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kasus
rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangakan
terjadiya aritmia pada pasien rabies.2,4,7
10

Perhatikan gambar berikut 7 :


11

E. Manifestasi klinis

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa
berfariasi antara 7 hari-7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi kadang-
kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada
anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa.
Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka
gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke saraf pusat), derajat
patogenitas virus dan persyarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari. Pada manusia
secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan
sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu : 1) gejala
prodromal nonspesifik; 2) ensefalitis akut; 3) disfungsi batang otak; 4)
koma dan kematian.2,4
12

Tabel 1 : Stadium infeksi rabies


Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis
Inkubasi - < 30 hari (25%)
- 30-90 hari (50%)
- 90 hari-1 tahun (20%) Tidak ada
- > 1 tahun (5%)
Prodromal 2-10 hari Parastesia, nyeri pada luka
gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual, muntah, nyeri
kepala, letargi, agitasi, ansietas,
depresi.
Neurologic
akut :
- Furious 2-7 hari Halusinasi, bingung, delirium,
tinggkah laku aneh, takut,
agitasi, menggigit, hidrofobia,
hipersalivasi, disfagi, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif, spasme
laring, aerofobia, hiperventilasi,
- Paralitik 2-7 hari hipoksia, kejang, disfungsi saraf
- Koma 0-14 hari otonom, sindroma abnormalitas
ADH
Paralisis flkaksid
Autoimunic
instability, hipoventilasi, apnea,
henti napas, hipotermia,
hipotensi, disfungsi pituitary,
rhabdomiolisis, aritmia, dan
henti jantung.

1. Stadium prodromal

Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak


ditemukan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau
abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan,
nyeri perut, sakit kepala, malaise, myalgia, mual muntah, diare dan nafsu
makan menurun. Gejala yang lebih spesifik yaitu gatal dan parastesia
pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal
13

dapat berlangsung sampai gejala neurologis akut dapat berupa furios atau
paralitik. Miodema dijumpai pada stadium prodromal pada stadium
prodromal dan menetap selama perjalan penyakit.2,4,7,8
2. Stadium neurologis akut

Dapat berupa gejala furios atau paralitik. Pada furios penderita


menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah
laku aneh. Selama beberapa jam-hari, gejala hiperaktif dapat terjadi
karena rangsangan-rangsangan tersebut. Bila penderita diberi segelas air
minum dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme hebat otot-otot
faring, akibatnya penderita menjadi takut air (hirofobia) yang khas pada
rabies. Keadaan yang sama dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensorik
seperti meniupkan lilin ke muka pasien (aerofobia), atau dengan
menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) atau dengan menepuk tangan
didekat telinga pasien.2,8 Tanda-tanda klinis lain yang dapat dijumpai
berupa hiperaktivitas, halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus,
lesi saraf kranialis, fasikulasi otot dan gerakan-gerakan involunter,
fluktuasi otot dan gerakan-gerakan involunter, fluktiasi suhu badan,
dilatasi pupil.lesi pada nucleus amigdala memberikan gejala libido yang
meningkat, pripismus, dan organisme spontan.2,8
Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil
yang ireguler, peningkatan lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi
postural, hipersalivasi. Gejala lain dalam fase ini aialah demam, fasikulasi
otot, hiperventilasi dan konvulsi. Meskipun sering kejang penderita tetap
sadar. Gejala-gejala stadium eksitasi dapat terus berlangsung sampai
penderita meninggal. Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang
dapat terjadi akibat gagal napas yang disebabkan oleh kontraksi otot-otot
pernapasan atau keterlibatan pusat pernapasan dan miokarditis, aritmia,
dan henti jantung akibat stimulasi saraf fagus. Bila stadium inni dapat
terlewati, pasien masuk ke stadium paralitik.
14

Apabila pasien tidak meninnggal, 20% penderita akan masuk ke


stadium paralitik yang ditamdai dengan demam dan sakit kepala, paralisis
pada ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau simetri, dapat menyebar
secara ascendens seperti pada sindroma Guillain-Barre, dan kaku kuduk
dapat dujumpai. Pada stadium paralitik dapat tidak temui gejala hidrofobia,
aerofobia, hiperaktivitas dan kejang.2,9 Pada keadaan ini kesadaran dapat
utuh, akan tetapi dapat memburuk secara gradual menjadi bingung,
disorientasi, paraplegia, gangguan menelan, kelumpuhan pernapasan,
dan akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi ini terjadi selama 2-7 hari
dengan fase paralitik lebih panjang.2,4,7,8

3. Stadium koma

Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologic, penderita


dapat mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah tampak
gejala rabies dan dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai
beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung penanganan intensif.
Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat segera meinggal
setelah terjadi koma, dan pada penanganan di AS rata-rata hanya
perawatan sampai meninggal 13 hari. Beberapa komplikasi dapat terjadi
dan menjadi penyebab kematian.samapai saat ini hamper seluruh
15

penderita rabies meninggal, hanya ada 4 laporan penderita encephalitis


rabies hidup. Dua penderita diberi vaksin tanpa imunoglobuilin sesudah
gigitan multiple dan bertahan hidup lama (34 bulan pada 1 kasus) tetapi
dengan gangguan neurologic yang berat. Dua kasus lain didiagnosis
sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin embrio bebek
dan sucking mouse vaccine tetapi didiagnosis sebagai ensefalitis
berdasarkan tes serologi (tidak dijumpai antigen virus).2,4,7,8

F. Diagnosis

Anamnesis tentang kapan digigit binatang, lokasi gigitan dan oleh


binatang apa. Dengan anamnesis yang baik sudah dapat diambil tindakan
untuk mencegah timbulnya rabies.4
Pemeriksaan labolatorium pada penyakit rabies tidak spesifikk. Pada awal
penyakit, hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalan penyakit.
Leukosit antara 8000-13.000/mm3 dengan 6-8% monosit atipkal, namun
leukositosis 20.000-30.000/mm3 sering dijumpai, trombosit biasanya
normal. Pada urinalisis dijumpai albuminuria dengan peningkatan sel
leukosit pada sedimen. Pada CSS dapat dijumpai gambaran encephalitis,
peningkatan sel leukosit 70/mm3, tekanan CSS dapat normal/meningkat,
protein dan glukosa normal. Selama minggu pertama perjalanan penyakit
CSS normal pada 40% penderita. Limfosit pleiositosis ringan biasanya
terjadi dan protein total meningkat lebih dari 200 mg/dl. Pada EEG secara
umum didapatkan gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan
paroksismal spike. CT dan MRI pada otak normal.2,4,10,8
16

Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari


bahan yang berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea,
sampel biopsy kulit/otak, CSS, dan kadang urin. Isolasi virus kadang-
kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-bahan tersebut setelah 10-14
hari sakit; hal ini berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies. 2,4,8
Deteksi neutralizing antibodies dalam serum penderita yang tidak
divaksinasi dapat dipakai sebagai alat diagnosis. Terdapatnya antibody
dalam CSS juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih
lambat dibandingjkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada
awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi respon antibody serum
dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi. Pada kasus
tertentu antibody dapat tidak terbentuk ampai hari ke-24. Fluorescent
antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies
di jaringan otak sediaan CSS, urin, bahkan setelah teknik isolasi virus
tidak berhasil. Sensitivitas tes ini 60-100%. FAT pada hapusan kornea
pada hapusan kornea sangat tinggi sensitive untuk digunakan karena
sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit FAT dari kulit dileher
merupakan tes yang paling sensitive walaupun dapat terjadi negative
17

palsu. Di AS tes standar adalah rapid fluorescent focus test (RFFIT) untuk
mendeteksi antibody spesifik, dimana hasil diperoleh dapal 48 jam. 2,4,8
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk
penyakit rabies, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat, dan pada yang
klasik terdapat butir-butir basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat
melalui histopatologi biopsy jaringan otak penderita post-mortem dan
jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus
rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya,
dapat dilakukan melalui pemeriksaan reverse-transcriptase polymerase
chain reaction (RT-PCR).2,4,8

G. Diagnosis Banding

Rabies harus dipikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologic,


psikiatri atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila
terjadi gigitan binatang pada daerah endemis atau orang yang mengalami
gigitan binatang pada daerah endemis rabies.2 Jadi kondisi atau penyakit-
penyakit yang dapat dijadikan diagnosis adalah8 :

1. Infeksi lain yang menyebabkan ensefalitis


2. Myelitis transversa
3. Trauma Cerebrovascular
4. Psikosis
5. Massa pada Intrakranial
6. Epilepsi
7. Keracunan Atropin
8. Penyakit Creutzfeldt-Jacob
9. Keracunan senyawa atropinelike
10. Pseudohydrophobia (reaksi histeris gigitan hewan karena takut
rabies)
11. Guillain-Barre Syndrome
12. Herpes Simplex
18

13. Ensefalitis Herpes Simplex


14. Polio
15. Tetanus

H. Tatalaksana

Tidak ada terapi untuk penderita yang telah menunjukan gejala


rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan
gagal jantung dan gagal napas. Walaupun tindakan perawatan intensif
umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif
hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin
menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskular yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera
setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan
yang dapat menimbulkan spasme otot ataupun untuk mencegah
penularan. Staf rumah sakit perlu menghindari diri dari penularan virus
dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan paling berbahaya adalah kontak
dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan
universal precaution. Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang
paling penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya
hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi, edema serebri.2,8
Penderita dapat diberi obat sedative dan analgetik secara adekuat untuk
pemulihan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat
antiserum anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya
tidak terbukti efektif. Dalam decade terakhir ini hampir tidak banyak
perkembangan dalam penanganan kasus rabies. Antiviral agent yang
dianjurkan adalah ribavirin, interferon alfa, dan ketamine.2,8

I. Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan


biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi berupa peningkatan tekanan
19

intrakranial, kelainan pada hipotalamus berupa diabetes mellitus,


sindroma abnormalitas hormone anti diuretic (SAHAD), disfingsi otonomik
yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia/hipotermia, aritmia
dan henti jantung. Kejang dapat local maupun generalisata dan sering
bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium
prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis
respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernapasan terjadi fase
neurologic akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi
dan gangguan otonomik.2

J. Preventif

Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar


dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengiadp
atau tersangka rabies halus dilakuikan perawatan luka yang adekuat dan
pemberian vaksinanti rabies dan immunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu
pula dilakukan terhadap individu yang beresiko tinggi tertular rabies.

1. Penanganan luka

Pengobatan local luka gigitan adalah factor penting dalam pencegahan


rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan
debriden dan diberikan disinfektan seperti alcohol 40-70%, tinktura yodii,
atau larutan epherin 0,1%. Luka akibat gigitan binatang penular rabies
tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat
dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi
bacterial berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotic.2

2. Vaksinasi15

Apabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak berbahaya,
maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila
20

kontak dengan air liur pada luka berbahaya. Dosis dengan cara
pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies adalah sebagai berikut :
a). Dosisi dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)
Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Kemasan :
Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml
dalam syringe.
b). Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)
- Cara pemberian :
disuntikan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus (anak–anak di
daerah paha).
- Dosis

c. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah


digigit (Post Exposure Treatment)
- Cara pemberian : sama seperti pada butir 1.a.
Dosis :
21

d. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)


Kemasan :
- Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml.
- Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.

e. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)


- Cara pemberian :
Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara subcutan di sekitar daerah
pusar.
Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intra cutan (ic) di
bagaian fleksor lengan bawah .
- Dosis
22

f. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit


(Post Exposure Treatment)
- Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a.
Dosis :

g. Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)


Serum hetorolog (Kuda)
- Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU)
- Cara pemberian :
Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya
disuntikkan intramaskuler.
- Dosis :

Serum Momolog
- Kemasan : vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU )
- Cara pemberian :
23

Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya


disuntikkan intramuskuler.
- Dosis :

h. Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk pengebalan Sebelum Digigit


(Pre Exposure Immunization)
- Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
- Kemasan :
Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml
dalam syringe.
- Cara pemberian (cara I) :
Disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus.
- Dosis :

- Cara pemberian (cara II) :


Disuntikkan secara intra cutan ( dibagian fleksor lengan bawah ).
- Dosis :
24

i. Suncling Mice Brain Vaccine (SMBV)

- Kemasan :
Dus berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 mlDus berisi 5
ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.
- Cara pemberian :
Disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagian flektor lengan bawah.
- Dosis :
25

K. Prognosis

Kematian akibat infeksi virus rabies boleh dibilang 100% bila virus
sudah mencapai system saraf. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari
kepustakaan dilaporkan 10 pasien sudah sembuh dari rabies namun sejak
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies telah tampak
hampir semua selalu kematia 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal
napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian
dari tahun 1986-2000 melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing
pengidap rabies di Negara endemis segera mendapat perawatan luka,
pemberian VAR dan SAR mendapatkan angkasurvival 100%.2
26

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Ny. J
Umur : 44 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas 3 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas dan demam sejak 3
hari yang lalu bersifat hilang timbul, pasien mengeluh sakit kepala yang
berdenyut dan terasa pusing. pasien terlihat sangat gelisah, susah makan
dan minum, disertai mual (+) muntah (+) nyeri pada perut sebelah kiri,
BAB encer, lendir (+) dan takut melihat orang banyak.
Pasien tinggal di Napu yang kawasannya banyak anjing liar, 2 minngu
yang lalu pasien pernah digigit anjing peliharaannya dibagian sela jari
telunjuk tangan kanan yang sudah sembuh setelah digigit anjing pasien
mengaku tidak pernah berobat dipuskesmas hanya berobat dengan obat
kampung alasan pasien karena akses ke puskesmas jauh dari tempat
tinggal pasien. Setelah beberapa hari pasien digigit anjing, anjing tersebut
meninggal dikarenakan dipukul warga setempat.
27

Riwayat penyakit terdahulu :


 Hipertensi : (+)
 Diabetes mellitus : (+)
 Trauma kepala : Tidak ada

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum :
 Kondisi : Sakit berat
 Gizi : Baik
 Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/90 mmhg
Nadi : 92x/menit
Suhu : 38,5
Pernapasan : 40x/menit

Pemeriksaan Leher :
Kelenjar getah bening : tidak dilakukan pemeriksaan
Kelenjar tiroid : tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Thorax :
Paru-paru :
- Inspeksi : simetris bilateral
- Palpasi : vocal fremitus kiri=kanan
- Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
- Auskultasi : vesiular (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
28

- Perkusi : dalam batas normal


- Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi : normal
- Palpasi : nyeri bagian kiri (+) massa (-) timpani (+)

D. Pemeriksaan neurologis
 GCS : E4 M6 V5
1. Kepala:
o Penonjolan: (-)
2. N. Cranialis:
o N. Olfactorius (I): Normosmia
o N.Optikus (II):
 Ketajaman penglihatan : 6/6 D/S
 Lapangan penglihatan : Normal D/S
o N. Occulomotoris (N.III), N. Trochlearis (N.IV), N. Abducens (N.VI)
 Celah kelopak mata:
 Ptosis: (-)
 Exopthalmus: (-)
 Pupil: ukuran : 2,55mm/ bulat D/S
Isokor/anisokor : Isokor D/S
Reflex cahaya langsung : (+/+) D/S
Ref. cahaya tdk langsung : (+/+) D/S
Reflex akomodasi : (+/+) D/S
 Gerakan bola mata:
Parese kearah : (-/-) D/S -
Nistagmus : (-/-) D/S
o N. V (trigeminus):
 Sensibilitas: N.V1: Normal
N.V2: Normal
N.V3: Normal
29

 Motorik:
Inspeksi: Normal
Mengigit : Normal
Membuka mulut : Normal
o N. VII:
 Motorik: M. Frontalis M. orbik.okuli M. orbik. Oris
Normal Normal Normal
Istirahat: Normal Normal Normal
Gerakan mimik: Normal Normal Normal
 Pengecap 2/3 lidah bagian depan: tidak dilakukan pemeriksaan
o N. VIII:
 Pendengaran: normal D/S
 Tes rinne/weber:
 Fungsi vestibularis:
o N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):
 Posisi arkus pharinks:
 Reflex telan/muntah:
 Pengecap 1/3 lidah bagian belakang:
 Fonasi:
 Takikardi/bradikardi:
o N. XI:
 Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: Normal
 Angkat bahu: Normal
o N.XII:
 Deviasi lidah: (-)
 Fasciculasi: (-)
 Atrofi: (-)
 Tremor: (-)
 Ataxia: (-)
3. Leher:
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
30

 Kaku kuduk: (-)


 Kernig’s sign: (-)
 Arteri karotis:
 Palpasi: berdenyut
 Auskultasi:
 Kelenjar gondok:
4. Abdomen:
 Reflex kulit dinding perut:
5. Kolumna vertebralis:
6. Ekstremitas:
Superior Inferior
D S D S
 Motorik:
Pergerakan bebas bebas bebas bebas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus otot normal normal normal normal
Bentuk otot eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
 Otot yang terganggu:
 Reflex fisiologi
o Biceps ++ ++
o Triceps ++ ++
o APR ++ ++
o KPR ++ ++
 Klonus: Lutut:
Kaki:
 Reflex patologis:
Hoffman: (-)
Tromner: (-)
Babinski: (-)
Chaddock: (-)
Gordon: (-)
31

Schaefer: (-)
Oppenheim: (-)
 Sensibilitas:
 Ekstroseptif
Nyeri:
Suhu:
Rasa raba halus:
 Propioseptif
Rasa sikap:
Rasa nyeri dalam:
 Fungsi Kortikal Luhur: Normal
7. Pergerakan abnormal yang spontan:
8. Gangguan koordinasi:
9. Gangguan keseimbangan:
10. Pemeriksaan fungsi luhur:
 Fungsi bahasa : baik
 Fungsi orientasi : baik
 Fungsi memori : baik
 Fungsi emosi : baik
 Fungsi kognisi : baik

E. Diagnosis
 Diagnosis klinis : Vulnus morsum
 Diagnosis Topis : Susunan saraf pusat
 Diagnosis Etiologi : Rabies
32

F. Terapi
 O2 4 liter/menit
 Dextro 5% : RL : 1:1 28 tts/menit
 Inj ranitidin 1 amp/12 jam (iv)
 Inj ordensentron 1 amp/ 8 jam
 PCT 3x500mg
 Drips sanmol 1gr/8jam
 Inj ceftiaxon 1gr/12 jam
 Drips diazepam 1 ampl/kolf

G. Prognosis
 Qua ad vitam : malam
 Qua ad sanationem : malam
33

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan umur 44 tahun masuk rumah sakit dengan


keluhan sesak nafas dan demam sejak 3 hari yang lalu bersifat hilang
timbul, pasien mengeluh sakit kepala yang berdenyut dan terasa pusing.
pasien terlihat sangat gelisah, susah makan dan minum, disertai mual (+)
muntah (+) nyeri pada perut sebelah kiri, BAB encer, lendir (+) dan takut
melihat orang banyak.
Pasien tinggal di Napu yang kawasannya banyak anjing liar, 2 minggu
yang lalu pasien pernah digigit anjing peliharaannya dibagian sela jari
telunjuk tangan kanan yang sudah sembuh setelah digigit anjing pasien
mengaku tidak pernah berobat dipuskesmas hanya berobat dengan obat
kampung alasan pasien karena akses ke puskesmas jauh dari tempat
tinggal pasien. Setelah beberapa hari pasien digigit anjing, anjing tersebut
meninggal dikarenakan dipukul warga setempat.
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mempunyai riwayat
digigit anjing 2 minggu yang positif terinfeksi rabies, menurut teori Rabies
atau yang disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut
pada sistem saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini
merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang
ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau gigitan hewan.
Gejala yang dirasaan pasien menurut teori masuk distadium
prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak ditemukan gejala
spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai
oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala,
malaise, myalgia, mual muntah, diare dan nafsu makan menurun. Gejala
yang lebih spesifik yaitu gatal dan parastesia pada luka bekas gigitan
yang sudah sembuh (50%).
34

Dari pemeriksaan fisik didapatkan luka gigitan anjing yang sudah sembuh
menurut teori gejala yang spesifik yaitu gatal dan parastesia pada luka bekas
gigitan anjing. kesadaran pasien dalam keadaan baik yaitu compos mentis
dengan GCS 15 E4M6V5. Pemeriksaan nervus kranialis dalam batas
normal

Namun prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies telah
tampak hampir semua selalu kematian 2-3 hari sesudahnya sebagai
akibat gagal napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.
35

BAB V

KESIMPULAN

Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi


akut pada sistem saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit
ini merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang
ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing
Penularan rabies juga biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah
terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau
otak hewan yang telah terinfeksi

Rabies terjadi akibat adanya infeksi virus rabies, virus Neurotropik


dari genus Lyssavirus, dan family Rabdoviridae. Hal ini diklasifikasikan
sebagai genotipe 1, serotipe 1 dealam genusnya. Ada banyak jenis dari
virus rabies, strain masing-masing dipetahankan dalam host reservoir
tertentu

Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang
dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu :
1) gejala prodromal nonspesifik, 2) ensefalitis akut, 3) disfungsi batang
otak, 4) koma dan kematian.

Sampai saat ini tidak ada terapi untuk penderita yang telah menunjukan
gejala rabies, penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam
penanganan gagal jantung dan gagal napas. Kematian akibat infeksi virus
rabies boleh dibilang 100% bila virus sudah mencapai system saraf.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi, Alwi I, editors.


Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: InternaPublising; 2009. h.
2911-2923.

2. Harijanto PN, Gunawan CA. Rabies. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi,


Alwi I, editors. Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta:
InternaPublising; 2009. h. 2924-2930.

3. Hassan R, Alatas H. Buku kuliah Ilmu kesehatan anak. Jakarta:


Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

4. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadja Mada


University Press; 2011.

5. Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. United States of


America: The McGraw-Hill Companies; 2005.

6. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology. Germany: German edition


published; 2004.

7. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. New York: Thiema Stuttgart;


2004.

8. Gompf SG. Rabies. [Online]. 2011 Des 12 [cited 2018 mei 08]; [14
screens]. Available from :

URL : http://emedicine.medscape.com/article/220967-overview

9. Brunch JT, Thalji MK, Pellika PA, Aksamit TR. Respiratory failure in
tetanus. Journal of American College of Chest Physicians. 2002; 122;
1488-1492.

10. Komsuoglu SS. Dora F. Kalabay O. Periodic EEG activity in human


rabies encephalitis. Journal of J Neourol Neurosurg Psychiatry. 1981; 44;
264-265.

11. Hemachudha T, Tirawatnpong S, Phanthumchinda K. Seuzures as


the initial manifestation of paralytic rabies. Journal of J Neourol Neurosurg
Psychiatry. 1989; 52; 808-810.
37

12. Hinfey PB . Tetanus. [Online]. 2011 Sept 28 [cited 2018 mei 08]; [12
screens]. Available from :

URL : http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview

13. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, et al. Tetanus. Journal of J Neourol
Neurosurg Psychiatry. 2000; 69; 292-301.

14. Ritarwan K. Tetanus. [Online]. No show/pdf [cited 2018 Apr 10]; [10
screens]. Available from :

URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf

15. Team depkes/no show. Petunjuk perencanaan dan penatalaksanaan


kasus rabies di Indonesia. [Online]. 2000 [cited 2018 mei 10]; [15
screens]. Available from :

URL : www.depkes.go.id/downloads/Petunjuk%20Rabies.pdf

Anda mungkin juga menyukai